The Mentality of The Church, 29 Oktober 2017

Filipi 3:10-15

Pdt. Drs. Thomy J. Matakupan, M.Th.

Saat membaca ayat ini, secara khusus di dalam ayat yang ke-10, hal pertama yang langsung terlintas dalam pikiran saya adalah “Apakah Paulus nggak salah tulis kalimat ini?”Apa yang dia katakan, “yang ku kehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya dimana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya.” Apakah nggak salah Paulus mengatakan kalimat demi kalimat tersebut? Kenapa saya bertanya seperti demikian? Apakah berarti Paulus tidak mengenal Tuhan-Nya? Pasti tidaklah. Dia mengenal Allah-Nya, dia mengenal dengan baik Allah-Nya, dan dia melayani Allah-Nya yang telah ia kenal di dalam Kristus itu. Lalu, apakah Paulus tidak melayani Dia? Pasti juga nggak. Dia pasti melayani Tuhannya dengan segenap hati, dia melayani sampai kemudian dia berjumpa dengan sebuah kenyataan bahwa ternyata melayani Allah itu penuh dengan, apa dia bilang? Penderitaan. Betul bukan?Penuh dengan penderitaan, penuh dengan kesusahan.Tetapi pada waktu dia bicara mengenai penderitaan dan kesusahan, maka hal pertama yang dia tempatkan di depan itu adalah “aku mengenal kuasa dari kebangkitan-Nya,” dia berkata tentang kuasa kebangkitan itu dialami justru pada waktu ia memberikan dirinya untuk mengerjakan apa yang ia tahu, berkaitan dengan kehendak Allahnya. Aku kenal Dia, karena aku kenal Dia maka aku bergiat bagi Dia. Aku kenal Dia maka akibatnya mau tidak mau, aku harus berjerih lelah untuk Dia. Aku kenal Dia, karenanya aku memberikan totalitas hidupku.Sampai kemudian dia berjumpa pada kenyataan dia masuk penjara. Saudara, kemungkinan sekali Filipi ditulis pada waktu dia berada di dalam penjara, karena melayani Tuhan, karena melayani Allah yang ia kasihi dalam Kristus itu, dia masuk ke dalam penjara, dan disitulah dia baru mulai menambah pengertian tentang apa yang disebut dengan kuasa kebangkitan itu.Justru karena dia bergiat untuk Allah, dia masuk ke dalam penjara, dan dia bertemu dengan derita melayani Allah dengan penderitaan seperti itu; tidak mengherankan kalau dia berkata, “yangkukehendaki ialah mengenal Dia, yang kukehendaki ialah mengenal Dia.”

Kenapa Allah yang aku layani membawa aku masuk ke dalam kondisi seperti ini? Pasti ada sesuatu yang aku belum paham, pasti ada sesuatu yang aku belum mengerti. Orang seperti Paulus berkata kalimat seperti demikian, berarti ada suatu dimensi tentang Allah yang baginya dia belum memahami dengan utuh, tidak mengherankan dia berkata, “aku ingin kenal Dia lagi,” supaya apa? Di dalam penderitaan yang mungkin, demi penderitaan-penderitaan yang aku alami, aku makin mengenal dan makin mengetahui, mengalami, merasakan dan kemudian berani berkata aku menemukan kuasa kebangkitan itu. Saudara-saudara, ini adalah sebuah prinsip tentang sebuah pelayanan dari pada orang Kristen secara khusus dan gereja pada umumnya. Siapa bilang gerejanya? Ketika dia melayani maka berani untuk berkata aku atau kami melayani karena kami sudah mengenal Allah kami sepenuhnya, siapa bilang? Gereja yang berkata, “kami melayani karena kami sudah mengenal Allah kami sepenuhnya,” maka Allah yang dikenal oleh gereja itu bukan Allah yang Alkitab katakan. Allah banyak dimensi-dimensi yang tidak atau yang belum gereja kenal, banyak sekali dimensi dari keberadaan Allah yang belum gereja jumpai.Nah saya mau berkata, MRII Yogya ini, punya dimensi yang banyak yang GRII lain tidak pernah dapat.Bukannya mau bikin Saudara GR dan gede kepala, nggak!! Pengalaman beberapa waktu terakhir saya berkata MRII Yogya punya kesempatan besar sekali tentang mengajar bagaimana cinta Tuhan yang mungkin tidak pernah ada di GRII-GRII yang lain.

Saudara-saudara, Paulus berkata, “aku cinta Dia,” tapi kalau disini apalagi mengakibatkan aku kepingin kenal Dia yang aku layani itu siapa, sebenarnya Dia yang aku kenal, Dia yang aku kenal dengan segenap hati begitu berjerih lelah, siapa Dia itu sebenarnya?Sehingga oleh sebab itu, Saudara-saudara, semua yang melayani harus punya fondasi,“aku kenal Dia dan aku cinta Dia,”di luar itu Saudara-saudara melayani sebagai sebuah tindakan sosial belaka.Sebab tanpa pengenalan akan Kristus maka gereja tidak lebih darisebuah organisasi sosial. Itu sebab, sebagai seorang pendeta, saya takut sekali jemaat yang saya layani saat ini adalah jemaat yang bergiat untuk Tuhan tapi pengenalan akan Kristus berhenti pada satu titik tertentu, saya takut sekali. Sebab satu kali mungkin Tuhan akan memanggil nama saya dan berkata, “apa yang kamu lakukan?”Paulus pun menemukan jemaat di Roma, Paulus berkata kepada mereka, “aku mau bersaksi untuk kalian, bahwa kalian sungguh-sungguh bergiat untuk Allah tapi tanpa pengertian yang benar.” Mengerikan sekali bukan, kalau misal begitu Paulus berkata, “aku ingin mengenal Dia,” supaya apa? “Aku bisa merasakan kekayaan dari pada kuasa kebangkitan itu.” Kuasa kebangkitan seperti apa? Kuasa kebangkitan yang mengalahkan musuh-musuh yang tersembunyi dari pada dirinya Paulus sendiri. Dari pada gereja Tuhan? apa itu? Dia coba uraikan, kemudian dibagian belakang dia berkata bahwa, “bukan seolah-olah aku telah mendapatkan semua ini, tetapi aku kejar, aku mengejarnya dan aku berusaha untuk menangkapnya bukan karena aku mendapatkannya, tetapi justru aku sudah ditangkap oleh Kristus.” “Lalu apa yang aku buat?”

Hal pertama yang dikatakan; “aku melupakan semua yang ada di belakangku, lalu aku mengarahkan diri dihadapanku, lalu aku bekerja dan berlari dengan keras, berlari untuk mendapatkan, berlari untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuanku.” Apa itu? Panggilan Sorgawi. Panggilan Sorgawi dari Kristus, dari Allah di dalam Kristus Yesus. Saudara, menarik, dari catatan ini maka saya mau mengajak kita untuk memikirkan 3 aspek tentang mental dari pada sebuah gereja, mental daripada semua gereja. Paulus saat itu sedang melayani? Ya. MRII Yogya sudah 21 tahun melayani? Ya. Tapi, apakah itu sempurna? Di sini Paulus bilang, “eeh.. masih jauh, masih jauh sekali, masih jauh sekali,” kalau misal masih jauh sekali, maka pertanyaannya adalah sampai kapan? Nah, disinilah kita berhadapan dengan apa yang saya mau coba ungkapkan dan uraikan. Pertama adalah kembangkan mentalitas “nggak puas.”Develop, distatisfaction mentality. Kembangkan mentalitas yang tidak puas, untuk apa? Untuk mengejar kesempurnaan. Saudara nggak akan pernah mungkin memikirkan sesuatu yang lebih tinggi kalau Saudara-saudara tidak merasa yang Saudara sudah capai ini adalah tidak sempurna. Kembangkan mentalitas yang tidak sempurna itu, yang tidak puas itu bukan karena semua yang dicapai itu dibilang tidak sempurna, bukan sama sekali. Semua yang dicapai itu sempurna, tetapi itu cukup? Tidak, belum, belum sampai kepada standar yang Allah mau. Standarnya Allah begitu tinggi sekali, standarnya Allah itu begitu luas sekali, sehingga kita akan melihat diri kita dan berkata; “mungkinkah aku sampai di sana?” Paulus bilang; “aku mengejarnya supaya aku dapat menangkapnya, tetapi bukan aku yang menangkapnya, karena aku sudah ditangkap oleh Kristus.” Langsung pada waktu dia berbicara pada mentalitas yang tidak puas, pada waktu itu kita langsung dialihkan pada pikiran; “Tuhan, kalau Engkau tidak kasih kesempatan, maka hal kesempurnaan itu hanya menjadi sebuah utopia saja, bayang-bayang saja, tapi paling tidak izinkan saya, Tuhan, mempunyai mentalitas ini belum sempurna dan saya tidak puas karenanya.” Sebab Allah menuntut hal yang lebih tinggi dan kalau Allah menuntut yang lebih tinggi, lalu apa yang Dia buat? Dia yang turun dan membawa kita sampai kepada tuntutan.

Pada waktu Petrus berkata; “Tuhan, Engkau tahu aku mengasihi-Mu,” berapa kali Petrus menjawab kalimat itu? 3 kali bukan? Dia menjawab kalimat itu pada waktu Tuhan Yesus bertanya; “apakah engkau mengasihi Aku?” Tuhan tahu kok Petrus sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, Tuhan akui ada pekerjaan Allah Bapa di dalam diri Petrus, pada waktu Dia berkata; “kamu tidak bisa mengatakan kalimat itu jika tidak dianugerahkan dari atas.” Berarti Tuhan Yesus melihat bahwa Bapa berkenan kepada Petrus dan Dia memberikan pikiran itu sehingga Petrus bisa berkata ‘Engkaulah Mesias, Anak Allah yang Hidup.’ Dan sepanjang hidup Petrus, dia melayani Allahnya, sepanjang hidup Petrus dia berusaha memberikan yang paling baik untuk Tuhan, tapi kenapa ya, kok Tuhan tanya, tanya 3 kali, apakah karena Tuhan Yesus dendam kepada Petrus karena Petrus sudah menyangkal Yesus 3 kali?Beberapa buku tafsiran mengatakan pikiran seperti itu. Saya bilang, nggak lho! Kalau Yesus bertanya 3 kali karena Petrus sudah menyangkal Yesus 3 kali, berarti Yesus dendam? Nggak lho! Tapi Yesus sedang mencoba untuk menatap ulang ungkapan cinta daripada seorang Petrus pada waktu dia berkata, “Aku mau melayani Allah.” Karena sebentar lagi, Tuhan Yesus akan berkata, “Kalau engkau sudah tua, engkau akan memberi tanganmu diikat dan engkau dibawa ke tempat di mana engkau tidak suka. Waktu kamu muda, kamu mengikat pinggangmu dan engkau pergi ke tempat di mana kamu suka. Itu kamu muda. Tapi pada waktu kamu tua, kamu sekarang lain, kamu akan memberikan tanganmu diikat dan kamu pergi ke tempat di mana kamu tidak suka.” Itu tujuan Tuhan Yesus mengajar atau bertanya kepada Petrus 3x pertanyaan tersebut, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Tuhan Yesus mau membawa Petrus: “Kamu bilang, kamu kenal aku? Kamu bilang, kamu kenal Aku lebih dari semua yang lain, seperti yang kamu coba tunjukkan bahwa kamu ingin mencapai yang nomor satu daripada semua murid yang lain? Tidak salah, tapi itu bukan apa yang Aku mau.”

Tuhan Yesus nggak puas dengan prestasinya Petrus. Dan untuk itu maka Petrus harus dipatahkan semuanya baru kemudian Petrus baru bisa diterima oleh Tuhan lagi. Kenapa demikian? Pengenalan pada Petrus akan Kristus: dia mengenal Kristus, tetapi itu nggak cukup, itu nggak cukup. Saudara dan saya juga akan mengalami pengalaman-pengalaman yang sama. Kita pikir, kita sudah kenal Tuhan, lalu dengan modal itu, lalu kemudian kita melayani. Kita pikir kita sudah kenal Dia. Lalu dengan modal seperti itu, kita bilang, ‘Ini sudah hal yang paling baik kita kerjakan.’ Firman Tuhan bagian ini berkata, “Jangan puas!” Saudara dan saya kalau tidak ada mental yang tidak puas, maka kita tidak akan pernah mengejar yang lebih tinggi. Kalau Saudara berkata, “Yes, I have it.” – orang ini tidak mempunyai jiwa dan semangat untuk mencapai sesuatu yang lebih. Atau orang itu berkata, “Sudahlah, cukup… cukup… cukup.” – orang ini tidak akan mempunyai jiwa penerobosan.“Sudahlah, nggak usah ngapa-ngapain lagi.” – Saudara tahu orang yang model-model gini? Itu nyebelin lho, nyebelin sekali! Saya pernah bertemu dengan satu orang pemuda, dulu, ketika inget, pada waktu masih SMP, saya masih ingat, pada waktu ada acara dari gereja pergi keluar untuk hiking. Lalu sampai satu tempat tertentu, dia duduk di pinggir jalan itu, padahal perjalanan masih jauh, beberapa pos dari hiking itu masih belum dilewati. Dan apa dia bilang? “Aku di sini aja deh. Aku nggak mau jalan lagi. Capek!”

“Ayolah… ayolah.. maju lagi! Gapapalah, kita sama-sama, aku jalan sama-sama kamu. Pelan-pelan sama kamu.”

“Nggaklah, nggaklah…”

Aku sebel, kepingin ta tinggal. Nyebelin banget. Seorang pemuda! Mending kalau misalnya dia itu nggak punya badan yang gede, ini badan besar, duduk di tepi jalan, sampai berkata, “Nggak mau ah, nggak mau, nggak mau ah!”

Ih, kepingin ta jepret! Nyebelin bener orang-orang seperti itu.

Dan adakah orang-orang dalam gereja yang model kaya begitu? Buanyak! “Udahlah… udahlah nggak usah, nggak usah!” Apalagi kalau kemudian orang-orang seperti itu kemudian berkata, “Sudahlah kita nggak usah menghabiskan banyak uang untuk hal-hal seperti demikian.” Hal-hal demikian itu hal-hal apa? Hal-hal memikirkan tentang bagaimana caranya supaya Injil itu lebih maju, bagaimana caranya supaya Injil dikabarkan kepada banyak orang? “Sudahlah jangan menghabiskan banyak uang untuk hal-hal seperti itu! Mendingan kita pikirkan semua bagaimana caranya membuat gereja lebih bagus.” Mental orang-orang seperti ini adalah bukan orang-orang yang merasa: “Aku nggak puas!”

Saudara tahu, tuntutan Tuhan kita tuh tinggi sekali ya? Tinggi sekali! Apa yang kita pikirkan? Jangan puas dengan apa yang sudah kita capai. Rasa puas  itu mematikan. Rasa puas itu akan menjadi sebuah dosa yang tanpa kita sadari menarik kita ke belakang. Jangan puas!

Di gereja tempat dimana saya melayani sekarang, saya berdoa, “Tuhan, kalau boleh, 70% daripada jemaat ini adalah jemaat yang melayani Tuhan.” Di awal tadi saya berkata, “Tuhan, kalau boleh 50% ya Tuhan, dan saya boleh melihat semua boleh terlibat aktif.” Saya bilang, “Kalau boleh, 70% ya Tuhan sekarang, minta nambah, minta nambah.” Pikiran itu muncul dari mana? Pikiran itu muncul dari prinsip begini: Saudara jangan pernah pikir untuk mengurangi pelayanan di dalam gereja Tuhan! Jangan pikir: kebanyakan pelayanan di gereja Tuhan. Jangan pikir: it’s enough! Jangan pikir! Tapi pikir: Tuhan, apa lagi? Tuhan, apa lagi? Nah itu Tuhan suka. Oleh karena apa? Nggak puas. Apalagi?

Satu kali pembantumu datang ke rumah; saya ngomong istilah pembantu bukan berarti mengecilkan posisi dan hak seseorang begitu ya. Misalnya, pembantumu datang ke rumah dan berkata kepadamu begini, “Nyonya, selain tugas-tugas rutin yang saya kerjakan di rumah: mengepel, menyapu, cuci piring, cuci baju, bla.. bla.. bla.., saya rasa saya masih punya waktu. Apa lagi yang masih bisa saya kerjakan? Jangan kuatir, gaji tetap.” Kamu suka nggak? Seneng nggak? Eh saya tanya nih! “Apa agi yang bisa saya kerjakan? Jangan kuatir, gaji tetap!” Seneng nggak? Wah Saudara akan berkata, “You are the angel in this house. Kamu adalah malaikat di rumah ini.” Masih ada waktu sisa, tanya apalagi dan langsung ditutup – gaji tetap. Senang nggak? Senang banget, senang banget. Itu sebab saya bilang sama Saudara, jangan pernah pikir untuk ngurangin pekerjaan Tuhan ya, tapi tanya: apa lagi? Apa lagi? Apa lagi? Jangan kuatir, anugrah tetap! Tuhan senang. Pasti Tuhan senang!Saudara-saudara, kembangkan mentalitas nggak puas, nggak puas. Kalau Saudara rasa puas, Saudara akan menjadi orang yang tidak akan mengerjakan apa-apa, selalu merasa tidak puas. Tetapi bukan ketidakpuasan yang perlu Saudara sesali, tetapi ketidakpuasan itu adalah sebuah batu loncatan untuk mengejar apa yang belum dikerjakan, apa yang belum ada. Saudara-saudara, ini hal yang pertama: mentalitas tidak puas.

Hal yang kedua adalah mentalitas lupakan semua prestasi masa lalu. Lupakan! Tinggalkan! Bukan berarti dari kalimat ini, saya berkata bahwa cerita masa lalu tuh nggak ada nilainya sama sekali. Tidak! Oleh karena kita bertemu dengan catatan rasul Paulus juga, paling tidak ada 3 kali dia mengulangi cerita tentang awal hidup pertobatan dia. Cerita tentang bagaimana dia bertemu dengan Tuhan dalam perjalanan ke Damsyik itu, dan cerita itu bertemu dengan Allah, lalu kemudian dia bertobat, diubah, dan sekarang di dalam sebuah kisah yang lain. Dan tetap saja, pada waktu dia berkisah, seperti cerita pertama yang dia jumpai dari dulu. Termasuk terakhir pada waktu dia bertemu dengan Gubernur itu di dalam sebuah pengadilan, dia kisahkan ulang cerita pertama kali itu. Dan nampaknya itu merupakan sebuah cerita yang sedikit lebih detil daripada pengalaman yang dia alami dahulu. Berarti, masa lalu sangat berguna bukan? Ya, pasti! Masa lalu itu adalah cerita tentang anugrah Tuhan dan kesempatan yang Tuhan pernah berikan dahulu. Betul! Dahulu… dahulu… itu tidak boleh dibuang, itu harus! Tapi… untuk bisa maju, lupakan! Jangan hitung prestasi, jangan hitung segala sesuatu yang kita miliki. Apa yang kita perbuat? Lupakan! Oleh karena apa? Kita tidak berhak untuk mengerjakannya, mengingat-ingatnya menjadi milik kita.

Saya begitu susah hati ketika pak Dawis telepon saya bilang, “Pak Thomy, 21 tahun ya, ulang tahun GRII.” Aduh… susah hati saya. Sungguh lho! Kiranya Tuhan ampuni. Oleh karena apa? Oleh karena cerita masa lalu bukan? Cerita masa lalu, MRII dimulai di awal, saya datang di sini, lalu kemudian mulai kumpulin satu-satu. Cari satu-satu, orang-orang di beberapa gang-gang yang ada di daerah Jalan Magelang itu, kunjungi satu-satu, kumpulin, kumpulin, kumpulin satu-satu. Itu prestasi bukan? Itu catatan sejarah bukan? Iya! Itu sebab kenapa saya susah. Sebab saya mau berkhotbah dengan berkata: Lupakan semuanya! Sampai tadi pagi saya bilang, “Tuhan, kasih kekuatan lupakan semuanya.” Semakin kita mengingat: “The great I”, semakin kita akan melupakan “The great Him”.  Tuhan tolong, supaya kita semua tidak menjadi orang-orang yang tinggi hati oleh karena semua prestasi yang kita punya. Saya bilang tadi MRII Jogja mendapatkan kesempatan yang luar biasa dibandingkan dengan MRII lain, mempersiapkan kebaktian-kebaktian akbar, menemukan kesusahan-kesusahan dan kesulitan-kesulitan, lalu mempunyai kepala yang bisa tegakkan mengatakan: Lihat, Allah kita tetap pelihara! – Semoga itu tidak menjadi the great I.The great I is opposed to the great Christ. Paulus berkata, “Aku ingin kenal Dia, aku punya semua the great I,” apa itu? “Disunat pada hari ke-8, orang Israel, suku Benyamin, Ibrani asli, hukum Taurat aku tidak bercela,” dia punya the great I, dia punya semuanya. Lalu dia tutup dengan berkata, “semuanya adalah sampah adanya.” Bukan berarti dia tidak mengingat masa lalunya, dia ingat dan dia bawa untuk masa depan menjadi sebuah perbandingan. Kamu bangga-banggain? Semua yang pernah kita buat, lupakan, oleh karena itu adalah hal yang seharusnya kita kerjakan. Alkitab berkata, kami hanyalah hamba-hamba saja yang melakukan apa yang Tuhan mau, lebih dari pada itu, nggak punya hak. Kita cuma punya satu hak: mengerjakan apa yang Tuan kita mau. Kembali ke kisah Petrus, dia punya great I, tetapi setiap kali dia berbicara tentang the great me, maka ayam itu berkokok, seakan-akan ayam itu berkokok dan mentertawakan dia, “Hahaha, the great you? You are not the great one, but the small one.” Momen dimana kita merasa kita gede, di situ momen Tuhan mulai memalingkan wajah-Nya dan menatap mata kita baik-baik, “Who do you think you are?”

Saudara-saudara, suatu kali saya sedang dalam perjalanan pelayanan, setelah menyelesaikan sekian sesi, saya merasa penat lalu duduk di pesawat itu, di bagian jendela. Saya duduk di sana dan tidak berapa lama seorang gadis muda, saya taksir usianya kira-kira 20-an tahun, duduk di bagian isle, lorong; lalu sebentar dia mulai keluarkan HP-nya dan mulai sibuk. Nggak berapa lama, seorang ibu cukup besar masuk, nyelip-nyelip dan duduk di tengah; langsung dia senyum-senyum ke saya, saya senyum juga. Lalu saya mulai menyibukkan diri dengan majalah yang ada di depan saya. Tidak berapa lama, ibu itu berseru, “Matiin.” Saya kaget, apa ya yang dimatiin? Dia melihat saya, dia melihat gadis itu, “Matiin.” Saya pikir apa, ah saya nggak terlalu peduli ah, saya sibuk lagi dengan membaca artikel yang belum selesai. Nggak berapa lama, ibu itu berteriak dengan lebih keras, “Saya bilang matiin! Matiin!” Saya mulai kaget, serius rupanya ini. Lalu ibu itu bilang, “Ini pesawat sudah mau terbang, kamu masih main HP.” Saya lihat dari jendela, benar itu pesawat sudah di ujung landasan pacu, cuma tinggal running dan take-off. Dan biasanya di saat yang sama pramugari akan ngomong matiin bukan? Ibu itu sewot setengah mati, “Saya sudah bilang matiin!” Lalu gadis ini berkata kepada ibu itu, “Hey, who do you think you are,” dia pakai bahasa Inggris, “Who do you think you are, talk to me like that, stupid.” Waduh, hari itu saya jadi hell boy, tanduk saya keluar semua. Terus terang, hari itu  saya ingin tangkap itu anak perempuan, cekik dia, buka pintu pesawat lalu lempar dia dari sana. Saya kepingin melempar dia keluar, saya lihat lagi, dia matikan HP lalu disimpan. Ibu itu [menghela napas lega]. Lalu di sepanjang perjalanan saya memikirkan kalimatnya yang ampun kurang ajar, nggak makan bangku sekolahan apa? “Who do you think you are, talk to me like that,” stupid-nya itu lho, kurang ajar benar. Saya pikir-pikir, kurang ajar, kurang ajar, tapi kemudian saya mencoba merefleksikannya dan saya berkata jikalau suatu kali saya mencoba membanggakan the great I, maka Tuhan di Sorga akan berkata, “Who do you think you are, talk to me like that, stupid!” Boleh membanggakan diri? That’s the stupidest. Stupid!

Saudara-saudara, lupakan masa yang lalu. Seorang pemuda kaya datang kepada Tuhan Yesus dan mencoba untuk memberikan sebuah catatan prestasi gemilang dari pada hidup kerohaniannya dan berkata, “Tuhan, apalagi yang dapat aku kerjakan? Semuanya sudah aku kerjakan semenjak aku masih muda.” Dan menariknya Tuhan Yesus mengakuinya, Tuhan Yesus tidak berkata, “Ahh masak?” Nggak, Dia berkata, “Baik, cuma ada satu hal lagi yang kamu lupakan, jual semuanya dan ikut Aku, tenggelamkan semuanya dan ikut Aku.” Lalu sekarang kamu mau datang dan banggakan semua kerohanian kamu itu? Ada bagian yang dilupakan, apa itu? Cintanya kepada Tuhan. Saudara-saudara, kita hanyalah hamba-hamba saja. Setiap kali engkau mulai membanggakan sesuatu maka that is the stupidest thing, bodoh. Sama seperti banyak kebodohan yang dilakukan oleh orang-orang, bahkan oleh orang Israel sekalipun; pada waktu Tuhan sudah memimpin mereka keluar dari Mesir, berjalan menuju Tanah Kanaan, di perjalanan padang gurun itu mereka mulai belajar mengenal Allah lagi setelah 430 tahun mereka dijajah di Mesir. Di dalam perjalanan itu mereka menemui kesusahan, lalu mereka mengingat masa lalu, “bawa kami pulang ke Mesir,” Musa bilang, “stupid, bodoh,” dan dia tidak pernah izinkan mereka pulang kembali. Saudara-saudara, kembangkan mentalitas lupakan masa lalu. Bukan berarti itu tidak ada nilainya, tetapi itu bukan tujuan sebab masih ada hal yang besar di depan.

Dan Paulus katakan, ini menjadi mentalitas yang ketiga, yaitu kembangkan mentalitas ‘apa lagi?’ Filipi 3, mari kita lihat. Saya pakai istilah ‘mentalitas apa lagi?’ “Aku melupakan apa yang di belakangku dan mengarahkan diri kepada yang ada di hadapanku dan berlari kepada tujuan itu.” Paulus banyak sekali memakai gambaran imagery seorang atlit pada waktu dia berbicara mengenai kehidupan Kristen, berkaitan dengan pelayanan Kristen. Apa lagi? Apa lagi? Apa lagi? Paulus bicara mengenai mentalitas seprang pelari, Paulus bicara mengenai mentalitas seorang petarung, Paulus bicara mengenai mentalitas seorang pejuang, seorang warrior, itulah hidup Kristen. “Apa lagi? Apa lagi?” terlalu banyak apa lagi. Saudara-saudara, itu sebabnya ketika Petrus bertemu dengan Tuhan Yesus untuk kali yang pertama, Tuhan Yesus berkata, “Kamu bukan lagi penjala ikan, tetapi kamu nanti akan menjadi penjala manusia,” ini adalah mentalitas “apa lagi?” Dalam pergumulan saya sebagai seorang pendeta, mengatur irama pelayanan di dalam gereja, memperhatikan dari pada pertumbuhan rohani setiap jemaat, satu pikiran yang ada di kepala saya adalah, “Apa lagi? Apa lagi, Tuhan?” Dan saya mulai bicara dan mulai share kepada banyak orang-orang, teman-teman, “Saudara-saudara, kami baru bikin KKR Regional dan kami fokuskan untuk yang ada di Jakarta, sekian kecamatan yang ada di Jakarta Timur itu.” Setelah selesai, penanggung jawabnya berkata, “Pak Thomy, ternyata ini semua terjadi di luar dugaan kita, saya pikir sekian ribu orang ternyata kita dapat dua kali lebih besar.” Saya bilang, “Puji Tuhan,” langsung dia bilang, “Next, apa lagi?” Lalu dia bilang, “Kita baru selesai, capek lho Pak Thomy.” “Nggak, apa lagi?” Berarti tidak boleh ada tempat untuk berpuas, tidak boleh ada tempat untuk bosan, tidak boleh ada tempat untuk jenuh, apalagi malas, tutup semua peluang itu. “Apa lagi?” Jangan kuatir, Tuhan pasti akan cukupkan kok segala sesuatu yang kita perlukan itu. “Apa lagi yang Dia senang?” Sama seperti cerita tadi, “Nyonya, saya masih punya waktu dan tenaga, apa lagi? Jangan kuatir, bayaran tetap.”

Sebagai orang yang berpikir tentang “apa lagi?” saya mengajak Saudara berpikir tentang apa lagi dalam pelayanan yang ada, kepercayaan yang Tuhan beri, maka sebenarnya ada banyak hal yang kita tidak boleh pikirkan lagi terkait dengan pelayanan kita ya. Kenapa demikian? Karena itu sudah seharusnya dan selayaknya. Ada banyak hal yang berkaitan dengan “apa lagi?” yang kita tidak boleh pikirkan, itu sudah sepantasnya, seharusnya dan selayaknya. Yang kita pikirkan adalah “apa lagi” yang: pertama, Saudara dan saya melayani bukan? Kita berpikir harus memberikan yang terbaik, betul nggak?  Itu sudah seharusnya dan selayaknya, jangan pernah pikir itu, itu sudah seharusnya dan selayaknya, itu standard, jangan pernah pikir itu! Yang perlu “apa lagi?” berikutnya adalah apakah semua itu dilakukan dengan iman atau tidak? Semua yang paling baik, sudah seharusnya dan memang sudah seharusnya sebab Allah kita adalah Allah yang patut menerima apa yang paling baik, apa yang paling tinggi, apa yang paling sempurna, apa yang paling utama. Memang Dia pantas untuk mendapatkannya;dan Saudara dan saya melayani dalam gereja ini kita semua punya ide seperti itu, sehingga jangan pikirkan itu lagi; tapi pikirkan adalah, apakah semua itu dilakukan dengan iman atau tidak; sebab Alkitab berkata semua yang dilakukan tanpa iman itu sudah berdosa. Jangan sampai kita melakukan itu maka kita tanpa sadar kita sudah berdosa. Oleh karena apa? Mundur terus, mundur terus, mundur terus, mundur terus. Itu sudah tidak seharusnya lagi kita pikirkan. Itu satu Saudara-saudara, jadi sesuatu yang automatically tadi saya katakan, harus yang paling baik, nggak boleh nggak. Itu sebab tidak boleh ada satu orang pun yang melayani di dalam GRII yang punya standar biasa-biasa saja. Apa yang paling baik? Apa yang paling tinggi? Apa yang paling utama? Gereja ini punya standar tinggi sekali.

Tapi, ‘apa lagi’ berikutnya adalah apa itu dilakukan dengan iman atau nggak? Nah ini kekayaan yang luar biasa. Kekayaan itu, kalau nggak, kita hanya terjebak di dalam sebuah rutinitas; dan nggak mengherankan kalau suatu kali ide kita ditolak oleh teman-teman yang satu bagian dalam pelayanan, satu tim, maka kita merasa jengkel, sedih, lalu kita berkata, “mundur.” Satu orang pelayan di gereja di mana saya melayani bilang begini, “Eh, sudah hampir 2 tahun Pak Thomy di sini. Hampir 2 tahun saya jadi pengurus di sini. Berarti tahun depan saya nggak usah jadi pengurus lagi.” Saya langsung bilang dalam rapat pengurus, semua yang melayani di sini itu kontrak kekal, ya. Sekali lagi, semua yang melayani di GRII itu kontrak kekal. Jangan minta Tuhan kurangi pelayanan, tapi minta Tuhan tambahin pelayanan. Amin? Takut? Amin? Minta tambahkan pelayanan. Kenapa demikian? Itu grace, itu anugerah, itu kesempatan engkau menumbuhkan iman. Nggak heran Paulus bilang, “aku ingin kenal Dia lagi,” oleh karena apa? ‘Ada apa lagi?’ Ada apa lagi yang Tuhan sembunyikan? Ada apa lagi yang Tuhan sudah siapkan? Ada apa lagi yang Tuhan belum buka? Saudara-saudara, jangan pikir yang terbaik; tapi pikir, apakah dilakukan dengan iman atau tidak.

Yang kedua, jangan pikir ini adalah pengorbanan. Itu sudah seharusnya. Siapa pikir pelayanan bukan pengorbanan? Itu sudah seharusnya. Tapi pikirkan adalah, apakah semua dilakukan dengan cinta kepada Tuhan Yesus atau nggak. Pengorbanan itu sudah seharusnya. Kalau Saudara belum sampai standar ini adalah pengorbanan dan Saudara tidak ada keberatan mengambil bagian itu, maka Saudara pasti harus mundur lagi jauh ke belakang. Masih pikir untung dan rugi, Saudara mesti mundur lagi jauh ke belakang. Semua pelayanan itu pasti rugi. Semua pelayanan pasti rugi, KKR Regional, rugi, ruginya nggak ketulungan lagi. Betul nggak? Harapin apa dari anak-anak SMP; SD, SMP, SMA, dari persembahan? Mau harapin apa? Persembahan mereka tuh bunyi; bocor. Tapi justru harus dilakukan. Kenapa demikian? Karena cinta kepada Tuhan. Harus dilakukan. Cinta kepada Tuhan dengan cara cinta kepada jiwa-jiwa yang dikasih kesempatan untuk kita kabarkan Injil. Jadi sekali lagi Saudara-saudara, kalau dipikir pengorbanan, itu nggak boleh pikirin lagi. 21 tahun itu nggak boleh pikirin lagi; itu sudah seharusnya. Pikirkan apa lagi yang berikut; apakah aku melakukannya dengan cinta kepada Tuhan? Apakah aku berkorban karena cinta kepada Tuhan? Ini yang kedua.

Apalagi? Bentuk yang ketiga apa? Jangan pikir harus taat, tekun, rajin. Nggak usah ngomong. Nggak usah ngomong, itu sudah banyak kali diajarkan dari mimbar-mimbar ini, diajarkan di kelas-kelas pembinaan. Harus apalagi tadi? Taat, tekun, rajin. Nggak usah ngomong lah, nggak usah ngomong. Tapi masalahnya adalah apakah dilakukan dengan konsisten atau tidak. Itulah, apalagi yang kita pikirkan? Konsisten atau tidak; karena pelayanan ini adalah bukan pelayanan momentum, pelayanan ini adalah pelayanan seumur-umur. Itu sebab saya bilang, ini adalah kontrak seumur hidup. Pendeta di Reformed itu nggak ada emeritus-emeritus-an. Menjadi emeritus kalau sudah putus napas. Jadi selama napas masih ada, maka nggak ada cerita untuk mikir pensiun. Jemaat di MRII Jogja juga nggak ada pikiran buat pensiun ya. Memang standar dari pada sinode bilang kalau sudah 2 tahun kepengurusan turun dulu. Untuk apa? Supaya tetap rendah hati. Nanti tahun berikutnya dipilih lagi, maka nggak boleh bilang nggak. Jangan pakai alasan apapun; udah tua lah, encok, boyoken, jalan sudah susah; nggak boleh ada pikiran-pikiran kayak begitu. Apakah konsisten atau tidak? Tidak ada pensiun, amin? Kapan pensiunnya? Kalau Tuhan sudah ambil napas kita, nah itu baru pensiun. Amin? Sebelum itu, nggak boleh ya. Bilang, “Tuhan, bikin sukacita melayani itu terus dan bikin konsistensi itu tetap ada.” Ini yang ketiga.

Keempat, jangan pikir lagi kalau engkau melayani berdasarkan apa yang kamu punya. Betul, melayani berdasarkan apa yang kamu punya. Apa yang kamu punya? Talenta, harta, waktu, tenaga, dan semua-semuanya. Betul, itu kamu punya. Tapi, jangan pikir lagi. Itu adalah persembahan yang hidup yang Tuhan tuntut diberikan di atas mezbah Allah. Kalau gitu apa yang dipikirkan? Apakah semua itu diberikan dengan kebergantungan kepada Tuhan atau tidak. Semakin banyak engkau melayani, semakin banyak engkau tahu bagaimana caranya bergantung kepada Allah; bergantung kepada Dia. “God, please have mercy on me.” Bergantung. Yang saya takut, pada waktu banyak kali orang Kristen melayani, maka dia melayani dengan jiwa “I am an expert. Saya sudah ahli di dalam bagian itu.” Nggak ada kebergantungan lagi, nggak ada doa lagi yang disampaikan. Waktu Saudara ke sini mau pelayanan, doa nggak? Pak Thomy, yang khotbah yang doa. Penerima tamu mah nggak usah doa. Kamu doa nggak? Yang main musik tadi doa nggak sebelum pergi pelayanan dari rumah? Yang ngatur bangku doa nggak? “Masa gitu aja harus doa, Pak Thomy?” Hei, ini bukan punya kamu, ini pelayanan punya Tuhan, maka lakukan dengan cara Tuhan. Cara pertama adalah, katakan kepada-Nya, “Aku mau melayani ya Tuhan, izinkan aku boleh melayani Engkau hari ini. Kasih izin.” Baru engkau boleh pergi pelayanan. Hal paling sederhana semacam itu, ini yang saya ajarkan juga buat semua jemaat. Masa sih harus kayak begitu-begitu? Kalau nggak kayak begitu, kayak gimana? Kalau nggak kayak gitu, kayak apa? Tolong kasih tahu saya. Kalau nggak kayak gitu, kayak apa? Nah orang ini, mungkin orang terjebak adalah “Ah itu kan piece of cake. Sangat sederhana. Nggak perlu lah. Nggak perlu lah.” Dosa loh itu. Saudara-saudara, semakin banyak Tuhan kasih kesempatan, semakin kita gemetar di hadapan Dia. Semakin banyak Tuhan kasih peluang, semakin banyak kita akan mendengar seperti yang Musa katakan, yang Musa dengar dari Allah: “Copot sepatu kamu Musa, karena tempat di mana kamu berdiri adalah kudus adanya. Copot sepatu kamu karena tempat itu adalah milik Allah.” Kiranya Tuhan berkati kita.MRII Jogja 21 tahun, 22 tahun, 23 tahun, 24 tahun, semakin lama menjadi gereja yang berkata, yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan menjadi satu dalam penderitaan-Nya supaya aku bisa bangkit bersama dengan Dia. Kiranya Tuhan berkenan, dan Tuhan berkati kita. Mari kita berdoa bersama.

Terima kasih Tuhan, setiap kali kalau kami menemukan Tuhan memberikan kami izin untuk melayani Tuhan.Ajar kami ya Tuhan, sesuatu yang lebih sempurna lagi yang boleh kami kejar, yang boleh kami nikmati pada akhirnya, dan boleh kami syukuri oleh karena semua itu adalah bagian dari pada anugerah Tuhan semata. Terima kasih Bapa, untuk apa yang boleh kami pikirkan hari ini.Dan Tuhan, berkati gereja Tuhan MRII Jogja ini, berkati hamba Tuhan yang melayani, Pendeta Dawis dan Ibu, seluruh isi keluarga. Berkati semua pengurus yang sudah mendedikasikan hidup. Berkati semua jemaat yang bertumbuh di dalam kasih dan pengenalan akan Kristus. Berkati semua kami, Bapa, sehingga kami semua boleh melayani Tuhan di dalam kesempatan-kesempatan yang Tuhan percayakan. Izinkan kami melupakan semua yang ada di belakang dan berikan kami kesempatan mengarahkan diri ke depan dan mengejar lebih cepat lagi, lebih cepat lagi; mengejar pengenalan akan kehendak Tuhan. Terima kasih Bapa. Sekali lagi, berkati gereja Tuhan ini. Dalam nama Yesus Kristus kami berdoa. Amin.

[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]

Comments