Yak. 1:19-21
Pdt. Stephen Tong (VCD)
Saudara-saudara, minggu lalu kita sudah mulai membicarakan tentang dengar cepat-cepat, kata lambat-lambat. Dan jangan cepat marah. Jangan cepat marah ini salah satu sifat Tuhan Allah, Dia tidak mudah marah, Dia tidak gampang marah. Kita merenungkan ayat ini dengan konteksnya maka kita jangan lari, karena apa yang disebut ‘dengar’ di sini bukan dengar segala sesuatu harus cepat. Saudara-saudara, dengarlah dengan cepat, berkatalah dengan dengan pelan, berarti kita harus cepat-cepat menerima dan jangan terlalu cepat bereaksi. Apakah yang disebut di sini, ‘dengar cepat-cepat’? Dengar apa harus cepat-cepat? Apakah ini berarti dengar segala sesuatu, semua yang diberikan kepada kita, kita dengar dengan cepat-cepat? Tidak. Jikalau ini adalah satu istilah ‘dengar’ maka jangan lupa Yakobus ditulis kepada orang Yahudi, dan orang Yahudi mengerti ‘dengar’ itu mempunyai arti yang khusus di dalam sepanjang kebudayaan dan sejarah orang Israel. Karena kebudayaan Yahudi adalah kebudayaan yang berbeda dengan semua kebudayaan, karena ini satu-satu kebudayaan yang dituntut untuk mendengar. “Hear ye Israel, Ooo Israel, dengarlah kepada Tuhanmu.” Dengar Tuhan, dengar firman Tuhan, dengar apa yang diwahyukan Tuhan. Jadi kalau buku ini ditulis kepada orang Yahudi, maka orang Yahudi mengerti apa artinya ‘dengar’ berkait dengan apa yang diperintahkan oleh Tuhan kepada bangsa, kepada nenek moyang mereka. Itu sebab istilah ‘dengar’ di sini bukan dengar segala sesuatu, karena sebelumnya dan sesudahnya kait dengan firman. Saya sudah bicara kepada Saudara, bedanya Hebrew dan juga bedanya antara Hebrew dan Grika adalah satu kebudayaan yang dengar, satu kebudayaan yang melihat. Seluruh kebudayaan Grika, Hellenistic culture adalah untuk melihat apa yang dicipta oleh Tuhan, lalu memikir, menghitung, menspekulasi, menganalisa, merumuskan dan menjadi natural science. Tetapi kebudayaan Ibrani adalah mendengar suara dari Tuhan, bukan ‘yang dicipta’ tetapi ‘Yang Mencipta’, akhirnya mengerti teologi supranatural. Natural science di ‘dunia ini’, teologi supranatural di ‘dunia itu’. Melalui dengar kita mengerti apakah kunci rahasia untuk memberikan interpretasi dunia yang dicipta. Jadi wahyu khusus adalah kunci mengerti wahyu umum, dengar wahyu Tuhan menyatakan rahasia untuk mengerti apa yang dicipta oleh Tuhan di dalam dunia ini. Kebudayaan Yunani adalah kebudayaan yang menjadi pelajar, studi akademis, tapi kebudayaan dari pada pendengaran firman Tuhan menjadi kebudayaan menemukan iman kepercayaan, credo, konfesi, dan interpretasi akan dunia ini. Wahyu umum tidak mungkin dimengerti kecuali melalui kunci wahyu khusus. Hidup di dunia tidak mungkin menjadi berarti mengerti makna apa artinya hidup di dunia melalui yang diwahyukan Tuhan. Nah ini semua sudah tersimpan di dalam teologia Reformed yang begitu ketat. Maka di dengar dari depan, dari belakang, konteks dari istilah ini bukan dengar segala sesuatu secara cepat, cepat-cepat dengar semua? Enggak. Dengar firman Tuhan harus cepat, tetapi reaksi kepada firman Tuhan pelan dan jangan cepat marah. Nah kalau kunci ini sudah dapat maka kita mengerti menafsirkan kitab ini tidak akan sembarangan.
Saudara-saudara, mari kita melihat pengertian integratif dan sesuatu pengertian saling relasi melalui satu kunci atau satu prinsip yang saya sebut juga organic theology, pengertian teologi organis sehingga setiap ayat dan setiap kalimat, setiap bagian Kitab Suci ber-erat relasinya antara muka-belakang, Perjanjian Lama-Perjanjian Baru, pasal sebelum-pasal sesudah, ayat sebelum-ayat sesudah, itu semua terintegrasi jadi satu. Itu sebabnya janganlah engkau terlalu pelan tapi cepat-cepat mendengar, dan jangan engkau cepat, pelan-pelan reaksi terhadap apa yang engkau dengar, dan jangan cepat-cepat marah. Sesudah itu dikatakan “buanglah segala dosa yang berkelebihan, buanglah segala kejahatan yang begitu banyak,” baru engkau bisa “dengan hati yang lembut menerima firman yang ditanamkan dan firman itu menyelamatkan jiwa.” Dengan demikian jelas ini pendengaran bukan mendengar segala sesuatu, mendengarkan firman. Nah Saudara-saudara sekalian, kalau yang bicara bukan bicara firman, yang dengar tidak ada artinya mendengar, karena mendengar firman. Itu sebabnya gereja yang baik adalah gereja yang betul-betul mementingkan firman, mempelajari firman, meyakini firman, dan mengabarkan firman sehingga gereja itu harus mempunyai sikap mau dengar, dengar, mendengar firman. Sikap mendengar firman yang baik harus ditujukan kepada sikap memberitakan firman yang setia. Jikalau yang mengabarkan firman itu sembarangan mak dia tidak berhak menuntut pendengar mendengar dengan baik. Jikalau yang mengkhotbahkan itu sungguh-sungguh serius memberitakan firman dia harus tuntut pendengar tidak boleh sembarangan mendengar firman. Dengan demikian keseimbangan antara pengkhotbah dan yang mendengarkan firman sama-sama bertanggung jawab kepada Tuhan dan sama-sama akan diuji atau akan diperkenan oleh Tuhan.
Saudara-saudara sekalian, dengarlah baik-baik. Kalau kita melihat dari Musa sampai Maleakhi, Perjanjian Lama semua nabi tidak berkhotbah dengan main-main. Tidak ada satu nabi, tidak ada satu pengarang Alkitab menulis itu dengan main-main, dengan pikiran imajinasi, akhirnya tidak berdasarkan fakta atau mencampuri kemauan sendiri di dalam tulisan, tidak. Seorang Inggris datang ke Amerika mengkritik dalam suatu konferensi tentang cara homiletik yang diajarkan di dalam sekolah theologi Amerika. Lelucon dulu, bikin orang senang, baru khotbah. Lalu orang Inggris itu mengatakan, “Saya mau tahu, di mana ada contoh seperti itu di dalam Alkitab? Apakah harus begini?” Saya tidak berarti tidak boleh ya membicarakan sesuatu yang bikin orang ketawa, bukan. Tapi yang paling penting bukan itu, karena itu hanya menjadi bumbu sedikit saja. Yang paling penting adalah engkau dengan serius memberitakan firman. Dia mengatakan, “Saya tidak menemukan di dalam Alkitab ada cara bikin orang senang-senang, ketawa-ketawa, baru menyampaikan firman.” Karena itu bukan satu contoh dalam Alkitab, semua penulis Alkitab adalah orang yang serius, orang yang bertanggung jawab, orang yang betul-betul menghadap Tuhan waktu mereka memberitakan. Sehingga bukan psikologi umum, bukan psikologi masal yang dipergunakan, tetapi wibawa kehadiran kuasa Roh Kudus dan kebenaran firman itu yang menjadi unsur yang penting di dalam khotbah. Dengan demikian orang mendengar mereka merasa kehadiran Tuhan. Hadirat Tuhan berada di dalam tempat di mana khotbah itu diberikan, firman disampaikan. Di mana saja manusia merasa here is the Temple of God, here is the Gate to Heaven.
Istilah Bait Allah pertama kali muncul di dalam seluruh Kitab Suci itu bukan dari pada Daud, meskipun Daud yang ingin mendirikan Bait Allah tapi bukan dari dia. Istilah Bait Allah yang pertama kali muncul, bukan dari Musa meski Musa yang diberikan wahyu bagaimana membikin kemah dengan segala ukuran yang tidak boleh berubah menurut apa yang ditetapkan di Surga dan dinyatakan kepada dia di bukit Horeb. Tetapi istilah Bait Allah muncul pertama kali dari mulut Yakub di dalam Perjanjian Lama. Dan pada waktu Yakub mimpi ada salah satu tangga yang dari bawah atas sampai bawah, dan malaikat naik-turun di atas tangga, itu melambangkan ada jalan mempersatukan Allah melalui pengantara yaitu tangga itu. Itu Kristus. Begitu dia bangun dia mengatakan, “Here is the gate of Heaven, the temple of God.” Ini adalah Bet Elohim, Bethel, ini adalah Bait dari pada Allah, ini adalah pintu Surga. Itu pertama kali di dalam seluruh Kitab Suci. Pada saat ia mengatakan kalimat itu maka Dia pertama-tama mempunyai konsep yaitu Bait Allah adalah tempat di mana Tuhan menyatakan diri kepada manusia, di mana manusia bersekutu dengan Tuhan Allah, di mana ada pengantara yang menjembatani kedua ini dan ada malaikat yang layani. Dan ini berarti dia mengerti Kristus yang menjadi pengantara, mediator, di tengah-tengah manusia dan Tuhan Allah. Dan demikian di dalam Kristus, Allah bertemu dengan manusia, itu namanya Bait Allah. Dan pada waktu itu dia mengatakan kalimat itu, “Inilah Bait Allah,” justru di padang belantara. Maka konsep dari permulaan Bait Allah bukan bangunan. Di tempat tidak ada bangunan di situ bisa menjadi Bait Allah karena manusia sadar di situ Allah menyatakan diri. Di sini Allah hadir, di sini saya berada di bawah anugerah Tuhan Allah, di sinilah firman Tuhan disampaikan baik oleh nabi, oleh Yesus Kristus maupun oleh para rasul. Semua mempunyai gejala yang sama. Tidak tentu mereka memakai bangunan yang besar baru mereka menyampaikan firman Tuhan. Yunus menyampaikan firman Tuhan di tengah-tengah jalan, berkata kepad raja sampai kepada rakyat, “Bertobatlah kamu!” Di kota Niniwe tidak ada gereja di situ, tidak ada gedung di situ. Musa berbicara kepada Firaun, “God says let My people go,” kepada Firaun. Waktu itu di dalam Istana tidak ada tempat untuk Bait Allah tetapi Tuhan hadir dan berkata-kata dan di situ kuasa Tuhan menyatakan. Yesus berkhotbah di bukit, Yesus berkhotbah di pantai, Yesus berkhotbah di jalan, Yesus berkhotbah di sawah, Yesus berkhotbah dari kapal dan orang ada di pantai dengar khotbah Dia, di situ Bait Allah. Di mana Tuhan hadir, di mana kuasa Tuhan memeteraikan orang yang memberitakan firman, di situ menjadi Bait Allah. John Wesley pada waktu tidak diijinkan lagi naik mimbar karena dia menjadi sesuatu keunggulan yang membikin semua pendeta-pendeta Anglican iri hati kepada dia, setelah dia tujuh kali keliling ke Atlantik seberang sana, lalu semua boikot dia tidak boleh khotbah, dia mengatakan, “Kalau tidak ada mimbar boleh saya naik di seluruh Inggris tidak apa, saya paling sedikit boleh berdiri di atas kuburan ayah saya karena itulah sebidang tanah yang dimiliki dengan sertifikat hak milik keluarga kami sendiri. Di situ saya berkhotbah, tidak ada orang boleh larang saya.” Dan inilah permulaan dari John Wesley mempunyai konsep khotbah di luar gereja, di lapangan terbuka, di tempat kuburan dan temannya George Whitfield berkotbah di depan pabrik dan halaman yang kosong. Dan ternyata gereja yang bisa menampung hanya 500 – 1000 orang mereka telah berkotbah paling banyak satu kali 80.000 orang tidak pakai speaker karena 250 tahun yang lalu. Ini terjadi di Inggris oleh George Whitfield. Bait Allah, pembicaraan firman Allah, yang penting kehadiran Allah, kuasa Allah, urapan Roh Kudus, penyertaan Tuhan Allah sendiri. Yang penting bukan gedung dan bukan tempat yang disebut Bait Allah. Saudara-saudara, kalau firman Tuhan sudah disampaikan, wibawanya, otoritasnya itu yang lebih penting daripada yang lain. Maka engkau lihat, para nabi sampai para rasul, semuanya menjalankan prinsip yang sama seperti ini. Dan di sini dikatakan, “Dengarlah cepat-cepat dan bicaralah pelan-pelan.” Kalau firman sudah disampaikan, kalau firman yang berotoritas sudah diberikan, kalau Tuhan sudah menyatakan hadir di dalam pemberitaan Tuhan itu, dengar dengan cepat! Berarti: Jangan lolos, jangan kurang sesuatu, dengar dengan teliti, cepat menerima semuanya!
Saudara-saudara, saya dari umur 17 berkhotbah, umur 20 lebih bikin kebangunan rohani. Saya menemukan di mana-mana saja, waktu itu belum ada tape recorder, yang masih populer, sudah banyak orang catat cepat-cepat, takut ketinggalan apa yang saya khotbahkan itu hilang dari sebagian. Dan kadang-kadang selesai khotbah, ada orang datang, ‘Tadi poin yang ketiga apa ya? Saya tadi nggak sanggup karena terlalu cepat. Dia mau isi lagi, mau mereka pelajari.” Setelah ada tape recorder, sekarang semua orang itu pake tape recorder. Pertama kali saya ke Singapore, kira-kira 20 tape recorder kecil-kecil yang terus taruh di situ. Tetapi waktu itu cuma bisa setengah jam. Sehingga kalau sudah selesai setengah jam, mereka musti cepat-cepat balikkan kaset itu. Begitu datang satu per satu, datang, saya marah, suruh mereka pulang! Kaget setengah mati mereka, nggak pernah melihat ada pendeta galak seperti ini. Nah itu bikin kebangunan rohani yang bikin orang Singapore sampai sekarang masih ingat. Dan salah satu orang yang ikut kebaktian itu sekarang sudah menjadi rekan STEMI, Pendeta Thomas Kho, di Singapore. Waktu itu dia masih umur 16. Saudara-saudara sekalian, orang rekam karena apa? Karena mau dengar, mau dengar lagi, nanti pulang ingat lagi, jangan ada yang hilang! Nah ini sikap yang dikatakan di sini, “Cepat-cepat dengar, cepat-cepat terima, cepat-cepat menerima firman Tuhan yang disampaikan kepadamu karena firman yang dihadiri oleh Tuhan, firman yang berkuasa dari Tuhan, firman yang mempunyai perintah itu, menjadi berita untuk merubah engkau dan untuk memakai engkau untuk merubah dunia.” Itulah sebabnya, dengarlah cepat-cepat! Saudara-saudara, sekarang tape recorder sudah ada, semua sudah nggak usah dengar baik-baik. Ya kalau perlu, nggak usah datang. Nggak usah datang juga nggak apa-apa, beli kaset. Dengan demikian, kita pelan-pelan dengar. Saudara-saudara, mereka yang hadir sendiri, mereka yang betul-betul datang sendiri mendengar cepat-cepat, itu yang paling saya hargai. Satu kali, ada orang suruh saya pasang microphone, saya kira dari panitia, saya pasang. tidak lama lagi, ada orang suruh pasang lagi, saya pasang lagi. Setelah pasang 3, baru saya sadar, kok banyak sekali ya? Lalu saya tanya, “Ini apa?” “Ini tape recordernya saya sendiri.” Saya langsung buang dia karena dia tidak minta izin dari panitia, suruh saya pasang speaker-nya dia, pasang microphone lalu dia bisa rekam dengan jelas. Sedangkan orang yang datang tidak dengar yang jelas karena gedung itu kurang baik, dia pentingkan sendiri saja. Saya selalu mengutamakan orang yang datang sendiri dulu. Karena orang yang datang sendiri harus bangun pagi, orang yang datang sendiri harus naik kereta, harus buang waktu, harus datang sendiri di dalam kebaktian, itu dihargai lebih daripada mereka yang tidak mau datang, cuma kirim uang belikan kaset saja – karena saya sudah bisa dengar.
Dengar cepat-cepat! – ini adalah perintah Alkitab. Dengar sendiri, dengar baik-baik, dengar dengan menerima, dengar cepat-cepat! Tetapi kalimat selanjutnya dikatakan, “Bicara pelan-pelan.” Apa sebab? Karena setelah dengar, jangan reaksi dulu, pikir dulu. Setelah dengar firman Tuhan, jangan lawan dulu, renung dulu. Mengapakah banyak orang tidak bisa tunggu? Mereka cepat-cepat mendengar, cepat-cepat bereaksi. Karena pertama, saya menemukan beberapa sebab kenapa orang bereaksi dengar khotbah mereka tidak setuju langsung melawan. Pertama, karena konsep daripada pengkhotbah berlainan dengan konsep yang mendengar. Maka, ‘Oh saya nggak setuju. Kenapa khotbah begini?’ – mulai reaksi, bicara terlalu cepat. Kenapa? Karena konsep berbeda. Nah saudara-saudara, konsep itu semua orang mempunyai, semua orang mempunyai sifat individu, mempunyai sifat subjektif, mempunyai sifat pengalaman pribadi, mempunyai sejarah penerimaan konsep, itu sebab pembentukan konsep menjadikan engkau seorang yang berpendirian. Tidak ada salahnya engkau mempunyai pendirian, tidak ada salahnya engkau mempunyai tanggapan terhadap hal-hal tertentu yang sudah engkau renungkan, sudah engkau pikirkan, itu pasti. Tetapi pada waktu konsep yang sudah dibentuk itu berlainan dengan konsep firman Tuhan maka terjadi terbenturnya waktu engkau dengar. Nah di sini engkau reaksi, ‘Saya tidak seneng khotbahnya dia, saya tidak setuju khotbah hari itu!’ Silahkan! Tetapi, kalau yang khotbah berkonsep salah, yang melawan berkonsep betul, itu malah kita harus memuji yang berani melawan. Seperti, Agustinus berkata, “Jikalau engkau menemukan khotbahku tidak sesuai dengan Alkitab, maka tinggalkanlah aku, kembali ke Alkitab!” nah di sini fair, fair – berarti boleh kita setuju kalau yang mendengarkan khotbah mempunyai pendirian yang benar, teologi yang benar, lalu yang khotbah sembarangan, dia melawan itu, tidak apa. Tetapi saya sudah katakan dari bagian pertama, khotbah yang takut kepada Tuhan berasal dari Tuhan, dan dihadiri Tuhan dengan otoritas urapan Roh Kudus, itu adalah khotbah yang pengkhotbah sendiri sudah bertanggung jawab kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh mengerti dan diurapi dan dihadiri oleh Tuhan, dia memberitakan firman dari Tuhan, maka konsep kita kalau berbeda, kita jangan terlalu cepat melawan. Itu namanya bicara pelan-pelan. Dengar cepat-cepat, bicara pelan-pelan. Karena apa? Karena konsep kita berlawanan dengan konsep Alkitab, maka yang perlu dikoreksi adalah konsep kita, bukan Alkitab yang perlu dikoreksi. Tetapi orang-orang rasional, orang-orang komunis, orang-orang ateis, orang-orang sekuler, orang-orang post–modern, orang-orang yang self-centered people, mereka begitu baca Alkitab, dengar firman langsung tidak setuju, karena apa? Mereka anggap diri pintar.
Nah Saudara-saudara sekalian, maka sebab kedua kenapa kita tidak bisa terima firman yang ditaburkan yang sungguh-sungguh firman Tuhan? Karena kita memang mempunyai sifat yang sudah kaku, hanya membenarkan diri saja. Selain konsep itu berbeda, kita mempunyai sikap “apa pun saya betul, apa pun saya tidak mau terima,” sehingga kita cepat melawan, cepat mengoreksi, cepat bereaksi karena kita tidak mau terima. Itu pemutlakan diri, absolutized yourself, merupakan suatu hal yang menjadikan dirimu sulit dirubah oleh firman. Saudara-saudara sekalian, ada orang yang dengar satu kali khotbah terus berubah, ada orang yang dengar 100 ribu kali khotbah tetap sifatnya tidak rubah. Karena apa? Dia tidak bersedia untuk berubah. Kenapa ke gereja? Kenapa mesti dengar? Hanya membuktikan dia orang Kristen yang rajin, supaya orang lain puji dia. Setiap kali engkau datang ikut kebaktian, dengarkan khotbah, bersedia dengan satu sifat, “melalui firman yang saya dengar saya bersedia dirubah oleh Tuhan,” amin? Kalau engkau tidak bersedia dirubah, engkau selalu membenarkan diri, tak mungkin ada kemajuan kerohanian. Saudara-saudara, sebagai pemimpin biasanya suka bicara, jarang mendengar. Tetapi kalau ada kesempatan orang bicara, saya mendengar, saya coba berusaha mendengar dengan teliti. Nah kalau betul ada sesuatu konsep yang benar di antara apa yang saya dengar yang boleh merubah saya, saya harus bersedia untuk dirubah. Ini sikap yang baik. Nah ini sebab pertama konsep berbeda, langsung lawan. Sebab kedua, membiasakan diri, memutlakkan diri, tidak mau dirubah, maka lawan.
Konsep ketiga, karena ada latar belakang kebudayaan yang berbeda dengan firman Tuhan. Nah ini merupakan hal yang sangat-sangat serius dan sangat-sangat besar. Di mana Injil diberitakan, di situ terjadi benturan antara Injil dan kultural. The word of God crashed with the civilization of man. Kebudayaan manusia itu sebenarnya sangat indah. Kebudayaan manusia itu dikonformasikan nilainya secara positif oleh teolog. Tetapi kebudayaan itu tidak boleh kita anggap itu mutlak karena di dalamnya mungkin mengandung satu persen sampai 99 persen unsur setan yang mempengaruhi konsep manusia. Sehingga di dalam Lausanne Congress di mana pertama kali tahun ’74 saya sendiri hadir. Nah salah sebagian mengenai kultural saya yang menerjemahkan ke dalam Bahasa Mandarin. Kita harus mengonformasikan kebudayaan, namun jangan lupa, di dalamnya mungkin mendandung unsur satan, unsur setan. Satanic elements yang tergabung di dalam kebudayaan-kebudayaan, jadi kebudayaan, adat istiadat dari pada semua suku, semua bangsa, itu baik. Itu yang menegakkan tulang punggung manusia hidup secara rohani dan secara mental sehingga tidak terjerumus di dalam dunia yang terus berubah. Itu yang membikin kebanggaan suatu bangsa dan suatu suku. Tidak salah. Tetapi dia adat istiadat apa saja dari suku mana saja, mungkin mempunyai unsur-unsur yang dicampuri oleh pikiran-pikiran dosa dari pada bibit setan. Sehingga kita harus mengupas, membedakan, lalu kita keluarkan kebudayaan itu bebas dari pada unsur itu untuk takluk kepada firman Tuhan. Alkitab berkata, di dalam 2 Korintus 10, Paulus berkata, “Mari kita tawan kembali pikiran-pikiran yang sudah tertawan, dan kita merobohkan itu benteng-benteng dari pikiran, membawa mereka kembali kepada Allah di dalam Kristus.” Kembalikan otak, kembalikan unsur pikiran, rasio, kebudayaan, kembali kepada Allah melalui penaklukan kepada firman. Nah ini suatu hal yang besar sekali, yaitu apa yang tadi saya katakan mengenai culture mandate di dalam khotbah-khotbah terus menerus.
Setelah GRII didirikan, saya percaya banyak konsep Saudara yang dulu engkau kira benar, sekarang engkau mulai sadar itu salah. Banyak firman yang dulu engkau dengar sulit terima engkau akhirnya bisa terima. Siapa yang pernah mengalami perubahan konsep setelah mendengar firman Tuhan? Coba angkat tangan. Konsep-konsepmu yang dulu, loh kok sekarang kok rasa salah? Itu terjadi. Puji Tuhan. Berarti Saudara dirubah. Bukan oleh saya, dirubah oleh firman. Konsep-konsep saya begitu banyak yang dirubah oleh firman Tuhan, karena pikiran-pikiran manusia yang menjadi intisari yang disari, yang diterima dari pada kebudayaan, itu mempunyai unsur-unsur latar belakang yang bukan kebenaran. Kenapakah orang Tionghoa kalau laki-laki mempunyai istri kedua tidak dipersalahkan, tapi kalau perempuan kalau mempunyai suami kedua dimaki-maki caci oleh seluruh dunia? Satu sebab, karena laki-laki prioritas, laki-laki mempunyai hak istimewa. Apalagi kalau istrinya tidak melahirkan anak, itu alasan di antara 7 alasan yang paling besar boleh menikah lagi. Mendapatkan istri kedua tidak melahirkan anak, alasan cukup, yang sama, dia boleh menikah istri yang ketiga. Kalau sudah menikah ketiga lalu yang kesatu, kedua melahirkan anak, enggak apa-apa. Itu dulu. Kalau sampai tujuh, tujuh tidak dapat, dia boleh menikah lagi kedelapan, karena apa? Karena belum ada anak kok. Kalau tidak ada anak itu dosa besar sama nenek moyang. Dari dulu turun, turun, susah-susah, engkau stop. Kurang ajar kamu. Bikin habis sukumu, bikin habis wargamu. Maka engkau harus cari. Setelah dapat istri kedelapan masih belum lahirkan anak, baru membuktikan, yang nggak bisa lahirin bukan perempuan-perempuan itu, kamu yang mandul. Bagaimana? Sudah kadung. Tujuh wanita yang dikorbankan harus kongsian mendapatkan satu suami. Nah ini kebudayaan. Ini unsur setan. Ini unsur tidak sesuai dengan Alkitab. Nah pada waktu orang Tionghoa dengar khotbah, dia dengar, “Hah? Apa ini? Itu kan kebudayaan Yahudi? Itu kan orang Israel? Saya Tionghoa, masak Kong Hu Cu kalah sama Moses? Masak Kong Hu Cu kalah sama Yesus? Masak Mensius kalah sama Petrus? Saya tidak perduli. Saya tidak mau terima!” Banyak orang-orang Tionghoa tidak terima injil karena mereka menganggap diri lebih baik, mereka menganggap ajaran Kong Hu Cu lebih tinggi dari Alkitab sehingga mereka tidak mau cepat-cepat dengar tapi mereka mau cepat-cepat kritik. Saya sekali lagi ya bagian ini khusus mengenai dengar khotbah sama reaksi kepada khotbah, bukan dengarlah segala sesuatu dengan cepat lalu ngomong pelan-pelan. Bukan. Ini fokusnya adalah dengar khotbah dan reaksi kepada khotbah. Kenapa kita terlalu cepat kritik, terlalu cepat reject, melawan firman yang kita dengar? Karena konsep berbeda, karena diri kita itu sudah dimutlakkan, karena kebudayaan. Nah Saudara-saudara, kalau kebudayaan itu sudah mendarah daging, sudah menjadi suatu kebiasaan yang tidak bisa dicopot lalu sekarang ternyata berlawanan dengan Alkitab, reaksinya cuma 2. Pertama, buang kebudayaan salah, takluk kepada firman Tuhan; atau kedua, yaitu tolak Alkitab, pegang kebudayaan, lalu engkau melawan Tuhan. Engkau bilang dua-dua tidak mau. Maunya apa? Maunya damai, ya. Kalau hari Minggu pergi ke gereja dengar firman, Senin sampai Sabtu pegang kebudayaan yang asli, Minggu dengar lagi, itu namanya kompromi. Saudara-saudara, begitu banyak kebudayaan tidak dihilangkan salahnya, menjadi kompromi, maka orang Kristen kebudayaan sama orang Kristen dilahirkan baru lain.
Seorang missionary setelah pulang dari Indonesia dia geleng kepala, “Di Indonesia, daerah-daerah Kristen, 90% kebudayaan, 10% Kristen. Di antara 10 Kristen, 80% yang tidak diselamatkan, 20% yang diperanakkan pula.” Maksudnya dia, daerah-daerah Kristen yang diselamatkan cuma 2%, 98% itu culture Christian, not the born-again Christian, not the genuine Christian. Dia mengatakan kalimat itu, saya bisa mengerti kesusahannya, kesedihan hatinya, tapi saya tidak tentu setuju persentasi yang dia katakan. Tapi itu betul. Banyak orang Kristen di daerah Kristen mereka Kristen tradisi, Kristen nominal, Kristen kebudayaan. Di dalam hal-hal tertentu waktu mereka bertindak sesuatu, kelihatan mereka belum Kristen. Di Manado terjadi membakar rumah orang lain, memecahkan kaca orang lain, sesudah ganyang selesai, pulang ratusan pemuda pakai truk-truk bawa bendera, “Salib hantar aku trus..salib hantar aku trus..menuju surga Bapa yang menang..salib hantar aku trus.” Baru berdosa pakai bendera salib. Di Meksiko banyak orang Kristen tukang copet. Sudah copet, ditangkap, kelihatan ada salib besar yang taruh di sini. Engkau suka ya, kalungnya salib? cincinnya salib? mungkin gigi emasnya salib juga. Kelihatan engkau Kristen sekali tapi hidupnya tidak Kristen. Itu namanya apa? Itu namanya orang kultural yang berplang Kristen. Seperti orang yang profitkan diri berplangkan gereja. Seperti orang-orang ajarannya dunia tapi pakai nama Kristus. Christian without Christ. Orang Kristen tanpa Kristus. Banyak sekali. Karena apa? Karena maunya kompromi. Mau Kristen? Mau. Buang kultur yang salah? Tidak mau. Buang dosa? Tidak mau. Mau sekaligus berdosa sekaligus diberkati, sekaligus berdosa sekaligus diampuni, sekaligus pegang kebudayaan yang salah, sekaligus mau masuk surga. Saudara-saudara, dengar cepat-cepat dan bicara pelan-pelan. Kenapa bicara pelan-pelan? Karena bicara terlalu cepat salah, reaksi tercepat bahaya karena yang diberitakan ini bukan hal yang biasa. Saudara-saudara, kalau raja suruh orang menyampaikan titahnya, saudara hanya dengar tidak bisa bantah. Karena apa? Karena itu raja. Raja itu siapa? Mempunyai hak, kuasa, otoritas tertinggi. Itu hanya manusia. Tetapi kalau firman Tuhan engkau bantah karena apa? Karena engkau lebih pintar dari Tuhan? Enyahlah kamu! Ini adalah kelemahan manusia. Ini kalimat penting sekali. Dengar cepat-cepat, bicara pelan-pelan. Why? Why speak slowly? Because spoken to you, those are the word of God with the highest authority in the universe. Yang dibicarakan oleh engkau adalah firmah Tuhan yang berotoritas tertinggi di dunia. Mari kita tidak boleh sembarangan memberikan reaksi untuk melawan karena ini firman Tuhan. Bukan saja demikian, kenapakah kita melawan firman Tuhan? Kita melawan firman Tuhan karena itu akan mengganggu hidup kita yang berdosa. Nah saudara-saudara, engkau mengatakan jangan berjudi. Orang biasa bilang, “Wah bagus ya, khotbahnya bagus ya.” Tapi orang berjudi mengatakan, “Tidak bagus! Karena dia ngomong gini saya akan dilawan dan saya akan diejek oleh orang lain.” Jadi di situ karena dosa bertemu dengan terang, manusia lebih suka hidup dalam dosa, manusia tidak mau terang.
Seorang missionary dari pada OMF pernah melayani di Tiongkok dan menulis Kitab Suci tafsiran 4 injil yang tebalnya kira-kira 3000 halaman. Saya dari waktu muda membaca itu sangat hormat kepada dia. Dia mengganti namanya menjadi Ting Wei Yang, melayani Tuhan di Tiongkok sampai lebih dari pada 30 tahun. Dia menulis tafsiran Kitab Suci dengan huruf Tionghoa. Orang besar sekali. Saudara-saudara, orang ini mengatakan waktu dia menjelaskan Yohanes pasal 3, “Manusia lebih suka gelap, tidak suka terang,” dia ambil umpama satu kali ada seorang yang jalan-jalan mau masuk kota. Kota gerbang itu kalau sudah malam pintunya ditutup. Maka dia kejar-kejar supaya sebelum pintu tutup dia sudah masuk kota. Kalau tidak, dia keliaran luar kota kena maling, kena perampok susah. Waktu dia jalan-jalan, waduh kesandung batu jadi barang dia itu jatuh semua. Waktu barang dia jatuh semua ternyata itu banyak uang, uang bunder yang bergulung-gulung, sudah gulung-gulung di tanah, malam sudah gelap dia mau ambil susah sekali karena itu ceceran dimana-mana. Di tengah-tengah keadaan gelap dia mau ambil satu persatu enggak lihat. Datanglah seorang yang bawa lampu, orang bawa lampu itu, “Engkau lagi cari barangnya susah liat ya? Ini lho ada lampu bisa bantu engkau.” Senang enggak dia? Senang sekali bukan, “Oh terima kasih, terima kasih,” langsung diambil kembali semua uang yang jatuh di tanah, yang ada segelondong di tempat yang jauh, diambil semua uang, “Terima kasih ya ada lampu mu, terima kasih sangat membantu saya.” “Aduh enggak apa-apa, saya memang suka bantu orang lain, saya juga enggak rugi apa-apa kok,” lalu dia pergi. Nah orang yang bawa lampu itu jalan-jalan sudah lewat satu tempat dengar lagi suara, grum grum, di tengah-tengah kegelapan ada orang kerja. Terus dia bilang, “Aduh kasihan ya kerja di tengah-tengah gelap enggak kelihatan. Dia katakan, “Saya bantu kamu ya, saya bantu kamu ini ada lampu kerja supaya lebih jelas,” begitu ngomong belum selesai langsung ditendang dengan kaki kepada mukanya, ditonjok, dia jatuh pingsan, kenapa? Karena orang yang kerja di situ suka gelap, karena dia maling lagi gali lubang mau masuk kota yang sepi, dia mau masuk untuk curi. Orang pencuri grum grum lagi gelap dikasih lampu enak enggak? Enggak enak dong. Jadi lampu datang diterima oleh orang baik, lampu datang ditolak oleh orang berdosa, betul enggak? Nah ini alkitabiah. Apakah sebabnya “engkau cepat-cepat dengar, pelan-pelan bicara, pelan pelan marah,” sesudah itu disambung dengan “buanglah dosamu dan kejahatan yang berkelebihan”? Karena ada dosa maka cepat-cepat melawan firman, itu artinya begitu banyak orang dengar firman rasa bagus terima dengan baik lalu dia merasa, “Aduh betul, betul, ini firman merubah hidup saya, Tuhan ampuni saya,” dia mulai merubah. Tetapi ada orang yang dosanya begitu banyak dengar firman dia lawan. Dia lawan karena apa? Karena dia mencintai dosa lebih dari pada cinta terang, itu sebabnya.
Nah Saudara-saudara, sebelum masuk ke situ kita pikirkan kalimat selanjutnya, yaitu “karena kemarahan manusia tidak menggenapi kebenaran keadilan Allah,” yaitu righteousness. We can not accomplish the righteousness of God by our wrath, kemarahan manusia tidak bisa menggenapi keadilan Allah. Ayat ini bentur secara fenomena dengat ayat Mazmur 76, mari kita membaca Mazmur 76 jadi Saudara melihat jika ada ayat yang bertolak belakang, Mazmur 76:10, “Sesungguhnya panas hati manusia akan menjadi syukur bagi-Mu, dan sisa panas hati itu akan Kauperikatpinggangkan.” Nah ini terjemahan lain ya, karena kemarahan manusia akan menggenapi kemuliaan Tuhan, sedangkan kelebihan kemarahan itu akan dicegah oleh Tuhan. Tapi sebenarnya ada terjemahan lain, kemarahan manusia akan menggenapi kemulian Tuhan Allah. Nah Saudara-saudara, kenapa Martin Luther sukses? Karena dia marah. Kenapakah Charles Finney begitu dipakai? Karena dia marah. Kenapakah John Sung menjadi hamba Tuhan yang besar? Karena dia berani marah. Martin Luther mengatakan, “I never work better than when I was inspired by the holy anger.” Kenapakah Yesus mengusir? Karena Dia marah. Kenapakah itu Yesaya, Yeremia mereka menjadi hamba Tuhan yang setia? Karena mereka berani marah. Mengapa Elia bunuh akan nabi-nabi? Karena dia marah. The wrath of men will accomplish Your glory, kemuliaan Allah bisa digenapi oleh kemarahan manusia kalau kemarahan itu adalah kemarahan yang sesuai dengan kemarahan Tuhan. Sinkronisasi antara kemarahan manusia dengan kemarahan Tuhan itu menjadi suatu keindahan yang luar biasa. Kalau gereja sudah bobrok, gereja sudah kompromi, gereja sudah dosa, gereja sudah jerumus di dalam segala arus yang tidak beres, siapa yang marah? Siapa yang menegur? Siapa yang membangun gereja? Kecuali mereka yang marah beserta dengan kemarahan Tuhan, mereka diapakai oleh Tuhan. Maka Mazmur 76 di sini kemarahan manusia akan menggenapi kemulian Tuhan Allah. Tetapi ayat mirip ini muncul di dalam Yakobus 1:20, “Karena kemarahan manusia tidak menggenapai akan keadilan Allah.” Kontra, engkau menemukan di dalam Alkitab ada dua ayat ini kontra, Perjanjian Lama, Perjanjian Baru. Kemarahan apa, kemarahan apa yang dipentingkan, bukan kemarahan itu dipersamakan, diidentikkan. Wrath ada holy wrath, ada righteous wrath, ada sinful wrath, ada marah yang suci, marah yang benar ada marah yang najis, marah yang kotor. Saudara-saudara, kalau engkau orang yang suci lihat orang berdosa engkau marah, marah itu baik. Kalau engkau orang berdosa dimarahi orang suci engkau lawan itu marah yang jelek. Ngerti? Gampang sekali. Jadi di sini bukan marahnya yang diidentikan dua tempat tapi si pemarah yang berbeda yang ditemukan. Saudara-saudara, kenapa di Mazmur 76 dikatakan kemarahan manusia menggenapi kemuliaan Allah tetapi kenapakah di dalam Yakobus 1:19 dikatakan kemarahan manusia tidak bisa menggenapi kehadiran Allah? Karena kemarahan melawan firman itu kemarahan yang tidak berguna. Tapi kemarahan firman terhadap orang yang berdosa itu kemarahan Tuhan yang beres, ini bedanya. Saudara-saudara, sebenarnya di dalam emosi yang dikuduskan tahun lalu saya sudah singgung sedikit mengenai kemarahan yang sinkron dengan kemarahan Tuhan Allah. Dengar lagi khotbah itu, cari lagi kaset, atau baca lagi itu ringkasan sudah ada. Hari ini saya tekankan kembali kemarahan itu ada dua macam: kemarahan bersama dengan Tuhan Allah, ada kemarahan beserta dengan setan. Kemarahan Tuhan adalah menghadapi dosa, mengkritik, memarahi, menghakimi kejahatan. Kemarahan dari dosa adalah melawan kehendak Tuhan.
Saudara-saudara, dengarlah cepat cepat, bicaralah pelan pelan. Jangan terlalu cepat reaksi, jangan terlalu cepat melawan, jangan terlalu cepat untuk bereaksi kepada firman Tuhan secara negatif. Saudara-saudara sekalian John Sung pernah mau dibunuh, John Wesley pernah mau dibunuh karena di dalam berkhotbah mereka mereka berani luar biasa menegur dosa dan minta pertobatan dengan sejati. Seorang bawa pistol mau membunuh John Sung, Saudara-saudara. Begitu John Sung habis khotbah dia tidak jabat tangan sama orang lain, dia terlalu capek sekali khotbah lalu dia keluar dari pintu belakang lalu dia pergi. Dan pada waktu dia keluar dari belakang orang yang bawa pistol yang mau membunuh dia itu melihat mukanya penuh dengan kesucian, gemetar tangannya, akhirnya disimpan, di belakang tirai melihat dia lewat akhirnya tidak berani bunuh. Beberapa tahun kemudian di dalam suatu kebaktian John Sung, dia maju ke depan, nangis bertobat, lalu datang mencari John Sung, “Saya orang yang dulu ingin membunuh anda, namun akhirnya saya tidak kuat, saya getar.” Sekarang pendeta seperti itu sudah tidak ada, pendeta yang berani tegur begitu keras tidak ada, pendeta yang dibunuh tidak ada, pendeta itu di sayang-sayang, kenapa? Begitu pandai untuk harmonis dengan semua orang. John Wesley pada waktu dia naik kuda lewat suatu tempat, di belakang jembatan ada satu orang sudah sedia tahu dia mau pergi ke kota lain, mau membunuh dia karena dengar khotbah dia marah. Dia dibongkar dosanya di malukan, bukan namanya disebut. Waktu John Wesley mengatakan, “Bertobatlah engkau yang berjudi, engkau berzinah,” kota itu semua tahu kalau dia berjudi, dia berzinah. Maka setelah dia begitu marah kepada Jon Wesley, dia tahu besok Jon Wesley akan ke kota mana, dia tunggu di jembatan karena kuda harus lewat situ. Dia sudah pakai senapan mau tembak. Waktu dia mau tarik itu, mau tembak, dia cocokkan senapan kepada targetnya, kepala Jon Wesley. Di tengah-tengah dia mau lepaskan itu, Jon Wesley nyanyi, “Engkau memelihara kepalaku,” wah orang ini kaget luar biasa, saya targetnya kepala kok dia menyanyi lagu ini. “Engkau perisaiku, Engkau melindungi kepalaku, Engkau Tuhanku.” Maka kalau perlu nyanyi, kalau bisa nyanyi di JOS, kalau enggak bisa nyanyi di rumah, jangan hanya nyanyi di kakus saja. Dia begitu mau membunuh dia dengan senapan menuju ke kepalanya, dengar lagu itu akhirnya lepas, enggak berani. Beberapa waktu kemudian di dalam suatu kebaktian dia bertobat. Dia juga berlutut, maju, nangis, walau akhirnya dia minta waktu beritahu kepada John Wesley, “Aku pernah mau menembak engkau.”
Nah Saudara-saudara, mereka marah karena apa? Maka dosa mereka terbongkar, mereka cepat-cepat reaksi melawan, karena apa? Karena firman Tuhan menegur mereka. Di sini dikatakan cepat dengar, lambat bicara, lambat marah, tunggu sedikit marah. Engkau tunggu sebentar, sabar sedikit marah, engkau sehingga tidak bersalah besar. Kalau engkau marah, engkau membunuh hamba Tuhan akhirnya engkau masuk penjara seumur hidup apa untungnya? Tapi kalau engkau tunggu sedikit, jangan marah dulu, pikir lagi, akhirnya firman Tuhan merubah engkau. Engkau bertobat, bukan saja engkau tidak perlu masuk penjara, engkau seumur hidup berubah dan banyak orang mendapat berkat. Saudara-saudara, dengar khotbah marah karena yang berkhotbah terlalu berani, tapi yang dengar ada dosa, ini salah satunya. Nah kalau sudah mengerti kaitan ini, ayat kalimat selanjutnya itu menjadi berarti sekali. “Itulah sebab buanglah segala kotormu dan buanglah segala kejahatan yang berkelebihan.” ‘Yang berkelebihan’ itu apa artinya? Saudara-saudara, sudah berdosa tidak bertobat, ditambah lagi dosa yang lain untuk menutup dosa, itu dosa berkelebihan. Sudah berdosa, bertobat. Tidak bertobat makin dosa, tutup dosa, makin dosa, tutup dosa, makin dosa, tutup dosa. Itu namanya dosa berbunga. Dosa yang modalnya aslinya di situ, ditambah lagi, tambah lagi, dosa berkelebihan, buang semua itu. Ini tidak perlu, kemarahan tidak perlu, reaksi tidak perlu, lawan Tuhan tidak perlu. Dosa yang sudah ada itu perlu dipertobatkan, itu cukup, engkau mengaku dosa jangan ditambah lagi. Ini artinya. Jadi Saudara-saudara, banyak orang marah untuk membela diri, itu kemarahan ada dosa kelebihan. Banyak orang sudah berdosa lalu tidak setuju dia cari pengacara untuk membela diri, itu mencari pengacara menjadi dosa kelebihan. Saudara-saudara, dosa-dosa kelebihan yang dipakai untuk menutup-nutupi, untuk membersihkan dosa selanjutnya, itu bukan saja tidak mungkin membersihkan, tidak mungkin menghapus dosa, hanya menjadi dosa kelebihan. Nanti akan mendapat hukuman lebih banyak, lebih berat, hukuman double, triple, dan sebagainya. Buanglah kejahatanmu, buanglah kekerasan, buanglah dosa kelebihan. Lebih baik engkau mengaku dosa, engkau bertobat, engkau jujur minta pengampunan dari Tuhan.
Lalu ayat selanjutnya mengatakan, “dengan demikian maka sediakanlah hati yang lembut untuk menerima firman yang ditanamkan.” Jadi seluruh konteks secara organik, seluruh relasi integratif adalah satu hal, dengar firman, reaksi kepada firman, dan jangan marah terhadap firman. Ini ayat nya. Saya terkejut dengar orang khotbah ayat ini tidak dikaitkan dengan firman, cuma dikaitkan, “Kita ndak boleh marah-marah ya, kita musti sabar ya, kita musti denger baik-baik, tapi jangan bicara dulu ya,” dengar apa tidak dikatakan. Maka hari ini, khotbah ini, saya kaitkan integratif antara pendengaran dengan firman, karena Allah mau menemukan semacam manusia di dunia yang bersedia telinga mendengar firman-Nya. Allah memberitakan wahyu-Nya kepada orang yang bersiap mendengarnya. Allah mencintai orang yang kerok kuping bersih, sungguh-sungguh cepat mau menerima firman-Nya. Allah mau kita mendengar firman, lalu menerimanya sebagai tanaman benih hidup yang diberikan ke dalam jiwa kita. Begitu benih itu ditanam, tanam, tanam, perlu apa? Firman sudah diwahyukan, perlu hati yang lunak, perlu hati yang lemah lembut untuk menerima. Itu sebab petani yang pinter, selain beli banyak benih, dia lebih suka mengeduk tanahnya supaya boleh menerima benih. Apa gunanya mempunyai ribuan benih, sudah ditanam di sawah, lalu ditiup angin habis semua? Apa gunanya benih sudah buang waktu banyak, beli dengan uang yang banyak, akhirnya dimakan oleh burung? Yesus Kristus berkata, “Benih waktu ditanamkan, ada yang jatuh di pinggir jalan, ada yang berada di batu keras, ada yang diambil oleh burung, ada yang masuk ke dalam tanah yang baik.” Siapakah bertumbuh, siapakah iman yang maju, siapa yang rohaninya menjadi matang, siapa yang terus menerus menuju kepada penggenapan iman, menuju ke kesempurnaan kerohanian, hanya satu macam orang, yaitu senantiasa menyediakan hati yang lemah lembut untuk menerima benih yang ditanamkan. Engkaukah itu? Sayakah itu? Maukah kita menjadi orang yang melunakkan hati? Tuhan, Tuhan, saya mau menjadi pendengar, pendengar yang baik.
Saya bersyukur Tuhan setiap khotbah, sebelum saya khotbah kemarin, Saudara, saya sudah mendengar sendiri dari Tuhan, saya merenungkan firman, merenungkan, akhirnya saya memikirkan, apakah ini untuk pendengarku atau untuk saya? Jawabannya adalah untuk saya dulu, baru saya berhak sampaikan kepada pendengarku. Kalau saya sebagai pengkhotbah sendiri keraskan hati, anggap siap khotbah hanya untuk orang lain, saya sendiri ndak mungkin maju. Itu sebab saya berusaha menjalankan setiap kalimat yang saya khotbahkan dalam hidupku, sehingga hidupku bertanggungjawab, menjadi contoh apa yang saya khotbahkan kepada Saudara. Sediakanlah hatimu yang lembut, kalau mau sediakan hati yang lembut, boleh saya khotbahkan yang lain lagi, bagaimana keduk tanah, bagaimana pilih padang besar, bagaimana buang kerikil-kerikil, bagaimana siram air, bagaimana memberikan pupuk-pupuk yang membikin tanah ini lebih subur. Lalu mengatakan, “Tuhan, hatiku sudah sedia, hatiku sudah lunak, saya mau dengar cepat-cepat, saya tidak mau marah, saya mau terima firman Tuhan, saya tidak akan bereaksi dan menolak, melawan, mengejek, mengkritik, mencari alasan untuk melarikan diri dari pentaburan firman Tuhan. Di sini, hatiku yang lembut, silahkan beri firman, saya bersedia mendengar.” Mari kita berdiri, kita membaca ayat-ayat ini sekali lagi. Sambil membaca, sambil merenungkan, lalu kita akan bersedia hati untuk berdoa, kiranya Tuhan memberikan kekuatan kepada kita.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]