Percaya pada Kesetiaan Allah, 17 Oktober 2021

Ayub 1:1-21

Vik. Nathanael Marvin, M. Th.

Bapak, Ibu, Saudara yang terkasih dalam Tuhan, setiap orang ingin yang namanya bahagia. Kita sangat suka kata ini karena kita ingin bahagia. Adakah di sini orang yang mau menderita? Ya tentu tidak ada ya. Kita semua ingin bahagia, ingin sukacita, ingin nyaman, ingin tenang. Tentu tidak ada yang mau menderita kecuali ada orang yang menganut paham asketisme ya. Kita tahu ada paham asketisme, kepercayaan asketisme yang mengatakan kita harus menderita supaya kita lebih rohani, menderita lebih baik daripada nyaman. Atau ada orang yang punya konsep hidup itu harus menderita supaya lebih baik. Tapi kalau kita melihat orang-orang yang percaya pada paham asketisme ataupun orang-orang yang suka menderita, ada lho orang-orang yang suka menderita Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika kita lihat mereka menderita, sebenarnya itupun karena mereka ingin bahagia. Karena dengan menderita, ideologi mereka terpenuhi, dengan menderita menurut mereka itu lebih keren, lebih bagus, lebih hebat. Sama saja, ujung-ujungnya manusia ingin bahagia meskipun melalui penderitaan. Tidak ada yang tidak mau bahagia.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pada umumya kita ingin bahagia, tenang, dan kata bahagia bagi sebagian orang itu berarti lepas dari ujian dan pencobaan, lepas dari penderitaan, lepas dari kehidupan yang tidak nyaman, kita bisa hidup aman, tenang, tidak ada beban hidup, itu namanya bahagia. Namun Bapak, Ibu, Saudara sekalian, apakah hidup itu demikian? Apakah hidup itu tidak ada kesulitan, tidak ada penderitaann, tidak ada ujian, tidak ada pencobaan? Tentu tidak. Hidup yang sejati, kehidupan yang benar, kehidupan yang murni pasti ada kesulitan, pasti ada ujian, pasti ada pencobaan, pasti ada penderitaan, itu hidup yang sejati. Kalau hidup yang tidak ada ujian dan pencobaan dan penderitaan dan kesulitan, itu bukan hidup yang sejati. Itu hidup yang sudah betul-betul disempurnakan di sorga. Kita hidup di dunia yang berdosa, kita belum masuk sorga, pasti ada kesulitan, pasti ada penderitaan, pasti ada ketidakbahagiaan. Ini sudah kita pelajari dalam kitab Yakobus, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, bahwa kita itu dicobai, digoda untuk melakukan dosa, ini kita melewati berbagai macam penderitaan.

Barusan kita sudah baca tentang siapakah Ayub. Ayub adalah salah satu model atau salah satu orang yang memiliki kebahagiaan sebagai manusia. Saya ulangi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau kita lihat Ayub pasal 1 ini, Ayub adalah salah satu model manusia yang punya kebahagiaan luar biasa sebagai manusia. Coba tahu dari mana ya Ayub 1:1 di situ dikatakan, “Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” Terjemahan lainnya adalah, “Tinggallah seorang laki-laki yang bernama Ayub, ia menyembah Allah, ia setia kepada Allah, Ayub orang yang baik budi dan tidak berbuat jahat sedikitpun.” Wah luar biasa ya. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kesimpulan siapakah Ayub di ayat pertama adalah dia orang yang baik, dia itu orang yang rohani, dia itu orang yang sungguh-sungguh takut akan Tuhan. Itu kesimpulan dari ayat pertama saja.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, siapa yang tidak harapakan diri kita itu baik? Siapa yang tidak harapkan diri kita itu jadi lebih rohani, jadi orang Kristen yang semakin tekun, semakin takut akan Tuhan? Semua orang harusnya, normalnya mengharapkan diri mereka itu lebih baik lagi. Itu orang yang normal. Sekalipun mereka belum dalam Kristus Yesus, mereka ingin kok lebih baik lagi. Menghindari dosa, lebih berdoa, lebih berbuat baik, berbuat amal. Mereka ingin. Kenapa? Karena sebenarnya hasilnya nanti kita juga akan bahagia. Semua orang yang ada hati nurani itu tidak mau terjebak dan terikat dalam dosa dan dicap sebagai orang yang jahat. Kita tidak ingin dicap sebagai orang yang jahat. Orang yang baik pasti menginginkan hidup yang baik, hidup yang rohani, hidup yang takut akan Tuhan. Dan inilah kebahagiaan manusia. Sekalipun orang pernah masuk penjara, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dia nggak mau cerita-cerita bahwa dulunya jadi narapidana kok. Nggak ada yang pernah bangga orang itu pernah melakukan dosa besar sampai harus dipenjara. Karena nama baik itu memberikan kita kebahagiaan juga.

Saya tanya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita lebih senang ketemu orang baik atau orang jahat? Ketemu pencuri senang? Perampok senang? Pemerkosa senang? Koruptor? Ya nggak lah ya. kita lebih senang ketemu orang baik. Karena kebaikan itu memberikan kebahagiaan. Sayangnya kita seringkali standarnya dobel, kita ingin ketemu orang baik, kita ingin dibaikin orang, sendirinya jahat, sendirinya berdosa. Kita menuntut orang lain, “Ayo baik dong sama saya.” Sendirinya nggak baik. Kenapa kita tuntut orang lain baik? Karena, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, karena kebaikan itu baik, kebaikan itu memberikan kebaikan kepada kita kebahagiaan. Siapa yang tidak ingin ketemu Tuhan Yesus? Siapa yang tidak ingin ketemu Ayub?

Di dalam satu jenis Alkitab, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kitab Ayub itu ditempatkan di kitab kedua setelah kitab Kejadian. Jadi ada penafsir mengatakan Ayub itu hidup setelah kitab Kejadian, jadi sangat awal sekali. Tetapi kita lihat Ayub itu takut akan Tuhan, saleh, tidak berbuat kejahatan sedikit pun. Luar biasa ya. ini seharusnya menjadi kriteria kebahagiaan orang Kristen, yaitu apa? Kerohanian yang baik seperti Ayub. Ada 4 kriteria karakter rohani yang baik bagi manusia, yang pertama hidup saleh atau blameless, jarang melakukan kesalahan. Itu Ayub, blameless. Yang kedua hidup jujur, upright, benar, yang jujur nggak suka bohong. Kita senang ketemu orang yang saleh, orang yang jujur. Coba setiap hari kita ditipu, dibohongi oleh pasangan kita, benci nggak? Kesel nggak? Ya kesal. Ketiga, takut akan Allah, fear God, menjauhi kejahatan, turn away from evil. Ini adalah karakter Ayub, laki-laki yang baik. Siapa yang ingin seperti Ayub, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Seharusnya ini adalah keinginan kita semua. Oke kita tahu harusnya kita serupa dengan Kristus, jangan muluk-muluk. Kristus itu tidak berdosa lho. Ayub ini masih ada dosanya. Tetapi Ayub dikenal oleh orang itu sebagai orang yang baik. Dan itu adalah kriteria kebahagiaan yang pertama, yang harusnya menjadi kriteria kebahagiaan bagi semua orang, bukan hanya orang Kristen, yaitu hidup saleh, hidup yang rohani, hidup yang baik.

Sekarang kita kenal Ayub dalam ayat yang kedua, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Ayub 1:2, “Ia mendapat tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan.” Tadi kerohaniannya baik. Nah Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini juga adalah salah satu kriteria kebahagiaan bagi setiap manusia, yaitu apa? Punya keturunan, punya anak. Ini kriteria kebahagiaan yang pada umumnya, pada umumnya ya. Siapa yang tidak ingin punya anak ketika dia sudah menikah? Kecuali anak remaja, anak pemuda ya nggak kepikiran punya anak ya. Tetapi kalau sudah menikah, sudah suami istri, tinggal berdua saja, kayaknya perlu anak ya karena kita adalah laki-laki dan perempuan, dan Tuhan sudah perintahkan kita untuk beranak cucu dan bertambah banyak. Bahkan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada yang pemuda pemudi yang belum punya pacar pun ingin punya anak. Karena apa? Karena punya anak itu kebahagiaan. Karena dia suka, saking senangnya sama anak, jadi ingin punya anak. Padahal pacar saja belum punya, menikah saja belum, ingin punya anak. Kenapa? Secara umum yang namanya punya anak itu kebahagiaan. Tidak salah kita punya anak. Itu adalah kebahagiaan yang Tuhan berikan.

Akan tetapi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pertanyaannya adalah apakah Tuhan tetapkan semua orang punya anak? Tidak. Ayub ditetapkan Tuhan punya 10 anak, 7 laki, 3 perempuan. Tetapi tidak semua seperti Ayub. Ada yang memang tidak bisa punya anak, karena apa? Masalah kesehatan, masalah medis. Yesus juga tidak ditetapkan Tuhan punya anak. Ada orang-orang yang selibat sehingga tidak punya anak. Ada yang sudah menikah puluhan tahun tidak punya anak. Salah siapa? Ya bukan salah orang. Memangnya ada orang yang tidak punya anak? Apalagi suami istri itu saling mencintai, saling mengasihi, pasti ingin punya anak. Makanya anak diberikan sebuah istilah buah hati, buah cinta. Anak. Dan anak itu memberikan kebahagiaan kepada kita secara umum. Tetapi ada saja orang yang tidak bisa punya anak, karena apa? Karena pengaturan Tuhan memang demikian kok. Apakah salah tidak punya anak? Tidak salah. Banyak perempuan punya keluhan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di dalam rahim ada infeksi, ada tumor, sakit, bisa punya anak? Nggak bisa. Rahimnya sampai harus diangkat, sampai perempuan itu nggak punya rahim lagi, ya nggak bisa punya keturunan. Harus diambil rahimnya, dibuang, supaya dia bisa hidup.

Kita memang tidak mengerti kenapa ada orang yang diizinkan Tuhan untuk tidak punya anak, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, tetapi pengaturan dari Tuhan itu kita percaya Tuhan itu baik, Tuhan itu pasti baik, Tuhan punya rencana yang indah bagi kita semua. Saya sendiri, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, andai saja menikah, ya ini kan mengandai-andai ya, saya kan belum menikah, mungkin hampir menikah. Andai saja menikah, anggap Tuhan tidak berikan anak, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kepada saya misalnya ya. lalu bagaimana? Ada yang pernah pikirkan ini pemuda-pemuda? Kalau kita menikah, andai kita menikah dengan orang yang kita kasihi, Tuhan tidak kasih anak. Saya saja pikirkan. Lalu bagaimana? Jawaban saya ya sudah mau bagaimana lagi, memang nggak punya anak. Saya yang penting saya usahakan yang terbaik, saya serahkan kepada Tuhan.

Tapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau pikiran kita soal keturunan ya, ada pilihan lain yang mungkin ya, mungkin kita bisa adopsi anak di panti asuhan. Seperti para misionaris, saya pernah bahas misionaris bernama Mary Slessor dia single, selibat, perempuan cantik dari Skotlandia. Dia mengabarkan Injil ke benua Afrika, dia angkat anak orang Afrika. Orang Afrika itu kan kalau bayi kembar itu takut, “Ih setan ini, bunuh satu. Eh jangan-jangan yang ini setannya?” Bunuh juga. Daripada dibunuh, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Mary Slessor ambil jadi anaknya, diadopsi. Tapi itu dalam kasus misionaris, misi, penginjilan. Tapi kasus sekarang, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, bagaimana?

Waktu saya humas SPIK Roh Kudus yang baru saja kurang lebih berapa bulan yang lalu, saya sempat berkunjung ke salah satu panti asuhan di Solo untuk undang SPIK Roh Kudus. Ya puji Tuhan ya meskipun hanya anak remaja yang masih kecil, mereka bisa ikut lho. Mereka bisa ikut. Kemudian waktu saya humas itu ada satu bayi, nah saya tanya, tentu saya tanya bukan ke bayinya ya karena bayi tidak mengerti, saya tanya ke pengasuh yang gendong bayi itu, “Namanya siapa? sudah berapa lama di panti asuhan?” pengasuhnya bilang bahwa bayi itu baru saja beberapa bulan di panti asuhan. Kemudian, “Kok bisa, siapa yang berikan?” Saya tanya. Itu diberikan oleh orang tuanya yang masih SMA. Bayangin ya paling kelas dua atau tiga SMA sudah punya anak, dan masalahnya adalah belum menikah. Tapi mereka masih memelihara anak itu, dilahirkan. Kedua orang tua yang masih remaja ini kasih ke panti asuhan itu, “Ini anak saya, saya titipkan ke panti asuhan.” Mereka ya sudah pergi.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada anak-anak yang innocent, yang nggak salah apa-apa, jadi korban orang tuanya. Kita juga bisa saja pilihan ya, ada pilihan kita mungkin Tuhan arahkan untuk adopsi anak. Itu bagi yang tidak punya anak ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Kalau kita lihat diri kita sendiri, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita sendiri itu bukannya anak-anak adopsi Tuhan? Kita kan anak adopsi? Kita diangkat menjadi anak-anak Allah. Kita anak adopsi. Jadi Alkitab sendiri tidak menangkal, melawan adopsi. Kenapa kita harus malu kalau adopsi anak? Kenapa kita nggak mau menolak dulu kalau kita memang Tuhan panggil untuk mengadopsi anak? Justru keputusan untuk adopsi anak itu Alkitab tidak tentang kok. Cuma memang perlu persiapan matang, jangan gegabah karena anak itu ya memang bukan dari darah dan daging kita sendiri, cuma kita angkat anak. Tapi itu hati Bapa kita. Anak dari Bapa kita itu yang betul-betul adalah Yesus Kristus. Semua umat Kristen itu anak adopsi. Kita ini anak adopsi. Yesus Kristus anak tunggal Allah.

Poin saya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Ayub itu diberkati Tuhan. Istrinya bisa lahirkan 10 anak, bayangin 10 anak nggak ada dokter, nggak ada rumah sakit, nggak ada sesar, 10 anak lahir. Betapa sehatnya Ayub, betapa sehatnya istrinya. Ini seperti orang-orang zaman dulu kurang lebih 50 tahun yang lalu. Nenek saya melahirkan 11 anak, jadi mama saya itu 11 bersaudara. Ayub itu dikaruniai 7 anak laki-laki, 3 anak perempuan. Zaman dulu orang-orang itu patriarkal, menekankan kebapakan, mementingkan laki-laki lebih utama daripada perempuan. Tapi kadang-kadang patriarkal atau matriarkal ini kebablasan ya, tidak menghargai hak asasi manusia, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Anak laki-laki lebih dihargai. Wah Ayub itu punya 7 anak laki-laki. 7 itu angka sempurna. Siapa yang tidak ingin punya banyak anak? Kalau zaman itu lebih dihormati, lebih kelihatan diberkati, bisa pelihara 10 anak itu kayak gimana kayanya dia. Okelah nenek saya punya 11 anak itu pun mati-matian, ngurusin anak itu mati-matian, ngurusin anak itu sungguh-sungguh berat.

Siapa yang tidak ingin punya anak? Siapa yang tidak ingin punya banyak anak. Ya mungkin Bapak, Ibu, Saudara sekalian di zaman sekarang itu sulit ya. Tapi kalau kita mampu, siap punya banyak anak, ya sudah nggak apa-apa, disuruh Tuhan beranakcucu dan bertambah banyak. Apalagi kalau ada orang yang percaya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pandangan ini seratus persen, “Akeh bocah akeh rezeki,” banyak anak banyak rezeki. Pasti kalau percaya paham ini, pasti ingin punya banyak anak meskipun susah ya. Menderita, punya anak itu biayanya mahal, sekolahnya berapa, makan minum tiap hari, menderita. Itu menderita di awal. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau orang tua itu bertahan terus sampai orang tua itu sudah lansia, anak-anak semakin besar, memang banyak rezekinya. Kalau anak-anaknya juga baik ya, takut akan Tuhan. Nah inilah kriteria kebahagiaan orang pada umumnya yang kedua yaitu punya anak. Ayub saleh, Ayub punya anak.

Yang ketiga kita lihat Ayub 1:3, “Ia memiliki tujuh ribu ekor kambing domba, tiga ribu ekor unta, lima ratus pasang lembu, lima ratus keledai betina dan budak-budak dalam jumlah yang sangat besar, sehingga orang itu adalah yang terkaya dari semua orang di sebelah timur.” Luar biasa lho. Siapa sih yang tidak ingin kaya? Bapak, Ibu, Saudara sekalian, siapa yang butuh uang? Kita semua ya. siapa yang ingin punya banyak harta? Kita semua ingin. Punya banyak harta, punya aset, punya investasi itu nggak salah. Alkitab tidak larang orang Kristen jadi kaya. Ayub kaya, Abraham kaya, Yusuf dalam Perjanjian Lama kaya, Lydia dalam Perjanjian Baru kaya. Lydia penjual kain ungu itu ya. Perempuan kaya, laki-laki kaya. Alkitab tidak larang orang Kristen menjadi kaya. Banyak orang Kristen yang kaya. Di GRII Yogyakarta pasti ada orang kaya. Kita nggak salah kaya. Kaya raya tidak salah. Apa salahnya menjadi orang kaya? Tidak salah, itu kebahagiaan. Masalahnya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, apakah kita cinta pada kekayaan itu? Apakah kita cinta uang? Itu yang berhati-hati. Masak kita semua harus jadi orang miskin semua kan nggak ya. Salah. Masak semua orang harus jadi kaya? Semua juga salah. Tapi boleh jadi kaya. Kalau perlu kaya. Masalahnya jangan sampai cinta kekayaaan.

Yang berdosa atau yang salah adalah cinta pada uang, cinta pada kekayaan yang membuat kita lupa Tuhan. Lupa Tuhan tapi ingat uang. Itu dosa orang Kristen di hari Minggu. Cari uang, lupa cari Tuhan. Cari uang 4 jam, cari Tuhan 2 jam pun nggak mau. Keterlaluan. Berdosa. Ini yang berdosa, cinta uang, ini yang salah, theologi kemakmuran. Ini salah. Semua orang harus kaya, itu hteologi kemakmuran, omong kosong. Semua orang harus kaya itu omong kosong. Semua orang harus miskin itu omong kosong. Semua ada panggilannya sendiri. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di sini Ayub adalah orang yang kaya, keluarga yang kaya, paling kaya di seluruh negeri penduduk Timur. Luar biasa terkenalnya Ayub. Terkenal, sangat terkenal.

Dari biografi Ayub ini Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa lihat bahwa Ayub memperoleh seluruh kebahagiaan yang dapat dimiliki oleh manusia. Luar biasa ya. Ayub itu memperoleh kebahagiaan di dunia ini yang bisa dimiliki oleh seluruh manusia. Pertama, dia orang baik. Kedua, dia punya keluarga yang baik, punya keturunan, punya istri, punya anak. Ketiga, dia punya harta kekayaan yang baik. Ini adalah kebahagiaan yang didambakan manusia dan Ayub diizinkan Tuhan untuk memilikinya.

Akan tetapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kebahagiaan itu bukan tanpa perjuangan. Saya yakin Ayub itu bekerja keras, sungguh-sungguh, takut akan Tuhan dan hidup yang sejati di dunia ini bukan tanpa ujian, bukan tanpa pencobaan, bukan tanpa penderitaan. Apa yang kurang dari Ayub, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Ayub tetap dirasa kurang oleh Tuhan. Kurang apa? Kurang ujian dan pencobaan dan penderitaan terbesar dalam hidup Ayub. Tetap kurang. Rohani yang baik bagi Tuhan nggak cukup. Keluarga yang baik bagi Tuhan nggak cukup. Kekayaan yang baik bagi Tuhan nggak cukup, tetap kurang. Kurang apa? Ujian dan pencobaan. Yang Ayub alami adalah ujian dan pencobaan yang begitu besar. Iman dan kesalehan Ayub ini diuji oleh Tuhan dan hidup Ayub pun dicobai oleh iblis. Ini dua sisi kehidupan Ayub. Diuji oleh Tuhan, dicobai oleh Iblis. Padahal semuanya baik dari Ayub.

Sekarang kita lihat introduksi dari ujian dan pencobaan Ayub, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Introduksi dari setiap ujian dan pencobaan nanti kita bisa pelajari itu dimulai dengan firman Allah, dengan perkataan Allah. Saya ulangi ya, ujian dan pencobaan itu didahului dengan firman Allah. Kita lihat introduksinya di Ayub 1:6, suatu hari Allah bertanya kepada iblis, “Blis, dari mana engkau?” Mau panggil iblis itu blis atau lis, kalau lis itu kaya nama orang ya. Blis aja ya. “Blis, sini kamu. Dari mana kamu?” Terus si iblis datang, iblis jawab, “Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajah bumi.” Ayat 7 kita lihat, Tuhan tanya lagi kepada iblis, “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.”

Saya pernah dikasih tahu orang, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini kayaknya Tuhan itu sombong ya sama Ayub. Lihat Ayub saleh, jujur, baik, takut akan Tuhan. Nggak ya, Tuhan nggak sombong. Kita yang suka sombong sama anak kita. S1, S2, S3, ini anak saya rajin pelayanan, rajin pelayanan, kuliah tinggi, hebat, ganteng, cantik, kita sombong. Itu sombong. Tapi Tuhan waktu banggakan Ayub bukan demi kesombongan. Itu untuk kebanggaan, sukacita Tuhan. Aku bersukacita kepada hidup Ayub, itu maksudnya. Jadi Tuhan tunjukkan kepada iblis, ini Ayub itu murid-Ku yang setia.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Tuhan bangga sama Ayub, Allah itu bangga dan bahagia ketika bisa melihat kerohanian kita yang baik. Tetapi sayangnya seringkali kita manusia itu memikirkan kebahagiaan yang dari kita sendiri. Kita lupa kebahagiaan Allah. Jangan lupa Bapak, Ibu, Saudara sekalian, jangan pikir Tuhan harus membahagiakan hidup kita sendiri, terus menerus, “Tuhan bahagiakan aku ya. Tolong ubah rohaniku jadi baik. Tolong kasih aku keluarga yang baik. Tolong kasih kekayaan aku yang baik.” Itu egois banget. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, harusnya kalau kita melihat hidup kita ini sudah ditebus dengan darah Kristus, kita harus lihat ke Tuhan, Tuhan bahagia nggak dengan hidup saya ini? Apa yang membuat Tuhan itu senang? Apa yang membuat Tuhan itu bangga? Ya hidup seperti Ayub. Mari kita coba pikirkan Bapak, Ibu, Saudara sekalian, apa sih yang bisa kita lakukan untuk membahagiakan Tuhan? Itu yang harusnya kita pikirkan.

Kemudian dari firman Tuhan ya, dari firman Tuhan kita lanjut ternyata sebelum ujian dan pencobaan dari Kitab Ayub ini, ada perkataan iblis. Iblis ngomong kan kepada Tuhan di ayat 9, “Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?” di-counter. “Oh gitu ya, Han,” si iblis ngomong sama Tuhan gitu ya. “Kamu bangga sama Ayub? Coba kalau Ayub nggak punya apa-apa, masih takut akan Tuhan nggak? Masih setia sama Tuhan nggak?” Di sini kita bisa lihat bahwa iblis itu nggak maha tahu. Iblis nggak tahu Ayub itu setianya karena apa. Pikir setianya karena kaya, karena punya keluarga, karena dia baik, tidak ya. Iblis itu tidak tahu. Iblis itu punya pola pikir bahwa Ayub bisa setia karena diberkati Tuhan. Itu pola pikir transaksi.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Bapak, Ibu, Saudara datang ke tempat ini ibadah mau hubungan transaksi sama Tuhan, saya sudah ibadah hari Minggu, Tuhan. Berkati aku. Itu pola pikir iblis. Iblis pikir Ayub, Ayub bisa setia sama Tuhan, saleh karena diberkati Tuhan. Kaya, punya keluarga yang baik. Ini nggak benar. Iblis akhirnya lawan Tuhan. “Ayub taat itu karena dibaikin Tuhan.” Itu kata iblis ya, “Dikasih kekayaan, dikasih keluarga yang baik. Kalau diambil semuanya gimana, Tuhan? Pasti Ayub nggak taat.” Di ayat ke-10, “Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu.” Terus si iblis katakan di ayat 11, “Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu.” Tuhan berkata kepada iblis, “Nah, ok. Iblis, blis, blis, segala kekuasaan ada di tangan kamu. Hanya janganlah engkau ulurkan tanganmu terhadap diri Ayub, nggak boleh Ayub itu mati.” Kemudian si iblis pergi dari Tuhan.

Kita lihat Bapak, Ibu, Saudara sekalian bahwa dalam ujian dan pencobaan yang dialami Ayub, ada firman Tuhan, ada firman atau perkataan iblis. Ini introduksi dulu. Ini menjadi dasar dari segala ujian dan pencobaan. Waktu kita alami penderitaan, waktu kita alami ujian, waktu kita mengalami pencobaan hidup, jangan lupa itu ada introduksinya. Ada Tuhan yang berdaulat, ada iblis yang menggoda. Kita harus ingat, kita menderita itu bukan menderita sendiri, itu ada pekerjaan Tuhan tetapi ada pekerjaan iblis juga. Ini dua sisi yang tidak terpisahkan. Maka dari itu, hati-hati Bapak, Ibu, Saudara sekalian waktu sedang dalam kesulitan hidup, ujian, dan pencobaan, kita harus berhati-hati, kita dengar suara yang mana. Suara si iblis atau suara Tuhan? Bisikan racun atau bisikan madu? Harus dengar. Dalam kesedihan, kesepian, kemiskinan, kita harus lihat ada firman Tuhan dan firman iblis itu mendahului ujian dan pencobaan.

Sekarang kita lihat ujian dan pencobaan yang pertama Bapak, Ibu, Saudara sekalian di pasal 1 ini hanya ada 4 pencobaan ya. Kita lihat di ayat 13, ujian dan pencobaan yang pertama dari Ayub, “Pada suatu hari, ketika anak-anaknya yang lelaki dan yang perempuan makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung, datanglah pesuruh kepada Ayub dan berkata: “Sedang lembu sapi membajak dan keledai-keledai betina makan rumput di sebelahnya, datanglah orang-orang Syeba menyerang dan merampasnya serta memukul penjaga dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.””

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, introduksi dari ujian dan pencobaan itu adalah kebahagiaan. Siapa sih yang nggak suka anaknya lagi rukun? Anggap kita punya anak banyak ya. Kadang-kadang anak kita kan suka bertengkar, rebutan mainan atau bertengkar harta, keras dua-duanya ya. Kita lihat ya Raja Daud punya anak tuh saling bunuh, bayangin ya. Anak saling bunuh. Sekarang Ayub ini lagi rukun semua. Saudara yang paling sulung buka rumah mereka, yuk adik-adikku semua kumpul yuk kumpul keluarga, makan-makan, ada Ayub, ada istri Ayub. Di hari bahagia ada kabar yang sangat menyedihkan, yaitu apa? Orang-orang Syeba mengambil keledai, lembu, sapi, dan membunuh para pegawai Ayub. Dari kebahagiaan langsung kepada kesedihan. Berapa detik lagi kumpul keluarga nih, makan, ibarat kita lagi HUT besok minggu ya, lagi HUT senang ya hari ulang tahun ke-25 tahun, ulang tahun perak, tiba-tiba ada berita IMB nggak keluar, misalkan ya, misalkan. Kita gimana? Waduh kesel banget ya. Padahal udah diterima IMBnya ya, sudah senang nih, sudah keluar. Tiba-tiba digagalkan oleh Sultan, ini contoh ya, bukan beneran, bukan doa juga, bukan doa dari saya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, tapi barang kita lagi HUT enak-enak, ada kabar buruk.

Waduh gimana ya, Ayub itu lagi senang-senang makan keluarga, dapat kabar buruk, bukan hanya itu, sementara si pegawainya ngomong sama Ayub dikatakan sementara pegawai itu bicara datang lagi ujian pencobaan yang kedua, ujian dan pencobaan yang Ayub alami itu bukan silih berganti, tapi bertubi-tubi bersamaan datang. Kita mengalami ujian pencobaan silih berganti, sekali datang, selesai, datang lagi. Ayub bukan silih berganti, Ayub itu kabar buruk pertama datang, ujian dan pencobaan yang kedua datang pegawai yang lain mengatakan api telah menyambar dari langit membakar semua kambing domba dan penjaga-penjaga, hanya aku sendiri yang luput untuk beritahu Tuan Ayub. Datang pesuruh yang kedua, api dari langit bukan membakar Sodom dan Gomora, tapi membakar kambing domba Ayub dan orang-orang penjaganya kebakar. Gimana sedihnya Ayub?

Bapak, Ibu, Saudara sekalian kalau kita punya usaha, pegawai kita mati kesambar petir, misalkan, sedih nggak? Sedih sekali. Bukan hanya itu, sementara orang itu bicara, ujian pencobaan yang ketiga datang, datang orang lain berkata orang-orang Kasdim membentuk 3 pasukan lalu serbu unta-unta dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang, hanya aku sendiri yang luput untuk beritahu. Pencobaan ketiga. Ujian dan pencobaan ketiga sementara orang itu bicara lagi, ini tiga kali ya, tiga kali sementara orang itu bicara, sementara orang itu bicara, sementara orang itu bicara, tiga kali, dan yang terakhir itu paling menyedihkan. Jadi ini ada gradasi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian dari ujian dan pencobaan Ayub itu ada gradasi. Tingkat keparahannya itu dari pertama, dua, tiga, dan empat, dan yang terakhir paling menusuk hati Ayub datang orang lain berkata anak-anak Tuan Ayub yang laki dan perempuan sedang makan dan minum anggur di rumah saudara yang sulung, tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun, rumah itu dilanda dari empat penjuru dan roboh menimpa orang-orang muda itu sehingga mereka mati. Hanya aku sendiri yang luput sehingga dapat beritahu.

Ya jadi ngeri ya, Ayub dan istri Ayub senang anak-anak itu rukun, mereka kumpul di satu rumah ternyata rumah itu rubuh dilanda angin dari padang gurun. Sepuluh anak mati bersamaan. Sepuluh anak. Sepuluh anak mati bersamaan. Dimulai dari bobot yang kecil yaitu lembu sapi 500 pasang, keledai 500 pasang, itu ujian pencobaan yang pertama. Yang kedua kambing domba 7000, yang ketiga 3000 unta, unta lebih mahal dari kambing domba tentunya ya. Dan yang terakhir adalah 10 anak, Tuhan ambil semua. Tuhan ambil. Iblis bekerja. Ujian dan pencobaan Bapak, Ibu, Saudara sekalian biasanya muncul di dalam bentuk penderitaan. Inilah penderitaan yang dialami Ayub. Penderitaan-penderitaan yang sangat sangat besar. Harta Ayub hilang, anak yang dikasihinya hilang, ini bersamaan semuanya.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, pada umumnya ujian dan pencobaan itu bicara soal penderitaan. Bicara soal penderitaan Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya ingin jelaskan ada 4 jenis klasifikasi penderitaan. Para teolog mengklasifikasikan jenis-jenis penderitaan. Ada 4 klasifikasi dari penderitaan Bapak, Ibu, Saudara sekalian, yang pertama berdasarkan sumbernya penderitaan itu muncul dari diri sendiri ya, dari diri sendiri berarti yang bertanggung jawab adalah orang itu sendiri, yang terdampak karena penderitaan itu adalah diri sendiri tapi bisa juga orang lain. Respon yang seharusnya ketika menderita karena diri sendiri, karena dosa diri sendiri yaitu harusnya apa? Bertobat mengaku kepada Allah. Ini klasifikasi yang pertama. Sumber penderitaan itu dari dosa sendiri. Contohnya kalau kita bohong Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita mudah dipercaya orang nggak? Nggak. Kalau kita bohong, bisa aja tabur tuai, kita dibohongi orang. Kalau kita jahat sama orang, bisa saja tabur tuai, kita dijahati orang, itu penderitaan karena sumbernya diri sendiri.

Yang kedua sumber penderitaan adalah dari teman kita atau orang lain. Berarti yang tanggung jawab atas penderitaan itu adalah orang yang berdosa itu, teman kita itu, tetapi kita juga bisa bertanggung jawab, kenapa? Karena kita izinkan dia berdosa. Ingat kasus Akhan? Akhan yang berdosa, orang Israel kena. Kurang lebih kayak gitu ya. Sumber penderitaan, sumber dosa itu orang lain. Tapi kita juga kena dampaknya kalau kita tidak memperingati orang lain supaya tidak berdosa, jangan berdosa. Kita kena hukuman Tuhan juga. Lalu Bapak, Ibu, Saudara sekalian, respon yang seharusnya adalah bertahap ya, bertahap kita melakukan kebaikan, kita jangan sampai berdosa, meresponi orang yang galak, misalkan, atau yang sombong, kita jangan balas sombong atau balas marahin, nggak usah. Sabar aja. Makanya biasanya istri-istri kalau suaminya emosi di jalan, klakson, salip lagi, istrinya tenangin, “Tenang, tenang,” misalkan kayak gitu ya, “jangan, jangan.” Itu harusnya responnya. Kita cooling down terus kita menerima orang yang berdosa itu.

Kita terima, oke dia berdosa memberikan penderitaan, betul, tapi kita jangan sampai dia melakukan dosa yang lebih besar terus kita terima orangnya. Jangan jauhi. Misalkan orang yang homoseksual, misalkan ya. Kan itu kaya langsung ganggu banyak orang kan, itu dosa karena orang itu. Tapi kita menahan, kita jangan jauhi, kita berteman. Tidak semua orang homo itu suka sama kita kok kalau kita cowok ya. Kita aja nggak suka sama semua cewek kan? Kita suka sama satu aja, kaya gitu. Bisa kita kendalikan. Jadi, ketika orang itu berdosa, kita tahan supaya orang itu nggak semakin berdosa, baik kalau dia kumpulannya sama orang-orang homo terus, orang-orang gay terus, yaudah dosanya terus. Tapi kalau kita rangkul dia, kita terima dia, itu bisa bertobat, bisa mengurangi efek dosa itu. Itu adalah klasifikasi penderitaan yang kedua ya. Itu adalah yang kedua.

Yang ketiga Bapak, Ibu, Saudara sekalian sumber penderitaan itu adalah dari bencana alam atau kelalaian seseorang yang memang sebenarnya dapat dihindari. Ini klasifikasi penderitaan yang ketiga yang bertanggung jawab adalah orang yang lalai yang menolak nasihat atau pencegahan. Yang terdampak adalah orang-orang disekitarnya. Responnya harusnya apa? Mencegah hal itu sebisa mungkin dan persiapan bila memang hal itu tidak dapat dicegah. Jadi, sumber penderitaan itu dari bencana alam, misalkan kebanjiran atau gimana, atau dari orang yang lalai padahal bencana itu bisa dihindari. Misalnya contohnya klaster COVID. Klaster COVID itu bisa dihindari, tapi gara-gara orang lalai Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ya sudah jadi banyak yang kena COVID, terus sudah kena COVID, tidak persiapan, bagaimana harus berespons, supaya bisa menangani penyakit COVID, ya sudah, menderita. Nggak persiapan, lalai, ada kan ya kena COVID tapi pikir sehat-sehat aja, nggak diobati, sembuhnya lama, 2 bulan, 3 bulan. Tapi kalau langsung diobati dengan sungguh-sungguh, dengan persiapan, ya sudah sembuhnya cepet gitu ya. Itu sumber penderitaan yang ketiga.

Yang keempaat, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, sumbernya adalah dari bencana alam, atau seseorang yang memang tidak dapat dihindari. Misalnya kita ditabrak orang di jalan, kita sudah hati-hati kok, tapi masih ketabrak, itu nggak bisa dihindari penderitaan itu. Yang bertanggung jawab siapa? Tuhan dan iblis. Ini, ini, klasifikasi penderitaan yang unik ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, yang terdampak adalah orang-orang yang diizinkan mengalami penderitaan itu. Respons yang seharusnya adalah percaya kepada kesetiaan Allah, kebaikan Allah. Contohnya Bapak, Ibu, Saudara sekalian penderitaan, bencana alam yang tidak bisa kita hindari adalah kita sudah jaga protokol kesehatan dengan ketat, dengan baik, sudah lakukan semua yang disarankan pemerintah, sudah minum semua vitamin, sudah pakai masker, tetap kena COVID, salah siapa? Bukan salah orang lain, bukan salah kita, itu dari Tuhan, dari iblis. Kita kena COVID itu, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, sumbernya adalah bisa karena kelalain, bisa karena kedaulatan Tuhan.

Nah Bapak, Ibu, Saudara sekalian, klasifikasi penderitaan mana yang dialami oleh Ayub? Jawabannya adalah klasifikasi yang keempat. Ayub nggak salah, Ayub baik-baik saja, Ayub saleh, tapi kok hilang harta, hilang anak? Kunci Ayub menang atas ujian dan pencobaan yang dialami adalah percaya kepada kesetiaan Allah. Ini bukan salah Ayub, bukan dosa Ayub. Ayub nggak harus minta ampun, nggak harus bertobat, nggak harus mengaku dosa, wong dia nggak salah kok. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, repons Ayub itu nggak harus seperti itu. Dia harus berespons, dia harus tetap beriman, dia harus tetap tidak berdosa, dia harus tetap tidak gegabah, dia harus percaya kepada kesetiaan Allah. Inilah kunci menghadapi ujian dan pencobaan yang sumbernya dari Allah secara langsung.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, respons kita itu sangat penting, respons kita itu sangat penting. Saya ulangi kembali ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kemarin di seminar pemuda juga, saya sebutkan kutipan Pak Tong ini masuk ya di dalam setiap aspek, gitu ya, “Man is not what he thinks, man is not what he eats, man is not what he gains, man is not what he behaves, man is not what he feels, but man is what he reacts before God.” Manusia itu didefinisikan bukan karena apapun, tetapi karena reaksinya kepada Allah itu seperti apa. Kalau reaksinya marah sama Tuhan, Ayub berdosa. Kalau reaksinya Ayub, responsnya Ayub itu tetap percaya kepada kesetiaan Allah, itu Ayub tetap baik.

Masuk ke respons, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mari kita lihat ada satu kisah yang sangat bagus tentang respons manusia ya, ini saya akan bagikan kepada kita semua, judulnya adalah “Respons Terhadap Kematian.” Bagi orang-orang yang suka filsasat tahu cerita ini, pasti tahu. Socrates, filsuf Athena, abad ke-5 SM, dia mendengarkan pembacaan vonis kematiannya. Socrates ini dihukum mati oleh masyarakat, tuduhannya apa? Sesat. Socrates ini adalah filsuf yang baik padahal, tapi sesat. Mereka yang berwenang, di pemerintahan Yunani itu mengklaim bahwa Socrates, cendikiawan ini, menolak untuk mempercayai dan mengakui dewa-dewa Athena di zamannya. Kumpulan dari 501 hakim telah memberikan suara. Hasilnya adalah 281 menegaskan dakwaan agar Socrates mati saja, “Dia sesat kok, dia nggak sembah dewa-dewa Yunani, dia hanya cari kebenaran, kebenaran, kebenaran, kebijaksanaan, kebijaksanaan, kebijaksanaan. Nggak usah, kita harus bunuh filsuf ini.” 281 orang setuju Socrates mati, sementara 220 mendukung pembebasan Socrates, beda 61 orang suara saja.

Tetapi ketika Socrates dikatakan, “Kamu harus mati, Socrates, ini hakim-hakim sudah voting, kamu harus mati,” kemudian Socrates mengatakan kalimat ini, “know ye not, that I have been preparing for it all my life,” kamu tahu atau nggak ya, saya sudah persiapkan saya siap mati, menghadapi vonis mati ini sepanjang seluruh kehidupan saya. Itu Socrates katakan demikian. When Socrates was told to prepare to die, he replied, “Ketahuilah kamu, bahwa aku sudah mempersiapkan kematianku sepanjang seluruh hidupku.” Kemudian Socrates diberi kesempatan untuk melarikan diri. Sudah lari saja ya dari hukuman mati ini, boleh, boleh nggak mati, tapi caranya gini, kamu harus meninggalkan jalan kebijaksanaan itu. Socrates dikatakan oleh masyarakat itu, boleh kamu melarikan diri, kamu boleh lepas dari hukuman mati asal kamu tidak lagi mengikuti jalan kebenaran, jalan kebijaksanaan, tetapi sembah dewa-dewa Yunani, dewa-dewa Athena. Tapi Socrates katakan demikian, “Siapa yang tahu bahwa kematianku ini memberikan kebaikan-kebaikan yang lebih besar lagi?” Wah ngeri ya. “Siapa tahu kalau aku mati, justru kehidupan kamu itu lebih baik, kalau aku mati.” Ini filsuf ini pemikirannya luar biasa.

Kemudian filsuf yang terdakwa ini begitu murah hati, dia sungguh-sungguh baik ya, sehingga pengadilan itu bahkan tergerak untuk membebaskannya kalau dia menyangkal imannya. Socrates berkata terakhir kalimat ini, “Orang-orang Athena yang aku kasihi, aku berterima kasih kepada perhatian kamu, terhadap seluruh kebaikan kamu, aku berterima kasih kepada kalian semua, saya rasa, saya lebih baik mati setelah pembelaan saya ini, bahwa saya akan terus mencari kebijaksanaan, saya akan terus mencari kebenaran, saya tidak akan sembah dewa-dewa Athena, saya lebih baik mati daripada hidup sesuai persyaratan kalian.” Luar biasa ya. Filsuf Athena yang hebat itu menghabiskan jam-jam terakhir diskusinya itu dengan apa? Dengan berbicara soal immortality, keabadian. Apa immortality? Apa itu keabadian? Apa itu hidup yang kekal? Dia bicara dengan siapapun, dia bicara mengajarkan tentang immortality. Dan terakhir ketika vonis bahwa Socrates itu harus mati, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dia mengambil satu minuman, namanya hemlock. Hemlock ini adalah satu tanaman Eropa yang begitu beracun ya, begitu beracun diambil minuman hemlock itu, dan dia meminumnya dengan yakin, bahwa dia setia kepada kebijaksanaan dan kebenaran itu. Dan akhirnya Socrates mati di tangan dirinya sendiri, bukan di vonis hakim, vonis orang-orang sekitar.

Nah Bapak, Ibu, Saudara sekalian, inilah respons filsuf, respons Socrates, ketika orang-orang itu menguji dan mencobai dia, ketika dia itu mengalami penderitaan, dihukum mati lho. Tapi responsnya sangat bijaksana, karena dia mengagungkan bijaksana, bahkan dia itu meminum racun ya, dia nggak ingin mati di tangan orang lain, dia ingin mati di dalam hikmat kebijaksanaan dia sendiri. Dia mati. Apa yang kita bisa pelajari dari sebuah respons Socrates ini, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Kalau orang yang, saya nggak tahu ya apa dia kenal Tuhan Yesus atau nggak, tapi ya Yesus Kristus belum lahir ya pada waktu itu, ya kita juga tidak tahu dia orang yang dipilih atau nggak, tapi orang seperti itu saja sudah siap, begitu berani, begitu memegang prinsip yang luar biasa, dia itu suka kebijaksanaan, dia pegang kebijaksanaan sampai mati. Kita orang Kristen kayak gimana ya? Kita seperti orang Kristen yang seperti apa, setia kepada Kristus, rela mati untuk Kristus? Itu hanya omongan di mulut saja. Kita orang Kristen ketika menghadapi ujian, dan pencobaan dan penderitaan, “Udah, nggak mau ke gereja ah, males, orang-orang di gereja itu sombong-sombong, jahat-jahat, nggak bener semua.” Oh berarti sendirinya bener ya? Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita nggak bisa ya, kita harus bertahan. OK, gereja itu kurang sempurna, banyak orang berdosa, tapi prinsip hidup kita adalah sembah Kristus, datang ke gereja, meskipun banyak orang brengsek, banyak orang berdosa, datang ke gereja, kita ibadah kepada Kristus kok, bukan ibadah kepada orang.

Terakhir, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mari kita lihat respons Ayub, Ayub 1:20-22, kita baca bersama-sama respons Ayub, “Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujudlah ia dan menyembah, katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut.” Ini respons Ayub. Betapa penting respons kita menghadapi ujian, pencobaan, dan penderitaan. Itu lebih penting respons kita dibandingkan segala penderitaan yang terjadi dalam hidup kita.

Saya ulangi ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian respons Ayub ini, “Maka berdirilah Ayub,” berarti dia dari duduk ya, dari duduk dengan tenang di rumahnya. Mendengar semua kabar itu dia berdiri, dia koyak jubahnya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, menandakan dia sedih luar biasa. Dia cukur rambutnya, potong rambut ya, mungkin sampai ya dengan gunting seadanya aja, potonglah, sedih gitu ya. Rambut yang adalah mahkota kepala, dia potong, tanda berduka cita. Apa yang dilakukan Ayub, marah-marah ke Tuhan? Apa yang dilakukan Ayub, buang Alkitab kita? Apa yang dilakukan Ayub, misuh-misuh? Ya bahasa Jawanya. Nggak ya, Ayub itu berdiri, tanda dia hormat, siap, kemudian Ayub itu koyak jubah, cukur rambutnya. Ngapain? Sujud menyembah Allah, berlutut, berdoa, menyembah Allah. Dan kalimat ini hanya dikatakan oleh Ayub, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah Tuhan.” Aku dilahirkan tanpa apa-apa, mati juga tanpa apa-apa. Tuhan telah memberikan dan Tuhan yang telah mengambil, terpujilah nama-Nya. Doksologi. Ayub berespons dengan doksologi. Ini yang perlu kita responi. Makanya di akhir ibadah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita selalu reponsnya apa? Doksologi. Karena sudah mendapatkan berkat Tuhan sepanjang ibadah, ditutup dengan doksologi, puji kepada Allah, praise the Lord. Maka segala sesuatu yang baik itu harus ditutup dengan praise the Lord.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian punya kebiasaan katakan puji Tuhan? Saya baru saja kemarin malam makan malam setelah seminar pemuda, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, sama pemuda di Solo, kemudian waktu di tempat parkir itu saya tanya ke tukang parkirnya, “Wah rame ya Pak restoran ini kalau hari ini.” “Ya, ya, rame, rame, tapi kalau hari biasa sepi.” Terus saya tanya ke bapak itu, “Bapak gimana, sudah tua?” Maksudnya kelihatan tua kan, “Bapak gimana kabarnya sehat?” “Sehat alhamdulilah,” gitu ya. Mereka gampang sekali ngomong alhamdulilah, puji Allah, puji Allah, bersyukur kepada Allah. Kita dapat sesuatu yang baik itu praise the Lord nggak? Doksologi nggak? Itu respons yang terbaik. Ayub mengalami penderitaan, doksologi. Kita kalau sukacita baru, “Puji Tuhan,” nggak sukacita, nggak puji Tuhan ya. Ini respons Ayub, dari sini kita bisa belajar bahwa Ayub bukan hanya persiapan diri ketika semua baik-baik saja, tetapi ketika hal buruk terjadi, dia berespons tetap dengan memuji Tuhan.

Pasal 1 ditutup dengan sebuah kesimpulan yang mencengangkan tentang segala ujian, pencobaan, dan penderitaan yang Ayub alami. Ini adalah respons Ayub yang luar biasa. Di pasal-pasal selanjutnya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, bisa baca sendiri ya, selanjutnya, Ayub mengalami ujian dan pencobaan dan penderitaan yang selanjutnya. Kita tahu, nanti Ayub akan mengalami penyakit kulit luar biasa seluruh tubuhnya sampai dia garuk-garuk badannya dengan beling. Lalu istrinya, yang dikasihinya, misuh-misuh juga ya ke dia, “Sudah, kutuki saja Allah,” ngomong kasar. Itu berat ya, pencobaan Ayub akan dilanjutkan lagi, tapi kita tidak bahas, kita hanya bahas pasal 1 saja, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Ayub pun manusia, ya, dia banyak pencobaan, dan dia pernah gagal juga. Apalagi sama penghibur-penghibur sialan itu kan ya. Sampai Ayub itu pernah rasa, “Ngapain sih aku hidup kalau Tuhan itu semua ambil, lebih baik aku tidak dilahirkan di dunia ini,” itu Ayub ya, ada penyesalan, ada keputusasaan, ada kebingungan, ada kekecewaaan, ada kekecewaan yang besar, emosi, kelemahan, putus asa, tapi dia mampu menghadapi seluruh nya. Dia itu responsnya itu tidak menghina Tuhan, dia tidak memaki Tuhan, tetapi dia memuji Tuhan.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, penderitaan Ayub memang sangat berat, tapi jangan lupa seluruh tokoh-tokoh Alkitab yang menderita, itu membawa kita memandang kepada Yesus Kristus. Ujian dan pencobaan dan penderitaan yang dialami Yesus Kristus jauh lebih berat daripada Ayub, jauh lebih berat daripada setiap manusia yang pernah ada di dunia ini, dan yang akan ada di dunia ini. Penderitaan Yesus sebagai manusia itu jauh lebih berat, karena Dia tidak berdosa, kenapa harus menderita? Ayub masih berdosa, Yesus tidak berdosa. Tapi respons Yesus apa? Doksologi. Respons Yesus adalah memuji Tuhan, tidak berdosa sedikitpun Yesus taat, Yesus berkorban, Yesus berdoa bagi orang yang berdosa kepada-Nya, Dia mengampuni dosa-dosa kita, Dia mempersembahkan diri-Nya sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Tuhan.

Kiranya kita boleh kuat menghadapi segala ujian, pencobaan, dan penderitaan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Kiranya kita bisa ingat, bahwa respons kita itu harus tetap puji Tuhan. Memang pahit ya, tapi Ayub yang begitu pahit hidupnya saja bisa puji Tuhan. Memang pahit, tapi puji Tuhan. Kiranya kita boleh terus minta tolong kepada Yesus, minta tolong kepada Roh Kudus, untuk menguatkan dan menghiburkan kita semua. Mari kita sama-sama berdoa.

Tuhan, Bapa kami yang di sorga, terima kasih Tuhan kami boleh mempelajari kitab Ayub, pasal yang pertama. Kami bersyukur Tuhan, melalui firman Tuhan, kami boleh semakin mengenal siapakah diri kami di hadapan Tuhan, kami boleh melihat lagi realita hidup kami, bahwa hidup kami memang tidak lepas dari ujian yang datang dari Tuhan, pencobaan yang datang dari iblis, dan dunia yang berdosa ini, dan juga tidak lepas dari penderitaan. Maka dari itu Tuhan, ajar kami memiliki hidup yang baik, hidup yang saleh, hidup yang takut akan Tuhan, sehingga kami ketika meresponi hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup kami, kami bisa berkata, “Puji Tuhan,” kami bisa memuji Tuhan, kami bisa bersyukur atas kebaikan Tuhan yang sudah Tuhan nyatakan sejak kami lahir di dalam dunia ini, sejak kami di kandungan ibu kami, sejak kami direncanakan di dalam kekekalan. Terima kasih Tuhan, kiranya Tuhan boleh tolong kami memiliki sikap hati yang baik, dan juga perilaku yang baik di hadapan Tuhan dan sesama kami manusia. Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kami yang hidup kami sudah berdoa dan mengucap syukur. Amin.

  

Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah (KS)

Comments