Wanita dalam Sejarah Gereja (Bagian 1)

Bulan lalu tepatnya pada tanggal 8 Maret, dunia baru saja merayakan International Women’s Day, lalu bulan ini tanggal 21 April Indonesia memperingati Hari Kartini, dan bulan Mei merupakan bulan di mana Amerika merayakan Hari Ibu. Maka dari itu, pada kesempatan ini sesuai dengan konteks yang ada, pembahasan akan bersifat women-centered (bukan berarti menjadi tidak God-centered, bukan pula berarti artikel ini adalah artikel feminisme). Yang dimaksudkan adalah selama ini — bahkan hampir selalu terjadi — sejarah Gereja didominasi oleh pria, sejarah hanya mencatat apa yang Bapa-bapa Gereja lakukan (tidak ada “ibu” Gereja bukan?), dan memang wanita kurang disorot dalam segala pembahasan sejarah Gereja. Padahal wanita bukan berarti tidak memiliki peran sama sekali; tidak semua wanita menjadi ibu rumah tangga yang semata bekerja di dapur. Sejarah mencatat beberapa wanita yang menjadi martir dan cukup signifikan perannya dalam sejarah Gereja, walaupun tidak sering muncul di permukaan. Akan tetapi sebelum membahas lebih lanjut siapa saja wanita tersebut, ada baiknya kita terlebih dahulu mengkaji ulang konsep ‘wanita’ itu sendiri. Bagaimana sebenarnya Alkitab memandang wanita dan perannya? Dalam sejarah, bagaimana Bapa-bapa Gereja tertentu memandang wanita? Dan bagaimana dengan zaman kita sekarang?

Kembali ke Masa Lalu: Pandangan Bapa-Bapa Gereja dan Theolog

            Pada beberapa bahkan banyak artikel PILLAR yang lalu sudah banyak dibahas tentang hidup dan pemikiran dari Bapa-bapa Gereja serta theolog-theolog, mulai dari era Gereja Mula-mula hingga Reformasi. Theologi Reformed sendiri diwarisi dari para theolog tersebut. Namun ketika sampai pada penafsiran akan peran wanita, terjadi beberapa distorsi karena pengaruh konteks budaya dan filsafat pada zaman itu. Dalam budaya di zaman tersebut, mulai dari zaman Gereja Mula-mula hingga Abad Pertengahan, wanita masih dilihat sangat subordinat dan tidak relevan dalam masyarakat. Budaya patriarki — budaya yang memberi privilege lebih kepada pria sebagai pemimpin — masih sangat kental, di mana patriarki sendiri merupakan warisan dari budaya kuno baik kebudayaan Yahudi dan kebudayaan Timur Dekat Kuno pada umumnya. Dan memang pandangan para Bapa Gereja serta theolog ini bukannya tidak berdasar pada Alkitab, mereka tetap menjadikan Alkitab sebagai acuan utama. Hanya saja, ketika sampai pada pembahasan tentang wanita, ada banyak interpretasi yang yang cenderung ekstrem dan parsial. Para Bapa Gereja dan theolog tentu akan mengklaim bahwa pandangan mereka berasal dari apa yang Alkitab ajarkan. Permasalahannya, tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan mereka tetap sifatnya adalah interpretasi. Kevin Giles sendiri menyatakan, “We can only have good, bad, or indifferent interpretations of texts.” Ketika berbicara tentang doktrin-doktrin seperti Allah Tritunggal dan Dwinatur Kristus, adalah hal yang lebih mudah untuk menentukan mana bidat dan mana bukan. Namun dalam kasus interpretasi akan peran wanita, yang terjadi adalah para Bapa Gereja mengembangkan doktrin akan gender dengan membaca Alkitab melalui norma-norma kultural pada zaman mereka waktu itu.[1] Harus diakui, Bapa-bapa Gereja dan theolog memiliki keterbatasan. Kita tidak dapat mempersalahkan mereka oleh karena pemahaman serta interpretasi akan firman yang masih parsial. Berikut ini adalah contoh kutipan-kutipan dari para Bapa Gereja berkenaan dengan pandangannya akan wanita:

“Every woman should be filled with shame by thought that she is a woman.” — Clement of Alexandria (c. 150-215 AD)

“You are the Devil’s gateway; you are the unsealer of that tree; you are the first forsaker of the divine law; you are the one who persuaded him whom the Devil was not brave enough to approach!” Tertullian (c. 160-220 AD)

            Dapat dilihat di sini bahwa Tertullian melihat wanita sebagai “the Devil’s gateway” dan sebagai penyebab utama dari kejatuhan manusia dalam dosa, oleh karena itulah seperti kata Clement of Alexandria, wanita harus merasa malu dengan dirinya. Jerome (c. 342-420) secara sederhana pun juga melihat wanita sebagai akar dari segala kejahatan.[2] Selain itu, terdapat pandangan lain terhadap wanita, misalnya saja pada zaman Bapa Gereja Agustinus, pandangan umum yang beredar adalah bahwa wanita adalah gambar dan rupa Allah yang tidak sepenuhnya, prialah gambar dan rupa Allah yang penuh (yang merupakan tafsiran dari 1 Korintus 11:7). Dan kemungkinan juga, pandangan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan Platonistik terhadap wanita. Walaupun Plato dalam Republic menyatakan sikapnya yang lebih egaliter dan bahwa wanita perlu mendapatkan pendidikan yang setara dengan pria, di sisi lain Plato tetap melihat wanita sebagai pihak yang inferior. Plato mengatakan, hanya prialah yang diciptakan langsung oleh para dewa dan diberikan nyawa. Lebih lanjut lagi, Plato menambahkan, “…obviously it is only men who are complete human beings and can hope for ultimate fulfillment; the best a woman can hope for is to become a man.” (Plato, Timaeus 90e)[3] Maka dari itu, kita melihat bayang-bayang Platonistik dalam pandangan Agustinus bahwa wanita bukan sepenuhnya gambar dan rupa Allah. Kemudian sama halnya dengan Tertullian, Agustinus juga mempersalahkan wanita dalam kejatuhan manusia dalam dosa. Ia berpendapat bahwa setan terlebih dahulu menggoda manusia yang lebih inferior dan lebih mudah berdosa, yaitu wanita.[4] Tak hanya itu, beberapa Bapa Gereja juga melihat wanita sebagai makhluk yang penuh hawa nafsu seksual, seperti misalnya Origen. Menurutnya, bahkan wanita lebih buruk dari binatang oleh karena senantiasa dipenuhi hawa nafsu.[5]

            Selanjutnya, Thomas Aquinas pun melihat wanita lebih inferior dari pria, wanita hanya diciptakan untuk fungsi prokreasi (menghasilkan keturunan). Dalam Summa Theologica pertanyaan 92 tentang wanita, Aquinas mengatakan, “But man is yet further ordered to a still nobler vital action, and that is intellectual operation.” Dari kalimatnya ini mengesankan bahwa wanita lebih kurang intelek dibandingkan pria. Sama halnya dengan apa yang diyakini oleh Pope Gregory I (c. 540-604) yang berpendapat bahwa wanita itu lebih lemah, lamban dalam memahami, serta memiliki pikiran yang tidak stabil dan naif. Baginya, ‘kegunaan’ seorang wanita hanyalah sebatas fungsi reproduksi dan fungsi seorang ibu.

            Namun di sisi lain, beberapa theolog yang sudah disebutkan di atas juga memiliki pandangan yang lebih positif tentang wanita. Jerome yang pada awalnya terkesan memberikan sentimen negatif terhadap wanita, akhirnya pun juga mengakui adanya signifikansi dari peran wanita dalam Alkitab:
These people do not know that while Barak trembled, Deborah saved Israel, that Esther delivered from supreme peril the children of God…. It is not to women that our Lord appeared after His Resurrection? Yes, and the men could then blush for not having sought what the women had found.” —Jerome

            Aquinas juga di pihak lain memberikan pandangan yang baik sekali tentang natur dari wanita yang dicipta melalui tulang rusuk Adam. Masih dari Summa Theologica,Aquinas menegaskan, sudah paling benar bahwa wanita harus diciptakan dari rusuk Adam. Wanita tidak diciptakan dari kepala Adam agar tidak menggunakan kuasa otoritasnya di atas pria. Wanita juga tidak diciptakan dari kaki Adam agar tidak menjadi budak dari pria. Aquinas juga tidak mengindahkan gagasan Aristoteles bahwa wanita adalah “ciptaan yang cacat atau gagal” (deficiens et occasionatus: unfinished and caused accidentally)[6],karena walaupun wanita diciptakan berbeda dari pria oleh Allah, namun Allah tidak mungkin menciptakan Hawa atau wanita sebagai suatu ciptaan yang cacat – “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu amat baik…” (Kej. 1:31).

            Bagaimana dengan pandangan John Calvin? Pandangan Calvin sendiri tetap mempertahankan pandangan bahwa wanita tetap lebih inferior atau subordinat dari pria dalam pengertian yang lebih komprehensif. Calvin menyatakan bahwa wanita diciptakan sebagai sejenis appendage bagi pria, dan mengenai kepemimpinan wanita Calvin menyebutnya sebagai “unnatural monstrosity”. Calvin berpendapat bahwa wanita tidak seharusnya memegang jabatan kepemimpinan, bukan hanya di gereja namun juga dalam ranah lain. Akan tetapi Calvin memberikan pengecualian pada kasus tertentu, misalnya kasus Deborah dalam Alkitab. Baginya, jika seorang wanita diberikan jabatan sebagai nabi atau pengajar, hal ini tidaklah masalah selama wanita tersebut dipanggil secara supranatural oleh Roh Kudus – karena memang selalu ada kasus pengecualian. Kemudian, Ken Stewart dalam bukunya Ten Myths About Calvinism: Recovering the Breadth of the Reformed Tradition menjabarkan betapa progresifnya pandangan Calvin pada zaman itu. Yang pertama, Calvin menolak pandangan bahwa wanita adalah pria yang cacat (defective males) serta percaya bahwa baik pria maupun wanita adalah sama-sama gambar dan rupa Allah – walaupun wanita bersifat komplementer dalam pernikahan dan perannya dalam pelayanan gerejawi. Kedua, Calvin mendorong bertumbuh dan berkembangnya diaken-diaken wanita.[7]

Masa Kita Sekarang: Wanita dan Emansipasi

            Bila kita lompat kepada zaman kita sekarang, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam bagaimana masyarakat secara umum memandang wanita. Wanita di mana-mana memang masih sering menjadi pihak yang tertindas (hal ini memang salah satu konsekuensi dosa), namun tidak separah zaman dahulu. Setidaknya perbedaan paling mencolok antara zaman Bapa Gereja dengan zaman kita adalah bahwa pada zaman dahulu wanita hampir tidak memiliki kesempatan untuk mengemban pendidikan yang cukup. Bisa dikatakan bahwa hal ini adalah ‘lingkaran setan’, karena di satu sisi sistem budaya masyarakat tidak mengizinkan wanita mendapatkan pendidikan yang memadai, akhirnya karena tidak berpendidikan, wanita semakin tersubordinasi, ibarat kata: ‘tidak bisa apa-apa kecuali mengurus urusan rumah tangga’. Hal ini sudah tidak lagi terjadi pada zaman kita sekarang khususnya di masyarakat kota metropolitan yang modern (dan dalam negara demokrasi tentunya). Zaman kita sekarang status wanita sudahlah sangat egaliter dengan pria, dengan memiliki kesempatan yang setara. Berkat munculnya aliran feminisme yang sudah gerah dengan penindasan dari pria atas wanita dan ketidakadilan yang diterima wanita, kesetaraan itu mulai terwujud dalam banyak ranah. Namun semangat feminisme dan kesetaraan gender ini telah kebablasan ketika akhirnya wanita berlomba-lomba untuk menggapai cita-cita dan ambisinya setinggi langit dalam hal karier maupun pendidikan, dan di sisi lain mengabaikan peran kodratinya sebagai seorang wanita. Tentu bukanlah hal yang salah untuk mengemban pendidikan dan menjajaki dunia karier, akan tetapi fenomena yang sekarang ini mulai marak adalah wanita semakin menganggap bahwa perannya sebagai penolong yang sepadan, sebagai mahluk yang caring and nurturing ini menjadi tidak relevan lagi.

            Dewasa ini, ketika Anda mencoba bertanya kepada para wanita yang duduk di bangku kuliah, kemungkinan besar jawaban yang lebih banyak adalah ingin menjadi wanita karier yang sukses. Bos-bos ataupun CEO wanita semakin banyak dalam perusahaan. Wanita semakin mendapatkan kekuatan dan kekuasaan dalam ranah yang tadinya didominasi oleh pria. Wanita modern sekarang ini semakin independen dari pria dan sense akan ‘tunduk pada suami’ semakin tidak berbunyi. Sekarang ini mulai marak pernikahan D.I.N.K (Double Income No Kids) – suami istri yang dua-duanya mencari nafkah dan berjanji untuk tidak memiliki anak agar memiliki double income (dengan kata lain, semakin makmur tanpa diganggu oleh keberadaan anak). Salah seorang feminis liberal bernama Betty Freidan pun menyatakan bahwa karakteristik wanita atau feminitas adalah semata konstruksi sosial, bukan suatu hukum natural yang perlu ‘ditaati’. Freidan menganggap bahwa seorang wanita naturnya harus menjadi ibu, mengandung dan merawat anak, mengurus pekerjaan rumah tangga itu semua adalah mitos belaka, yang sebenarnya diberikan oleh pria agar pria dapat senantiasa melanggengkan dominasinya atas wanita.

            Yang terjadi saat ini bukan sekadar kesetaraan gender, namun sebenarnya perang perebutan kuasa antara pria dan wanita. Alkitab dari Kejadian 3:16 bagian akhir telah menegaskan bahwa istri akan birahi kepada suami dan suami akan menguasai istrinya. Birahi di sini bukan sekadar nafsu seksual, melainkan sesuatu yang berbau lebih politis – perebutan kekuasaan. Hubungan pria dan wanita akhirnya tidak lagi saling komplementer melainkan kompetitif dan politis. Dunia sekuler khususnya pemikiran feminisme dan postmodernisme mengajarkan bahwa tidak ada satu identitas tetap yang ada pada diri wanita, dalam arti tidak ada hukum universal tentang ‘bagaimana wanita seharusnya berperilaku’. Selama ini wanita ditindas oleh karena konstruksi sosial masyarakat yang melihat bahwa wanita adalah mahluk yang inferior, pasif, dan lebih lemah. Hal ini tidaklah salah, namun pada praktek dunia berdosa, inferioritas wanita memang menjadi sangat merugikan pihak wanita itu sendiri. Sekarang ini yang terjadi adalah antitesisnya. Ketika segala sesuatu tidak kembali pada Alkitab, maka yang terjadi hanyalah berangkat dari satu ekstrem kepada ekstrem lain yang juga sebenarnya tidak lebih baik.

Ayat-ayat Penting dalam Alkitab tentang Wanita dan Penjelasannya

            Maka dari itu, kita perlu membahas apa yang sebenarnya Alkitab katakan. Masih relevankah ayat-ayat Alkitab berkenaan dengan wanita di zaman modern ini? Jawabannya tentu masih relevan, hanya saja perlu penafsiran yang sesuai dengan konteks. Ayat yang menjadi dasar utama bagi status dan posisi wanita tentu saja adalah Kejadian 1:27, yang menyatakan dengan tegas bahwa sejak awal Tuhan Allah menciptakan pria dan wanita setara sebagai gambar dan rupa Allah. Pada intinya, relasi antara pria dan wanita memiliki dua aspek yang berbeda namun tidak berarti kontradiktif: terdapat kesetaraan sekaligus ordo. Kita tidak mungkin memahami hal ini jika kita tidak mengerti natur dari relasi Allah Tritunggal. Yesus Kristus sebagai Allah Anak tentu tidak lebih rendah dari Allah Bapa, status-Nya sama sebagai pribadi Allah yang berdaulat, namun Allah Anak rela merendahkan diri dan melakukan ketaatan penuh terhadap Allah Bapa. Sama halnya dengan wanita, walaupun diciptakan dengan setara dengan pria, Tuhan Allah menetapkan adanya ordo dalam ciptaan. Ordo yang seharusnya adalah pertama Tuhan Allah, kemudian Adam sebagai pria, Hawa sebagai wanita, baru ular sebagai alam. Namun dalam kasus kejatuhan manusia, semua ordo ini menjadi terbalik. Sebenarnya dalam peristiwa ini Hawa tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan — seperti yang dikatakan Tertullian dan Jerome — oleh karena tergodanya Hawa dengan perkataan setan pun juga ada bagian dari kesalahan Adam. Adam sebagai pria yang fungsinya adalah pemimpin juga bersalah karena tidak menjalankan fungsi kepemimpinannya ketika Hawa hendak berbuat dosa; Adam hanya diam dan malah turut melakukan. Tapi perlu ditekankan di sini bahwa subordinasi wanita di bawah pria atau ordo ini bukanlah hasil dari kejatuhan, melainkan memang sudah ketetapan Tuhan dari awalnya.

            Maka dari itu, perlu diingat kembali bahwa dalam relasinya dengan pria, terdapat hal-hal yang mana wanita dan pria setara dan ada pula yang tidak. Terdapat dua hal yang sama atau setara antara pria dan wanita, yaitu statusnya sebagai gambar dan rupa Allah sepenuhnya serta kesetaraan dalam keselamatan dalam Yesus Kristus. Paulus sendiri menegaskan keselamatan tidak memandang apakah Yahudi atau non-Yahudi, serta pria dan wanita. Namun di sisi lain, wanita ‘tidak setara’ dengan pria dalam hal kepemimpinan dan peran. Sejak Tuhan menciptakan wanita, sudah ditetapkan bahwa wanita adalah penolong yang sepadan bagi pria – berarti Tuhan menciptakan wanita dengan natur yang berbeda dengan pria, untuk melengkapi apa yang pria tidak miliki. Paulus sekali lagi mengonfirmasi hal ini dalam 1 Korintus 11:2-16 (NASB), “But I want you to understand that Christ is the head of every man, and the man is the head of a woman, and God is the head of Christ…. For man does not originate from woman, but woman from man; for indeed man was not created for the woman’s sake, but woman for the man’s sake.” Ayat lain yang begitu terkenal adalah Efesus 5:22 yang menyatakan bahwa istri haruslah tunduk kepada suami (penjelasan akan ayat ini sudah cukup jelas bagi kita). Kemudian,masih dalam pemikiran Paulus tentang wanita, bagaimana dengan ayat yang menyatakan bahwa wanita harus diam dalam gereja? Ayat ini cukup sulit dan mengundang banyak perdebatan. Ayat tersebut adalah 1 Korintus 14:33b-36 (NASB)
“…as in all the churches of the saints. Let the women keep silent in the churches; for they are not permitted to speak, but let them subject themselves, just as the Law also says. And if they desire to learn anything, let them ask their husbands at home; for it is improper for a woman to speak in church.”

            Ada banyak interpretasi terhadap ayat ini, namun yang pasti tentu saja kita tidak dapat menafsirkan ayat ini secara harfiah pada zaman ini, karena ayat ini sangat terkait dengan konteks jemaat Korintus pada saat itu. Sense yang sama muncul kembali dalam 1 Timotius 2:11-14 yang menyatakan bahwa hendaknya seorang wanita menerima setiap instruksi dengan “entire submissiveness” (NASB) dan Paulus tidak mengizinkan wanita untuk mengajar atau berotoritas di atas pria. Perlu diingat bahwa kedua ayat ini muncul dalam konteks di mana wanita pada zaman itu masih belum teredukasi dengan baik. Maka dari itu, para penafsir mengatakan bahwa ada kemungkinan dalam jemaat Korintus, para wanita yang kurang terdidik ini mengatakan hal-hal yang tidak sepatutnya dikatakan pada saat ibadah, mempertanyakan otoritas hamba Tuhan, memberi komentar yang tidak pantas, berbahasa roh tanpa pengertian, serta berdebat dengan suaminya. Sama halnya dengan persoalan mengajar, Paulus melarang wanita mengajar bukan karena ia adalah seorang wanita, namun oleh karena mereka memang tidak terdidik.[8] Namun pada intinya, dalam jemaat-jemaat Paulus baik di Korintus maupun Efesus sama-sama terjadi hal yang serupa: adanya kecenderungan wanita untuk tidak tunduk pada otoritas laki-laki. Maka dari itu, Paulus terkesan memberikan teguran yang keras pada mereka.

Kesimpulan

            Sebagaimana sejarah senantiasa berubah dan terdapat dialektika-dialektika di dalamnya, begitu pula dengan pandangan terhadap peran dari wanita. Zaman Bapa-bapa Gereja hingga Abad Pertengahan dapat dikatakan menjadi ‘masa suram’ bagi wanita mengingat zaman tersebut wanita masihlah sangat inferior dan tidak signifikan dalam masyarakat. Kemudian seiring zaman yang semakin modern, berkat munculnya gerakan-gerakan seperti feminisme yang mengedepankan emansipasi wanita, wanita mendapat posisi yang lebih bermartabat dalam masyarakat dan mendapatkan status yang lebih setara dengan pria. Namun emansipasi wanita yang kebablasan dan tidak kembali kepada Alkitab justru akan menjadi bumerang tersendiri di mana akhirnya wanita mengabaikan peranannya sebagai penolong bagi pria. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain selain kembali kepada Alkitab dan penafsirannya yang benar.

            Alkitab menyatakan bahwa wanita adalah setara dengan pria, namun terdapat ordo di mana pria mendapatkan privilege untuk memimpin. Wanita pun perlu menyadari di mana dan sampai di mana porsinya, serta tidak mengambil alih kekuasaan pria demi ambisi pribadi. Pada akhirnya, wanita perlu aktif membiarkan pria aktifdalam menjalankan perannya sebagai pemimpin. Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan pria zaman sekarang? Apakah pria sudah ‘memantaskan’ dirinya untuk ditaati oleh wanita? Yang pasti tentu saja kita sendiri tidak dapat ‘memantaskan’ diri, hanya melalui anugerah Tuhan saja kita, baik wanita maupun pria dapat mengerjakan peran kita masing-masing sesuai kehendak-Nya.

Aplikasi dari semua hal ini bukan berarti wanita harus menjadi pribadi yang pendiam, tidak berbicara sama sekali, hanya mengurus anak di rumah, dan serba menurut kepada siapapun, tetapi bagaimana aktif menghidupi panggilannya sebagai penolong yang baik bagi pria dalam menggenapkan panggilannya sebagai kepala. Untuk menerapkan hal ini perlu kebijaksanaan dari Tuhan dalam meresponi perintah-Nya dalam konteks masing-masing kehidupan kita. Karena memang ada wanita-wanita tertentu yang dipanggil Tuhan untuk menjadi pengajar, misionaris, dan bahkan martir – yang mana akan dibahas pada artikel selanjutnya. Dan kepemimpinan wanita sering kali menjadi hal yang perlu ketika dalam kasus tertentu terjadi keabsenan dalam kepemimpinan pria.

            Namun bagaimanapun, setelah melihat semua hal ini, bagaimana respons kita sebagai wanita? Bagaimanakah hati kita di hadapan Tuhan? Apakah hati kita sungguh-sungguh telah diubahkan untuk menerima setiap perintah-Nya bagi kita walaupun itu sulit dilakukan? Karena adalah hal yang sulit ketika kita harus memaksa diri untuk rela tunduk ketika kita merasa diri kita mampu. Maka dari itu, kiranya pekerjaan Yesus Kristus yang telah mengosongkan diri-Nya dan taat penuh pada kehendak Bapa memampukan kita, para wanita, untuk memiliki karakter yang serupa dengan-Nya. Kiranya nama Tuhan dimuliakan melalui peran dan pelayanan para wanita Kristen di zaman ini, dan dalam gerakan yang mulia ini. Soli Deo Gloria!

Endnotes:
[1] Giles, Kevin. Three Interpretations of What the Bible Teaches About Gender. Diunduh dari:http://www.efccm.ca/pdfs/ThreeInterpretationsAboutGender–KevinGiles.pdf.

[2] Phelips, The Churches and Modern Thought, 203.

[3] Greek Philosophy on the Inferiority of Women (Plato) http://www.womenpriests.org/traditio/infe_gre.asp.

[4] Ranke-Heinemann. Eunuchs for the Kingdom of Heaven,185.

[5] Ibid, 51-52.

[6] http://www.aquinasonline.com/Questions/women.html.

[7] Calvinism and Women. Disadur dari: http://www.patheos.com/blogs/jesuscreed/2011/05/09/calvinism-and-women/.

[8] John Calahan, Women in the Church (1960).

Comments