Perdamaian Sejati di dalam Kristus, 22 Mei 2016

Ef 2:11-14

Saudara, di dalam ayat 11 sampai ayat yang ke-13, di sini Paulus memberikan satu pendahuluan mengenai keadaan kita yang ada di luar Kristus sebelumnya. Itu satu keadaan yang penuh dengan perselisihan, keterpisahan, perseteruan. Alkitab banyak sekali memberi contoh-contoh mengenai satu kondisi manusia yang berdosa, yang ada di luar Yesus Kristus. Misalnya, di dalam relasi antara tuan dengan hamba, di situ tidak terdapat satu hubungan yang baik di antara kedua derajat atau posisi tersebut. Di dalam gereja mula-mula, mereka mengalami satu kesulitan untuk bisa memperbaiki relasi ini dan mendudukkan antara seorang tuan dengan seorang hamba bersama-sama di dalam gereja Tuhan dan beribadah kepada Kristus. Karena apa? Karena seorang tuan memandang rendah kepada hambanya tersebut. Dan seorang hamba tidak mungkin bisa diangkat derajatnya untuk disamakan dengan seorang tuan yang merupakan pemilik dia atau pembeli dia, dan orang yang harus dia patuhi dalam kehidupan dia. Ini adalah satu perselisihan yang pertama yang dinyatakan oleh Kitab Suci.

Yang kedua adalah, di dalam 1 Korintus 7, di situ dinyatakan ada 1 perselisihan juga atau perseteruan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Masalahnya adalah, ketika seorang laki-laki dan perempuan menikah pada zaman dahulu, maka pernikahan mereka itu adalah suatu pernikahan yang didominasi oleh pria. Perempuan harus tunduk kepada suaminya, perempuan harus taat total, perempuan tidak memiliki satu hak suara dalam kehidupannya. Mereka harus mendengarkan apa yang diminta oleh suami dan diputuskan oleh suami, termasuk di dalamnya itu adalah berkaitan dengan iman. Kalau suaminya berkata: “Kamu tidak boleh memiliki iman yang lain, kamu harus mengikuti iman yang aku miliki. Maka si istri harus mengikuti apa yang menjadi keputusan suaminya tersebut.

Akan tetapi, ketika Kristus datang, ketika Injil diberitakan, maka terjadi satu perselisihan di dalam keluarga. Perselisihannya di mana? Pada waktu seorang istri mendengarkan Injil, dia kemudian memutuskan untuk percaya kepada Kristus. Dan keputusan ini dianggap sebagai satu keputusan yang memberontak melawan suami. Karena apa? Suami mendikte istri harus mengikuti dia punya iman tetapi istri berkata, ‘Tidak, saya tidak bisa lagi ikut imanmu yang lama, tetapi saya sekarang mau ikut Kristus, saya mengerti kebenaran itu.’ Apa yang terjadi? Suami mulai merasa tidak senang dengan istri, suami juga mengalami satu tekanan sosial daripada teman-temannya. Dia merasa teman-temannya memperolok diri dia, akibatnya adalah dia kemudian mulai mengambil satu keputusan untuk menceraikan istrinya.Ini adalah hal yang terjadi di dalam zaman Alkitab.

Lalu, yang terberat, tersulit adalah di dalam relasi antara orang Yahudi dengan orang non-Yahudi. Pada waktu itu orang-orang Yahudi memiliki satu kebencian yang begitu besar sekali dengan orang-orang non-Yahudi. Nah orang-orang non-Yahudi juga memiliki kebencian yang besar sekali dengan orang-orang Yahudi. Bagi orang Yahudi, mereka adalah orang-orang yang jauh, mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki bagian dalam keselamatan, tidak memiliki bagian dalam Kerajaan Allah. Sedangkan bagi orang-orang non-Yahudi, Yunani, ini adalah satu penghinaan yang mereka lakukan dalam kehidupan mereka. Jadi mereka tidak bisa menerima itu.

Nah Saudara, ada satu peristiwa pernah dicatat di dalam tulisan daripada orang-orang Yahudi atau Rabbi Yahudi. Di situ dikatakan, ada seorang perempuan non-Yahudi, dia suatu hari memiliki satu kesadaran bahwa dia adalah orang yang berdosa, dia adalah orang yang harusnya dihukum. Dan dia ingin datang kepada orang Yahudi dan mengadopsi iman daripada orang Yahudi dalam kehidupan dia. Lalu dia datang kepada seorang imam yang bernama Eliazar. Pada waktu dia datang kepada Eliazar ini, dia kemudian bertanya kepada Eliazar, “Rabbi, apakah saya bisa menjadi orang yang dekat? Apakah saya bisa memiliki iman Yahudi dalam kehidupan saya?” Pada waktu imam Eliazar mendengar ini, dia berkata seperti ini, “Tidak, engkau tidak bisa menjadi seorang yang dekat?” Lalu apa yang kemudian dilakukan? Dia kemudian masuk ke dalam rumah, tutup pintu, dan membiarkan perempuan ini berada di luar.

Saudara, dalam kehidupan dahulu, antara orang-orang Yahudi dengan orang-orang Yunani, mereka terdapat satu perseteruan yang begitu hebat, satu dinding pemisah yang begitu lebar, yang tidak mungkin bisa dirapatkan dan tidak mungkin bisa dirobohkan dengan kekuatan mereka sendiri. Di dalam Kisah Rasul 10, ini dinyatakan sendiri oleh Petrus secara jelas sekali, ketika dia diutus oleh Tuhan untuk pergi ke rumah Kornelius, untuk memberitakan Injil kepada Kornelius. Pada waktu dia, pada siang hari, berdoa, dan ketika dia sedang menantikan makan siang disiapkan, di situ dikatakan: Tuhan menurunkan satu kain yang berisi banyak binatang yang haram di atasnya. Lalu Tuhan memberikan perintah kepada Petrus untuk menyembelih binatang tersebut dan memakan binatang itu. Waktu itu Petrus berkata, “Tidak mungkin aku melanggar Taurat Tuhan. Aku tidak mungkin menyantap makanan yang haram dalam kehidupanku.” Tapi Tuhan berkata, sampai 3 kali, “Apa yang Aku nyatakan halal, apakah engkau harus nyatakan haram? Engkau seharusnya tidak boleh menyatakan sesuatu yang haram untuk sesuatu yang Aku nyatakan halal kepada engkau untuk dimakan.” Sambil Petrus sedang memikirkan itu, datang orang-orang Kornelius untuk meminta dia datang ke rumah Kornelius.

Pada waktu itu ada suara yang Petrus dengar untuk mengikuti mereka. Setibanya di rumah Kornelius, dia melihat begitu banyak orang sudah berkumpul. Lalu dia menanyakan kepada Kornelius, “Apa yang membuat engkau memanggil aku kemari? Tidak tahukah kamu bahwa seorang Yahudi itu dilarang untuk masuk ke dalam rumah non-Yahudi? Tidak tahukah kamu bahwa orang Yahudi tidak boleh bergaul dengan orang-orang non-Yahudi? Tapi karena Tuhan yang mengutus aku, Dia yang meminta aku datang kemari, maka aku datang dan melayani engkau atau memberitakan Injil kepada engkau.Jadi pada waktu Petrus memberitakan Injil, di situ terjadi 2 peristiwa. Pada waktu dia beritakan Injil, di situ dia melihat orang-orang yang merupakan orang Kornelius itu menjadi percaya. Lalu di situ turun Roh Kudus, dan terjadi satu karunia berbicara bahsa Roh pada orang-orang Kornelius tersebut. Nah ini menjadi satu tanda tanya di dalam diri Petrus. Bagaimana mungkin seorang non-Yahudi mengalami sesuatu yang pernah kami alami di Hari Pentakosta? Kami menerima Roh Kudus dari Tuhan Allah, sekarang mereka juga mengalami hal yang sama. Kalau sampai Allah yang sendirinya membaptis mereka dengan Roh Kudus dan membuat mereka melakukan satu manifestasi, berbicara dengan Bahasa Roh, itu berarti saya tidak memiliki hal untuk melarang mereka menjadi orang Kristen dan membaptis mereka dengan air.

Nah Saudara, itu yang membuat kemudian Petrus membaptis orang-orang Kornelius untuk menjadi seorang Kristen. Tetapi ketika dia tiba di Yerusalem kembali, timbul masalah, masalahnya apa? Masalahnya adalah Petrus kemudian disidang oleh orang-orang Yahudi. Kenapa disidang? Karena orang-orang Yahudi tidak bisa menerima, tindakan Petrus untuk membaptis Kornelius yang merupakan orang non-Yahudi, serta anggota daripada keluarganya. Kalau dia membatis mereka dengan air, itu berarti Petrus sedang menganggat derajat orang non-Yahudi, memasukkan mereka menjadi orang yang dekat dengan Kristus, atau orang yang dekat dengan umat Allah yang diselamatkan dan bahkan derajat mereka disamakan dengan orang-orang Yahudi. Nah ini mereka tidak bisa terima. Tapi Petrus kemudian memerikan satu penjelasan kepada sidang tersebut, “Kamu tidak bisa bicara seperti itu,” karena apa? “Karena aku bukan melakukan ini, karena keinginan dan inisiatifku sendiri. Tetapi karena Tuhan yang mengerjakan itu dalam diri mereka. Pada waktu itu aku teringat akan Hari Pentakosta, di mana Tuhan memberikan Roh Kudus sama seperti yang kita alami. Itu sebabnya kalau Tuhan yang membawa mereka masuk, mungkinkah aku tidak membiarkan mereka masuk ke dalam Kerajaan Allah dan umat daripada Allah?”

Nah Saudara, ini yang terjadi di dalam kehidupan orang-orang Yahudi. Mereka melihat ada satu perseteruan, ada satu dinding pemisah, ada sesuatu yang tidak mungkin bisa dipersatukan antara orang-orang Yahudi dan dengan orang-orang non-Yahudi. Ada permusuhan yang terdapat di dalam kehidupan mereka. Dan saya lihat ini adalah satu kondisi yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan zaman kita. Yang pikirkan itu adalah suatu peristiwa yang terjadi 2000 tahun yang lalu maka kita di dalam zaman yang modern ini, tidak memiliki lagi hal-hal yang namanya perseteruan, perselisihan, pemisahan yang terjadi di dalam masyarakat kita, saya lihat banyak sekali keadaan, di mana tetap terhadap itu, terdapat permisahan tersebut. Misalnya di dalam edukasi, di dalam hubungan laki-laki dengan perempuan, di dalam hubungan ekonomi, itu masih terdapat satu perseteruan, bahkan di dalam budaya dan ras yang ada di antara orang-orang dalam dunia ini. Itu menjadi masalah.

Lalu apa yang menyebabkan masalah tersebut? Nah Alkitab menyatakan: satu-satunya penyebab dasar dari masalah yang timbul, perselisihan tersebut, itu adalah diakibatkan karena manusia sudah jatuh dalam dosa. Saudara, dosa membuat terjadi satu pemisahan. Memang Kitab Suci menyatakan bahwa Allah yang memberikan hukum untuk membuat satu pemisahan antara orang Yahudi dengan orang-orang non-Yahudi. Di dalam hukum itu, Tuhan memberikan satu hukum ibadah kepada orang Yahudi, yang membuat mereka tidak mungkin bisa bergaul dan beribadah sama seperti orang-orang non-Yahudi. Satu ibadah yang khusus, yang berbeda total, di mana mereka juga harus menjaga makanan mereka. Mereka harus menyunatkan diri, mereka harus menjaga antara binatang yang haram dan halal, bagaimana mereka harus beribadah kepada Tuhan dengan korban persembahan yang total berbeda dari orang-orang non-Yahudi. itu membuat mereka tidak mungkin bisa bergaul dengan orang-orang non-Yahudi.

Jadi Tuhan sendiri membuat satu pemisahan melalui hukum yang Dia berikan kepada orang-orang Yahudi tersebut. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah ketika manusia itu memiliki dosa, maka pemisahan yang ada di dalam hukum itu, menjadi sesuatu yang diperuncing oleh manusia, menjadi sesuatu yang diperbesar oleh manusia.Sesuatu yang Tuhan membuat pemisahan bukan dengan tujuan untuk menjadikan 2 kelompok ini terpisah satu dengan yang lain, tetapi untuk membawa kelompok yang lain yang tidak mengenal Tuhan untuk datang kepada kelompok yang mengenal Tuhan dan percaya kepada Tuhan itu menjadi sesuatu yang tidak terwujud. Saudara, mereka bukannya membawa orang untuk mengenal Tuhan yang benar tetapi mereka justru meng-eksklusifkan diri dan menjauhkan diri dari orang-orang yang tidak mengenal Tuhan sehingga bagi mereka keselamatan hanya ada di dalam iman Yahudi, orang non-Yahudi tidak memiliki keselamatan, “umat Allah” hanya bisa menjadi milik orang Yahudi, orang non-Yahudi tidak mungkin bisa menjadi umat Allah walaupun mereka bertobat, mereka percaya kepada Tuhan yang sama tetapi tetap terdapat satu perbedaan dimana mereka tidak bisa masuk dan bergabung dan menjadi persis seperti orang-orang Yahudi dalam kehidupan mereka. Jadi ada suatu perselisihan, pemisahan yang diakibatkan adanya dosa di dalam kehidupan manusia.

Akan tetapi ketika Saudara membaca ayat yang ke-14, di dalam ayat 14 Paulus mengajak kita melihat lebih jauh daripada sekedar perselisihan atau pemisahan yang diakibatkan oleh dosa. Paulus mengajak kita melihat dosa itu mengakibatkan satu perseteruan antara manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia. Jadi kalau kita melihat ini, ayat 14 dan bandingkan dengan ayat 11 dan 13, Paulus mengajak kita melihat satu langkah lebih jauh lagi daripada dampak dosa. Jadi jangan pikir bahwa dosa itu hanya memisahkan manusia dengan manusia secara relasi horisontal saja tapi dosa membuat manusia berada di dalam satu sikap permusuhan antara diri dia dengan Allah yang mengakibatkan juga permusuhan antara diri manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Nah Saudara, jangan heran kalau kita melihat dalam dunia ini orang-orang selalu di dalam kondisi konflik satu dengan yang lain, jangan heran kalau kita melihat di dalam dunia ini terdapat satu permusuhan, dan ini semua hanya membuktikan bahwa apa yang dinyatakan Kitab Suci, walaupun itu adalah sesuatu yang diberikan 2000 tahun yang lalu, namun apa yang dinyatakan di dalamnya tetap merupakan satu kebenaran yang mutlak, yang tidak bersalah dan bisa diandalkan sepenuhnya. Karena apa? Manusia tetap tidak berubah, manusia tetap dalam satu kondisi ada dosa di dalam diri mereka yang mengakibatkan satu pemisahan dan perseteruan terhadap satu sama lain dalam kehidupan mereka, dan ini mengakibatkan sesuatu permasalahan.

Saudara, kalau kita tanya lebih lanjut lagi, apa yang membuat dosa itu bisa mengakibatkan satu perseteruan antara seorang dengan yang lain, permusuhan, pemisahan antara satu dengan yang lain? Nah jawabannya ada di dalam Yakobus 4:1-3, disitu dikatakan yang menjadi masalah mengapa dosa bisa mengakibatkan perseteruan dan pertengkaran itu adalah di dalamnya mengandung satu kesombongan, satu kepentingan diri, satu cinta diri yang begitu besar sekali, hawa napsu yang timbul dari dalam hati, itu yang mengakibatkan terjadinya perseteruan. Jadi ini sebenarnya adalah satu kebenaran yang bukan dinyatakan baru dalam Perjanjian Baru tetapi ini sudah merupakan satu kebenaran yang sudah dinyatakan dari dalam Kejadian, yaitu Kitab Perjanjian Lama. Pada waktu manusia pertama diperintahkan Tuhan untuk tidak makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat itu, dia kemudian berpikir, “kenapa saya harus mematuhi perintah Tuhan? Saya kan juga satu manusia, memang saya dicipta oleh Tuhan,” tetapi dia termakan oleh hasutan dari pada iblis yang mengatakan, “kamu sebenarnya tidak perlu tunduk kepada Tuhan, kamu adalah orang yang berharga, kamu bisa berdiri sendiri, kamu tidak perlu bergantung dengan Tuhan dalam kehidupanmu, kamu bisa memutuskan apa yang baik dan jahat menurut keinginanmu sendiri, kamu tidak perlu mendengarkan perintah Tuhan, Tuhan hanya iri kepada engkau, kalau kamu makan buah itu maka kamu akan menjadi seperti Allah.” Jadi akibat dari hasutan ini, dalam diri manusia timbul satu keinginan untuk menjadi seperti Allah, memiliki satu kehidupa yang otonomi, yang terbebas dari pada Tuhan Allah dan menganggap Allah itu sebagai satu penghambat, penghalang dari pada dirinya untuk menjadi allah dalam kehidupan dia.

Nah Saudara, ini adalah sesuatu yang saya lihat bukan hanya terjadi di dalam Kejadian, sampai hari inipun manusia melihat sebagai satu kehidupan yang tidak perlu melibatkan Tuhan Allah dalam diri mereka, mereka melihat Allah itu sebagai penghalang mereka, mereka tidak bisa memuaskan hidup mereka dan napsu mereka kalau mereka memiliki Allah dalam kehidupa mereka. Jadi dari Kejadian pasal 3 kita sudah melihat dasar dari pada dosa itu adalah sesuatu yang merupakan keegoisan, satu hal yang ingin mementingkan diri sendiri, mengutamakan diri daripada orang yang lain atau manusia yang lain. Kalau kita hidup sendirian dalam dunia ini saya yakin kita tidak ada masalah dalam hal ini. Saya seorang diri, tidak ada yang lain, saya mementingkan diri, nda apa kan? Bagaimana kalau di dalam dunia ini banyak orang? Sayangnya bukan kita seorang diri tetapi dalam dunia ini ada jutaan orang yang memiliki prinsip yang sama dengan kita: semuanya mau mementingkan diri, semuanya mau memutlakkan diri mereka masing-masing, semuanya mau menganggap diri lebih utama dari yang lain dan tidak mau mengalah dengan yang lain, kira-kira apa yang terjadi? Pasti perselisihan, perseteruan satu dengan yang lain, dan mereka tidak mau mengalah satu dengan yang lain.

Jadi ini adalah satu sikap hati dari pada seorang manusia yang berdosa. Mereka ingin mengejar hak yang sama lalu akibatnya adalah timbul iri hati ketika mereka melihat seorang lebih baik daripada diri dia dalam kehidupan mereka, timbul satu perselisihan atau satu kompetisi, satu kecemburuan, lalu timbul pertengkaran dan peperangan dan segala permasalahan yang lain, itu semua karena mereka melihat: “saya tidak seperti yang lain, saya menginginkan sesuatu yang lebih baik daripada kehidupan saya yang sekarang ini.” Tapi sayangnya Saudara, ketika manusia melihat hal ini mereka tetap memiliki satu pendirian dan pemikiran: “saya bisa menyelesaikan masalah ini, tidak perlu melibatkan Allah sama sekali, saya bisa menyelesaikan masalah ini karena masalah ini adalah masalah yang bersifat horisontal yang terjadi diantara manusia saja, tidak perlu ada sangkut paut dengan Allah, tidak perlu ada sangkut paut dengan agama, tidak perlu ada sangkut pautnya dengan Kristus dalam menebus mereka. Kami bisa menyelesaikan masalah kami sendiri dalam kehidupan kami.”

Tapi Saudara, ketika manusia berusaha mencari penjelasan untuk masalah mereka di luar Kristus, di luar kebenaran Alkitab, ketika manusia berusaha mencari jawaban apa yang terjadi? Di dalam dunia psikologi, ketika mereka berusaha meneliti kehidupan manusia maka mereka memiliki beberapa prinsip dan ketika mereka melihat sebenarnya mereka hanya melihat manusia itu pada dasarnya negatif atau dosa semua atau jahat yang penuh dengan napsu ataukah manusia itu adalah baik sepenuhnya. Dan diantara 2 kondisi ini ada satu kondisi manusia adalah ada mengandung negatif tetapi ada mengandung sisi positif dimana tertekan oleh sisi negatif dalam kehidupan mereka, sehingga perlu dimunculkan sisi positif ini. Ini yang dimengerti manusia, lalu solusinya terhadap masalah bagaimana? Ketika dia punya keinginan tertekan yang mengakibatkan stress, ketika kebaikan dia dikekang oleh kehidupan yang ada di lingkungan dia solusinya bagaimana? Nah mereka cuma berkata seperti ini: pertama, kalau kamu punya keinginan napsu itu tidak bisa dilampiaskan, kalau kamu merasa tertekan kepentingan dirimu tidak bisa dinyatakan lalu apa yang menjadi jalan keluar? Mereka bilang, “coba teliti masalahnya dimana, coba lihat ke dalam dirimu apa yang membuat kamu gelisah, kira-kira ada hambatan apa atau kekangan apa yang membuat kamu tidak bisa melampiaskan egomu tersebut atau kepentingan dirimu tersebut? Kalau kamu sudah temukan, coba cari jalan tengahnya bagaimana? Cari jalan tengah dimana kamu bisa lampiaskan napsumu tetapi tidak perlu membuang norma masyarakat, atau kalau kamu lihat norma masyarakat ini sebagai sesuatu yang sebenarnya menghalangi atau tidak baik, kamu silahkan buang norma tersebut dan lampiaskan napsumu saja, pada waktu itu terjadi kamu akan menjadi orang yang bebas dari rasa bersalah dan keadaan menjadi lebih baik dalam kehidupanmu.”

Satu sisi seperti itu, disisi lain ada yang berkata, “manusia pada dasarnya baik,” kalau baik lalu bagaimana? “Pendidikan itu hanya mengekang, pendidikan itu hanya membuat apa yang ada di dalam dirinya tidak bisa teraktualisasi,” lalu bagaimana? “Seharusnya pendidikan tidak boleh melarang seorang anak melakukan sesuatu tetapi pendidikan harus mengarahkan anak untuk melakukan dan mengaktualisasi diri dia sendiri.” Saudara, kalau ini yang terjadi, kira-kira apa yang terjadi dengan anak? Kalau kita hanya melihat anak lalu kita mendorong dia untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan, kita tidak boleh melarang dia, kita tidak boleh mengatakan ‘jangan’ kepada anak, kita membiarkan dan bahkan cuma melihat dan membantu dia melakukan apa yang dia inginkan, kira-kira anak itu akan menjadi seorang anak yang tumbuh dalam keadaan baik atau tidak? Saya yakin semua orangtua yang memiliki anak akan berkata anak ini pasti kacau, rusak di masa depannya, dia tidak akan menjadi seorang yang baik dalam kehidupan dia karena kita mengerti sekali anak kecil begitu dia bisa berjalan, bisa bicara dia pasti melakukan suatu kehidupan yang berdosa dan bukan sesuatu yang benar dan baik. Jadi kalau kita justru biarkan dia mencari identitas dirinya sendiri, aktualisasi dirinya sendiri, bukan hal yang baik, bukan sesuatu yang membahagiakan keluarga, tapi sesuatu yang akan menyedihkan dan merusak keluarga itu, dan pendidikan anak itu sendiri. Jadi ini yang bisa ditemukan manusia. Mereka berusaha mencari solusi dari dalam diri sendiri. Dan ketika mereka mencari solusi dalam diri sendiri, mereka pikir ini merupakan jawaban yang terbaik untuk permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Mereka menolak Tuhan, tetapi akibatnya adalah, ketika itu diteruskan, bukan satu kedamaian yang muncul, bukan sesuatu yang baik yang muncul, tetapi justru sesuatu yang membawa kepada kerusakan atau kehancuran.

Di dalam Perang Dunia II, itu ada satu peristiwa yang menarik. Pada waktu Hitler menyerang negara-negara yang lain, ada beberapa negarawan itu yang memiliki satu pemikiran seperti ini,mereka berkata, “sebenarnya masalah penyelesaian untuk peperangan ini gampang sekali,”bagaimana caranya? “Caranya adalah dengan datang kepada Hitler, lalu berdiskusi dengan Hitler. Berbicara baik-baik dengan dia, lalu mengatakan bagaimana kita mencari jalan keluar terhadap masalah ini? Kamu nda perlu perang. Ayo kita selesaikan di atas meja sini saja, kita bicara sama-sama.” Lalu mereka datang, dapat kesempatan itu, mereka datang kepada Hitler, lalu mereka berbicara dengan Hitler. Setelah mereka berbicara, mereka berkata, “Kami menemukan jalan keluar, titik temu daripada permasalahan kita.” Lalu mereka kemudian berjabat tangan satu sama lain, lalu menandatangan suatu perjanjian perdamaian di antara mereka. Saudara, apa yang terjadi kemudian? Sungguhkah ada perdamaian? Sejarah mencatat, tidak lama setelah peristiwa itu, Hitler kemudian membuat masalah lagi.

Sungguhkah perdamaian bisa didapatkan dengan cara manusia? Sunggguhkah perdamaian bisa didapatkan di antara orang yang Kristen dengan orang yang non-Kristen? Sungguhkah perdamaian itu bisa terjadi di luar Kristus, dalam kehidupan manusia di tengah-tengah dunia ini? Ada satu peristiwa yang menarik sekali ketika malaikat Tuhan datang menyatakan daripada hari kelahiran Yesus Kristus kepada gembala-gembala yang ada di padang. Pada waktu itu malaikat Tuhan ketika menyatakan diri dalam bentuk bala tentara sorga yang menaikkan pujian, di situ mereka berkata satu pujian, yaitu, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi,” dan? “Damai sejahtera, di antara.. manusia yang..” Kita coba buka aja ya, Lukas. Lukas 2:14, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” Di situ malaikat apakah bilang, ‘kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera bagi semua manusia yang ada di dalam dunia’? Nda kan. Tapi malaikat bilang apa? Damai sejahtera di antara manusia yang berkenan kepada-Nya. Ini artinya apa? Apakah damai sejahtera bisa timbul di antara orang Kristen dan non-Kristen? Apakah damai sejahtera bisa timbul di luar Kristus? Alkitab ngomong tidak bisa. Damai sejahtera hanya bisa didapat di dalam Kristus. Damai sejahtera hanya bisa didapat di antara orang Kristen, orang-orang yang sama-sama percaya dan hidup di dalam Yesus Kristus.

Pada waktu orang-orang pasifis ini melihat pada kehidupan daripada Hitler, permasalahan yang ada dalam dunia ini, mereka berpikir, mereka bisa menerapkan firman Tuhan kepada orang yang tidak percaya. Tapi akibatnya bagaimana? Kenyatannya orang tidak percaya tidak mungkin akan menerapkan firman Tuhan dan memiliki satu kehidupan yang ingin menyenangkan Tuhan dalam hidup mereka. Mereka pasti akan melakukan satu perbuatan yang dosa, perselisihan, mementingkan diri mereka sendiri, bukan seperti halnya orang Kristen yang diajarkan untuk menyangkal diri dan mematikan dosa dalam kehidupan mereka. Kalau ini diberitakan bagi mereka itu sesuatu yang nggak nyambung, sesuatu yang tidak mungkin mereka bisa lihat sebagai satu kebenaran, suatu yang bernilai, sesuatu yang harus diperjuangkan dalam kehidupan mereka. Itu sebabnya Saudara, di dalam Efesus pasal 1 Paulus berkata, sebelum dia memberitakan pengajaran kepada orang-orang, jemaat Efesus, dan orang Kristen, dia menaikkan doa terlebih dahulu di hadapan Tuhan, untuk Tuhan memberikan mata hati yang terang dalam kehidupan mereka, dan juga membuat mereka bisa mengerti akan betapa hebatnya kuasa Tuhan yang bekerja bagi mereka dalam kehidupan mereka. Kalau mereka memiliki mata yang melihat itu, hal yang rohani dalam kehidupan mereka, mereka bisa menilai itu sebagai suatu yang berharga, maka mereka akan memiliki satu kehidupan seperti yang Tuhan kehendaki dalam hidup mereka. Jika tidak, itu tidak mungkin.

Banyak orang mengira manusia itu hanya manusia yang bersifat apa yang intelektual. Manusia yang hanya bersifat jasmani. Mereka lupa, kalau manusia juga adalah manusia yang bersifat rohani. Dan akibat daripada adanya unsur rohani ini, yang ada di dalam kehidupan mereka, yang Tuhan berikan dalam kehidupan manusia, mereka lupa satu hal, manusia juga adalah manusia yang sudah rusak secara rohani dan mereka adalah orang yang sudah berdosa. Mereka bukan orang yang baik. Mereka bukan orang yang sehat, tapi manusia adalah manusia yang sedang dalam kondisi yang sakit. Kalau dia sendiri sakit, bagaimana dia bisa menyembuhkan orang lain. Itu adalah hal yang mustahil. Seperti seorang dokter nda mungkin bisa menyembuhkan dirinya sendiri, dia butuh dokter lain untuk menolong dia menyembuhkan diri dia. Kalau dia sendiri dalam kondisi yang tidak baik, dia tidak mungkin bisa membawa satu perdamaian dengan manusia yang lain. Kalau dia sendiri dalam kondisi yang berseteru antara diri dia dengan Tuhan Allah, dia tidak mungkin bisa menjadi seorang yang tidak membawa perseteruan di dalam dunia ini.

Di dalam alkitab ada satu kalimat yang penting sekali mengenai satu jawaban Yesus kepada pertanyaan orang Farisi dalam kehidupan, pada pelayanan Yesus di tengah-tangah dunia ini. Pada waktu Yesus melayani, orang Farisi datang lalu bertanya kepada Yesus, “Guru, apa yang harus, apa yang merupakan hukum yang terutama dalam kehidupan kita?” Lalu Yesus menjawab, “Hukum yang terutama itu adalah kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, dan segenap akal budimu. Dan hukum yang kedua yang tidak kalah pentingnya adalah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Jadi, ini adalah dua prinsip yang merupakan satu prinsip kesatuan yang tidak boleh dipisah satu dengan yang lain. Pertama, milikilah relasi yang benar dengan Tuhan, maka kamu baru akan memiliki relasi yang benar dengan sesamamu. Kita sering kali, atau manusia sering kali, hanya ingin memiliki relasi yang benar dengan sesamanya, tetapi membuang relasi yang benar dengan Tuhan Allah. Akibatnya, bukan perdamaian yang terjadi, bukan satu persatuan yang terjadi, tetapi justru pemisahan yang terjadi.

Saya mau tanya saja ya, Saudara pasti punya banyak temen dan bahkan Saudara sendiri punya temen yang di luar Kristus dan ada yang di dalam Kristus. Di antara orang Kristen sendiri, atau, ya di antara orang Kristen dan orang non-Kristen ya, pernah tidak terjadi perselisihan? Sering? Setelah ribut, bisa damai tidak? Bisa damai? Karena apa damai? Karena inget Tuhan? Atau karena, tanpa perlu libatkan Tuhan, bisa damai? Saya yakin kalau kita lupa Tuhan ya, nggak akan ada perdamaian dalam dunia ini. Yang terjadi adalah satu perselisihan yang makin lama makin jauh satu dengan yang lain. Mau lihat saja nggak mau kok mukanya, apalagi mau bicara satu dengan yang lain. Itu suatu yang mustahil kalau saya bilang, kalau kita tidak pernah melibatkan Tuhan dalam kehidupan kita untuk kedamaian tersebut. Nah ini yang dicatat oleh Tuhan di dalam Injil Matius ataupun injil yang lain. Kalau kamu ingin memiliki relasi yang baik di antara sesama manusia, maka milikilah terlebih dahulu relasi yang baik dengan Tuhan Allah. Saya ambil contoh yang lain ya, misalnya, di dalam relasi kedua, kasihi sesama manusia seperti dirimu sendiri. Satu hukum yang begitu agung sekali ya, begitu baik sekali. Tapi kalau seandainya kita buang yang pertama, kita hanya pegang yang kedua saja, bisa tidak kita berelasi dengan manusia dengan baik? Bisa nggak? Nggak bisa. “Kan kuncinya hanya kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri, kalau saya mengasihi orang lain seperti saya mengasihi diri saya sendiri, baikkah?” Baik nggak? Baik? Pasti baik? Saya yakin nggak akan baik. Karena apa? Orang yang dikasihi ngomong, “itu kan caramu mengasihi dirimu. Caraku nggak seperti itu. Jangan paksakan caramu kepada caraku. Saya punya cara saya sendiri, saya punya pengertian saya sendiri, saya tahu bagaimana saya mengasihi diri saya sendiri. Kalau kamu mengasihi saya dengan caramu, itu bukan berarti kamu mengasihi saya.” Yang terjadi justru perselisihan. Kita nda mungkin bisa mengasihi seseorang dengan baik seperti kita mengasihi diri kita sendiri kalau kita membuang Allah-nya. Karena apa? Karena kita tidak tahu bagaimana kita mengasihi diri kita sendiri dengan baik. Kalau kita nda bisa mengasihi diri kita sendiri dengan baik, bagaimana kita bisa mengasihi orang lain dengan baik? Tapi kalau kita melibatkan Tuhan di dalam relasi kasih kita, karena Dia adalah Pencipta kita, yang membuat kita, yang sangat mengerti kita dan mengenal kita, dan tahu yang benar itu seperti apa, dan kita tunduk kepada apa yang menjadi prinsip kebenaran Firman Tuhan, kita akan bisa mengasihi diri kita dengan benar, bukan cuma dengan baik tetapi dengan benar. Kalau kita bisa mengasihi diri kita dengan benar, saya yakin kita pun bisa mengasihi orang lain dengan benar. Dan itu baru tercipta satu kedamaian dalam kehidupan manusia.

Jadi Saudara, jangan sekali-sekali kita melepaskan atau memisahkan relasi dengan Allah dengan relasi dengan sesama manusia. Ini adalah satu kesatuan yang tidak mungkin bisa dipisahkan, Tuhan sudah membuat satu hukum, dimana kita hanya bisa mengasihi dengan benar, membuat satu perdamaian dalam dunia kalau kita menerima kebenaran dari Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus. Di dalam pembinaan keluarga, ketika kita bahas dua minggu lalu ada satu penulis yang mengkaitkan dua hal ini, dan saya lihat baik sekali. Dia bilang seperti ini “ketika kita menjadi orang Kristen, maka kita bukan dalam kondisi memutuskan ingin menjadi orang Kristen, kita di dalam kondisi di mana Allah yang menjadikan kita Kristen lalu mempersatukan kita dalam satu tubuh Kristus. Baru kita menjadi orang Kristen, dan orang-orang yang ada di sekitar kita itu adalah orang-orang yang bukan kita tentukan dan kita pilih untuk ada di sekitar kita, tetapi mereka adalah orang-orang yang ditempatkan Tuhan yang disekitar kita dan kita harus belajar mengasihi mereka, karena Tuhan menempatkan kita ada mereka di sekitar kita tersebut.” Tapi pada waktu kita berkeluarga, apa yang terjadi? Siapa yang memutuskan untuk menjadikan dia suamiku atau istriku? Apakah Tuhan yang memutuskan dia adalah suamiku dan istriku? Atau saya yang memutuskan untuk dia menjadi suamiku dan istriku? Saya. Satu sisi memang ada Tuhan-nya sih, kita doa sih ya. Tapi Tuhan kasih satu kebebasan bagi kita untuk memilih pasangan kita itu siapa? Berdasarkan apa? Cinta kasih yang ada dalam diri kan? Yang muncul yang mengingini orang tersebut menjadi milik kita, jadi kita mendekati dia, berelasi dengan dia, akhirnya bersatu dengan dia dalam satu pernikahan. Nah Saudara, di dalam kondisi seperti ini, layakah bagi seorang suami berkata, aku tidak mencintai engkau lagi? Atau seorang istri berkata, aku ndak mau bersama engkau lagi? Layakkah? Kalau kita mengadap Tuhan, Tuhan hanya tanya satu hal, siapa yang memilih calon itu? Kamu milih karena apa? Cinta, lalu sekarang kamu bilang kamu tidak mencintai lagi?Nda mungkin kan? Nah ini menjadi satu hal yang dia kaitkan dengan dua hukum yang utama ini. Kalau kita hidup dalam satu keluarga, maka Tuhan menjadikan keluarga itu sebagai satu sarana, wadah untuk kita melatih diri mengasihi satu dengan yang lain, karena apa? Kasih kita kepada Tuhan Allah. Ketika seorang mengatakan aku tidak bisa mengasihi engkau lagi, itu hanya menunjukan bahwa, dia gagal untuk menjadi seorang yang hidup di dalam Kristus. Karena Hukum 2 ini tidak mungkin bisa dipisahkan satu dengan yang lain.

Jadi saya sangat percaya sekali Saudara, kalau kita memiliki relasi yang baik dengan Tuhan, maka relasi kita dengan sesama pasti menjadi baik. Tapi kalau Saudara hanya menekankan pada relasi dengan sesama yang baik, melupakan Tuhan, saya yakin relasi nggak akan baik. Dan kalau Saudara memiliki perselisihan dalam kehidupan Saudara, mungkin perlu tanya satu hal terlebih dahulu, sebelum menyalahkan orang lain:bagaimana relasi Saudara dengan Tuhan, baikah relasi itu? Apakah Saudara mengenal Tuhan dengan baik? Apakah Saudara sudah mendapatkan pengampunan daripada Tuhan dalam kehidupan Saudara? Apakah Saudara sudah diperdamaikan dengan Tuhan, sungguh-sungguh sudah diperdamaikan dengan Tuhan atau apakah belum? Banyak hal dan pasti adalah satu yang benar,kalau kita tidak bisa berelasi dengan sesama kita secara baik, maka ada kemungkinan besar ada masalah di dalam relasi kita dengan Tuhan Allah, masih ada sesuatu yang tidak beres dalam relasi tersebut. Jadi Saudara, silahkan renungkan ini, ingat baik-baik, Petrus berkatasesungguhnya Allah itu tidak membedakan orang, Allah melihat semua manusia itu sama, terutama adalah anak-anak Dia. Ketika Allah melihat anak-anakNya, orang yang telah dipilih Bapa di dalam kekekalan, maka Kristus datang untuk memberikan nyawaNya bagi kita. Dan pemberian nyawa ini adalah suatu pemberian nyawa yang sama, antara seorang dengan yang lain, sama-sama total. Kristus memberikan hidupNya bagi kita, itu menyatakan bahwa kasih Allah, kasih Kristus bagi setiap anak-Nya itu adalah kasih yang sama, nggak ada yang lebih besar dan tidak ada yang lebih kecil, dan ini bukan hanya dibicarakan untuk ras-ras tertentu atau golongan tertentu, ataukah pendidikan terntentu, ataukah seks tertentu saja, tetapi untuk semua anak-anak Tuhan Dia menyatakan kasih itu secara sama, dan Ia telah mendamaikan perseteruan yang ada dengan Bapa-Nya dan kita orang-orang yang berdosa.

Nah Saudara, kalau kita adalah anak-anak Tuhan, kalau kita hidup dalam kasih Tuhan, kalau kita sungguh-sungguh sudah diperdamaikan di dalam Kristus, saya yakin perseteruan bukan menjadi sesuatu yang begitu harus kita perjuangkan dalam hidup kita. Tapi kita harus memiliki satu kehidupan yang mengutamakan damai sejahtera, yang Tuhan sudah karuniakan bagi diri kita, dalam kehidupan kita di dalam Yesus Kristus. Paulus ada bicara satu hal yang begitu baik sekali. Dia tahu, bahwa di antara gereja Tuhan sendiri, yang mengatakan kita adalah anak-anak Allah, masih ada kemungkinan terjadi perseteruan karena kita masih hidup dalam kedagingan kita. Lalu apa yang harus kita lakukan? Ketika kita hidup dalam perseteruan, atau terpancing untuk hidup dalam perseteruan. Kita buka Galatia 2:20 ya. Saya baca ayat ke-19, lalu ke-20 bersama-sama. “Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku [itu Paulus] hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus, namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”

Saudara, kalau kita masuk atau terpancing untuk hidup dalam perseteruan, apa yang kita lakukan? Paulus bilang apa? Ayo gimana? Nyamankan diri dengan kebencian? Lalu bagaimana? Kita sukanya nyamankan diri dengan kebencian kan? Simpen dalam hati, lalu makin lama makin menghasut hati untuk membenci orang itu, lalu bilang ‘saya yang bener dia yang salah, dia ngga boleh seperti itu, saya bener-bener nda seneng dengan dia,’ gitu? Nggak boleh? Tapi enak ya?Enak sekali lho, tapi itu daging. Paulus bilang, kalau kita timbul perseteruan dalam diri kita, maka ingat, dagingmu sudah disalibkan dan mati bersama-sama dengan Kristus. Kalau dagingmu sudah disalibkan dan mati bersama-sama dengan Kristus dan sekarang kamu sudah dibangkitkan bersama-sama dengan Kristus, berarti kita sudah menjadi manusia yang baru, mungkinkah dosa masih bisa hidup dalam diri kita? Nda mungkin, karena sudah disalibkan mati bersama-sama dengan Kristus.Itu artinya apa? Pada waktu kita terpancing untuk berseteru, cepat-cepat matikan benih perseteruan itu dalam hidup kita, dan kita pasti bisa mematikan itu karena Kristus sudah mati bagi diri kita. Jangan pikir Kristus mati 2000 tahun yang lalu saja, memang Dia mati 2000 tahun secara fisik, tetapi secara rohani, sampai hari ini kematian dan kebangkitan Kristus masih tetap berlaku dalam kehidupan kita. Pada waktu kita dipersatukan dengan Kristus, maka persatuan itu bukan hanya terjadi sesuatu yang ada dipikiran Tuhan, pada waktu kita lahir kedalam dunia maka kita sungguh-sungguh, Alkitab katakan, telah mati dan bangkit di dalam Kristus, karena kita satu dengan Kristus. Nah ini membuat kita pasti bisa hidup dalam mematikan dosa, mematikan keinginan perseteruan dalam hidup kita. Jangan dipelihara, kalau dipelihara, ujungnya adalah maut.

Saudara, jangan sekali-sekali berpikir kita boleh menjaga, memelihara dosa dan kita bisa tetep menjadi anak Tuhan. Itu dua hal yang tidak mungkin terjadi, anak Tuhan pasti hidup dalam kekudusan, orang berdosa pasti hidup dalam dosa. Kalau kita sungguh-sungguh anak Tuhan, belajar mematikan dosa, keinginan itu dan hidup dalam perdamaian karena Kristus sudah mendamaikan kita. Ia sudah merobohkan dinding pemisah yang tidak mungkin dirobohkan oleh manusia. Manusia hanya bisa mengakibatkan perpisahan yang semakin lama semakin melebar, semakin besar, tapi hanya di dalam Kritus, kita bisa memiliki kedamaian itu. Jadi Saudara, ingat baik-baik perdamaian, damai sejahtera yang sejati, hanya bisa diperoleh di dalam Kristus. Damai sejahtera yang sejati tidak mungkin bisa diperoleh antara orang percaya dengan orang non-percaya, harus sama-sama orang Kristen, harus sama-sama orang yang ada di dalam Kristus, baru di situ damai sejahtera yang sejati bisa terjadi di dalam dunia ini. Kiranya Tuhan boleh menolong kita dan meberkati kita semua.

[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]

Comments