Dalam zaman yang ditandai dengan tingginya tingkat mobilitas manusia dan kebebasan individu, kita sering mendengar istilah “masyarakat yang pluralis” dan kata “toleransi”. Masyarakat pluralis adalah suatu kelompok manusia yang mempunyai kemajemukan dalam hal budaya, kebiasaan, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya. Ini adalah satu fakta yang tidak bisa dipungkiri, apalagi jika kita melihat negara Indonesia yang terdiri dari beratus-ratus suku bangsa yang tersebar di lebih 13 ribu pulau. Dengan adanya keanekaragaman tersebut, maka sikap toleransi, saling menghargai dan menerima di antara komponen perbedaan itu sangat diperlukan untuk mengurangi potensi terjadinya konflik. Pemerintah juga acap kali berusaha menekankan indahnya toleransi sehingga terbentuk opini publik yang demikian.
Sebenarnya toleransi ialah suatu sikap yang baik karena ia mengajak setiap komponen masyarakat untuk bersabar menerima perbedaan yang ada demi tercapainya keharmonisan hidup bermasyarkat. Namun sesuatu yang baik sering terletak berbatasan dekat dengan yang jahat. Sesuatu yang baik dapat ditunggangi oleh pihak tertentu untuk mencapai kepentingannya. Kebebasan manusia yang dianugerahkan Tuhan dapat dipakai menjadi kebebasan seliar-liarnya bahkan untuk menentang Tuhan. Demokrasi sering dipakai untuk membenarkan tindakan anarki. Kasih menjadi topeng untuk melampiaskan hawa nafsu. Keadilan menjadi kuasa untuk menjalankan otoritarianisme. Demikian juga sikap toleransi dalam kehidupan beragama dapat diperalat untuk mewujudkan cita-cita pluralisme agama.
Apakah pluralisme agama? Pluralisme agama ialah paham yang menyatakan semua agama itu benar adanya dan mempunyai esensi yang sama. Dengan kata lain, tidak ada satu agama pun yang boleh mengklaim dirinya paling benar karena semuanya sama benar. Ketika satu agama mengklaim dirinya yang paling benar, maka ia langsung dituduh arogan dan tidak toleran. Contoh konkrit pluralisme agama sering ditemukan ketika kita sedang mengabarkan Injil, maka respon sebagian orang: “Semua agama itu sama, hanya caranya yang berbeda. Tapi intinya sama kok.” Baru-baru ini juga Malaysia digemparkan dengan kehadiran sekte Sky Kingdom. Pendirinya mencoba menyatukan agama Kristen, Islam, Hindu, dan Budha di bawah payung Sky Kingdom dengan tujuan untuk menumbuhkan saling pengertian antar umat beragama. Dia juga mengklaim dirinya sendiri Allah yang kepadanya orang berdoa dan mengizinkan pengikutnya untuk memilih agama yang mereka suka. Semua ini adalah contoh nyata bahwa arus pemikiran pluralisme agama sudah hadir di tengah-tengah kita.
Sekarang kita akan melihat lebih jauh asumsi dari pluralisme agama yang menyatakan semua agama itu benar dan tidak ada yang boleh mengklaim benar secara absolut. Asumsi ini mempunyai beberapa kesulitan. Apakah semua agama bisa sama-sama benar? Jawabannya: tidak bisa, karena adanya kontradiksi secara esensi. Pengajaran Tuhan Yesus adalah kebenaran sejati sedangkan agama-agama lain hanyalah usaha manusia berdosa untuk mencari kebenaran. Jikalau kita mengatakan semuanya benar, bagaimanakah kita menjelaskan orang Islam yang mengatakan Yesus hanyalah manusia? Mengapakah agama Budha percaya reinkarnasi sedangkan Alkitab mengatakan orang hidup sekali saja kemudian mati dan dihakimi? Mengapakah orang Hindu percaya salah satu dewanya mempunyai unsur kejahatan sedangkan kita percaya Allah baik adanya? Mengapakah agama- agama lain percaya bahwa jalan ke sorga melalui perbuatan baik, sedangkan kita percaya sola gratia? Jikalau dilihat dari kontradiksi yang ada, maka nyata bahwa perbedaan itu cukup esensial dan bukan hanya menyangkut tata cara ibadah, berpakaian, bentuk rumah ibadah, dan sebagainya. Untuk itu, asumsi bahwa semua agama itu benar tidak dapat dipertanggungjawabkan karena tidak mungkin kebenaran itu saling berkontradiksi. Kontradiksi itu sendiri saja sudah cukup mengimplikasikan adanya benar dan salah. Tidak mengakui hal ini adalah bukti penipuan diri sendiri dari kaum pluralis agama.
Klaim kaum pluralis agama bahwa semuanya benar karena tidak ada kebenaran yang mutlak juga salah. Jikalau mereka mempropagandakan “tidak ada yang mutlak benar”, mereka setidaknya harus percaya bahwa propaganda itu sendiri mutlak benar. Jika mereka tidak percaya, mengapa perlu disebarkan paham ini dan mengapa kita perlu percaya sesuatu yang masih diragukan kebenarannya? Sebaliknya jika mereka percaya itu mutlak benar, maka perlukah kita mempercayai paham yang pernyataannya tidak konsisten dengan pemahamannya? Namun mungkin ada yang berkata bahwa bagi kaum pluralis, pluralisme itu benar tetapi menurut kita paham itu mungkin salah. Dengan kata lain pluralisme itu dalam waktu yang sama bisa salah dan benar, hanya tergantung dari perspektif yang melihatnya. Jika demikian, kita perlu sekali lagi bertanya apakah pandangan kita (yaitu pluralisme itu salah) itu benar atau salah atau tidak benar tidak salah. Jika pandangan kita itu benar (sekalipun hanya menurut kita), maka kita harus mengakui adanya konsep kemutlakan di dalam diri kita (dan juga kaum pluralis) sehingga kita berani untuk memberikan pandangan seperti itu. Seandainya di dalam diri kita tidak ada konsep kemutlakan, kita tidak akan bisa mengatakan sesuatu itu salah. Dengan menyatakan sesuatu itu salah, kita sebenarnya pada waktu yang sama sedang memutlakkan pandangan kita. Jadi tidak benar pandangan kaum pluralis bahwa tidak ada konsep kemutlakan. Jika pandangan kita dianggap salah, itu berarti apa yang menurut kita benar (yaitu pluralisme itu salah) tidak diakomodasi oleh pluralisme agama yang katanya ‘mengizinkan” semua itu benar, sehingga pluralisme itu sudah berkontradiksi dengan asumsi dasarnya sendiri. Jika pandangan kita dianggap tidak benar tidak salah, bagaimanakah kaum pluralis mempertahankan asumsinya “semua bisa dianggap benar” ketika mereka hanya mengakui pandangan kita tidak benar tidak salah? Dengan demikian, asumsi pluralisme “tidak ada kemutlakan” itu tidak bisa dipertahankan.
Setelah mengetahui kesalahan klaim pluralisme, bagaimanakah sikap orang Kristen menghadapi arus pemikiran ini? Pertama, kita perlu mempunyai keyakinan teguh yang lahir dari pemahaman pada ajaran Alkitab. Dalam menghadapi angin zaman apapun yang melanda, kita harus selalu bertanya: “Apa kata Alkitab mengenai pemikiran tersebut?” Contoh berikut memaparkan bagaimana Alkitab menolak pluralisme agama. Dalam Yoh 14:6, Tuhan Yesus mengatakan diri-Nya sebagai The Truth (kebenaran). Perhatikan kata yang dipakai bukan “a truth” tetapi “The Truth”. Apakah bedanya? Coba bandingkan dua kalimat berikut: Seseorang tiba-tiba berkata kepada temannya, “Bring me a book from the shelves,” dengan “Bring me the book from the shelves.” Untuk kalimat pertama, si teman pasti tidak akan mengalami kesulitan untuk memilih buku dari rak karena dia boleh mengambil buku yang mana saja. Tidak ada bedanya antara buku yang satu dengan yang lain selama itu masih buku; maka semua buku bisa saja benar. Tetapi untuk kalimat kedua, si teman akan bertanya, “Which one?” karena untuk hal ini dia tidak bisa asal ambil saja. Dia harus tahu secara spesifik buku yang mana, judulnya, pengarangnya, tahun terbitannya, dan seterusnya. Kalimat kedua itu sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk menyamakan buku yang sedang diminta dengan semua buku dalam rak. Dengan demikian, ada unsur kemutlakan yang tidak bisa dikompromikan yang terkandung dalam kalimat ini. Sama halnya dengan perkataan Tuhan Yesus. Jikalau Tuhan Yesus hanyalah “a truth”, itu berarti Dia hanyalah salah satu kebenaran di antara kebenaran-kebenaran lainnya. Tetapi kata “The Truth” menghilangkan segala ruang kemungkinan untuk menyamakan Yesus dengan ‘kebenaran-kebenaran” di agama lain. Kata ini menuntut pengakuan pendengar bahwa kebenaran itu harus distinct, absolut, tidak ambigu, dan kebenaran itu hanya ada dalam Yesus.
Kedua, setelah mengetahui apa yang benar menurut Alkitab, kita juga perlu mempelajari di mana letak kesalahan dari paham-paham yang ada sehingga bisa lebih jeli melihat prinsip-prinsip penipuan yang dipakai si jahat. Tipu muslihat si jahat sering dibungkus dengan hal-hal yang baik karena disitulah terletak ‘daya jualnya”. Seperti dikatakan di atas, toleransi dipakai sebagai alasan untuk mewujudkan pluralisme agama dan orang yang menentang paham ini dituduh tidak toleran. Karena merasa takut dihakimi publik sebagai penghambat keharmonisan antar agama, maka orang Kristen pun sering menjadi takut untuk menyatakan iman yang benar dengan tegas dan pada akhirnya terjebak dalam tipu muslihat si jahat untuk menghasilkan kekristenan yang tidak bertulang punggung. Kita harus bisa membedakan fakta dengan dugaan. Jikalau sesuatu itu diyakini sebagai fakta, maka tidak boleh hanya karena alasan ‘toleran” kita mengkompromikan fakta itu. Apakah guru yang mengatakan 1 tambah 1 sama dengan 2, itu tidak toleran karena anak-anak dalam kelas lebih suka angka 10? Tidak! Kebenaran dalam iman Kristen juga adalah fakta dan bukan hanya dugaan yang subjektif. Jika kita mengetahui semua agama tidak mungkin sama, maka kita harus mengatakan itu. Untuk sampai pada keyakinan ini, kita perlu terus belajar dan menambah pengertian akan iman kepercayaan Kristen sehingga tidak mudah diombang- ambingkan oleh pengajaran yang melawan kebenaran. Di samping mengaburkan makna “toleransi”, ciri khas dari kaum pluralis agama ialah sangat mementingkan dialog antar agama. Lagi-lagi dialog yang pada dirinya baik dipakai untuk membungkus cita-cita mereka!
Kita perlu waspada bagaimana menyikapi dialog semacam ini karena umumnya didasari oleh semangat untuk menemukan kebenaran yang dapat disepakati bersama. Dengan kata lain, setiap pihak yang menghampiri forum ini masih dalam tahap mencari kebenaran pada agama-agama lain melalui sarana diskusi. Ini jelas bertentangan dengan ajaran kekristenan yang mengakui kebenaran mutlak dalam Tuhan Yesus saja.
Setiap zaman pasti mempunyai tantangannya sendiri. Bahaya sekali jika sebagai orang Kristen, kita menelusuri zaman kita tanpa menyadari ancaman yang mengintai. Kita perlu senantiasa kembali kepada Firman Tuhan, bertekun di dalamnya, dan melaluinya membaca zaman ini. Kiranya Tuhan menambahkan pengertian akan iman kepercayaan kita supaya tetap kokoh berdiri, memberikan kepekaan agar tidak mudah tertipu, dan membangkitkan keberanian untuk tidak “toleran” dalam hal iman kepercayaan dalam menghadapi pluralisme agama.
“Always be prepared to give an answer to everyone who asks you to give the reason for the hope that you have. But do this with gentleness and respect.”