Solitude menurut Mazmur 77, 22 Januari 2023

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, salah satu cara mendiagnosa kerohanian kita secara pribadi, yaitu dengan menanyakan kepada diri kita sendiri, “Apakah kita sangat mementingkan disiplin rohani?” Disiplin rohani itu misalnya saat teduh, doa, ibadah, hal-hal yang sifatnya menuntut tanggung jawab kita di dalam membangun kerohanian kita. Alkitab sangat menekankan tidak ada kebangunan rohani secara pribadi maupun komunal yang terjadi secara instan. Kita pikir waktu kita sudah doa, lalu besoknya terjadi perubahan yang nyata, lalu kita sungguh-sungguh jadi cinta Tuhan, lalu nggak berdosa lagi. Nggak! Alkitab menekankan nggak ada kedewasaan rohani yang secara instan. Kedewasaan rohani itu perlu perjuangan, perlu proses yang panjang dan terus bergumul setiap waktu sampai kita bertemu dengan Tuhan.

Seorang teolog bernama Dallas Willard mengatakan ada 3 area utama yang sering kali Tuhan pakai untuk mengubah kita. Pertama, yaitu kedisiplinan rohani seperti puasa, ibadah, lalu doa bersama juga bisa termasuk di dalamnya pembacaan Alkitab kita, dan kedisiplinan rohani lainnya yang kita kerjakan. Kedua, interaksi kita terus-menerus dengan pimpinan Roh Kudus. Misalnya pertobatan, penyerahan diri, belajar berserah kepada Tuhan, lalu belajar untuk beriman kepada Tuhan dan bergumul di dalam menaati segala perintah Tuhan. Itu bergumul di dalam pimpinan dan pertolongan Roh Kudus. Ketiga, ketekunan, kesabaran dan ketahanan yang Tuhan bangun di dalam kita melalui segala frustasi kita, pencobaan bahkan, pergumulan kita baik secara pribadi maupun bersama keluarga, dalam pekerjaan, dalam studi, dalam keseharian kita.

Hari ini saya mau mengajak kita untuk merenungkan tentang solitude, tentang devosi pribadi kita dengan Tuhan, tentang waktu khusus kita bersama dengan Tuhan. Aku dan Tuhan. Kebangunan di dalam satu komunitas umat Tuhan itu saling terkait dengan kebangunan pribadi kita, kedisiplinan rohani kita dengan Tuhan. Demikian juga, komunitas Kristen yang baik akan membangun dan mendorong individu-individu Kristen untuk lebih disiplin secara rohani. Kedua hal ini saling terkait. Kadang-kadang kita mungkin berpikir, “Kok saya nggak terbangun ya?” Lalu kita berpikir, “Oh saya masuk ke komunitas yang baik.” Seolah-olah itu supaya kita langsung terbangun juga. Selama kita tidak punya dorongan untuk juga menjaga kedisiplinan rohani kita pribadi, itu nggak akan terjadi. Demikian juga, kita pikir kita bisa mengubah komunitas, misalnya menyatakan perubahan dalam komunitas umat Tuhan atau mungkin keluarga kita, komunitas yang kecil. Selama tidak menjalankan disiplin rohani, perubahan-perubahan yang hanya sifatnya di luar, itu akan sulit mengubah kita. Kedisiplinan rohani itu saling terkait antara kedisiplinan individu dan komunitas. Demikian juga komunitas dengan individu. Kedisiplinan rohani akan mengubah kita dari dalam, bukan hanya sekedar dari luar.

Maka dari itu Bapak, Ibu, Saudara sekalian, hari ini saya mau mengajak kita untuk kembali merenungkan tentang solitude, waktu khusus kita dengan Tuhan. Bagi Bapak, Ibu, Saudara sekalian yang selama ini sudah melakukan itu, saya bersyukur dan kiranya ini juga terus mendorong, meneguhkan kita. Walaupun mungkin hasilnya seolah-olah secara luar tidak terlalu kelihatan jelas. Bagi Bapak, Ibu, Saudara sekalian yang belum menjalankan kedisiplinan rohani ini, belum punya waktu khusus bersama dengan Tuhan, berdoa, bergumul antara aku dengan Tuhan, termasuk juga kita yang sudah berkeluarga, kiranya juga renungan ini bisa mendorong kita. Renungan ini boleh juga menguatkan kita untuk melakukan disiplin rohani secara pribadi di dalam keseharian kita.

Kita akan merenungkan tentang solitude melalui Mazmur 77. Bapak, Ibu, Saudara sekalian bisa merenungkan lebih mendalam lagi bagian ini. Hari ini kita tidak menggali secara rinci pesan dari Mazmur ini, tapi kita melihat bagaimana pemazmur ini bergumul, bagaimana pemazmur ini mengambil waktunya dengan Tuhan, bagaimana ketika dia menghadapi segala kesulitan, segala pergumulan, memang tidak disebutkan di sini, pergumulannya apa, yang penafsir juga begitu banyak tidak begitu mau mereka-reka pergumulannya apa. Mengapa tidak disebutkan, salah satunya mungkin, supaya pergumulan pemazmur ini bisa kontekstual apa pun pergumulan yang kita hadapi saat ini. Supaya nggak ada orang yang bilang, “Pergumulan saya lebih berat dari orang lain!” Supaya pergumulan apa pun yang kita alami yang mungkin bagi orang lain berat atau ringan, apa pun itu, kita bisa bawa ke hadapan Tuhan sebagaimana pemazmur.

Bagaimana pemazmur itu bergumul di hadapan Tuhan. Pertama, pemzmur mengambil waktu khusus antara dia dengan Allah. Hanya dia dengan Allah. Ini waktu, mungkin bagi kita ada yang menganggap remeh. Dia mengambil waktu, entah mungkin di kamarnya, entah mungkin di satu tempat, dia sendiri, dia berdoa, dia berhadapan hanya dengan Allah. Di tengah segala pergumulan yang beragam yang kita alami, apa yang pemazmur bisa ajarkan di sini kepada kita? Yaitu berjumpa dengan Allah secara pribadi. Ambillah waktu khusus antara kita dengan Allah. Termasuk juga Bapak, Ibu, Saudara sekalian, yang mungkin sudah berkeluarga. Siapkan waktu khusus kita dengan Allah.

Kita hidup di tengah zaman yang begitu banyak gangguan. Kita bisa sedikit melihat konteks pemazmur waktu itu, mungkin karena nggak ada listrik, nggak ada internet, ya kita bisa bilang, “Oh mungkin lebih mudah lah bagi pemazmur untuk bisa ambil waktu khusus bersama dengan Allah.” Kita bisa menyatakan demikian. Tapi setiap zaman juga ada tantangan pergumulan masing-masing. Bagi mereka, nggak ada gangguan internet, nggak ada gangguan listrik, orang-orang mungkin belum terlalu sebanyak orang-orang di dunia saat ini. Tinggal mungkin bukan di kota yang begitu besar yang penduduknya lebih besar jumlahnya daripada Jogjakarta. Tapi tetap ada pergumulan sendiri. Pergumulannya misalnya apa? Adanya perang, pergumulan ekonomi, strata sosial itu begitu jauh sekali daripada sekarang ini. Lalu pergumulan hierarki, bagaimana yang perempuan mungkin sulit untuk bisa bersumbangsih secara sosial, sulit bisa aktif karena perempuan itu sangat bergantung, misalnya, kepada suami, kepada laki-laki atau kepada keluarganya. Lalu kemudian yang raja di dalam kerajaan, siap selalu ada perang dari raja lain. Itu begitu berat. Dan apalagi waktu dijajah, perbudakannya begitu mengerikan. Jadi pergumulan yang lain juga ada yang begitu berat. Pemazmur mengatakan ketika dia bergumul, dia mengambil waktu khusus bersama dengan Allah, hanya dia dengan Allah di tengah segala gangguan yang dia alami saat itu. Demikian pula kita perlu mengkhususkan diri untuk mengambil waktu dengan Tuhan.

Menurut survey penelitian 2016, rata-rata setiap tahun kita itu 80,000 kali menyentuh handphone kita. Artinya kalau dihitung kurang lebih setiap 4 menit kita menyentuh handphone kita. Nah ini kemudian berpengaruh dari apa? Kebiasaan seperti ini lama-lama kita lakukan setahun, 2 tahun, begitu terus, akhirnya kita nggak pernah bisa menjadi orang yang tenang. Kita nggak pernah bisa menikmati waktu sunyi sepi. Setiap kali kita sepi, kita, “Aduh, dengar musik deh.” Belajar sambil dengar musik. Mungkin nanti doa pun sambil ada musik instrument misalnya. Kita nggak bisa ada waktu tenang, karena itu jadi kebiasaan kita.

Dan survey yang terakhir, yang juga cukup mengagetkan bagi saya pribadi, orang Indonesia itu sedunia, yang menggunakan handphone, di tahun 2022, yang paling besar, nomor 1 itu adalah orang Indonesia. Yaitu setiap harinya 5 jam lebih menggunakan handphone. Dan paling banyak di akses adalah dunia hiburan, mungkin tiktok, youtube, dan yang lain-lain. Riset-riset seperti ini menjadi pelajaran bagi kita bagaimana dunia kita itu penuh sekali dengan gangguan yang akhirnya membentuk kita. Ada banyak orang buka mata waktu bangun pagi bukan doa, tapi buka handphone, buka WA, buka IG. Mungkin, gitu ya. Cara penggunaan teknologi yang seperti ini kemudian mempengaruhi kita. Mempengaruhi otak kerja cepat karena menggunakan layar itu merangsang cara aktif otak kita secara cepat, akhirnya kita kalau lambat jadi bingung. Kalau tenang sedikit, kita susah. Kita menjadi orang yang gelisah. Kita nggak bisa mengambil waktu tenang sejenak, aku dan Tuhan. Bayangkan Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini dilakukan setiap hari. Bangun pagi buka handphone, bukan doa. Ini, satu hari, belum lagi nanti sepanjang hari setiap 4 menit saya lihat handphone, lihat handphone terus. Besoknya lagi. Lalu dilakukan 365 hari, lalu apa? Jadi kebiasaan. Kebiasaan akan membentuk karakter kita, membentuk diri kita. Tidak heran banyak orang sekarang semakin sulit mendengar khotbah panjang. Pesan harus singkat, jangan panjang. Tiktok berapa? 60 detik. Hitungan detik saja. Kalau bisa nanti khotbah versi singkat, 60 detik selesai. Nanti kalau bisa khotbah di skip, di scroll aja. Kebiasaan. Kita merasa itu biasa, tapi itu mempengaruhi kerohanian kita. Maka kita mulai menganggap remeh waktu bersama dengan Tuhan. Bahkan mungkin kita pikir, “Oh saya sudah dengar khotbah sambil nyetir cukup kok.” Nanti doa sambil ini, memuji Tuhan sambil ini, apa lagi, sambil, sambil. Nggak pernah bisa tenang, diam sejenak! Bergumul dengan Tuhan, merenungkan Firman Tuhan.

Ada seorang hamba Tuhan, ini kesaksian dia pribadi, dia menuliskan, dia biasanya kalau bangun tidur, dia doa singkat. Tapi sesudah itu dia buka email, dia buka WA. Lalu lama-lama dia nggak bisa tenang lagi. Dia pikir kenapa ya, ada masalah. Kok kerohanian saya kurang bertumbuh. Lalu dia mulai mengintrospeksi dirinya. Lalu dia membaca riset-riset. Dia lihat, iya cara berpikir teknologi itu mempengaruhi kita. Lalu dia ubah kebiasaannya. Bangun pagi dia bukan hanya doa, dia tenang, dia baca Alkitab, dia matikan handphone-nya, dia diam beberapa jam. Lalu bertanya jawab dengan renungan Firman Tuhan yang ada. Lama-kelamaan, dia mulai menjadi lebih teratur hidupnya, merenungkan Firman Tuhan lebih mendalam. Dia bertumbuh secara pribadi di hadapan Tuhan. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pemazmur mengajarkan kita di sini dari ayat 2 sampai dengan 4, di tengah pergumulannya, dia berjumpa dengan Tuhan bahkan sebelum dia bertemu dengan orang-orang yang lain. Dikatakan, “Aku berseru dengan nyaring kepada Allah.”

Jonathan Edwards, seorang teolog yang begitu besar, dipakai Tuhan di dalam kebangunan rohani Amerika pada tahun 1730an sampai 1740an. Sering kali yang kita kagumi itu kebesarannya ya, bagaimana dia bisa dipakai Tuhan luar biasa dalam KKR rohani itu. Dan satu per satu pelayanannya juga jadi berkat bagi banyak orang. Buku-bukunya juga terus dipakai menjadi berkat. Kita sering kali fokus ke situ, dan tentu kita bisa mengagumi itu. Tapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di balik itu semua, Jonathan Edwards terus mengambil waktu setiap harinya bersama dengan Tuhan. Pada umurnya 20-an, dia pelayanan di New York, kota yang begitu padat. Tapi dia dicatat di dalam catatan hariannya, dia mengambil waktu menepi di tepi sungai, dia berdoa di situ, dia memuji Tuhan, dia bergumul bersama dengan Tuhan. Hal itu terus dia lakukan bahkan ketika dia berkeluarga. Ketika dia berkeluarga, lalu pelayanan di Northampton yang memang tidak sebesar kota New York. Setiap jam 4 sore, ketika hari itu nggak hujan, dia pergi ke bukit, ke hutan, dia pergi ke tempat yang tenang, dia bisa bersama dengan Tuhan. Di dalam perjalanannya naik kuda, dia memuji Tuhan, dia merenungkan kebenaran Firman Tuhan. Raksasa-raksasa iman ini, dia punya waktu khusus bersama dengan Tuhan.

Kita bisa lihat di pemazmur di sini, di ayat 4, 7, 12-13, itu menekankan bagaimana dia merenungkan kebenaran Allah secara pribadi di hadapan Tuhan. Salah satu mazmur yang begitu banyak kata sela nya adalah Mazmur 77. Istilah sela itu artinya pause, berdiam. Ada 3 sela di situ. Artinya apa selah di situ? Dia waktu merenung sampai ayat 4, dia berdiam. Lalu dia melanjutkan perenungannya lagi, lalu dia berdiam. Ada waktu tenang. Hal ini mengubah dia. Jonathan Edwards memberi kesaksian secara pribadi. Ketika dia mengambil waktu bersama dengan Tuhan itu, dia pun dikuatkan sebagai pelayan Tuhan. Dan bukan hanya sebagai pelayan Tuhan, dia katakan, menjadi orang Kristen yang lebih baik lagi hari lepas hari. Yang menyadarkan bahwa orang Kristen hidup bukan terisolasi, bukan hidup menyendiri tapi hidup ke dalam dunia menjadi garam dan terang.

Tuhan Yesus juga mempunyai waktu khusus dengan Allah Bapa. Ada banyak ayat di alkitab menyatakan demikian. Salah satunya Markus 1:35, “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.” Tuhan Yesus yang sempurna, Dia mengambil waktu tenang, antara Dia dengan Tuhan. Bagaimana mungkin kita berpikir, kita akan bertumbuh secara rohani, tapi kita nggak menjalankan ini? Siapa kita yang jauh nggak sempurna? Ambil waktu tenang. Ke tempat yang sunyi. Ke tempat yang kita bisa menenangkan diri. Mungkin di kamar kita. Mungkin di luar rumah kita. Tempat kita bisa berhadapan dengan Tuhan.

Solitude itu artinya kita mengkhususkan diri. Mengambil waktu khusus, menjauh dari segala rutinitas keseharian kita, dan bahkan menjauh sementara dari orang-orang sekitar kita untuk moment bersama antara aku dengan Tuhan. Solitude itu bisa membangun kerohanian kita, membuat kita lebih bijaksana lagi dan bahkan membuka topeng-topeng yang kita pakai. Mungkin salah satu yang membuat kita enggan mengambil waktu khusus besama Allah bukan hanya gangguan teknologis tapi karena takut melihat diri kita siapa. Mungkin kita takut, ternyata kita terlalu banyak membenarkan diri. Seringkali menyalahkan orang. Mungkin kita takut, bahwa kita ternyata begitu banyak belum melakukan yang Tuhan perintahkan. Mungkin kita takut melihat bahwa selama ini kita hidup dalam pura-pura kuat, padahal kita lemah. Kita takut berhadapan pada diri kita yang lemah. Bapak, Ibu, Moment kita bersama dengan Tuhan bukan hanya menyingkapkan siapa Allah kepada kita, tapi siapa kita di hadapan Allah. Maka tidak jarang ketika kita berhadapan dengan Tuhan, saya percaya kalau kita sungguh-sungguh, kita menjadi gemetar. Kita berdoa itu sampai gemetar. Karena kita sadar, kita lemah. Kita menjadi jujur dengan diri kita, dan kita membuka diri kita di hadapan Tuhan. Bahwa Tuhan adalah yang mulia, yang luar biasa. Kita seolah-olah ditanya, “Siapa engkau yang menggugat Aku? Yang mempertanyakan Aku? Engkau ini hanya debu!” Lalu, kita gemetar.

Di dalam tokoh-tokoh Alkitab, begitu banyak juga dicatat waktu-waktu mereka ambil untuk bersama dengan Tuhan. Salah satunya Daniel. Seringkali ketika kita melihat Daniel adalah bagaimana dia begitu bijaksana menghadapi orang-orang yang mau menjatuhkan dia. Menghadapi raja yang itu “memperbudak” dia atau memenjarakan dia. Dan bagaimana dia di gua singa itu singa-singa itu bungkam. Ya itu sangat berkesan dan seringkali diceritakan kepada anak. Tapi ada 1 bagian yang juga dicatat, yang mungkin kecil sekali. Kita buka Daniel 6:11-12, “Demi didengar Daniel, bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke rumahnya. Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah  Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut,  berdoa serta memuji Allahnya , seperti yang biasa dilakukannya. Lalu orang-orang itu bergegas-gegas masuk dan mendapati Daniel sedang berdoa dan bermohon kepada Allahnya.” Di antara banyak hal yang terjadi luar biasa di kitab Daniel, ada ayat ini diselipkan. Tiap hari, tiga kali sehari, ia berlutut, berdoa, memuji Tuhan, bergumul dengan Allah. Waktu dia dengar perintah yang datang kepada raja, apa yang dia lakukan? “Ayo, rapat sama teman-teman!” Bukan! Dia datang ke kamarnya, dia bertemu dengan Tuhan. Dia berdoa. Iman Daniel bukan dibangun dan hanya bersinar waktu saat-saat di gua singa, atau menghadap raja, atau menjelaskan mimpinya. Bukan itu! Iman Daniel dibangun dalam disiplin rohani kesehariannya.

Jangan pikir lho, Saudara sekalian, sekali ikut ibadah Minggu, langsung iman kita bertumbuh. Jangan terlalu naif! Nggak seperti itu! Jangan pikir sekali ikut KKR, bahkan oleh hamba Tuhan yang besar, dengan khotbah yang begitu indah, langsung kita menjadi orang yang paling suci di dunia ini. Kita perlu kedisiplinan rohani. Daniel tiap hari, tiga kali sehari, dia berlutut, berdoa, memuji Tuhan. Coba kita bisa refleksi. Kita sudah mengambil waktu khusus nggak dengan Tuhan secara pribadi? Pertumbuhan kita bukan hanya bergantung pada ibadah. Pertumbuhan kita bukan hanya tergantung pada dengar khotbah-khotbah saja, atau ikut seminar, atau apa pun itu secara bersama. Pertumbuhan kita terkait dengan disiplin rohani kita secara pribadi. Ambil waktu bersama dengan Tuhan secara pribadi. Termasuk yang sudah berkeluarga. Suami, ambil waktu khusus! Istri, ambil waktu khusus! Lalu, kemudian ada family worship juga, doa bersama. Ambil waktu khusus!

Kedua, pemazmur mempertanyakan Tuhan (ayat 5-11). Kita sangat sungkan untuk bertanya, seringkali. Atau bahkan ketika pertanyaan itu muncul membuat kita insecure. Tapi, Alkitab tidak pernah melarang manusia bertanya kepada Tuhan. Persoalannya, bertanyalah yang tepat! Seringkali, kita tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat yaitu untuk menguji dan mencobai Tuhan. Kita bertanya untuk meragukan Tuhan, dalam arti supaya kita pergi dari Tuhan, jauh dari Tuhan. Bukan bertanya supaya kita lebih dekat lagi dengan Tuhan.

Pemazmur di sini bertanya. Pertanyaan-pertanyaan yang bahkan bagi kita, apalagi seorang Reformed mungkin, itu sangat kurang ajar. Pertanyaannya apa? Kita lihat ayat 8-10. “Untuk selamanyakah Tuhan menolak dan tidak kembali bermurah hati?” Itu istilah “menolak” dipakai di istilah aslinya itu seperti meludahi. Itu kata-kata penolakan yang sangat keras. Ayat 9, “Sudah lenyapkah untuk seterusnya kasih setia-Nya?” Hesed, kasih kekal Tuhan dipertanyakan. Ayat 10, “Sudah lupakah Allah menaruh kasihan.” Tentang compassion: “Sudah nggak mau ya, Tuhan itu menderita bersama dengan umat-Nya?” Itu seperti sudah meninggalkan umat-Nya. Ini pertanyaan yang begitu mengerikan. Tapi, dia datang ke hadapan Tuhan, bertanya dengan jujur. Ketika kita mengambil waktu dengan Tuhan, bertanyalah kepada Tuhan! “Tuhan, kenapa sih Engkau belum menyatakan keadilan-Mu? Kenapa sih, Engkau belum menyatakan pertolongan-Mu kepadaku?” Tuhan Yesus katakan dalam Matius 11:28. “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” Artinya apa? “Datanglah dengan keletihanmu dan kelesuanmu. Datanglah, tanyalah kepada-Ku. Ingatkanlah Aku akan janji-Ku.”

Pertanyaan yang diajukan pemazmur di sini, itu pertanyaan tepat. Mengapa? Karena pertanyaannya mengingatkan Allah tentang siapa Allah dan apa yang harus Dia lakukan kepada umat-Nya, kepada umat perjanjian-Nya. Ketika kita membawa segala pergumulan kita ke hadapan Tuhan, tanyalah Dia demi kemuliaan-Nya.

Ketiga, pemazmur mengingat kembali (ayat 12-21). Kita bisa melihat di sini, ada transisi dari “aku” ayat 2-11, “aku, kataku,” dan seterusnya kepada Ayat 12-21, “Engkau, Engkau, Engkau.” Transisi ini bisa terjadi, mengapa? Karena dia mengingat kembali. Dia merenungkan kembali akan apa yang dalam sejarah. Akan siapa Allah dan karya-Nya. Kebenaran apa tentang Allah dan kebenaran apa tentang dirinya? Ketika kita mengingat kembali, maka kita akan meletakkan kembali persoalan pergumulan kita dengan tepat. Itu seperti menyusun ulang kembali pergumulan kita di hadapan Tuhan. Lalu kita mulai mengalami perubahan. Perlu sekali untuk kita untuk mengingat apa yang sudah Tuhan kerjakan. Di dalam pembacaan Mazmur 103:2, “Pujilah Tuhan, hai jiwaku! Jangan lupakan kebaikan-Nya!” Dia mengatakan kepada dirinya sendiri. Kalau di ayat 12-21, ingatan secara lebih luas di dalam umat Tuhan. Artinya apa? Dia meletakkan dirinya bukan hanya sekedar aku dan Tuhan tapi kemudian, “Aku adalah bagian dari umat Tuhan. Aku adalah bagian umat Tuhan di dalam sejarah itu! Israel yang sudah keluar Mesir, Tuhan tolong keluar dari perbudakan Mesir. Aku adalah bagian dari umat Tuhan itu!” Dia tidak lagi melihat dirinya sendiri yang menghadapi persoalan.

Kadang-kadang, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika kita bergumul di hadapan Tuhan, mengalami kesulitan, bukan bermaksud merendahkan pergumulan kita, tapi seringkali kita terlalu merasa sendirian. “Saya aja kayaknya yang mengalami susah ini. Saya aja! Tuhan tuh harus dengar saya!” Waktu kita ingat kembali, kita letakkan di tengah-tengah umat Tuhan, “Ada orang lain juga lho, bergumul!” Kita meletakkan pergumulan kita dengan tepat karena kita mengingat kembali Tuhan, karya-Nya, dan siapa umat Tuhan di hadapan Tuhan.

Kita lihat di ayat 12-13 ada kata yang diulang di situ dengan bentuk yang berbeda-beda, “Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan Tuhan,” “keajaiban-keajaiban,” “pekerjaan Tuhan.” Ada penafsir yang mengatakan dalam istilah Ibraninya itu sebenarnya seperti sinonim, tapi menggunakan istilah berbeda-beda untuk menunjukkan karya Tuhan dari penciptaan, penebusan, penghakiman, dan keselamatan. Ini mencakup seluruh karya Tuhan di sepanjang sejarah, sampai nanti kita bertemu dengan Tuhan.

Pemazmur, ketika dia bergumul, dia tidak terbawa oleh pergumulannya. Tapi kemudian dia mengingat kembali, sehingga dia itu bisa menyampaikan kebenaran kepada dirinya sendiri. Perenungan yang sukses adalah perenungan yang membuat hati kita tunduk kepada kebenaran Firman Tuhan. Bukan perenungan yang membuat hati kita semakin terkurung dalam kesusahan dan emosi kita, serta pikiran kita sendiri. Ada orang-orang yang sudah mempunyai pemikiran tertentu, susah sekali untuk diubah. Ada orang yang sudah memiliki emosi tertentu, susah sekali untuk diubah menjadi lebih tenang. Perenungan yang sukses itu bisa mengendalikan pikiran kita, emosi kita, di dalam kebenaran. Bukan penipuan diri, tapi tunduk kepada kebenaran siapa Allah. Di tengah-tengah segala pergumulannya, pemazmur mengingat kembali, sehingga apa yang sudah Tuhan kerjakan di masa lalu itu menguatkan dia sekarang dan memberikan dia harapan untuk menjalankan hari-hari depannya di hadapan Tuhan.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya kembali mau mengajak kita, mari kita bertanya sudahkah kita memandang penting relasi pribadi kita secara khusus dengan Tuhan? Sudahkah kita menyiapkan waktu khusus antara aku dengan Tuhan? Dan bagaimana kita bergumul, membawa segala pergumulan kita, berdoa, memuji Tuhan di situ? Sudahkah kita sungguh-sungguh menjalankan itu? Bagi Bapak, Ibu, Saudara sekalian yang sudah, bertekunlah, kerjakan itu terus-menerus. Walaupun mungkin perubahan itu belum kelihatan secara jelas. Dan ingatlah, bukankah seringkali Tuhan memakai cara seperti itu juga? Cara Tuhan Yesus disalib. Apa itu cara Tuhan Yesus disalib? Yaitu memakai cara yang seolah-olah kekalahan, tapi sebenarnya kemenangan. Salib, lambang kekalahan. Salib, lambang tanpa harapan. Tapi di balik itu, ada kemenangan yang Tuhan pancarkan. Bukankah Tuhan juga sering memakai itu? Jadi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika kita bergumul, “Kok, seolah-olah Tuhan, sepertinya kita ini yang kalah? Seperti menyerah dalam keadaan?” Tetaplah bergumul di hadapan Tuhan, dan saya percaya, Tuhan akan membuahkan perubahan pelan-pelan kepada kita, keadaan sekitar kita. Mungkin bahkan bukan hari itu, tapi tahun-tahun mungkin yang akan datang. Dan itu pasti nggak sia-sia. Demikian yang pemazmur di dalam Mazmur 77, nggak ada jawaban untuk persoalannya. Tapi dia menaruh pergumulan itu dengan tepat. Dirinya dihadapkan kebenaran. Iya, Tuhan akan mengubahnya. Bukan sekarang, tapi segera Tuhan akan memimpin kita menghadapi segala pergumulan kita. Mari kita berdoa.

Bapa kami di Surga, kami bersyukur Tuhan untuk segala pemeliharaan-Mu kepada setiap kami. Dan kami bersyukur juga Tuhan atas segala kesulitan yang Tuhan izinkan untuk kami hadapi. Kesulitan yang mungkin sangat sulit untuk kami pahami dan kami selesaikan. Tapi, ajar kami tetap terus bertekun menjalankan disiplin rohani kami secara pribadi di hadapan Tuhan. Membawa setiap pergumulan, keletihan, kelesuan kami ke hadapan-Mu, Tuhan. Dan kami rindu, Engkau menguatkan kami, menundukkan kami kepada kebenaran. Memberikan kami harapan lagi untuk menjalani hari-hari kami sebagaimana Engkau sudah juga menyelesaikan karya penebusan-Mu di kayu salib, tempat yang tanpa harapan, menjadi harapan satu-satunya bagi kami sekalian. Ingatkan kami akan itu, teguhkan kami, kuatkan kami, Tuhan, sehingga kami boleh sungguh-sungguh menjalani hari-hari kami dengan penuh pengharapan di hadapan Tuhan. Dalam nama Tuhan Yesus, kami berdoa. Amin. (HSI)

Comments