Pelayanan dalam Pertobatan, 13 Oktober 2019

Flp. 3:7-9

Vik. Leonardo Chandra, M.Th.

Di dalam kita melayani Tuhan, maka ada dua macam pelayanan yang bisa kita kerjakan. Ya, ada dua macam pelayanan yang bisa kita kerjakan dalam kehidupan  ini. Yang pertama saya sebut sebagai pelayanan yang against the background, itu pelayanan yang bertentangan dengan latar belakang kita. Ketika saya menemukan ini saya teringat bahwa apa yang disampaikan oleh  Professor Richard Pratt yaitu di dalam satu kesempatan dia pergi naik pesawat ke suatu tempat, lalu dia bertemu dengan orang yang dari pakaiannya saja kelihatan, “Oh ini pasti para Rabi-rabi Yahudi.” Ini cerita berarti terjadi di zaman sekarang ya. Dan para rabi-rabi itu tidak mau berdekatan dengan dia, dan ini karena memang Richard Pratt mengatakan ya dia sangat paham, dia memang ahli khususnya di dalam Perjanjian Lama. Dia sangat paham karena apa? Karena di sudut pandang orang Yahudi itu, khususnya para rabi yang sangat ketat menjalankan menurut prinsip di dalam Perjanjian Lama ya plus tradisi mereka, yaitu orang-orang non-Yahudi itu adalah anjing, orang-orang non-Yahudi itu najis sekali. Dan saya  pikir menarik ya, dia cerita seperti itu, karena para rabi-rabi itu ndak mau berdeketan, ndak boleh ya, pokoknya menjauh, karena kalau sentuhan nanti akan menajiskan dia. Kalau kita memperhatikan di dalam pembahasan di Perjanjian Lama, kalau kita memperhatikan dengan teliti dan coba memikirkan bagaimana mereka menghidupinya, mengaplikasikannya secara literal, maka mereka benar-benar akan melihat yang di luar Yahudi itu najis, karena begitu bersentuhan dengan yang najis mereka akan najis juga. Dan mereka perlu lakukan upacara pentahiran dan semua mungkin kalau  zaman konteks kita di Indonesia mungkin pernah dengar istilah ada halal dan haram. Tapi kalau istilah di dalam Yahudi itu, kosher itu, makanan itu, lebih tajam lagi, lebih dari sekedar kepada bagaimana jenis dagingnya itu, bagaimana cara penyajiannya, bagaimana sampai itu lho pancinya itu seperti apa itu juga harus bersih, itu lho harus dia ditahirkan harus bersih, kalau tercemar dia menjadi najis dan tidak bisa dikonsumsi dan seterusnya. Jadi cara pemikiran orang Yahudi itu sedemikian dan menjadi bagi saya sangat surprise, bagi saya itu sesuatu yang mengherankan juga, walau kenyataan Richard Pratt ini bercerita kejadian yang terjadi di zaman modern, abad 21, bagi saya, “aduh come on,” gitu ya. Ini sudah kita sejarahnya sudah melewati peristiwa holocaust kalau kita dan ya tidak lepas ya memang ada kejahatan dari Hitler, tapi juga ada eksklusivitas dari orang Yahudi, ini sudah lewati zaman yang seperti itu tapi kok tetap ada orang Yahudi yang pikirannya kayak begini, yang memang mau pisah dan tidak mau membaur, dan itu ya tetap begitu ketatnya itu tidak mau membaur dengan orang non-Yahudi. Nah di dalam konteks pemikiran seperti itu saya bisa membayangkan dan akhirnya memikirkan lebih mendalam lagi. Kita bisa membayangkan lebih mendalam lagi ketika dialami oleh orang Yahudi zaman abad pertengahan itu seperti apa. Kita bisa bayangkan sendiri Paulus seperti apa itu akan lebih-lebih lagi. Kembali lagi ya ini sudah zaman  modern. Orang Yahudi, rabi Yahudi ketemu orang non-Yahudi itu menjauh, “najis, najis,” seperti itu ya. Mereka itu mengambil jarak dengan kita. Tapi kalau kita bisa bayangkan sampai sekarang saja begini, dulu lebih kolot lagi, 2000 tahun jauh lebih ketat lagi. Apalagi kalau kita pikirkan Paulus, Rasul Paulus dan rasul-rasul lainnya itu dididik, dibesarkan dengan konteks seperti itu, latar belakang demikian. Jadi dari kecil mereka itu dididik, “Kamu Yahudi jangan  dekat-dekat sama non-Yahudi.” “Kenapa? “Mereka anjing, mereka najis, jangan dengan mereka.” Dan itu pendidikan yang berakar sekali, mendalam dari mereka kecil, dari mereka usia dini sampai ketika mereka umur 13 menjadi Bar Mitzvah, ditahbiskan menjadi anak Taurat, mereka itu berarti mereka lulus secara pendidikan Yahudinya, dan mereka dibesarkan dengan latar belakang seperti demikian.

Tapi bayangkan Bapak-Ibu sekalian, ketika kita memikirkan konteks seperti ini, Paulus itu yang adalah Farisi background-nya, itu ketat seperti ini. Saya percaya dia dibesarkan dengan sangat ketat baik dari keluarganya maupun dari gurunya Rabi Gamaliel, tapi kemudian setelah dia bertobat, kalau tadi sempat dikatakan oleh liturgis dari Saulus berubah menjadi Paulus, perubahan itu sangat radikal. Ini saya bukan bermaksud radikalisme ekstrim bom bunuh diri, bukan, tapi perubahannya itu sangat radiks. Radiks itu bicara akar, mengakar sampai ke akar dalamnya sedemikian sampai dia itu malah dipanggil untuk menjadi rasul bagi orang non-Yahudi. Wah itu menarik sekali. Kita bisa bayangkan ya, background-nya dia dibesarkan puluhan tahun, “Saya ini Yahudi, tidak boleh sentuh dengan orang non-Yahudi, itu akan menajiskan saya,” tapi setelah dia  bertobat, percaya Kristus, tidak tanggung-tanggung langsung di diberikan, dipercayakan menjadi rasul. “OK saya menjadi rasul, saya percaya Mesias, rasul apa?” Rasul bagi non-Yahudi. Wah itu sangat against background, sangat bertentangan dengan latar belakang dia yang dari dulu itu pikir tidak bisa sentuhan  dengan orang luar Yahudi. Nah bagi saya ini adalah pelayanan yang dikerjakan Paulus. Yang saya sebut sebagai pelayanan yang bersifat misioner, missionary ministry, pelayanan yang bersifat memang beda dari latar belakang dia, yang memang sesuatu yang  beda dengan yang dia bekali selama ini, tapi malah Tuhan pimpin dia untuk mengerjakan sesuatu yang berbeda dari apa yang dia pahami. Dan ini memang ketika mengerjakan pelayanan ini, maka pelayan ini akan penuh dengan pemikiran bagaimana kita sungguh mengerti apa yang dikerjakan Kristus sendiri, yaitu apa yang Kristus perintahkan dari yang sudah Dia perintahkan yaitu untuk kita kalau mau jadi pengikut Kristus maka kita harus sangkal diri, pikul salib untuk ikut Tuhan. Sangkal dirinya sampai seperti apa? Sampai sedalam apa? Sampai benar-benar bertentangan dengan budayanya, tradisinya. Kembali lagi ya, ini Farisi lho, ini ketat sekali. Puluhan tahun dididik mendarah daging, bertahun-tahun sudah seperti itu, “Mereka ini najis, jangan sentuhan dengan makanan ini, jangan sentuhan dengan itu.” Tapi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ternyata dia dipanggil khusus malah berfokus melayani pada non-Yahudi. Ya ini adalah pelayanan yang bersifat misioner. Dalam kehidupan kita, berapa banyak kita memikirkan pelayanan juga dengan aspek ini? “Oh ini beda dengan kebiasaan saya, ini berbeda dengan cara pikir saya, berbeda dengan tradisi saya, tapi Tuhan ternyata panggil saya untuk melayani orang demikian.” Dan ketika kita kerjakan itu, lihatlah bahwa itu pelayanan bersifat misioner. Memang berbeda dengan kesukaan kita, berbeda dengan kebiasaan kita, tapi di bagian itulah kita belajar apa itu sangkal diri, pikul salib dan mengikut Tuhan. Sulit? Sulit bukan main. Tapi itu ya, di dalam kesulitannya, itulah yang dia kerjakan. Nah ini kita mengerti ini bersifat pelayanan, dan kalau dari kita mau belajar pelayanan seperti itu, maka kita ngerti, ngerti apa artinya benar-benar sangkal diri. Karena dari akarnya sendiri, kita lihat, itu yang dilakukan juga Kristus sendiri. Dia adalah Anak Allah yang Tunggal, Dia adalah Sang Kudus adanya, datang ke dunia yang berdosa ini, itu adalah pelayanan memang misioner – melepaskan yang ada, melepaskan kemuliaanNya dengan mengosongkan diriNya, mengambil rupa seorang hamba, Dia itu Tuan, mengambil rupa seorang hamba, bahkan untuk akhirnya taat, taat sampai mati di kayu salib. Di situ kita lihat, itu penyangkalan diri Kristus yang dilakukan dan bagaimana Dia memikul salibNya sedemikian adalah untuk menggenapi kehendak rencana Allah. Di bagian sini kita lihat terus suatu pelayanan yang bersifat misioner. Kembali lagi, itu sendiri sudah Kristus lakukan. Dan saya percaya itu yang menjadi dorongan selalu memotivasi Paulus. Ketika dia bersentuhan dengan ini, “Oh ini najis, oh dari dulu saya pikir najis!” Tapi dia kembali ingat di hadapan Tuhan, “Kristus mau datang temui saya, menebus saya, saya ini jauh lebih najis lagi daripada Tuhan. Allah itu adalah Allah yang kudus adanya kok mau datang menemui orang berdosa, bahkan berdiam bersama orang berdosa, yang najis ini.” Tapi itulah pelayanan bersifat misioner.

Sehingga di sini kita lihat makanya di dalam etika orang Kristen itu bukan etika pasif tapi etika aktif. Seminar Pak Tong ketika di dalam penjelasannya memikirkan apa yang disampaikan oleh Kristus ya, yang biasanya kita ngerti [sebagai] golden rule – apa yang engkau ingin orang lain lakukan, lakukanlah itu juga pada mereka. Ini berbeda dengan pandangan dari Konghucu: “Apa yang kamu tidak mau orang lain lakukan, kamu jangan lakukan!” Sepertinya mirip ya? “Apa yang kamu tidak mau orang lakukan, kamu jangan lakukan!” Kalau di bagian sini, kalau pak Tong menjelaskan, yang Kongfucu ini memang mengatakan mirip, tapi ini cenderung menjadikan pasif. “Kamu nggak mau orang lain melukai kamu? Kamu jangan lukai orang!” Tapi Kristus itu lebih mengajarkan lebih aktif, lebih inisiatif, yaitu: “Apa yang kamu mau orang lain lakukan padamu, lakukanlah itu pada mereka!” Kalau mau dihormati, hormatilah orang! Kalau mau dikasihi, kasihilah orang lebih dahulu! berarti kita aktif melakukan itu dulu, sebelum orang melakukan. Dan itu memang menjadi suatu etika prinsip kita. Kita justru mau menerobos batasan, gap-gap yang ada di dalam budaya, di dalam tradisi, di dalam kebiasaan. Kenapa? Demi Injil itu beritakan, demi Kristus itu bisa dipermuliakan, dan bagaimana kita menjalankan Amanat Agung itu sendiri. Karena: “Jadikanlah segala bangsa muridKu,” bukan “Jadikan bangsamu, muridKu,” tapi “Jadikanlah segala bangsa!” – itu berarti lintas budaya, itu adalah misi yang global kepada siapa saja. Dan siapapun yang kita temui, kita terus ingat, bahwa inipun, orang seperti ini pun, background seperti ini pun, yang berbeda dari saya, ini pun kita perintahkan kita untuk menginjili mereka, untuk menjadikan mereka murid Kristus. Tentu ini terlepas dari siapa yang Tuhan pilih, siapa yang tidak, kita tidak tahu; siapa orang pilihan, siapa yang bukan. Tapi tugas kita, bagian kita adalah memberitakan Injil itu. bagian kita di sana. Dan ingat, suatu bentuk pelayanan yang against the background – bertentangan dengan background kita.

Tapi kemudian menarik, di dalam banyak bagian ketika saya mempelajari surat-surat Paulus, saya menemukan ada bentuk pelayanan yang berbeda dari yang pertama, yaitu pelayanan yang accord, atau correspondence dengan background kita itu sendiri, yaitu pelayanan yang sesuai, selaras dengan latar belakang kita. Ini saya sebut sebagai pelayanan yang homogenous ministry, yaitu pelayanan yang mengarah kepada native, kepada orang asli atau pribumi, gitu ya terjemahan Indonesianya ya, dalam artian orang asli setempat itu, yaitu pelayanan yang memang sesuai latar belakang kita. Hal ini, dan ketika kita kerjakan ini, kita melihat bahwa di dalam kehidupan kita, dalam kita kerjakan pelayanan ada: pertama, kita bersandar kedaulatan Allah, dan Tuhan bisa pakai siapa saja dalam pelayanan kita. Tentu betul kita bisa katakan bahwa Tuhan bisa pakai orang pintar, iya, dan sebagaimana Tuhan juga bisa pakai orang bodoh. Tapi biarlah kita ingat, bukan berarti tidak apa-apa menjadi orang bodoh, dan apalagi tetap bodoh! Bukan! Hal itu hanya menyatakan kuasa kedaulatan Allah yang beranugerah dan mau memakai orang bodoh itu untuk mengerjakan rencanaNya dan bukan untuk membenarkan kebodohan itu. Sama dalam bentuk lain juga, apakah Tuhan bisa memakai sampah masyarakat? Yes, definitely! Tuhan bisa pakai sampah masyarakat untuk mengerjakan pekerjaannya Dia. Hal itu bukan untuk membenarkan, untuk kita hidup berkubang dalam dosa, menjadi sampah masyarakat, tapi mau menyatakan anugerah Tuhan yang begitu besar dalam kehidupan kita dan memakai orang yang paling hina itu untuk bekerja yang mulia. Dan makanya dalam kehidupan kita, sama halnya Tuhan juga bisa pakai orang yang punya nama baik itu.

Dan di bagian ini saya mau menyorot di area sini ya, melihat tuh bagaimana kita menjaga kehidupan kita, menjaga punya nama yang baik. Tentu sini bukan munafik ya, tetapi memelihara image kita, terutama memang kita dicipta sebagai image of God, gambar rupa Allah. Dan tujuannya adalah dengan background ini, bisa dipakai Tuhan untuk melayani Dia lebih efektif. Karena kenyataannya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, kalau kita itu menginjili orang lain, apalagi non-Kristen ya, yang duluan dilihat itu bukan prinsip iman kita kok, yang duluan dilihat itu moral kehidupan kita seperti apa. Kembali lagi, kita itu kalau menginjili orang ya, atau kita mau ajak orang, sederhana saya mungkin lebih basic, gitu ya, ajak ke gereja. Orang itu lihat kamu hidupnya seperti apa? Kamu bilang, “Ayo datang, bertobat pada Kristus. Ayo percaya kepada Tuhan!” Orang lihat, “Yah kamu juga,” misalnya mahasiswa, “yah kamu juga malas-malasan kuliah. Ya kamu juga, ah kemarin kan paper itu kamu nyontek. Yah kamu kerja ini juga nggak beres. Yah kamu juga nyolong. Yah ngapain kamu suruh saya bertobat?” Kenapa? Kenyataannya, pertama-tama orang lihat itu memang latar belakang kita, background kita seperti apa, dan makanya di sini adalah pentingnya kita menjaga kehidupan kita supaya kita bisa dipakai melayani Tuhan lebih efektif lagi. Kembali lagi ya, ketika kita menjaga kehidupan kita, di sini bukan untuk jadi munafik ya, ataupun sombong, merasa lebih hebat, atau dapat keuntungan dan sebagainya, bukan. Tapi supaya kita bisa lebih efektif dipakai memberikan kesaksian yang hidup itu memuliakan nama Tuhan dan tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.

Kenyataannya dalam pelayanan, saya melihat di dalam apa yang membuat pelayanan Pak Tong itu begitu besar ya, selain memang di dalam pelayanan jam terbangnya begitu banyak dan di dalam kehidupannya banyak hal yang bisa dibahas, tapi saya pikir menarik ya, Pak Tong itu orang non-Kristen itu sangat salut lho pada dia, hormat pada dia. Mungkin ya dia, mungkin ya, “di antara semua orang Reformed” secara umumnya, orang non-Reformed itu benci sekali sama orang Reformed gitu ya karena belagu lah, sombong lah, tapi kalau Pak Tong mereka mau dengar. Kenapa? Nggak lepas dari integritas dan moral kehidupan Pak Tong itu yang beres, keluarganya beres. Keluarganya itu ya tidak ada yang sempurna, tapi bagaimana berjalan dengan baik, anak-anaknya takut akan Tuhan, dan moralnya dijaga, dan orang melihat itu. Kenyataannya orang lihat itu. Silakan ya, tanya ya, kita kalau mau cuma melihat sedikit keluar dari apa ya, biasanya itu tempurung kita gitu ya di dalam scope Reformed, kita coba cek aja di luar. Orang-orang luar itu sangat appreciate kok pelayanan Pak Tong. Kadang-kadang saya ketemu di dalam suatu kesempatan ya orang bilang ketika mau mengerjakan sesuatu, nanti bilang, “Iya ini Pak Tong punya,” wah orang langsung setuju gitu, langsung kayaknya trust seperti itu. Saya ingat itu di dalam seperti CIT ya, kalau ada yang tahu itu, Calvin Institute Technology. Di dalam sharing, karena ada satu jemaat kita itu di Solo yang menjadi bagian humasnya, ketika dia cerita pada seorang bapak gitu kan, “Oh ini tentang CIT, begini pengajarannya, gini, ini konsepnya seperti ini, prinsipnya gini-gini,” bapak itu kayaknya acuh tak acuh seperti itu. Lalu bilang, “Iya, ini CIT ini pendirinya itu dari Pdt. Stephen Tong.” Oh langsung dia kayak memperhatikan gitu ya. Lalu dia, “Oh iya, oh dari Pak Tong ya? Ya sudah, saya percayakan untuk coba anak saya dimasukkan, untuk daftar,” seperti itu. Itu jemaat kita langsung, wah ini memang namanya Pak Tong itu kayak ajaib gitu ya. Dipakai nama Pak Tong bisa masuk, gitu ya. Dalam kita beberapa pelayanan, kami pelayanan kalau KKR Regional, dan saya bicara ini sampai ke pelosok-pelosok daerah, kadang gitu ya kita ngomong ini dari mana? STEMI. Orang pikir STEMI itu apa ya, sekolah teknologi atau teknik apa gitu ya. Tapi diomong ini dari Stephen Tong, “Oh Pak Stephen Tong, oke, boleh. Boleh dikerjakan pelayanan.” Kenapa? Orang trust. Dan itu memang nama baik, nama besar Pak Tong itu dipakai, sehingga saya rasa memang tidak berlebihan dalam satu aspek kita melihat Pak Tong, bagaimana pun juga Pak Tong itu menjadi aset gerakan ini. Aset itu apa? Kembali lagi kita bukan bilang menyombongkan, mengkultuskan Pak Tong, tapi orang lihat dia itu siapa, dan orang bisa percaya, dan akhirnya memang dipakai pelayanan Tuhan itu bisa lebih efektif dan terbuka lebih banyak. Dan ini kita tidak bisa take it for granted, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Coba aja, di sini siapa yang mau kerjain ya? Saya buka LCEMI gitu ya, Leonardo Chandra Evangelist Ministry International, siapa yang mau kerjakan? Itu siapa? Dari namanya, yah, kamu, ya rupamu gitu ya. Coba aja kita bikin lembaga pelayanan pakai nama kita di depan, saya tanya, orang akan terima seperti Pak Tong nggak? Beda kan? Kenapa? Karena kenyataannya itu nama baik itu penting, dan di background seseorang itu, dikerjakan sedemikian, menjalankan kehidupan yang konsisten. Kembali lagi bukan untuk menyombongkan diri, tapi itu dipakai menjadi alat Tuhan yang sangat efektif dalam kehidupan ini. Dan itu bagian yang memang tidak bisa disangkali Saya sendiri karena orang tua saya itu background-nya memang ya sampai sekarang juga bukan orang Kristen, belum percaya pada Tuhan, tapi ya, saya juga heran, ketika ngomong pada orang tua saya, “Ini ada Pak Tong datang ke Makassar,” mereka itu akan, “Oh iya ada datang?” Mereka akan datang gitu. Kenapa? Ada suatu dalam konsep pikiran mereka sendiri, ini ada baiknya, ini hamba Tuhan yang dipakai Tuhan. Dia memang nggak langsung mau jadi Kristen, tapi kayaknya untuk mau datang itu lebih terbuka. Dan ini kita lihat di dalam banyak aspek. Kembali ya, bukan cuma bicara dari pengalaman saya, saya menemukan di dalam berbagai tempat, berbagai orang berbeda itu seperti itu.

Dan kita jangan lupa Bapak-Ibu, makanya background kita itu bisa dipakai. Dan ada pelayanan yang sifatnya seperti ini, yaitu yang memakai latar belakang kita dan hal itu tidak dibuang. Kita melihat di dalam bagian ini makanya penting sekali ketika kita juga berbicara background kita masing-masing itu berbeda ya. Bagaimana pun juga ketika saya mengerjakan pelayanan di sini, saya selalu ingat ya, sebagaimana pun juga saya bukan orang Jawa, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Saya ingat kadang-kadang dalam kesempatan itu misalnya saya pergi ke suatu tempat tanya jalan pada seorang ibu, “Bu, tempat itu mau jalannya ke mana?” Terus dia jelasin saya pakai Bahasa Jawa. Saya pikir, ah, “Bu, saya ini bukan orang Jawa. Coba pakai Bahasa Indonesia.” Dia jelasin ulang, pakai Bahasa Jawa gitu. Terus itu, aduh ini nggak masuk ini logikanya gitu ya, nggak mudeng gitu ya. Tetap memang ada gap budaya seperti itu, dan saya kadang-kadang berpikir ya, kalau misalnya ibu ini saya injili, coba datang suruh ajak datang gereja, mungkin mereka banyak juga nggak mudeng dengan apa yang saya katakan ya. Dan kalau mau, ya saya bisa belajar Bahasa Jawa dan mau tunggu ya, kita saya sampai belajar Bahasa Jawa ya, honestly speaking ya, perhaps too little too late gitu, terlalu sedikit dan terlalu terlambat kalau mau tunggu saya bisa. Tapi anda sudah bisa, anda yang dari Jawa sudah bisa Bahasa Jawa. Anda yang dari Batak sudah bisa Bahasa Batak. Anda yang dari Chinese sudah bisa Bahasa Chinese. Yang dari Manado bisa Manado, dan seterusnya, semua suku-suku lain dan kenapa? Background itu Tuhan bisa pakai di dalam kedaulatan-Nya untuk menyampaikan firman pada orang. Pertanyaannya kita akan mau melihat itu bukan dalam suatu kebetulan, tapi dalam kedaulatan Tuhan, Tuhan pakai background kita itu atau tidak. That’s the question. Itu pertanyaannya. Di sini ada beberapa pemuda pemudi yang mahasiswa. Bukan kebetulan anda masuk ke dalam jurusan itu. Entah anda berpikir masuk dalam jurusan itu sudah tepat ataupun salah jurusan, kembali, bukan kebetulan kamu bertemu dengan mereka, bukan kebetulan kamu berinteraksi dengan orang-orang di jurusan itu, angkatan itu, tapi memang Tuhan pakai anda dan jadi latar belakang anda untuk menginjili mereka. Karena ketika akhirnya anda menyampaikan firman Tuhan itu kepada orang-orang yang sama latar belakangnya dengan anda, maka biasanya kalimat-kalimat kita itu akan lebih beresonansi dengan mereka, iya kan karena backgroundnya sama, kosa katanya sama, kebiasaannya sama, konsep pikirnya sama. Bahkan saya yakin Bapak, Ibu, Saudara, anda bisa pakai ada beberapa istilah-istilah atau peribahasa tertentu, kebiasaan tertentu di dalam kebudayaan anda yang bisa dipakai menjadi alat menjelaskan firman Tuhan itu sendiri. Dan kembali ya, itu adalah satu bentuk pelayanan di sana, yaitu yang memakai latar belakang kita itu. Tentu kembali lagi ya ketika bicara latar belakang, pengalaman itu tidak mutlak, ya. Sebagaimana sudah saya berkali-kali saya katakan pengalaman itu tidak mutlak tapi bukan berarti tidak bernilai. Saya ulangi ya, pengalaman itu tidak mutlak karena pengalaman bisa berbeda-beda tapi bukan berarti tidak bernilai, karena pengalaman itu penting. Sama halnya ketika bicara rasio, rasio itu tidak mutlak tapi bukan berarti rasio itu tidak penting. Rasio itu penting, tradisi juga demikian, budaya juga demikian. Bagaimana kita pakai semua ditundukkan di bawah kebenaran firman dan ketika kita pakai latar belakang kita itu, kita pakai untuk bisa menjadi alat, sarana anugerah untuk menginjili orang.

Dan kenapa kita lihat bisa kerjakan ini? Di dalam Kristus itu dari pengalaman apa yang dialami oleh Rasul Paulus sendiri. Kalau kita lihat kenapa ya, menarik ya di dalam kalau kita mau sedikit kita kritisi gitu ya atau kalau kita refleksikan itu, kenapa ya dari 12 rasul murid Yesus yang sudah secara tradisi itu tiga setengah tahun tinggal hidup bersama dengan Tuhan Yesus, selalu bersama Yesus, malah yang tulis Alkitabnya itu cuma sebagian, ya kan? Oke paling banyak mungkin Yohanes, tapi bagaimana Petrus? Oke ada tulis Surat Petrus, 1 dan 2 Petrus. Kecil gitu ya, bahkan ya “kurang populer.” Tapi malah kenapa yang banyak dipakai itu justru Paulus? Makannya ada orang sampai bikin ide lain, “O Paulus ini membelokkan iman Kristen, ini ada beda apa yang diajarkan Yesus.” Kita percaya ini sinkron tentunya. Tapi kembali kalau kita tanya kenapa Tuhan malah memakai Paulus untuk menuliskan banyak surat-surat dalam Kitab Suci dan bukan 11 rasul-rasul lainnya, ya sederhana saja karena memang latar belakang Paulus itu sendiri adalah orang Farisi. Jadi background dia itu dipakai Tuhan untuk menginjili, untuk menyampaikan firman dan otoritatif sekali. Bisa bayangkan ini misalnya ada nelayan ngomong, “O sudah itu enggak penting. Ya tentang hukum Taurat begini.” Orang akan lihat, “Kamu ini enggak terdidik, kamu memang bochai ya, orang DO gitu kan enggak belajar, gitu ya,” meski orang Yahudi enggak ada yang DO sih. Tapi ini kan yah enggak dipakai gitu. Tapi orang yang paling pakar, yang paling pandai di sini dan mengerti Taurat, latar belakang dia itu dipakai untuk memberitakan. Makanya dalam Surat-surat Paulus itu justru berkaitan dengan, kental sekali apa prinsip-prisnsip dalam Perjanjian Lama. Dan di dalam penafsiran-penafsiran yang di pakai di sini Paulus dipakai untuk mengkritisi pandangan-pandangan, tafsiran Perjanjian Lama yang keliru yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi maupun orang-orang Kristen permulaannya.

Kembali lagi latar belakang itu tidak dibuang tapi Tuhan bisa pakai untuk kemuliaan namaNya. Makanya kadang-kadang Pak Tong itu katakan ya, itu saya pikir menarik juga, dia bilang, “Orang itu kalau misalnya sebelum bertobat itu cerewet, bawel, ya, suka marah-marah. Setelah bertobat itu apa? Jadi pendiam? Bukan! Dia jadi cerewet beritakan injil,” ya gitu ya. Wah selalu dia beritakan injil. Kenapa? Karena Tuhan bisa pakai latar belakang kita itu dikuduskan, disucikan, karena kita tidak berubah jadi orang lain. Dan kembali kita ingat tidak ada satupun kita itu bertobat dari kevakuman, kita selalu punya latar belakang tertentu, kita punya tendensi tertentu, punya latar belakang tertentu, dan memang ada bagian kita bertobat dulu dari situ, tapi itu bisa dipakai untuk pekerjaan Tuhan. Dan itu kita lihat dengan nyata dalam kehidupan Paulus di sini. Kita enggak tahu setiap kita yang hadir dan ibadah ke sini, berapa banyak kita pikirkan latar belakang kita itu. Itu kembali bukan kebetulan. Saya percaya dalam berbagai hal orang seperti Nabeel Qureshi yang backgroundnya memang Muslim, dia bertobat jadi Kristen, ya dia dipakai Tuhan untuk apa? Penginjil Muslim, karena dia ngerti pemahaman itu seperti apa, dia ngerti sejarahnya pengertian itu seperti apa, dan itu dipakai Tuhan untuk bisa menginjili lebih efektif berbicara kepada orang-orang Muslim. Kita mungkin bisa bilang, “O lebih hebat Ravi Zacharias dan seterusnya,” tapi bagaimanapun kita lihat Ravi Zacharias juga dipakai untuk menginjili background orang pengertian Hindu karena memang latar belakangnya demikian. Kembali lagi, latar belakang itu kita bukan amnesia ya, melupakan yang di belakang itu lalu kita buang itu semua sampah seolah kita lupa; tapi bagaimana kita lihat karena Kristus, maka semua pencapaian saya itu saya bisa pakai untuk kemuliaan nama Tuhan. Dan inilah bagian satu bentuk pelayanan yang memang sesuai dengan background kita.

Di bagian ini, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, setiap kita ya ada di lingkungan pekerjaan tertentu, berapa banyak kita bisa pikirkan ini? Orang-orang yang di sekitar kita itu, yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita, itu bukan saja untuk menguji iman kita ya, kadang ada mereka yang menggoyahkan iman kita, tapi juga kita masuk etika yang lebih aktif, yaitu untuk kita juga dipakai untuk menginjili mereka. Sebagaimana orang dunia itu mempengaruhi kita, ya kita juga dipakai untuk mempengaruhi dunia. Kita bukan hanya pasif men-defense, membela saja iman kita, mempertahankan itu sedemikian masuk di dalam hubungan yang kecil, tapi adakah kita berpikir aktif, kita dipakai kehadiran kita itu untuk menerangi mereka? Dan itu ada peran kita di situ. Bukan kebetulan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau anda punya keluarga yang non-Kristen, bukan kebetulan jika anda punya rekan yang non-Kristen, bukan kebetulan jika anda menemukan orang-orang Kristen sekitar anda yang juga bukan orang Reformed. Memang itu semua adalah kedaulatan Allah, Allah tempatkan demikian. Supaya apa? Supaya kita bisa bekerja dan dipakai menjadi alatNya. Dan anda jangan berpikir, “O saya harap suatu saat nanti Vikaris Leo atau Pendeta Dawis sampai penginjilan kepada mereka.” Betul kami bisa masuk tapi yang menemui mereka setiap hari itu anda. Dan ada pandangan ya memang anda dipakai untuk saluran berkat kepada mereka. Untuk menjangkau mereka, memenangkan mereka karena justru kedekatan itu Tuhan pakai untuk kemuliaan namaNya. Jadi ini menarik maka saya renungkan banyak ya. Di dalam kehidupan Paulus, di dalam pelayanan yang dia kerjakan seumur hidupnya, pelayanan yang mungkin saya mau bilang secara kategori itu pelayanan oral ya, pelayanan yang dia khotbah, itu kita enggak banyak catatannya. Pelayanan yang kepada non-Yahudi itu, yang misioner itu, kita mungkin cuma dapat sedikit cuplikan catatannya atau ringkasannya itu di dalam Kisah Para Rasul, tetapi kita ndak terlalu mengerti apa yang dia kotbahkan waktu dia menginjili pada orang-orang non-Yahudi. Tetapi menarik adalah pelayanan Paulus paling besar, yang paling dalam, yang sampe sekarang kita baca, yaitu pelayanan yang sesuai background-nya itu, yaitu yang lebih dipakai Tuhan, disucikan, dimurnikan, menuliskan bagian-bagian dari Kitab Suci.

Kembali lagi ya, tentu dalam kedaulatan Allah Allah bisa pakai siapa saja, dan justru di bagian ini, Allah memilih memakai background Paulus itu dan itu menjadi warisan bagi gereja bahkan menjadi bagian dalam Kitab Suci. Tentu dalam suatu bentuk pelayanan kita perlu ingat ya, ada surat-surat Paulus lainnya yang tidak masuk dalam Kitab Suci, ya seperti mungkin ada surat pada Laodikia, ataupun kalau masuk critic text itu akan bilang kemungkinan ada Surat Korintus itu lebih dari dua. Ya ada surat-surat lainnya dan ya itu bagian yang memang tidak masuk Kitab Suci, tapi bagian sini dipakai dan itu sesuai background dia. Luar biasa sedemikiannya dipakai sampai beribu-ribu tahun masih kita baca sampai sekarang. Kita bisa bayangkan ya kalau dulu Paulus pikir, “Ah sudahlah saya ini [sembah] dewa ajalah, keluar gitu ya misalnya, enggak mau bar mitzvah gitu ya, ah saya keluar,saya enggak belajar juga enggak apa,” dia enggak bisa dipakai seperti ini. Ini kita makanya melihat di dalam kedaulatan Allah bisa memakai sedemikian background dari yang wah sangat anti-Kristen kalau di bilang dipakai untuk memuliakan Tuhan sedemikian, luar biasanya itu. Dan makanya saya harap kita pikirkan di bagian sini, apa latar belakang kita yang Tuhan sebenarnya mau pakai untuk kemuliaan namaNya, jangan buang itu, jangan take it for granted. Bukan kebetulan anda punya keuangan sedemikian, bukan kebetulan anda punya pekerjaan sedemikian, bukan kebetulan anda punya pendidikan pengertian sedemikian, karena Tuhan itu bisa pakai untuk kemuliaan namaNya asal kita mau bergumul, mau tundukkan kepada cara Tuhan, pada waktu Tuhan, Dia akan pakai. Itulah sebabnya di sini saya mendorong yang para mahasiswa, studi, studilah bisa lebih lagi, kalau bisa studi sampai lanjut, boleh pakai, oh kalau bisa studi sampai keluar negri, kalau memang bisa dan dalam anugerah Tuhan sesuai talenta yang Tuhan berikan, studilah lebih lanjut. Dan ini untuk apa? “Oh untuk  saya  sombong,” ya enggak. Oh lalu untuk apa? Untuk dapat uang? Aduh itu pemikiran itu duniawi sekali. Tetapi kita bisa lihat, kalau kita bisa kerjakan sampai situ, artinya Tuhan bisa pakai kita bisa lebih luas lagi. Kita bisa lihat dari perspektif ini enggak? Itu kan cuma studi, oh supaya apa? Supaya keren, saya spesialis, saya ahli, saya master, atau saya sampai professor, dan seterusnya. Tapi kalau sampai di titik itu, dan memang talenta saya sampai di sana, berarti Tuhan bisa pakai saya lebih luas dari sebelumnya. Dan ini makanya dalam kehidupan kita, kita ada bagian itu, kita bukan mengikut Tuhan itu… Kadang-kadang saya enggak tahu karena ada dalam aliaran kekristenan tertentu di Indonesia itu, kayak itu pikirnya kalau kita percaya Tuhan itu konsepnya itu kayak bodoh gitu, pokoknya goblok, itu pokoknya saya taat, taat full, enggak ngerti apa-apa gitu. Oh bukan, kita menggarap kemampuan kita sampai maksimal tapi kita tunduk di bawah firman Tuhan, itu bagian kita. Dan terkadang ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, kalau kita lihat ada orang sampai professor, sampai ahli tetap taat pada firman Tuhan, tetap imannya konservatif itu tidak lain akan menguatkan iman kita bahwa ternyata orang studi sampai itu tetap percaya pada Alkitab. Saya ngomong secara aspek orang awam lho ya. Kembali lagi lho ya, ini ya kalau kita secara pribadi “oh iya siapapun, pengertiannya apapun, kita tetap bisa tidak goyah,” tapi kenyataannya kadang-kadang ada kita lihat begini, orang bisa pengertiannya sedalam itu tetap konsisten taat pada firman Tuhan, tetap akui firman Tuhan itu tidak bersalah, dan itu memang ketika orang mencapai di posisi itu. Sehingga kita jangan jadi orang Kristen yang “ah ya sudahlah bodoh-bodoh aja, belajar sekedar aja,” justru akan makin dihina. Tetapi kita belajar yang terbaik potensi talenta kita, sampai kita garap sampai maksimal, dan lihatlah sampai di situ tetap kita taat kepada Tuhan, dan itu dipakai menjadi alat demi kemuliaan namaNya. Itulah suatu bentuk pelayanan yang berkoresponden dengan background kita, beresonansi dengan latar belakang kita.

Poin kedua, ketika kita berbicara pelayanan makanya jangan lupa juga ketika berkaitan dalam pelayanan di sini adanya pentingnya tentang pertobatan itu sendiri. Sebagaimana dikatakan ini, yaitu “tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.” Jadi ada perubahan. Kita bukan cuma mencaplok, mendompleng dari background kita, langsung cut dikasih stempel ‘Kristen’ seperti itu, bukan. Tetapi ada pertobatan, dan pertobatan itu bukan cuma bicara pertobatan moral ya. Kembali lagi, pertobatan moral ada? Ya ada. Sama seperti kadang orang bilang, “Oh pak, saya sebelum percaya Tuhan Yesus saya dulu suka pukul Istri saya, lalu saya bersyukur sekarang saya bertobat saya enggak pukul istri saya,” OK itu ada pertobatan. Tapi kalo kita mau fair ngomong kenyataannya kalau dia mau bertobat tapi masih di agama yang lama, itupun akan berhenti pukul istrinya. Agama mana yang ajak pukul istrimu tiap hari? Tapi bagian ini makanya pertobatan itu jauh lebih dalam dari itu ya. Kembali, saya bukan menegasikan, meniadakan pertobatan moral, tetapi ada juga pertobatan yang lebih mendalam ya. Masuk itu pertobatan di dalam sikap kita, kehidupan kita, kebiasaan kita, lifestyle kita. Permisi tanya saja, misalnya ya, sejak kita menjadi Reformed itu kebiasaan apa yang sudah berubah dalam kehidupan kita, ada perubahan enggak? Ada kebiasaan kita yang berubah enggak? Kalau tidak ada perubahan maka sebenarnya kita hanya mencuplik bagian-bagian Alkitab yang kita suka, dicocok-cocokin dengan hidup kita, bukan sebaliknya bagaimana hidup kita dicocokkan dengan Kitab Suci, spirit Reformed di situ. Bukan cuma bercerita pengetahuan, bukan cuma bercerita apa yang disampaikan dalam Alkitab, tapi bagaimana hidup kita itu dirubahkan, dirubah sedemikian radikalnya, diatur, di-adjust, mengikuti frekuensinya Alkitab itu sendiri, bukan sebaliknya. Itulah pengertian kita belajar sinkron mengikuti Alkitab. Sebagaimana kalau zaman dulu, ya di sini ada beberapa generasi old juga ya, kalau kita zaman kita dulu itu pakai TV, wah ini siarannya kok kabur, yang kita lakukan apa? Ya antenanya kita geser toh. Nah ini sudah tahu ya, kita yang geser antenanya. Coba kalau ada bilang, “Ini kok kabur, ya sudahlah geser TVRI-nya tuh pindah depan rumah saya supaya jelas,” ya enggak bisa. Anda yang geser, bukan dari pusatnya yang geser, di situ baru bisa klop ya, itu baru bisa sinkron ketemu frekuensinya.

Kembali, ketika kita mengikut Tuhan bukan kita geser Tuhan ngikutin kita, kita yang menggeser diri kita sedemikian, kebiasaan kita, pola hidup kita, cara-cara hidup kita yang lama, lifestyle, gaya hidup kita dicocokkan dengan firman Tuhan. Kita yang harus berani geser bukan Tuhan yang digeser, karena memang Tuhan tidak bisa digeser dan memang Dia yang mutlak Dia yang benar, kita yang belajar menyesuaikan. Dan di bagian situ ketika kita ada rubah bagian itu, itupun pertobatan karena pertobatan itu adalah perubahan dari sebelumnya jalan kesini lalu suv itu istilahnya dalam bahasa ibrani. Suv itu adalah pertobatan, putar balik arah dari arah sini ke arah yang lain. Dan termasuk saya bicara kebiasaan-kebiasaan kita, pola hidup kita, tradisi kita. Kembali lagi, saya bukan bilang habiskan semua tradisi yang ada tapi ada tradisi yang keliru, tradisi yang bertentangan dengan firman Tuhan kita harus buang, kita harus berani potong di situ. Kenapa? Karena Kristus, karena Kristus. Bukan karena hamba Tuhan yang berbicara pada anda tapi karena Kristus sendiri yang memerintahkan demikian. Itu pertobatan. Itu baru kita memang belajar menjadi murid yang kalau pake istilah John Stott ya radical disciple, yaitu murid yang radikal. Ya kembali lagi, bukan radikalisme dengan pengertian bom bunuh diri, tapi yang dimaksud adalah kita merubah diri kita, bukan paksa orang lain, kita paksa dari diri kita untuk semakin mengikuti Kristus, untuk semakin menyerupai Kristus, dan itu bagian dari pertobatan juga. Makanya cek ya di dalam kehidupan kita kebiasaan apa yang berubah dari kehidupan kita sebelum mengenal Reformed sampai ketika sampai sekarang kita jadi Reformed, ada perubahan enggak? Kita belajar itu Reformed itu di posisinya itu sentral, akan merubah hidup kita atau tidak.

Dan di poin berikutnya juga ketika berbicara pertobatan, kembali lagi tentu ada aspek moral ya, tapi saya berbicara mengenai kebiasaan. Cara, pola, perilaku, lifestyle kehidupan. Dan juga pertobatan secara teologis. Pertobatan secara teologis. Ini pertama kali saya dengar itu dari Pak Tong sendiri. Dia ngomong dalam pertobatan itu ada pertobatan berbicara kebangunan rohani. KKR itu apa? Adanya pertobatan secara teologis. Waduh dulu saya dengar ini kok berat banget ya? Orang KKR aja pertobatannya teologis gitu ya. Ada perubahan konsep teologis. Aduh ini ekstrim gitu ya. Ini Pak Tong memang terlalu berat ini. Tapi makin saya dalami mengerti ya, ya memang kalau enggak salah saya yang salah gitu ya. Jadi memang betul bahwa di dalam ketika kita bertobat itu juga berubah konsep berfikir kita sehingga menjadi suatu pertanyaan ketika kita menjadi Reformed. Dulu kita belum Reformed lalu menjadi Reformed, dulu kita belum Kristen menjadi Kristen, konsep apakah yang berubah dalam hidup kita? Sederhana saja, kalau kita berbicara Allah Tritunggal itu tidak mungkin muncul dari diri kita sendiri. Ya kan mana ada orang dari lahir [langsung ngomong], “ Allah Tritunggal,” ya enggak ada. Memang harus diajarkan dan punya pengertian keliru lalu perlu diubahkan. Dan di bagian situ memang pertobatan menyangkut itu kaitan prinsip iman dan teologis dan pengajaran yang benar. Dan karena itulah kita memerlukan wahyu Tuhan, kita memerlukan Kitab Suci karena kita tidak bisa tahu dari diri kita sendiri. Pertobatan itu bukan hasil perenungan dan meditasi dalam pemikiran yang seperti Budha Sidharta yang bermeditasi merenung, merenung, lalu dapat pencerahan. Itu meditasi dari pencerahan diri sendiri. Tapi bagi kita pertobatan itu adalah perubahan, ada pengertian yang lain dari luar yang mengkoreksi pengertian kita mulanya. Dan karena itu memang ada perlu pertobatan secara teologis itu. Ya tentu kan kita ada konsep-konsep kita yang lama yang kita pegang pertama yang memang keliru. Yang memang ketika kita lihat tidak sesuai dengan Alkitab kita yang berubah bukan Alkitabnya yang kita rubah. Dan di bagian sini itu penting karena pertobatan itu di sana. Maka ya kembali lagi ya, pertobatan itu ada memang ada aspek moral tapi juga ada bicara di dalam kebiasaan kita, kehidupan kita, lifestyle, gaya hidup kita. Dan lebih mendalamnya lagi yaitu di dalam prinsip-prinsip iman kita, cara berfikirnya itu sendiri seperti apa, harus beda, berbeda. Lha kalau orang dunia itu, sederhanalah, kita ngomong orang dunia ya, kalau kerja apa-apa itu kan lihatnya ada duitnya enggak? Ya toh. Lalu kalau kita jadi Reformed itu pikirannya “Oh ya kalau saya kerjain KKR itu ada duitnya enggak?” Ya salah dong. Kita harus rubah cara pikir itu. Dan bukan saja bicara pelayanan di dalam gereja tapi juga dalam kehidupan kita, pekerjaan kita, bagaimana prinsip iman kita mewarnai aspek sana dan tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Dan di situ ada pertobatan principle, pertobatan secara prinsip yang akhirnya kita enggak mau ganggu gugat, “Ini saya pegang dan saya tidak boleh mundur dari sini.” Itu pertobatan secara teologis. Pertobatan secara iman yang benar. Sebagaimana Francis Schaeffer itu mengatakan, “I do what i think, and i think what i believe.” Saya melakukan apa yang saya pikirkan dan apa yang saya pikirkan itu berdasarkan apa yang saya percaya. Ketika kita mengerjakan sesuatu, kenapa kamu kerjakan ini? Karena saya pikirnya begini, saya pikirnya seperti ini, prinsipnya kayak gini. Entah kita benar-benar berpikir secara mendalam ataukah pragmatis saja, itupun kita berpikir. Dan cara berpikir kita ini, kenapa kita bisa berpikir demikian? Kalau kita mau intropeksi lebih dalam kita akan temukan karena dasarnya apa yang kita percayai, apa yang kita pegang. Kadang-kadang ada orang ya, percaya iman Reformed, percaya doktrin dengan sungguh, kuliahnya itu waduh [bikin] paper aja itu pakai bayar. Lho ini apa kaitannya? “Oh iya dalam kedaulatan Allah pak, saya bayar orang untuk bikin paper.” Rupamu! “Oh saya ini percaya kepada Tuhan, Saya percaya total depravity, makanya pak ya saya untuk ujian saya sogok aja. Ya kan memang berdosa.” Ya enggak bisa dong. Ada pertobatan di situ, ada perubahan di situ yang harus kita lihat itu ada perubahan, dan kita lihat kita berjuang dengan jujur sesuai dengan kemampuan kita karena Tuhan akan tuntut sesuai talenta kita masing-masing. Tapi kenyataanya ada orang itu kehidupannya sangat fragmented, sangat terpecah-pecah. Yang di gereja memaparkan kehidupan sehari hari apa tidak, enggak ada kaitannya sama sekali. Di gereja bisa nyanyi memuliakan nama Tuhan, di kehidupan dunia ya benar-benar kayak dunia, tidak ada perubahan. Tapi di sini makanya kita mengerti adanya pertobatan yang mendalam, yaitu perubahan secara teologis, pertobatan secara prinsip yang kita pegang mutlak.

Saya ndak bisa lepas ketika merenungkan ini ya, kenyataannya dalam kehidupan kita, saya tidak mau masuk secara mendalam di sini ya, tapi kenyataannya ada dosa-dosa itu yang masuk di dalam kebudayaan. Ada kadang akhirnya di tempat-tempat tertentu kalau ujian saja, aduh, itu dari gurunya aja kasih contekan, ada yang kaya gitu. Ada yang memang ketika ujian, oh ya sudah nanti gurunya isiin, itu ada yang gila kaya gitu juga. Ada yang pakai katrol nilai lah, “Oh itu sudah membudaya pak, sudah biasa.” Di bagian sini ya, saya ndak tahu makanya latar belakang kita itu seberapa, tapi kalau kita memang masuk bagian itu, kita belajar bertobat di dalam bagian itu. Di bagian sini kita bertobat, rubah situ, dan ini ada yang salah kita rubah keluar dari situ. Nah kenyataannya lingkungan ada seperti itu. Dan karena itu, pertobatan itu jauh lebih mendalam, jauh kepada prinsipnya ini, kita berani enggak bersikap tegas, sesuai dengan prinsip firman Tuhan kita lakukan itu. Kita tolak, kita tolak, ada bagian-bagian, praktek-praktek yang tidak benar, kenapa? Karena kita mengikut Kristus. Kalau tidak, itu kita bertobatnya apa ya? Cuma dapat ide gitu, oh ping, “Yesus, percaya Yesus masuk surga, oh ya sudah, saya hidup suka-suka, foya, tua, mati, masuk surga,” itu bukan pertobatan Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Itu bukan pertobatan, itu bukan sangkal diri, pikul salib, itu bukan bagaimana hidup ini dirubah mengikut firman, tapi hanya kita mendompleng, cuplik-cuplik bagian firman kita suka, menyesuaikan dengan kehidupan kita. Karena kalau kita belum ke sana, kita belum mengerti apa yang dikatakan dalam bagian ini.

Saya ulang lagi, dan masuk ke point ke tiga, yaitu dikatakan oleh Paulus, yaitu berbicara apa yang dia dapatkan, apa yang untung dan apa yang rugi, karena Kristus. Ya, saya bacakan lagi ayat 7 dan 8, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” Bagian sini Gordon Fee dalam commentarynya mengatakan bicara ada satu metafora antara untung dan rugi, ya. Untung and rugi ini kenapa? Karena Kristus, ya. Dan ini memang bahasa yang dipakai, terjemahan Indonesianya juga pas, ini bahasa perdagangan. Ngomong untung-rugi pakai istilah untung-rugi, connect kita gitu ya. Itu bicara apa? Dagang itu. Bicara dagang ini kita connect sepertinya. Dan bagian ini memang bicara untung dan rugi yang di bahasa perdagangan yang dipakai ini bicara apa yang dulunya untung, itu kemudian menjadi rugi, sekarang dianggap rugi ya. Tapi itu kenapa? Karena Kristus. Dan di dalam bagian ini, saya teringat kadang-kadang orang bicara dagang itu ya ada orang yang pakai istilah itu “kalau rugi, oh tidak satu pun orang mau kerja, tapi kalau untung, potong kepalapun mau kerjain,” ya iya toh, karena untung. Kembali ya, kalau untung, orang mau kerja. Jadi ada suatu nuansa kita karena lihat untung itu kita kejar seperti demikian, ya. Dan di bagian ini ada ketika kita mengikut Kristus, itu suatu keuntungan, dan kita pacu diri kita sedemikian mengejarnya karena itu untung, dan itu adalah suatu keuntungan.

Mungkin saya bisa pakai suatu analogi yang lain ya. Kalau misalnya, kenapa sih kadang-kadang orang sering kali itu susah move on, seperti itu, move on? Kenapa sih orang suka susah move on? Saya pikir karena kadang-kadang itu, dia hanya idle gitu ya, hanya stay di tempat, lepas dari yang lama, ya gitu ya; putus pacar, yah nggak dapat yang baru, jadi tetap di sini, susah move on, gitu ya. Tetap di sini, tetap stay di kondisi yang status quo seperti itu. Dalam bagian ini, kenapa kita seringkali susah lepas, susah putus, lepas dari dosa, kehidupan yang lama? Karena memang kita tidak punya arahan yang baru. Dan di bagian sini saya bicara, karena susah move on, karena tidak punya new direction. Harus punya arah yang baru, dan itu bergerak. Sama seperti orang putar balik itu, saya sudah tau ini salah, saya keliru, saya putar balik. Putar balik itu bukan diam begini, “Oh salah nya di sini, saya diam di sini,” lhah bergerak ke arah yang baru, new direction, itu yang membuat kita menjadi pengarah kita bergerak di depan. Memang perlu suatu arah yang baru, kalau tidak kita akan mandek secara rohani. Saya bicara tentang aspek rohani. Kita akan mandek rohani, karena kita tidak diberi pengarahan baru. “Ya Pak, saya tahu, sekarang saya berhenti dari dosa, saya tinggalkan kerjaan saya, dosa yang lama, lalu apa yang harus saya kerjakan?” Kita harus men-set hidup kita, arahkan ke arah yang baru. Tanpa pengarahan yang baru kita akan mandek di titik nol itu, tidak bergerak pada yang baru. Kenyataannya yang membuat kita banyak mandek itu kita tidak diarahkan pada yang baru. Kadang-kadang ya, ada orang makanya ketika dalam dia hidup itu di dalam suatu pergaulan komunitas yang buruk, komunitas yang berdosa. Lalu dibilang, “kamu tinggalkan teman-temanmu itu karena akan membawa kamu kepada dosa dan keterpurukan semuanya,” itu bukan cuma lepas dari sana, ya sudah, trus masuk karantina. Ini kayak kalau orang bekas kasus narkoba, lepas dari teman yang lamanya trus lalu masuk karantina, rehabilitasi. Kalau kita lihat coba, Bapak, Ibu, Saudara sekalian ya, kenyataannya di dalam pusat-pusat rehabilitasi itu bukan hanya melepaskan dari yang lama, membuat komunitas yang baru. Meski memang kadang itu ya, sesama orang rehab gitu ya. Tetapi saya pikir di dalam banyak hal, bagaimana kita bisa lepas dari godaan, dari dosa, yaitu kita berusaha meninggalkan yang lama kita masuk ke komunitas yang baru. Ada memang suatu pengarahan ya kalau kita masuk kepada suatu lingkungan baru yang lebih baik yang lebih kondusif, misalnya di dalam gereja, di dalam PA pemuda, dalam wadah yang lain itu memang memberikan new direction kepada kita untuk kita bisa lebih cepat move on. Kalau nggak kita akan terus terpaku dengan yang lama itu, terikat terus dalam yang lama, terus terikat dengan komunitas yang lama, kebiasaan lama. Kadang-kadang ada orang makanya ketika mau berhenti, bertobat, dari kebiasaaan-kebiasaan buruk, dosa-dosa tertentu, dia akan alihkan dengan apa? Ya itu, coba alihkan dengan kegiatan yang lain, yang lebih positif, yang lebih aktif ya. Kadang-kadang ada orang misalnya suka merokok, lalu dia ganti kebiasaannya apa? Dengan kebiasaan yang baru, yang lebih positif, olah raga, seperti itu misalnya. Kenapa? Memang itu harus diganti, kalau nggak, dia akan terus teringat lagi pada yang lama itu. Dan terutama, jangan lagi kumpul dengan sesama perokok itu ya, ya kita akan merokok lagi. Kembali ya, orang-orang yang memang pernah jatuh di dalam berdosa itu, jangan kumpul di situ terus. Kenyataannya kita memang harus mencari arah yang baru, supaya membantu kita bisa cepat move on, masuk ke fase selanjutnya. Dan juga akan membuat, seringkali orang itu susah move on karena memang dia tidak punya new direction.

Yang kedua juga karena tidak punya new object, tidak punya suatu objek yang baru yang dia tuju. Di bagian ini Gordon Fee mengatakan bahwa apa yang bisa kita anggap semuanya itu sampah, itu bukan saja karena memang kehidupan yang lama itu sampah, itu berdosa. Tapi karena kita melihat ada surpassing worth of knowing Christ Jesus Our Lord, yaitu karena adanya nilai yang luar biasa yang disediakan ketika kita mengenal Kristus. Yaitu bagaimana kita bisa lihat yang kehidupan di dunia ini sampah, ya karena kita lihat Kristus itu. Karena ada yang mata kita tujukan  ke sana, yang jauh nilainya di atas dari dunia ini, sehingga kita bisa lihat semuanya itu sampah, di mana kita bisa lihat semuanya itu sampah. Kembali lagi, ada bagian memang kita menolak dosa, sangkal diri karena dalam pergumulan dosa kita, tapi bagaimana kita bertumbuh dalam pengudusan, harus kita berfokus itu bukan cuma urusan hidup kudus, hidup kudus, kita terus melihat kepada Kristus bahwa sebagaimana Francis Chan pernah mengatakan bahwa Christ is better, bahwa Kristus itu lebih baik dari ini, Kristus lebih baik daripada kehidupan dosa ini sehingga saya menyampahkan semuanya. Itulah sebabnya kenapa ada perumpamaan yang Tuhan Yesus katakan tentang menemukan harta di ladang itu. Menarik di dalam perumpamaan tentang Kerajaan Sorga itu seperti orang yang menemukan harta di ladang, dia menemukan harta di ladang, lalu dia jual semua yang lama untuk membeli harta yang terpendam di ladang itu. Kenapa? Karena dirinya lihat yang ini lebih berharga. Pertanyaannya adalah sungguhkah kita sudah melihat Kristus itu jauh lebih berharga daripada apapun di dunia ini, apapun yang kita punya di dalam kehidupan yang  lama ini? Dan kalau kita lihat sungguh itu Dia yang lebih berharga, itu yang membuat kita lebih cepat untuk bisa move on, maju mengejar Dia, maju mengikut Dia. Dan kita maju di dalam pengetahuan mengenal Dia itu, kita masuk kepada new knowledge of Christ, masuk kepada pengenalan Kristus yang lebih mendalam.

Pengenalan ini ada bicara aspek pengetahuan, karena memang ada aspek-aspek pengetahuan yang kita kalau mendalami iman Kristen lebih mendalam, kita akan menemukan ada pengenalan-pengenalan Kristus yang lebih mendalam, pengertian-pengertian tentang siapakah Kristus yang lebih mendalam, makanya kita ada SPIK, seminar, dan semuanya. Tapi juga semua pengetahuan ini bukan menjadi sekedar pengetahuan yang dingin, seolah-olah yang impersonal ya, cuma data seperti itu, formula seperti itu, tapi kita mengerti Dia adalah pribadi yang denganNya kita berelasi. Nah itu, jadi di dalam karena kita sampahkan yang lama, kita masuk dalam pengenalan kepada Kristus yang baru yang lebih mendalam ini, dan itu ada aspek masuk ke relasinya. Bagaimana orang itu ya, saya juga  kadang-kadang heran, ada orang itu, oh selalu rajin ikut Tuhan, suatu saat eh jatuh cinta dengan orang di luar Kristen, langsung tinggalin gereja. Jadi bagi dia Kristus itu siapa? Tapi saya lihat di bagian itu selain memang kita bisa ngomong mungkin dia bukan orang pilihan dan seterusnya, tapi karena dia ndak bertumbuh mengenal Kristus lebih mendalam, sehingga dia seperti meludahi salib, “Oh Kamu mati, ya sudah nggak apa-apa, tapi saya lebih senang sama pacar saya,” “Oh yang penting saya hidup bahagia mengikuti perasaan saya, saya kan cinta dia.” Seolah-olah cinta itu tidak bisa salah. Cinta tidak bisa salah? Lha kita pernah salah mencintai seseorang. Dan karena itu kita melihat yang lebih utama, yang lebih mulia, yang terus kita kejar itu adalah Kristus, dan kepada-Nyalah kita tujukan. Dan ketika kita berelasi dengan Kristus lebih mendalam, lebih mendalam, itu yang menjadi kekuatan kita bisa menolak dosa itu. Kadang-kadang orang katanya sudah pacaran lalu putus, bagaimana dia bisa lupakan yang lama? Dia punya pacar yang baru, dan ini harus yang baru ini lebih bernilai, lebih bagus, kira-kira seperti itu. Dan bagaimana dia bisa cepat move on dari yang lama? Masuk mengenal pacarnya yang baru itu lebih mendalam, setelah lebih mendalam dia lupa yang lama. Ini cuma analogi.

Kembali, berbicara mengenai ini ketika kita mengikut Kristus kita demikian. Ketika kita mengenal Kristus lebih mendalam kita akan menemukan bahwa betapa mulianya Dia, betapa berharganya Dia, dan jauh, jauh lebih berharga daripada semua kenikmatan yang ditawarkan dunia ini. Apa sih yang kita kejar di dunia ini? Apa sih kebanggaan yang ditawarkan dunia ini? Kembali lagi ya, saya tidak masuk ke ekstrim kita buang semuanya, kita jadi bodoh saja, tidak belajar apa-apa, nggak, tapi kita garap semua hanya semata-mata demi untuk bisa memuliakan Kristus. Dan fokus kita bukan ke situ, fokus kita kepada yang di atas. Kita pakai semua yang di alam ini untuk kemuliaan Dia, bukan untuk demi semata-mata alam itu sendiri tapi kita pakai demi yang sudah begitu mengasihi kita, yang sudah menebus kita dengan pengorbanan Anak TunggalNya Yesus Kristus. Dalam kehidupan kita, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, berapa banyakkah pengenalan Kristus yang lebih mendalam itu kembali mengingatkan kita bagaimana kita menyangkal diri, pikul salib kita, mengikut Kristus, karena itu juga sudah dilakukan Kristus terlebih dahulu untuk menebus dosa kita. Adakah kita juga melakukan demikian untuk membalas cinta kasihNya dan adakah berita itu juga kita beritakan kepada orang-orang di sekitar kita yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita. Mari kita satu dalam doa.

Bapa kami dalam sorga, kami berdoa bersyukur untuk firmanMu pada hari ini. Kami berdoa bersyukur apabila kami boleh diingatkan bagaimana kami hidup mengikut Kristus, bagaimana kami meninggalkan kehidupan kami yang lama untuk mengikut Engkau. Kami berdoa ya Bapa, di tengah pergumulan kami pribadi lepas pribadi, di tengah tantangan yang kami hadapi hari lepas hari, ajarlah kami bukan saja untuk pasif membela, mempertahankan iman kami, tapi juga bagaimana kami berpikir secara kreatif, secara aktif, apa yang harus kami perbuat untuk menjadi saksiMu menjadi garam dan terang untuk menerangi dunia yang gelap ini. Pimpin setiap kami Bapa, dan pimpinlah kami untuk semakin bertumbuh dalam pertobatan yang sejati, untuk semakin melihat Kristus saja yang diutamakan dala kehidupan kami supaya kami boleh menyampahkan dan melupakan yang lama. Terima kasih Bapa untuk semua ini. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.

[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]

Comments