Im. 10:1-7
Vik. Leonardo Chandra, M.Th.
Dari bagian ini kita bisa mempelajari bahwa seperti apakah konsep pelayanan yang benar. Di bagian ini kalau kita menemukan kisah ini, ditempatkan seperti apa, ditempatkan baru saja di pasal sebelumnya menceritakan di mana Nadab dan Abihu itu ditahbiskan. Baru saja mereka dinyatakan sebagai imam, dan mereka itu baru sebelumnya melakukan upacara di ibadah, yang di mana ada Api Tuhan yang membimbing mereka, yang menyatakan hadirat Tuhan dan memberkati Ibadah dan juga adanya pelantikan dari imam ini. Meski memang Imam Besar tetap ada Harun, tapi lalu dilihat bahwa ini adalah anak-anak Harun yang akan meneruskan pelayanan yang ada. Tapi baru saja mereka dipromosikan, baru saja dinyatakan ini hamba Tuhan, pasal berikutnya, justru mereka gagal, justru mereka jatuh. Dan kita menemukan kisahini berbicara api yang asing dari Nadab dan Abihu di sini. Di bagian sini dari beberapa commentary yang mengatakan bahwa ini adalah api yang asing, ada yang commentary mengatakan bahwa mungkin karena mereka mabuk, karena di ayat 8 ada mencatat “Kamu jangan mabuk ketika ini semuanya; ketika kamu mengerjakan pelayanan…” dan seterusnya, tapi saya tidak setuju karena kalau kita perhatikan di ayat ini jelas permasalahannya bukan karena mereka mabuk, tapi mempersembahkan api yang asing. Api yang asing, api yang berbeda mungkin itu dalam sistem apinya mereka harus ambil dari titik mana, lalu mereka bukan mengambil dari tempat itu, mereka ambil dari tempat yang lain. Sehingga di sini kita melihat pelanggaran yang mereka lakukan itu bukan masalah per say moralnya sendiri, tapi yang terutama ini adalah pelayanan yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan. Ada pelanggaran di dalam cara pelayanan.
Saya pikir ini menarik ketika kita melihat di dalam kisah Israel, ini bukan pertama kalinya Tuhan itu menegur dengan keras orang Israel di dalam masalah cara, dan bukan hanya di dalam konsep atau pengertian. Pelayanan itu bisa kelihatannya baik, tapi pertanyaannya itu sesuai dengan diperintahkan Tuhan atau tidak? Itu yang menjadi pergumulan dan pertanyaan penting bagian ini. Kalau kita bisa melihat seperti kisah ketika orang Israel membuat juga patung anak lembu emas di Keluaran 32 sebelumnya. Maka kita bisa melihat, di dalam satu pelajaran di situ, kadang kita melihat, “Oh, ketika mereka bersemangat kenapa Tuhan melarang?” “Oh, iya, Pak karena mereka membuat patung lembu emas. Mereka menyembah berhala. Mereke berpindah kepada Allah yang lain.” Tapi kalau kita teliti memperhatikan apa yang dicatatkan di sana, ketika setelah Harun membangun itu dikatakan, “Israel, bangsa Israel, inilah TUHAN yang membebaskan kamu dari perbudakan di Mesir.” Berarti mereka bukan pindah agama, mereka bukan pindah kepada Allah yang lain, tapi mereka tidak mengikuti cara yang Tuhan tetapkan. Di situ pelanggaran cara, di situ pelanggaran cara ibadah, itu sangat penting sekali. Dan ini yang kita kadang jarang memperhatikan hal itu. Kita cuma pikir “Oh, yang penting saya beribadah kepada objek yang benar,” tapi objek yang benar kalau tidak disertai dengan cara penyampaian yang benar, maka itu juga salah.
Itu kita anggap dengan istilahcontent dengan container. Content: isinya harus benar, betul. Kita seperti kalau ajarkan kepada anak kita. Isi yang kita ajarkan; content; isinya itu harus betul. Tapi bukan cuma cukup content-nya harus benar tapi container-nya, wadahnya, cara penyampaiannya juga harus benar kan. Kita di dalam Alkitab juga menemukan ketika kamu mendidik anakmu, anak yang baik justru anak yang dididik dengan rotan. Maksudnya apa? Harus ada penghukuman, harus ada penghukuman, ganjaran pada mereka ketika mereka buat salah supaya mereka tahu. Itu content-nya benar, kamu harus hukum, tapi container-nya seperti apa? Dihukum dengan rotan sebesar apa? Dipukulnya di mana? Itu juga harus benar. Kalau kita pukul di mukanya, ya rusak. Bisa berarti juga, “Oh, Alkitab ajar pakai rotan. Oh dihajar di mukanya.” Ya, hancur. Tidak seperti itu. Atau dihajar pakai balok seperti…wah dihajar, mati,nggak bisa seperti itu. Content dan container itu penting, yaitu contentterutama itu, ada prinsip-prinsip kebenaran, itu isinya harusbenar. Tapi bagaimana kita mengaplikasikan, demikian kita penyampaian, itu juga harus benar. Tanpa itu, maka itu juga menjadi salah. Dan itulah kita melihat dalam kehidupan itu banyak faktor demikian. Sama kan ketika misalnya katakanlah mau membuka suatu toko kita, lalu kita jualan bakso. “Wah, jualan ini, bakso. Dagingnya ini bagus, asli sapi 100%,” gitu ya. Kayak gimana 100% pasti ada kandungan lainnya. “Tapi ini daging sapi asli, olahan seperti itu. Ini bagus sekali saya olah sendiri,” tapi waktu jualan tempat tokonya kumuh, “Mangkoknya ini ya ga tahu ya sudah second yang ke-secondsecondkesekian,” gitu ya. Waduh, kelihatannya kok ga bersih, gitu ya. “Oh, saya sudah bersihkan, saya sudah cuci. Ini wadahnya bagus.” Kira-kira laku nggak? Kita aja mungkin pikir-pikir, “Ah, bakso 100% asli, tempatnya kok kayak begini?” Apa ya istilahnya itu, gak kacek gitu. Kok nggak, yah kayaknya gak pas gitu ya. Kenapa kita secara manusia melihat container itu.
Itulah kenapa kalau kita lihat di dalam Kitab Yakobus, makanya tadi, salah satu Kitab yang juga dibahas oleh Pak Tong itu kita lihat, kita diberitahukan di dalam Yakobus bahwa “Iman tanpa Perbuatan adalah mati adanya.” “Oh, berarti kita ini diselamatkan karena Iman dan perbuatan dong?”Loh, enggak. Ini bukan itu maksudnya. Itu, kalau kita selaraskan, orang bilang, “Ah, berbeda apa yang Yakobus ngomong dengan Paulus ngomong, berbeda.” Paulus katakan, “Kita diselamatkan oleh iman; oleh semata-mata oleh anugerah iman saja.” Tapi, Yakobus kok ngomong, “Iman plus perbuatan.” Jadi, kayaknya kok harus ada perbuatan. Saya pikir menarik ketika kita memperhatikan di dalam commentary, kalau orang jeli melihat konteks pembicaraan Yakobus maka yang dimaksud Yakobus itu berbeda dengan apa yang ditekankan Paulus. Yang Paulus tekankan adalah dasar Soteriologi, keselamatan kita di hadapan Allah; memang itu semata-mata melalui anugerah, karena iman saja. Dan iman itu pun di dalam kitab Efesus mengatakan, “Itu bukan hasil usahamu. Itu adalah pemberian Allah.” Sebagaimana Pak Tong katakan bahwa iman itu adalah suatu seperti pipa yang menerima aliran hidup itu, yaitu sama seperti kalau kita haus, lalu saya mau minum, maka bisa melegakan dahaga saya itu air. Tapi pipa itu, itulah saluran untuk saya menerima. Sama, ya pipa menyalurkan kita itu bukan iman kita sendiri, tapi iman kepada Kristus. Kristus itu yang menyelamatkan kita, yang kita terima dari saluran iman; itulah kita ngerti iman yang menjadi dasar keselamatan kita. Tapi kemudian yang dimaksud dalam kitab Yakobus apa? Iman tanpa perbuatan itu mati adanya, mati adanya yaitu berbicara di hadapan manusia, yang kita lihat, yang bisa disaksikan sesama kita, adalah perbuatan kita. Yang bisa disaksikan kita, sesama manusia, justru bagaimana tingkah laku kita. Container-nya itu seperti apa. Itulah, jangan kita cuma berpikir, “Oh, yang penting saya Reformed. Saya konsep berpikirnya Reformed.” Oke, kamu Reformed. Kamu bisa jelaskan dengan bagus, hidupmu seperti apa. Container-nya seperti apa. Karena itu akan mempengaruhi bagaimana persepsi sesama kita dan menilai kita seperti apa. Karena iman seseorang kita tidak bisa lihat, tapi bagaimana dia nyatakan di dalam perbuatannya, itu yang menjadi penting.
Dan terutama di dalam kisah bagian ini itu bicara cara, sikap dari yang dilakukan dari Nadab-Abihu itu yang salah di sini, sehingga kembali lagi kita bisa melihat bahwa pelayanan itu bukan hanya bicara tulus hati semata, tapi haruslah sesuai dengan perintah Tuhan itu. Berapa banyak ketika kita memutuskan memilih pelayanan, pertimbangannya berdasarkan firman Tuhandan bukan sekadar ikuti kata hati kita? Seringkali kan, misal, “Oh, ayo terlibat pelayanan, terlibat pelayanan.”“Pelayanan apa?” “Oh coba kamu pikirkan menurut kata hatimu.” Ikutin kata hatimu? Padahal di dalam Alkitab jelas: Justru dari hati itu, betapa liciknya hati, lebih licik dari apapun, seperti dalam kitab Yeremia. Di dalam kitab nabi mengatakan: Justru hati kita itu licik sekali. Sehingga kita kalau ikuti, itu juga bisa dipenuhi dengan faktor dosa. Tapi harusnya kalau kita memilih dalam pelayanan, kita lihat sesuai dengan prinsip kebenaran firman. Dalam praktek pelaksanaan, cara yang sesuai dengan firman Tuhan. Dan saya pikir, dalam banyak hal, di dalam sekian tahun saya berada di GRII, baik sebelum saya menjadi hamba Tuhan maupun setelah menjadi hamba Tuhan, ini benturan yang keras sekali: masalah caranya itu.
Ketika kita mengerjakan dalam pelayanan, ada nggak di antara kita itu pernah dengar pelayanan: “Iya saya nggak setuju.” “Kenapa?” “Saya nggak setuju doktrin Kristologinya.” Wah itu, seberapa gitu ya? Mungkin satu pun nggak ketemu, gitu ya.
“Kenapa sih kamu nggak setuju hamba Tuhan itu?” “Iya, kayanya dia punya pengertian tentang doktrin manusia itu, saya rasa masih agak beda, terus jadi saya nggak mau ibadah di sana.”
Lho nggak begitu.
“Kenapa?” “Iya, saya nggak suka cara ngomongnya.” Iya, nggak?
Kenapa orang nggak suka, memilih-milih hamba Tuhan. “Oh ya, saya suka yang ini, cara ngomongnya gini. Saya suka ini, cara pembawaannya gini. Saya suka ini, sikapnya kaya begini.” Kadang-kadang orang, “Oh saya suka tuh, dia karena sesama dari satu daerah”, atau apa. Kadang-kadang orang punya like-dislike masing-masing.
Tapi pertanyaan adalah, harusnya kita melihat sesuai dengan prinsip kebenaran firman atau nggak? Sesuai dengan memang dia sudah membawakan dengan benar atau nggak? Tapi kenyataannya seringkali kita mengikuti preferensi dan pilihan kita sendiri, like-dislike kita sendiri. Padahal harusnya kita melihat, pelayanan itu yang penting sesuai dengan cara prinsip kebenaran firman dan diaplikasikannya, kita tahu, dilakukan dengan sungguh pertimbangan yang banyak. Belajar, mari kita belajar mentaati.
Kita ibadah di tempat ini, kita beribadah di tempat seperti ini, kita melakukan banyak-banyak hal. Mungkin masih ada hal-hal yang belum sempurna. Iya, itu bisa diperbaiki dan itu adalah bagian kita untuk terus bersama-sama mengerjakannya, sesuai dengan prinsip kebenaran firman, karena itu juga hal yang penting dan diajarkan di sini. Tapi kalau seringkali ada orang lihat, “Oh tapi kalau di gereja lain, itu caranya itu sudah menyimpang. Oh, tapi dia juga ngomong kepada Tuhan Yesus, ngomong kepada Tuhan Yesus.”Ya namanya gereja, pasti ngomong kepada Tuhan Yesus. Nggak mungkin kan gereja ini nyembahnya: Sidharta Gautama, gitu ya – ya bukan gereja. Tapi berapa banyak kita itu jeli melihat bahwa di dalam cara pelaksanaan ibadah itu fokusnya ke mana? Fokusnya kepada firman atau nggak? Fokusnya kepada pemberitaan Injil atau nggak? Sesuai dengan prinsip kebenaran dan di dalam sampaikan container-nya, sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Liturgi kita disusun sedemikian, itu bukan sekedar jalani liturgi, tetapi memang sesuai dengan kebenaran firman yang dinyatakan dan teruji dalam sejarah gereja. Dan itulah yang kita laksanakan. Dan kalau kita lihat, ini ibadah yang benar, kita jalani, kita jalankan.
Harusnya kita melihat itu. Dan apalagi dalam kasus Nadab dan Abihu, mungkin orang-orang sekitar, “Oh inilah hamba Tuhan. Oh inilah imam. Oh bagus mereka bawa api, oh semua setuju.” Tidak ada kan yang protes? Kita tidak menemukan, misalnya teguran dari Harun, kita tidak temukan teguran dari saudaranya. Malah mungkin mereka yang kaget, kok bisa muncul api menghanguskan mereka? Tapi di situ Tuhan melihat, bukan hanya masalah: Oh, kamu menyembahnya kepada objek benar; caranya kalau salah, Tuhan pun hukum. Dan itu bicara container, bicara dalam kehidupan kita harus melibatkan unsur-unsur itu juga, karena tidak lepas. Kita dinilai di hadapan Tuhan, Tuhan yang melihat seluruh isi hati kita dan melihat juga tingkah laku perbuatan kita, itu harus sesuai dengan prinsip kebenaran firman. Kenapa ada elemen ini, kenapa tidak ada elemen itu – itu bukan masalah like-dislike, tapi sesuai dengan kebenaran firman atau tidak. Sesuai prinsip firman, itu kita lakukan. Tidak sesuai dengan firman Tuhan, maka itu tidak mutlak, tidak harus ada. Dan itu harusnya kita melihat di dalam menatap pelayanan kita yang ada di sini.
Saya lanjut kemudian di ayat 3, yaitu berbicara pelayanan itu pertama-tama kita harus sadar, bahwa bukan juga cuma bicara content-containernya, pertama, bahwa ketika kita melayani, kita tuh pelayanan kepada siapa? Yaitu kepada Allah yang kudus. “Kados” atau “Kadas” (menit 13:23) di dalam Bahasa Ibrani itu, itu bukanlah sekedar atribut Allah. Seperti kalau hari ini saya pakai atribut jas seperti ini, itu bukan cuma sekedar atribut Allah, tapi Kudus itu sendiri adalah esensi dari Allah itu sendiri. Itulah kenapa kita temukan di dalam Allah Bapa, Allah Anak, lalu Allah Pribadi Ketiga apa? Allah Roh Kudus. Apa tanda kita dipenuhi Roh Kudus? Hidupnya kudus nggak? Bukan itu: “Oh saya penuh Roh Kudus… “ baru Oohh goyang-goyang seperti itu – ini Roh Kudus atau roh kudis, gitu ya, kok jadi goyang-goyang seperti itu. Pertanyaan itu, kadang-kadang saya dalam pelayanan, di dalam…, hm, ketika saya dulu mahasiswa, ketika S1 dulu di perkuliahan umum, itu menemukan orang yang katanya waktu ibadah itu dipenuhi Roh Kudus. Lalu minggu depannya ujian, eh nyontek juga, “Lah Roh Kudusnya kemana?” “Oh, tapi dipenuhi Roh Kudus, Pak! Rasanya enak, rasanya enak.” Rasanya enak? Emang ini roh enak? Roh Kudus kan? Di situ kita menemukan, kenapa ya? Di antara semua sifat-sifat esensi Allah, bisa saja, kenapa tidak katakan, misalnya Roh Kasih. Nggak ada kan? Di bagian lain ada dikatakan: Roh Kebenaran. Tapi terus dikatakan “Roh Kudus”, kenapa? Karena itu bicara esensi Allah yang kudus adanya, yang terpisah dari yang lain.
Itulah sebabnya tidak heran seperti Karl Barth, meski kita tidak tentu setuju dengan semua doktrin dia, dia mengatakan bahwa, “God is the holy others” – sesuatu yang memang benar-benar berbeda, transcendent, jauh melampaui kita. Dia berbeda dengan kita dan kita sedang beribadah kepada itu, kepada Dia itu. Terkadang-kadang kita di dalam berpikir: Allah itu seperti apa? Seringkali kita itu terjebak di dalam proyeksi-proyeksi manusia, proyeksi manusia. Itulah sebabnya nggak heran, ada dulu seorang ateis ya, itu Ludwig Feuerbach mengatakan bahwa, “It’s not God create man in His own image but man create God in his own image.” Jadi bukan Allah menciptakan manusia menurut gambar rupaNya, tapi – ini sindiran dari orang ateis ya, “Oh manusia itu menciptakan allah menurut gambar rupanya.” Maksudnya apa? Kita seringkali memproyeksikan Allah itu mirip seperti kita.
Oh, kita itu kan senang kalau kaya, maka Allah itu pasti kaya. Terus, kalau misalnya Dia itu kan bijaksana. Kenapa? Kita harus bijaksana. Betul, Allah itu harus bijaksana. Jadi dia itu, seperti apa bijaksana? Dia seperti kakek-kakek yang janggutnya panjang gitu, rambutnya putih. Lalu kalau perlu mungkin gendut juga, gitu ya, karena dia makmur, kaya. Kita suka memproyeksikan Allah itu seperti apa? Menurut bayangan manusia. Tapi di situlah kita sadar, kenapa kita sangat membutuhkan Kitab Suci? Karena Kitab Suci itu bukan proyeksi manusia tapi penyataan diri Allah. Tanpa Kitab Suci, kita akan selalu membuat proyeksi sendiri: Allah harus begini, Allah harus begitu.”Kadang-kadang ada orang membaca Perjanjian Lama, “Ah, Allahnya kejam sekali.” “Allahnya kejam? Lho, jadi harusnya Allah itu seperti apa?” “Oh harus baik-baik, baik-baik.” “Kenapa baik-baik?” “Iya, proyeksi saya, saya pikirannya Allah harus begitu.” “Lho ini Allah ngikutin kamu atau kamu belajar ikut Tuhan?” Kita seringkali sadar, nggak sadar, kebalik. Kita itu bukan mengikut Dia, tapi kita mau menarik Dia, mencocokkan Dia dengan kita. Padahal seharusnya kita yang belajar mencocokkan diri dengan Tuhan. Dan disitulah kenapa pelayanan yang dilakukan, prinsip dalam doktrin Reformed, pelayanan di GRII, itu seringkali kita menemukan ada suatu dalam regulasi-regulasi kita, di dalam penerapan-penerapannya, kadang itu bisa berbeda dari gereja lainnya, dan kadang-kadang orang pikir, kenapa sih mau beda? Kenapa sih beda dengan cara yang biasanya gereja-gereja lain, kenapa sih berbeda dengan cara-cara umumnya di luar? Di sini kita mau beda bukan karena sekedar eksentrik saja, tapi di sinilah kita bisa mengerti karena Allah kita itu Allah yang kudus sehingga tidak boleh sembarangan ketika kita datang beribadah kepada Dia.
Gereja itu bukan menjadi tempat memfasilitasi semua keinginan kita, tapi justru gereja adalah tempat menyatakan kehendak Tuhan bukan kehendak manusia, dan kita manusia yang belajar taat itu. Di dalam kehidupan kita seharusnya kita melihat pelayanan itu seperti itu. Bukan hanya masalah kita datang, hadir dalam tempat, plang gereja saja, tapi terutama kita menghadap kepada Allah yang kudus, Allah yang transenden, yang jauh melampaui manusia, yang berbeda dengan konsep-konsep pikiran manusia. Dan justru di situ konsep-konsep pikiran kita tentang pelayanan, tentang Allah itu seperti apa, itu harusnya dibersihkan, harusnya dikikis makin seturut dengan firman Tuhan. Tanpa itu maka kita sama saja melakukannya seperti dengan Nadab dan Abihu. Oh kelihatan bagus pelayanan, tapi kemudian Allah tidak berkenan dan langsung menghukum seketika di tempat itu. Saya pikir ya, kadang-kadang memang di dalam kehidupan kita menemukan kok bisa Allah menghukum langsung seperti ini, dan kok sepertinya Allah itu kejam melakukan seperti itu; tapi kalau kita sadar bahwa Dia adalah Allah yang kudus, yang kita tidak bisa main-main di hadapan Dia maka kita sadar ini. Kita sikap saat beribadah itu protokolnya harus mengikuti prinsip firman. Kita saja ketika mau menghadap presiden ada protokolnya kan, mana bisa datang lalu, “Oh halo Jokowi. Wi, Wi,” panggil, “Jok, Jok,” ya nggak bisa, ini sudah presiden. Mungkin dulu teman mainmu, mungkin dulu teman kamu satu sekolah, tapi sekarang dia statusnya presiden maka ada protokol. Itu menghadap presiden saja ada protokolnya, apalagi ketika kita beribadah kepada Tuhan. Ada prinsip-prinsip kebenaran firman yang tidak bisa kita ganti-ganti dan rubah menurut seenak kita sendiri, menurut kesukaan kita, tapi seharusnya sesuai dengan firman Tuhan sendiri karena Dia adalah Allah yang kudus, Dia berbeda dari yang lain.
Dan menariknya di dalam bagian ini justru kekudusan Allah itu dinyatakan kepada orang yang karib dengan Dia; karena itu yang kita temukan di sini bukan? “Kepada orang yang karib kepada-Ku Kunyatakan kekudusan-Ku, dan di muka seluruh bangsa itu akan Kuperlihatkan kemuliaan-Ku.” Dan di situ membuat Harun berdiam diri. Istilah karib, ‘qârôb,’ itu di dalam bahasa Ibrani memang ada kemiripan dengan bahasa Indonesia karena [bahasa, Red.] kita turunan dari sana. Itu karib, orang yang dekat, justru kekudusan Allah itu makin dinyatakan kepada umat-Nya, bukan kepada yang lain. Kalau yang lain itu langsung saja memang pokoknya Allah itu penghakim, tapi di dalam bagian kita ini sama Allah yang kudus, tapi juga menyatakan kekudusan itu yang di dalam suatu pengertian yang lebih mendalam justru kepada yang karib, yang dekat dengan-Ku; karena kepada kitalah diperlihatkan kemuliaan Tuhan itu. Ini dinyatakan justru kepada orang yang dekat kepada Tuhan, dan prinsip ini, Allah adalah api yang menghanguskan, juga bukan cuma prinsip dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Baru pun sama, Ibrani 12:29 mengatakan bahwa, “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” Sehingga seharusnya kita sadar di dalam ibadah, yaitu ketika kita menghampiri takhta Allah, ketika kita beribadah kepada Dia, biarlah kita melayani dengan satu kegentaran karena kita menghadap Allah yang kudus. Kita bukannya tidak bisa membuat ibadah ini lebih fun, lebih menyenangkan, lebih kayaknya gampang diterima, tapi kita sadar kita ini beribadah kepada siapa? Kalau kepada Allah yang kudus, dan apalagi Dia adalah api yang menghanguskan, biarlah kita sadar ada kegentaran ketika menghadap Dia. Dan ketika kita mengerjakan pelayanan itu bukan cuma sekedar, “Oh saya sudah biasa kerjakan ini dan itu,” tapi masih punya kegentaran nggak? Ketika pertama kali misalnya disuruh pelayanan KKR Regional, Oh iya gentar sekali, apalagi disuruh latihan khotbah di depan Pak Dawis dan Bu Dessy, waduh gentar. Trus kalau di hadapan anak-anak itu nggak gentar? Lho kita gentar di depan manusia atau Tuhan? Sebenarnya di dalam pelatihan-pelatihan itu, dan sebenarnya kalau kita masih punya sense kegentaran itu, biarlah kita bukan gentar di tengah manusia tetapi gentar kita sedang melayani Allah, Allah yang kudus; yang ketika Dia lihat pelayanan kita itu tidak sesuai dengan prinsip kebenaran-Nya Dia berhak dan layak menghukum, menghanguskan, sama seperti yang dilakukan di dalam Nadab dan Abihu ini.
Dan lebih lanjut lagi kemudian di ayat 4 dan 5 itu kita melihat menariknya ketika mereka dihanguskan dan langsung mati sedemikian, ada satu catatan yang saya pikir menarik di situ. Ayat 4 dan 5 itu mencatat “Kemudian Musa memanggil Misael dan Elsafan, anak-anak Uziel, paman Harun, lalu berkatalah ia kepada mereka: “Datang ke mari, angkatlah saudara-saudaramu ini dari depan tempat kudus ke luar perkemahan,”” jadi sudah mati ya, waktu saudaranya dipanggil, Misael dan Elsafan itu untuk angkat, lalu“mereka datang, dan mengangkat mayat keduanya, masih berpakaian kemeja, ke luar perkemahan, seperti yang dikatakan Musa.” Ini dihanguskan langsung mati eh pakaiannya masih ada, dan nanti di ayat selanjutnya justru pakaian itu diserahkan kepada anak Harun yang lainnya untuk meneruskan. Heran, ini dibakar dengan api, mereka dimatikan dengan api, tapi kok pakaiannya imam itu masih ada; karena nanti kemudian diberikan malah kepada orang lain yang menggantikan. Saya pikir ini ada suatu gambaran yang menarik. Kalau dipikir, kok bisa? Ini pakaian lho, mereka matinya ini bukan tenggelam lho, matinya terbakar kok bisa pakaiannya utuh? Karena di situlah kita menemukan konsep pelayanan yang clear. Bukan cuma bicara caranya harus benar, lalu juga object-nya kepada Allah yang kudus yang justru dinyatakan kepada orang yang karib kepada-Nya, dan kemudian ternyata bagaimanapun juga pelayanan itu tidak bergantung pada orang tertentu, jubahnya itu bisa diberikan kepada orang lain; kalau kamu nggak layak, dipindahkan. Jangan pernah berpikir dalam pelayanan, “Kalau bukan saya tidak bisa begini,” itu salah total. Kalau kita bisa mengerjakan suatu pelayanan, bahkan sampai kita pegang posisi yang sangat krusial penting, biarlah kita lihat sebagai suatu privilege, hak istimewa kalau kita bisa kerjakan. Karena kalau Tuhan tidak berkenan melihat kita melayani dengan mudah Dia gantikan. Jubahnya itu akan bisa Dia pindahkan kepada orang lain. Orangnya itu bisa digantikan, Allah bisa membangkitkan bahkan dari batu-batu untuk menyembah Dia. Dan itu kita seharusnya sadar konsep pelayanan itu bukan terkunci pada saya, “Oh jubah ini milik saya,” bukan, kalau kamu mengerjakan tidak dengan sungguh Tuhan gantikan. Tuhan tidak butuh kita, kita yang butuh Tuhan.
Dan disitulah harusnya kita mengerti kenapa kita harus melayani dengan suatu kegentaran, bukan masalah kita lalu ketakutan, merinding dan sebagainya, bukan, tapi kita sadar kita menghadap siapa, kita beribadah kepada siapa. Dan berubahnya kita mengertikah ketika kita mengerjakan pelayanan, meski kadang pelayanan itu sepertinya begitu melelahkan, banyak yang harus dikerjakan, dan kadang-kadang apalagi misalnya dengan cabang yang belum terlalu banyak orangnya kita kan itu dalam pelayanan para pelayan itu kan terbatas; kadang-kadang,“Yahh lu lagi lu lagi, kamu lagi kamu lagi”; kadang-kadang kita bisa berpikir seolah-olah pelayanan ini bergantung kepada saya, tapi sebenarnya nggak. Kalau kita kembali kepada Kitab Suci justru katakan kalau kita sampai geser hati Tuhan bisa singkirkan kita, dan pelayanan tetap jalan, karena pelayanan itu bukan bergantung kepada manusia tapi bergantung kepada Tuhan sendiri. Tuhan bisa mengutus orang lain yang akan menggantikan kita. Tapi pertanyaannya kalau kita masih dipercayakan hari ini untuk mengerjakan pelayanan yang ada, jika kita masih diberikan dorongan, ajakan untuk berbagian dalam pelayanan, kita masih nangkap kesempatan itu atau tidak? Kadang-kadang ada orang berpikir, “Oh pelayanan itu? Nanti lah Pak, nanti,” Tunggu apa? “Yahh ini saya masih sekolah, tunggu saya lulus.” Oh tunggu lulus? OK. Sudah lulus sekolah, apalagi? “Ini saya kuliah, tunggu saya lulus kuliah.” OK, ya, ya, ya, tunggu lulus kuliah. Sudah lulus kuliah, “Oh ini saya baru sibuk mengatur kerjaan.” OK sudah kerja lagi masa-masa awal, oiya nggak apa-apa. Nanti sudah kerja beberapa lama, “Oh ini saya baru menikah, nanti, nanti.” Kapan? Mau sampai kapan?
Berapa banyak kita sadar justru pelayanan itu, kesempatan itu adalah kairos, waktu yang Tuhan percayakan? Itu adalah hak istimewa yang tidak bisa dipermainkan. Ada kalanya kita anggap, “oh iya, nggak bisa,” kita lewatkan, lewatkan. Ada kalanya Tuhan, “Saya tidak kasih lagi kamu. Saya nggak mau pakai kamu lagi.” Dan kalau sudah Tuhan tidak mau pakai kita, apa yang kita bisa perbuat? Apa yang kita bisa perbuat? Mungkin di hadapan manusia kita bisa kelihatan, “Oh kita kerjakan pelayanan ini,” tapi di hadapan Allah tidak ada nilainya. “Kamu nggak melayani Saya, Saya sudah nggak mau pakai kamu. Dari dulu Saya panggil, kamu nggak mau. Sekarang mau? Nggak, Saya sudah nggak mau.” Berapa banyakkah kita sadar pelayanan itu harusnya diresponi dengan ketaatan?Jika kita masih bisa dipercayakan pelayanan itu; karena harusnya kita melihat dari perspektif pelayanan itu, yaitu konsep pelayanan itu yang berani mengambil tanggung jawab bukan karena sekedar suka atau hobi atau lagi senang. Kenapa pelayanan sekolah minggu? Oh, suka anak-anak. Terus kalau ketemu anak-anak yang bandel?Yah nggak suka lagi. Harusnya kerjakan pelayanan karena kita mau menyenangkan Tuhan, bukan karena senang pelayanannya itu per se dirinya sendiri, tapi justru kita melihat dari perspektif Tuhan yang kepada-Nyalah kita mengerjakan pelayanan itu, dan kepada-Nyalah yang akan menjadi penilai apakah kita sukses atau gagal mengerjakan pelayanan itu. Kita tidak pelayanan mencari penerimaan manusia, tapi kita justru memperkenankan Allah. Dan itu yang harusnya terus kita fokuskan di dalam kita mengerjakan pelayanan itu; sehingga biarlah ketika kita mengerjakan pelayanan.
Pelayanan itu ada sifatnya risiko, karena memang ketika kita tidak kerjakan dengan sungguh, Tuhan bisa murka dan akan menghakimi kita dengan orang yang begitu karib padanya; tapi sekaligus pelayanan yang paling berisiko itu juga adalah pelayanan yang paling agung, yang paling mulia. Kita mungkin kerjakan suatu pelayanan yang kita pikir, ah apa sih nilainya? Orang-orang anggap biasa. Tapi memang nilai kemuliaan itu kadang tidak selalu kelihatan di depan. Saya pikir menarik di dalam salah satu sesi tanya jawab di dalam SPIK yang dikerjakan oleh Pak Tong berbicara tentang manusia, lalu doktrin manusia, peta teladan Allah, seingat saya itu; lalu Pak Tong itu ditanya, “Pak, yang mana yang lebih bernilai, yang mana yang lebih berharga, monyet yang pintar dibanding dengan anak yang misalnya cacat?” Maafkan ya saya tidak tahu di sini ada konteks itu atau nggak. Tapi yang mana lebih berharga? Misalnya monyet yang pintar, wah dia mungkin bisa atraksi, terus, gitu ya, terus dia bisa mengerjakan ini itu, kan lebih bermanfaat, lebih bisa menghibur, bisa menjadi sesuatu yang lebih something. Daripada anak yang cacat, diurus terus, diurus terus. Anak yang autis seperti itu, dan seterusnya. Lalu saya masih mengingat jawaban dari Pdt. Dr. Stephen Tong. Dia mengatakan bahwa, monyet itu, yang pintar bagaimanapun juga, ketika dia kawin cuma bisa lahirkan monyet juga. Nggak mungkin kan lahir, “oh ini monyet pintar,” lahirnya muncul manusia. Ya nggak. Tapi anak yang cacat, kalau dia hidup besar lalu dia nanti bisa menikah, tetap bisa lahirkan anak yang normal. Dan case-case itu ada lho. Kita bisa lihat seperti itu. Jadi melihatnya itu ke depan, bukan cuma di sekarang ini. Dan kalau saya bisa tambahkan di dalam jawaban ini, monyet itu seberapa pun pintarnya dibanding anak-anak cacat ini, tetap ini anak ini lebih berharga, kenapa? Karena mungkin ketika kita didik dia, kita besarkan dia, kita ajar kebenaran firman dengan susah payahnya, diajar dia untuk percaya kepada Tuhan Yesus, di kekekalan nanti kita ketemu dia. Monyet tadi mau sepintar apa pun, di dunia akan datang nggak ada. Bahkan di dunia yang akan datang nggak ada lagi ingat pernah ada monyet yang pintar. Tapi anak itu kita akan ketemu selama-lamanya. Selama-lamanya. Itulah nilai yang agung. Itulah nilai yang mulia yang tidak tentu tampak di depan awalnya. Bisa kelihatan sama, bisa keliatan kayaknya buat apa, habiskan waktu, habiskan tenaga, dan menguras air mata dan seterusnya. Tapi itulah yang mulia. Itulah pekerjaan yang mulia.
Kehidupan kita di dunia ini hanya sementara, tapi bagaimanakah kita mengisinya dengan hal-hal mulia itu? Itu yang akan mempengaruhi sampai nilai kekekalan itu. Dan apa lagi kita mengerti peristiwa imam ini itu akhirnya kita mengerti digenapi oleh Yesus Kristus sendiri, karena di dalam kitab Ibrani mengatakan bahwa Dialah sang Imam Besar Agung. Dan setelah digenapi oleh Kristus, mengapa bukan Kristus sendiri memberitakan Injil? Bukankah Kristus itu guru di atas segala guru, penginjil di atas segala penginjil, dan gembala di atas gembala? Tapi mengapa justru Dia perintahkan kita mengerjakan pelayanan itu? Karena kembali, pelayanan itu untuk dipercayakan pada kita. Dipercayakan pada kita. Kristuslah Gembala yang baik, Dialah yang bisa kerjakan pelayanan jauh lebih sempurna dari kita. Tapi jika kita masih dipercayakan pelayanan itu, kembali bukan karena kita, tapi itulah artinya pekerjaan itu dipercayakan kepada kita, karena kitalah umat-Nya yang telah dipilih sebelum dunia dijadikan. Dan 1 Korintus 3:9 mengatakan bahwa kitalah yang dijadikan kawan sekerja Allah, dipercayakan previlege itu. Berapa banyakkah kita sadar, itulah panggilan kita setelah kita dipercaya? Inilah identitas kita dan maksud tujuan kita diselamatkan. Bukan hanya untuk nanti kita kekekalan saja, tapi kekekalan itu start from now. Start from now. Hidup yang bergaul karib dengan Tuhan yang kudus, yang adalah api yang menghanguskan. Mari kita satu dalam doa.
Bapa kami dalam sorga, kami berdoa bersyukur untuk pemberitaan firman yang boleh dikerjakan. Kami sadar, ya Tuhan, kami adalah orang yang berdosa yang lemah dan terbatas, yang sebenarnya tidak layak mengerjakan pelayanan yang ada ini. Tapi kami bersyukur ya Tuhan, karena sesungguhnya bukan karena kami layak mengerjakannya, tapi kami dilayakkan oleh pengorbanan Anak-Mu Yesus Kristus sendiri yang adalah imam bagi kami, yang sudah mati menebus dosa kami. Kami berdoa menyerahkan setiap diri kami ya Tuhan, dalam kehidupan ini. Biarlah di dalam waktu-waktu ke depan, di dalam berbagai kesempatan pelayanan yang ada, Engkau yang mampukan kami untuk mengerjakannya dengan sungguh bagi-Mu dan kemuliaan-Mu saja. Dan biarlah kami dengan tekun mengerjakannya sesuai dengan prinsip dan cara-cara yang Engkau ingin kami kerjakan. Terima kasih Bapa untuk semua ini, kiranya sungguh nama-Mu saja ditinggikan dan dipermuliakan. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.
[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]