Sola Fide, 11 Oktober 2020

Lukas 7:36-50

Vik. Lukman Sabtiyadi

Di dalam akhir Abad Pertengahan (±1450-1500an), ada seorang pemuda yang kemudian mengalami suatu peristiwa yang tidak pernah terlupakan di dalam hidupnya. Pemuda ini sedang berjalan dengan temannya lalu di tengah-tengah perjalanan itu kemudian petir menyambar mereka. Petir itu tidak mengenai dia tetapi mengenai temannya dan temannya itu mati tersambar petir. Sejak saat itu ia menjadi ketakutan akan kematian.  Oleh karena itu, dia pun memutuskan untuk menjadi seorang biarawan dan menjalani kehidupan biara. Hal ini tentu tidak didukung oleh orang tuanya karena orang tuanya ingin dia menjadi seorang ahli hukum. Pemuda ini adalah Martin Luther (1483-1546). Dia masuk ke dalam biara yang berpegang pada tradisi Agustinus. Dalam perjalanannya sebagai seorang biarawan di biara Agustinus itu, dia sangat bergumul dengan dosanya. Sampai suatu ketika dia menuliskan, “Saya seorang biarawan yang suci, yang di hadapan Allah merasa berdosa dengan kesalahan yang tidak bisa dipercaya secara hati nurani. Saya tidak merasa yakin bahwa bisa menyenangkan Allah melalui apa yang saya lakukan. Saya tidak mencintai Dia. Tidak. Saya benci akan Allah yang benar, yang menghukum orang berdosa. Di dalam keheningan, saya tidak mengatakan apa-apa yang menghina Tuhan, tetapi masih mengeluh dan saya menjadi marah dengan Allah.” Sampai suatu ketika dia membaca bagian firman Tuhan dari Roma 1:17, Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.” Kemudian dia begitu tergugah dan menjadi percaya bahwa keselamatan di dalam Kristus itu diperoleh melalui iman. Dia berpegang teguh pada doktrin ini: Sola Fide (Iman saja).

Karena itulah dia sangat menolak praktik-praktik yang menekankan keselamatan berdasarkan perbuatan baik ataupun pembelian dari surat pengampunan dosa: Surat Indulgensia. Saat itu ada seorang tokoh yang begitu terkenal mempropagandakan dengan sangat meyakinkan tentang surat pengampunan dosa yaitu Johan Tetzel. Banyak sekali orang kemudian terpengaruh dan membeli surat pengampunan dosa, dan Luther sangat menentang hal ini. Luther begitu keras menentang ini, dia begitu bergumul bagaimana saya menentang sesuatu yang sudah diajarkan atau diperintahkan di dalam gereja saat itu, yaitu Roma Katolik. Sampai akhirnya dengan pergumulan penuh, dengan sungguh-sungguh berdoa dan begitu susah hati, pada 31 Oktober 1517 memakukan 95 tesis di pintu Gereja di Wittenberg, Jerman. Kota yang begitu kecil, di gereja yang begitu sederhana. Dia tidak pernah menyangka tindakannya ini kemudian menjadi suatu peristiwa yang begitu besar yang Tuhan pakai untuk mereformasi gereja di sepanjang sejarah. Salah satu peristiwa penting yang bukan hanya mengubah, mereformasi gereja secara internal, tapi salah satu peristiwa yang dipakai untuk mengantar abad pertengahan memasuki abad modern.

Beberapa pokok dari 95 tesis: (36) Setiap orang Kristen yang benar-benar bertobat menikmati pengampunan penuh dari hukuman, menikmati pengampunan penuh dari hukuman dan rasa bersalah, dan ini diberikan kepadanya tanpa Surat Indulgensia. (37) Setiap orang Kristen sejati hidup atau mati berpartisipasi dalam semua keutuhan Kristus dan gereja. Dan partisipasi ini diberikan kepadanya oleh Tuhan tanpa Surat Indulgensia. 95 tesis itu kemudian dicetak oleh orang-orang banyak sehingga 95 tesis ini tersebar Jerman sampai kemudian seluruh Eropa, dan begitu menggegerkan setiap orang khususnya Roma Katolik saat itu. Dan saat itulah Reformasi itu dimulai. Reformasi merupakan suatu peristiwa sebenarnya peristiwa kecil, sederhana sekali, yang dilakukan oleh seorang manusia yang berespon di hadapan Allah. Martin Luther yang tidak pernah menyangka peristiwa ini menjadi peristiwa yang besar, tapi kemudian Tuhan pakai. Satu peristiwa di gereja yang kecil dan di kota yang kecil. Lalu Tuhan memakai teknologi saat itu menyebarkan 95 tesis ini kemudian mempengaruhi banyak orang dan reformasi dimulai.

Salah satu prinsip reformasi yang kita renungkan saat ini yaitu Sola Fide. Sola Fide dapat direnungkan paling tidak dalam 2 konteks: kontra dengan Abad Pertengahan dan Abad Modern. Dalam konteks Abad Modern, iman dihadapkan dengan rasio karena ini terkait dengan persoalan epistemologis. Di dalam pergumulan Luther saat itu, Abad Pertengahan, dalam konteks soteriologis sehingga iman dihadapkan dengan perbuatan baik (termasuk ritual dan surat indulgensia). Prinsip ini merupakan prinsip Alkitab yang salah satunya dapat dilihat dari Lukas 7:36-50.

Seorang Farisi mengundang Yesus untuk datang makan di rumahnya. Yesus datang ke rumah orang Farisi itu, lalu duduk makan (ayat 36). Seorang Farisi mengundang Tuhan Yesus untuk datang ke rumahnya, lalu Yesus pun datang. Siapa orang Farisi? Pada umumnya kita menilai orang Farisi secara negatif. Tapi saya ingatkan, orang Farisi adalah orang yang sungguh-sungguh berkomitmen hidup bagi Tuhan. Orang Farisi adalah kelompok yang sungguh-sungguh memikirkan bagaimana menerapkan firman Tuhan dalam setiap aspek kehidupan dan tidak ingin melawan Tuhan. Orang Farisi adalah kelompok yang ketika belajar sejarah pembuangan dari bangsa Israel, mereka mau memperbaiki diri mereka agar sungguh-sungguh takut akan Tuhan. Mereka merenungkan Alkitab lalu mengembangkan Alkitab dengan tujuan menjaga kekudusan di hadapan Tuhan. Orang Farisi adalah kelompok yang sungguh-sungguh mau hidup bagi Tuhan dan bahkan mau mati bagi Tuhan. Orang Farisi itu adalah orang yang sungguh-sungguh berusaha menjauhi dosa dan pendosa. Apakah hal ini sulit kita terima? Saya kira tidak. Hampir semua orang tua mengajarkan pada anaknya, “Jangan dekat-dekat dengan orang nakal, jangan dekat-dekat dengan pencuri.” Ketika kita bekerja diingatkan: “Jangan dekat-dekat dengan koruptor.” Pada umumnya orang tua yang wajar normal pasti menjauhkan anak-anaknya dari pergaulan dan lingkungan yang buruk. Pada umumnya orang tua akan mendorong anak-anaknya dekat dengan orang-orang di gereja. Kita diajarkan harus menjauhi dosa dan pendosa. Itu wajar sekali karena “Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik” (1 Kor. 15:33).

Orang Farisi adalah orang yang sungguh-sungguh mau menjaga kekudusan di hadapan Tuhan. Mereka belajar dari sejarah, mereka tidak mau lagi dihukum oleh Tuhan. Kemudian mereka sungguh-sungguh ketat dan mengembangkan hukum Allah yang salah satunya – begitu banyak tapi salah satu yang terkenal – yaitu 613 Mitzvot yang terdiri dari 365 hukum negatif “jangan, jangan, jangan” dan 248 hukum positif “lakukanlah, lakukanlah.” Anak-anak diajar membaca Alkitab, lalu memahami Alkitab itu, mengingat setiap ayat Alkitab, dan menerapkannya sampai umur 12-13 tahun, Bar Mitzvah. Mereka sangat bangga dengan tradisi itu karena tradisi itu tidak dimiliki oleh orang-orang ‘kafir’ di sekitar mereka baik orang Yunani atau orang non-Yahudi lainnya, bangsa-bangsa lain. Mereka adalah orang-orang yang begitu takut Tuhan. Dan tidak banyak orang Farisi yang mau mengundang Tuhan Yesus datang ke rumahnya. Simon adalah salah satu orang Farisi yang mengundang Tuhan Yesus yang dicatat oleh Alkitab. Lalu Tuhan Yesus datang kepada orang Farisi ini dan ketika ada peristiwa ini – yaitu Yesus datang ke orang Farisi ini – berita itu tersebar luas. Saat itu Yesus merupakan public figure yang begitu kontroversial dan populer dikenal banyak orang, sehingga kedatangannya ke rumah orang Farisi didengar oleh banyak orang di kota itu.

Di kota itu ada seorang perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa. Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi. Sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Yesus dekat kaki-Nya, lalu membasahi kaki-Nya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu (ayat 37-38). Ada beberapa penafsir mengatakan bahwa setting dari peristiwa itu terjadi bukan di dalam rumah tapi di pelataran rumah atau di bagian rumah yang terbuka karena memang saat itu kehidupan publik sangat penting, image itu sangat penting sekali. Dan selain itu pula kita bisa maklumi, karena orang Farisi mengundang seseorang masuk ke rumahnya itu sangat hati-hati sekali. Sebelum dia dapat menyimpulkan sesuatu tentang orang ini, mereka tidak akan mengundang orang itu sembarangan untuk masuk ke rumahnya. Salah satu tokoh yang kontroversial saat itu adalah Tuhan Yesus. Jadi kemungkinan di pelataran atau di bagian rumah yang terbuka. Hal ini ditegaskan pula ketika perempuan masuk begitu mudah tanpa ada batas padahal dikenal sebagai pendosa. Ia masuk dan langsung mendekati Tuhan Yesus. Saat itu mereka duduk di lantai – kemungkinan itu kakinya mungkin lipat ke belakang – sehingga perempuan dapat langsung mencuci kaki Tuhan Yesus. Ia membawa sebuah buli, tiba-tiba dia menangis lalu membasahi kaki Tuhan Yesus dengan air matanya, mencuci kaki Tuhan Yesus, dan menyekanya dengan rambutnya, mencium kaki itu, dan kemudian meminyaki kaki Tuhan Yesus. Perempuan ini melakuakan suatu tindakan yang luar biasa. Satu ekspresi tindakan yang sangat mencengangkan di dalam konteks saat itu. Saya kira di dalam konteks sekarang juga. Bayangkan kita mengundang tamu seorang pria ke rumah. Tiba-tiba dari luar datang seorang perempuan lalu mencuci kaki tamu itu. Pada umumnya sangat lumrah kita akan berpikir: Ini ada apa ini? Ada skandal apa? Apalagi jika perempuan tersebut dikenal sebagai orang yang berdosa. Peristiwa itu sangat mengherankan.

Lukas tidak mengatakan dosa dari perempuan ini. Namun dalam sepanjang sejarah perempuan berdosa ini diidentikkan dengan Maria Magdalena dan Maria Betania. Penafsiran ini diawali oleh Paus Gregorius I di awal abad pertengahan tahun 500-an. Paus Gregorius I dikenal karena kumpulan lagunya disebut sebagai Gregorian Chant. Dia menyamakan perempuan ini dengan Maria Magdalena dan Maria Betania dengan menyamakan antara Lukas 7 dengan Lukas 8:2; Lukas 10:39 dan Yohanes 12:3. Paus Gregorius I menafsirkan perempuan tersebut sebagai Maria Magdalena yang merupakan seorang perempuan tunasusila. Tafsiran ini terus bertahan sampai ribuan tahun bahkan sampai sekarang masih banyak orang yang memahaminya demikian. Ada yang menyatakan Maria Magdalena adalah orang yang mencintai Tuhan Yesus seperti digambarkan dalam novel Da Vinci Code oleh Dan Brown. Selain itu banyak para seniman seperti Van Gogh, Paul Cézanne, dan Paul Gauguin terinspirasi karena Maria Magdalena seorang perempuan tunasusila yang bertobat – menurut legendanya – itu pergi ke Prancis Selatan lalu di situ memberitakan Injil lalu menjadi martir. Victor Hugo dalam Les Misérables menyebutkan panggilan terhadap Jean Valjean sebagai Monsieur Madeleine (Madeleine = Magdalena). Kisah Maria Magdalena sebagai perempuan tunasusila yang bertobat menginspirasi banyak orang.

Tetapi para penafsir Reformator Protestan – dan seharusnya kita juga saat ini – tidak menafsir 3 perempuan ini sebagai orang yang sama. Lukas mencatat seorang perempuan yang berdosa yang identitasnya tidak jelas dan dosanya pun tidak disebutkan. Dia bisa berdosa karena memang sebagai tunasusila, bisa juga dia berdosa karena dia menikah dengan orang yang kafir (bukan Yahudi), yang tidak ber-Tuhan, atau dia merupakan istri dari pemungut cukai, istri pembunuh, dan lain-lain. Saya kira juga kita tidak perlu berlebihan untuk menafsir bahwa perempuan yang berdosa ini langsung diberikan label sebagai seorang tunasusila. Tapi pada umumnya memang kita akan segera memahami perempuan tidak benar itu sebagai perempuan tunasusila. Padahal perempuan nggak benar itu definisinya nggak selalu begitu. Itu asosiasi yang salah karena kontruksi sosial dan proyeksi dosa kita. Sesuatu tabu yang mau kita jauhi, yang mungkin ekspresi dosa hati kita, lalu kita kenakan kepada orang lain yang sebenarnya hati kita itu sudah jahat juga dalam dalam dosa itu. Lukas mau menyatakan di sini nggak penting jenis dosanya apa, yang penting adalah dia perempuan berdosa. Dosa ‘kecil’ atau ‘besar’ adalah tetap dosa dan itu serius di hadapan Allah. Hal ini juga serius di hadapan masyarakat saat itu karena dosanya secara sosial dipandang sangat kotor. Statusnya secara sosial itu sangat tidak baik, dan dia melakukan sesuatu yang sangat ‘aneh’ saat itu: dia mencuci kaki Yesus sehingga dapat dimaknai secara erotis. Namun kalau kita lihat gesture-nya, bahasa tubuh dari perempuan ini, mulai dari tangisannya, di dalam Alkitab itu merupakan bahasa pertobatan. Tangisan itu identik dengan pertobatan. Mencuci kaki Tuhan Yesus dengan rambutnya, rambut itu merupakan lambang kehormatan perempuan. Jadi itu digambarkan memberikan penghormatan kepada Tuhan Yesus. Lalu di sini juga dikatakan bahwa dia meminyaki kaki Tuhan Yesus. Meminyaki kaki Tuhan Yesus itu merupakan lambang syukur dan sukacita atas kehadiran dan penerimaan dari Tuhan Yesus. Tuhan Yesus menerima dia, tidak memarahi dia.

Bagaimana tanggapan Simon? Ketika orang Farisi yang mengundang Yesus melihat hal itu, ia berkata dalam hatinya: “Jika Ia ini nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamah-Nya ini; tentu Ia tahu, bahwa perempuan itu adalah seorang berdosa” (ayat 39). Jadi kemungkinan sekali Simon mengundang Tuhan Yesus untuk lebih kenal dan mau melihat Tuhan Yesus masuk kategori kelompok sosial yang mana. Walaupun dalam ayat 34 dikatakan Tuhan Yesus masuk dalam kategori kelompok orang yang berdosa, Simon ingin mengenal Tuhan Yesus. Dalam kategori masyarakat saat itu yang tertinggi itu orang-orang beragama, filsuf, dan pengajar sebagai kelas atas (elite) yang mempengaruhi banyak orang. Lalu yang di tengah – kelas tengah – itu adalah perwira, prajurit, bahkan mungkin kaisar bisa dimasukkan dalam kategori ini sebagai orang berjasa bagi kepentingan banyak orang. Lalu kelas bawah yaitu petani, pengusaha, pedagang karena hanya fokus pada urusan perut sendiri dan keluarganya. Dan lebih bawah lagi dari semua itu kelompok orang berdosa: pemungut cukai, perempuan tunasusila, orang-orang yang dikatakan oleh orang Farisi itu orang yang kafir, itu orang berdosa, itu yang paling rendah. Tuhan Yesus ini masuk mana? Simon belum memutuskan sehingga mengundang Tuhan Yesus. Tapi dalam bagian ini jelas dia menilai Tuhan Yesus bukan nabi karena membiarkan seorang perempuan berdosa menyetuhnya. Sehingga kemungkinan Simon sudah menyimpulkan bahwa Tuhan Yesus memang kelompok bawah dalam masyarakat.

Penilaian Simon ini tidak asing dengan kita. Simon menilai Tuhan Yesus adalah orang yang diselamatkan atau tidak, nabi atau bukan, orang yang saleh atau bukan, berdasarkan tindakan Tuhan Yesus, perbuatan Tuhan Yesus. Bukankah sering kali kita juga demikian? Kita juga menilai orang-orang dengan tindakan, dengan appearance, dengan performanya seperti apa. Mengapa? Ada penafsir mengatakan karena Simon mempunyai pemahaman – dan orang Farisi dan mungkin sekali banyak dari kita mempunyai pemahaman – kepercayaan mendasar di dalam hati kita bahwa keselamatan itu diperoleh melalui perbuatan baik. Keselamatan yang diperoleh melalui perbuatan baik karena memandang dosa itu adalah perbuatan jahat. Dosa itu adalah tindakan jahat, pelanggaran terhadap hukum Allah, tindakan pelanggaran terhadap hukum Allah. Padahal Alkitab mengatakan lebih mendasar dari itu, lebih esensial dari itu.

Dosa bukanlah sekedar tindakan melanggar hukum, bukan. Dosa bukanlah sekedar tindakan amoral, immoral atau tindakan yang tidak sopan, bukan. Tetapi melalui bagian ini kita melihat – dan saya percaya banyak dari kita juga demikian – bahwa kita cenderung menilai seseorang baik atau tidak, dekat Tuhan atau tidak, dari tindakannya. Hal ini karena pada dasarnya kita melihat bahwa dosa sebagai perbuatan jahat semata. Sehingga kita berlomba-lomba untuk menyatakan perbuatan baik supaya kita good perform. Kita sensitif dengan orang-orang yang tidak tampil secara baik, performa buruk. Saya juga refleksi diri saya, misalnya dalam satu ruangan ada seorang yang merokok, saya cenderung pasti mau menjauh. Dan bukan hanya sekedar menjauh, saya langsung dalam hati berkata, “Ini orang nggak benar ini. Orang-orang nggak peduli kesehatan. Orang-orang nggak peduli kesehatan dirinya dan kesehatan orang lain.” Pada umumnya, kita melihat orang yang terus melayani di gereja dan yang terus naik mimbar itu orang yang lebih dekat Tuhan. Kayaknya kalau orang-orang ini berdoa minta sesuatu kepada Tuhan itu langsung dikabulkan. Sehingga tidak heran kita sering minta hamba Tuhan atau orang-orang yang aktif ke gereja yang berdoa agar Tuhan lebih mendengarkan dan mengabulkan harapan kita.

Kenapa? Good perform. Kita menilai demikian karena di dalam hati kita paling dalam – dan ini memang hati manusia yang paling dalam ini pemikiran yang berdosa yang ‘wajar’ di dalam dosa – bahwa dosa itu perbuatan jahat dan solusi dari perbuatan jahat itu adalah perbuatan baik. Perbuatan baik itu banyak hal: ekspresi yang baik, perform yang baik. Maka apa yang kita lakukan? Kerja keras lebih baik lagi. Prinsip ini dapat kita lihat dalam banyak aspek kehidupan kita. Misalnya meritokrasi. Meritokrasi merupakan tentang kualitas diri bahwa saya bisa mencapai sesuatu bukan dengan nepotisme tapi karena saya memang mempunyai kualitas diri. Nah ini suatu hal yang wajar dan pasti tentu saya percaya itu harus ada. Tapi sebenarnya ada prinsip di balik itu bahwa solusi dari manusia berdosa dalam menjalani hidupnya bukan bertobat kepada Kristus tapi kerja keraslah lebih baik, melakukan yang baik, perform yang baik. Di dalam gereja, pekerjaan, studi, dan semua kita kerjakan, akhirnya membentuk kita menjadi orang-orang bertopeng.

Kita di sini adalah orang-orang yang bertopeng. Yang penting saya bisa tampil baik. Maka ketika kita melihat ada orang yang nggak tampil baik, kita begitu sensitif. Saya sangat mengerti ini ya karena saya orang pemusik: setiap pemusik itu – hampir semua pemusik – itu idealis. Saya pasti ingin mencapai yang terbaik untuk kemuliaan Allah, dan itu nggak salah sama sekali. Tapi masalahnya adalah ketika standar kemuliaan Allah itu dikunci, disempitkan pada good perform. Padahal kemuliaan Allah itu tidak bisa disempitkan dengan good perform. Kita seringkali berpikir kalau saya usaha yang terbaik, akan dapat hasil yang terbaik. Nggak selalu. Ada kadang orang nggak terlalu usaha keras tapi bisa dapat nilainya bagus. Atau mungkin nggak telalu melatih diri dengan baik, dengan keras, tapi kemudian dia bisa memberkati banyak orang. Karena ada faktor lain. Inilah yang dilupakan oleh Simon tanpa terkecuali oleh saya dan Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Kita lupa bahwa keberhasilan dan ujungnya – yaitu keselamatan – tidak disempitkan pada perbuatan baik. Bukan berarti perbuatan baik tidak penting. Tapi keselamatan itu didasarkan kepada anugerah di dalam Kristus yang diperoleh melalui iman.

Yesus pasti tahu apa yang dikatakan Simon, lalu kemudian Tuhan Yesus mengatakan suatu perempuanan dalam ayat 40-43. Dia tidak langsung menegur Simon blak-blakan di depan umum waktu itu tapi Dia menegur secara persuasif menggunakan perumpamaan, dan memang menurut studi komunikasi, teguran melalui perumpamaan itu bisa dengan persuasif mengubah seseorang dengan begitu halus tanpa ada sesuatu bentrokan yang besar. Dalam perumpamaan dinyatakan ada 2 orang berutang, salah satu orang itu berutang lebih besar dari yang lain, tapi dua orang ini sama-sama nggak mampu membayar hutangnya lalu pelepas hutang itu menghapuskan utang mereka. Kedua orang ini berutang dan keduanya mendapat kasih karunia penghapusan utang. Lalu Tuhan Yesus bertanya, siapa di anatara kedua orang ini yang mengasihi lebih besar kepada tuan ini? Dan Simon menjawab dengan tepat bahwa orang yang utang lebih besar yang dihapuskan utangnya itu yang mengasihi lebih banyak. Ini kesimpulan yang mudah danta tanpa berpikir panjang, tanpa menganalisis begitu dalam, dan tanpa ada eksegese. Tapi uniknya Simon mengatakan, “Saya kira..” seperti mikir-mikir. Ada penafsir yang mengatakan tanggapan Simon seperti itu karena ia menyadari sudah masuk dalam jebakan dan sesudah itu pun ia tidak lagi memberi komentar kepada Tuhan Yesus.

Mengapa perempuan ini melakukan suatu ekspresi kasih yang luar biasa? Karena dia begitu banyak diampuni. Orang yang membahasakan kasih dengan luar biasa, gesture, bahasa tubuh, ekspresi kasih yang luar biasa, itu adalah orang yang diampuni begitu besar. Orang yang diampuni dosanya. Ini terlepas dari dosanya kecil atau besar. Maka itu Lukas tidak mengatakan perempuan ini pendosa besar atau pendosa kecil, nggak. Karena melihat pengampunan itu besar, itu bukan bergantung pada saya ini pendosa ‘besar’ atau ‘kecil’ karena dosa bagaimana pun itu adalah sama seriusnya di hadapan Allah. Kita dapat menyadari bahwa Allah memberikan pengampunan besar kepada kita karena kita menyadari bahwa dosa apa pun itu sangat menyedihkan Tuhan. Ada orang seperti John Calvin, misalnya, dibandingkan dengan Martin Luther. Martin Luther itu begitu sensitif dengan dosa. Martin Luther menyatakan tentang dosa yang begitu serius di hadapan Allah: Dia tidak mencintai Allah, dia membenci Allah. Esensi dosa bukanlah perbuatan jahat semata. Esensi dosa adalah penyimpangan status dan kondisi eksistensi manusia di hadapan Allah.

Tuhan Yesus melanjutkan, “Engkau lihat perempuan ini, Aku masuk rumahmu namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku. Tetapi dia, perempuan yang dipandang berdosa itu, membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Simon engkau tidak mencium Aku, tetapi sejak Aku masuk, perempuan ini tidak henti mencium kaki-Ku. Engkau Simon, tidak meminyaki kepala-Ku dengan minyak, tetapi perempuan ini meminyaki kaki-Ku dengan minyak wangi” (ayat 44-46). Kata-kata Tuhan Yesus begitu tajam sekali. Apa yang Tuhan Yesus katakan ini berlebihan tidak? Tidak berlebihan sama sekali. Ini merupakan hal yang wajar. Di dalam konteks budaya saat itu apa yang dikatakan Tuhan Yesus merupakan standar sopan santun memperlakukan tamu. Saya percaya di sini juga karena saya pun mengalami, saya bersyukur pada jemaat Jogja, Solo, dan Semarang yang memberikan penyambutan yang baik. Apa Tuhan Yesus katakan wajar sekali. Di dalam tradisi saat itu kalau ada tamu masuk itu dicuci kakinya, itu benar. Tuan rumah menyuruh budaknya, atau mungkin tuan rumah sendiri yang mencuci kaki, itu biasa sekali. Tuhan Yesus katakan demikian, Simon ternyata tidak melakukan itu, tidak memberikan hal yang wajar itu, sopan santun yang wajar, bukan hanya di dalam konteks Farisi, Yahudi, tapi konteks masyarakat umum saat itu. Lalu mencium tamu, bisa mencium di pipi atau di tangan, ini juga kebiasaan umum saat itu. Ini menyatakan penyambutan, penerimaan, dan penghargaan. Selain itu, meminyaki kepala, ini juga hal yang wajar untuk tamu yang dihormati sehingga diberikan penghormatan lebih. Apa yang Tuhan Yesus katakan? Kamu nggak lebih baik dari perempuan ini. Kamu mengkategorikan perempuan ini orang berdosa. Dan secara sosial – bukan hanya Simon atau orang Farisi – kelompok masyarakat saat itu juga mengkategorikan demikian. Tuhan Yesus katakan engkau (dan masyarakat sekitar) tidak lebih baik dari perempuan ini. Apa bedanya? David E. Garland mengatakan dosa Simon “socially respectable”, dosa yang secara sosial dapat dimaklumi, dapat ditoleransi, dapat dikompromikan. Apa dosa respectable ini? dosa kesombongan, dosa keras hati, keras kepala, dosa cuek (tidak peduli), dosa penghakiman spontan dan sembarangan. Inilah seringkali menjadi dosa kita, orang-orang beragama. Berapa banyak kita merendahkan orang yang tidak sering ke gereja? Berapa banyak kita merendahkan orang-orang yang belum percaya kepada Kristus? Dan kita (lebih baik dari dia) seolah-olah mau menginjili dia untuk menjadi ‘pahlawan’ bagi dia supaya dia kenal Kristus, supaya dia selamat? Berapa banyak dari kita tidak peduli dengan sesama kita dan itu melihat hal itu wajar, kita maklumi? Ada orang susah di jalan kita biarkan, ada yang susah di sesama kita, kita cuek. Respectable sin.

Kemudian Tuhan Yesus memberikan kategori baru kepada perempuan ini, dengan mengatakan kalimat yang tidak mungkin pernah bisa dikatakan oleh siapapun kecuali oleh Tuhan saja, “Hai perempuan dosamu diampuni. Hai perempuan imanmu menyelamatkan engkau” (ayat 48, 50). Tidak mungkin ada seorang pun yang bisa mengatakan dosa kamu diampuni. Tidak mungkin. Paus sekalipun tidak mungkin. Surat pengampunan dosa nggak mungkin. Yang bisa mengampuni dosa itu hanya Tuhan Yesus, dan Tuhan Yesus mengatakan imanmu menyelamatkan engkau. Mengapa? Karena hanya Tuhan yang mampu memberikan solusi yang terbaik bagi masalah manusia yang paling dasar yaitu dosa. Bukan dengan perbuatan baik, tapi dengan iman. Jalan iman adalah jalan mencapai kesempurnaan berdasarkan pada kesempurnaan Kristus melalui iman. Bukan dengan perbuatan baik karena dosa bukanlah hanya sekedar perbuatan jahat. Dosa adalah penyimpangan hati dan eksistensi manusia di hadapan Allah, yang sering kali tidak sekedar bisa dilihat secara fenomena, tetapi hati itu begitu kotor. Simon tidak kelihatan begitu jahat. Alkitab juga tidak pernah mencatat dosa-dosa orang Farisi itu yang begitu ekstrim, tindakan-tindakan yang begitu tidak bermoral, misalnya orang Farisi yang ke Bait Allah lalu malamnya ke tempat yang tidak benar, tempat yang berdosa, berjudi, atau berzinah, tidak demikian. Tetapi dosa-dosa mereka apa? Dosa-dosa respectable sin yang – saya percaya – saya dan Bapak, Ibu, Saudara sekalian sangat familiar dengan itu. Siapa orang Farisi saat ini? Kalau orang Farisi itu hadir saat ini, dia menjadi seperti apa? Menjadi seperti saya dan Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Kita adalah wajah Farisi masa kini. Orang-orang yang beragama, orang-orang yang perform good, orang-orang yang terus berusaha yang terbaik untuk kudus. Tapi Alkitab mengatakan kekudusan bukan didasarkan pada usaha manusia tapi pada pengudusan Roh Kudus yang kemudian menggerakkan kita, mendorong kita sehingga kita pun dimampukan untuk mengerjakan keselamatan yang kita peroleh melalui iman. Jalan perbuatan baik berarti pencapaian kesempurnaan melalui usaha manusia, sedangkan jalan iman berarti pencapaian kesempurnaan hanya melalui iman kepada Kristus saja.

Untuk mengakhiri khotbah saya mengutip dari perkataan Kierkegaard, seorang filsuf Kristen yang banyak sekali pemikirannya didasarkan pada Alkitab, karena dalam konteks modern itu Alkitab dengan Science itu terpisah, lalu filsafat juga terpisah, kemudian dia melawan dari hal itu, dia mengambil pemikirannya, inspirasinya dari Alkitab. Kierkegaard dalam The Sickness unto Death, mengatakan, “The opposite of sin is not virtue, … the opposite of sin is faith” (berdasarkan Roma 14:23). Lawan dari dosa bukan kebajikan, bukan perbuatan baik, bukan karakter baik. Lawan dari dosa adalah iman karena dosa adalah penyimpangan hati dan eksistensi manusia di hadapan Allah. Iman sejati ditandai dengan pengampunan dari Kristus dan kasih kepada Kristus yang begitu besar. Sola Fide.

Bapa kami di surga kami bersyukur Tuhan atas kesempatan yang Kau berikan kepada kami untuk kami bersama-sama merenungkan sebagian kebenaran firman Tuhan yaitu Sola Fide, hanya oleh iman. Ajar kami Tuhan untuk sungguh-sungguh beriman kepada Kristus, dan kiranya iman yang sejati itu boleh didasarkan kepada pengampunan Kristus, dan diekspresikan dengan kasih yang begitu besar kepada Kristus. Kiranya Engkau yang terus mengampuni kami Tuhan, dan terus menyempurnakan kami, dan biarlah Roh Kudus mengubahkan kami, menyempurnakan iman kami, hari lepas hari. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.

 

Ringkasan Khotbah Peringatan Reformasi (KS)

Comments