Menghasilkan Buah Kebenaran Kristus, 12 Agustus 2018

Flp. 1:10-11

Vik. Leonardo Chandra, M.Th.

Benjamin Franklin pernah mengatakan bahwa genius without education is like silver in the mine. Seorang jenius tanpa pendidikan itu seperti perak di dalam tambang gitu ya. Jadi dia mengatakan itu, seorang jenius itu kalau tanpa edukasi, tanpa pendidikan, ya itu, sama seperti, oh di gunung itu lho, di tempat itu, di dalam tambang itu ada perak. Tapi ya dia masih di dalam tambang. Lalu tidak digali dan tidak dikembangkan ya hanya jadi tinggal di situ saja. Dan di sini dalam pemikiran dari Benjamin Franklin, itu dia mengatakan bahwa sebenarnya orang-orang yang berpotensi, yang punya talenta pun, perlu dididik, perlu diasah supaya talentanya itu berkembang menjadi sesuatu yang matang. Tanpa pendidikan, orang yang pandai pun bisa hidupnya ya keliru terus menerus karena kita perlu dididik untuk memiliki cara berpikir kritis, untuk memiliki critical mind, cara berpikir kritis, sehingga kita bisa menilai dan membedakan banyak hal dalam hidup kita. Ya kan? Seperti sederhana saja kalau kita melihat kisah dari Mozart gitu ya, dia itu dari kecil itu waktu dia masih usia ya kira-kira sekolah minggu gitu ya, itu dia sudah mengarang lagu Twinkle-Twinkle Little Star. Oh bagus ya Twinkle-Twinkle Little Star itu ya. Lagu itu yang sampai sekarang kita masih nyanyikan dan tahu juga gitu, oh bagus sekali ya, ini anak dari kecil sudah bisa pintar ngarang lagu Twinkle-Twinkle Little Star; terus bagus gitu, terus biarkan gitu aja. Ya enggak. Dia perlu dididik, diasah lagi kemampuan, potensi, talentanya, supaya berkembang jadi lebih matang. Dan itulah sebabnya kita punya lagu seperti karangan dari Mozart itu Marriage of Figaro, dan semuanya, itu hanya bisa melalui proses pendidikan, pengajaran. Enggak cukup cuma, oh dia sudah bisa karang Twinkle-Twinkle Little Star, lalu dibiarkan gitu saja. Dia perlu dididik, diasah ya, dan itu yang kita ngerti kenapa kita membutuhkan pendidikan itu sendiri; karena tanpa pendidikan kita tidak bisa mengembangkan potensi, talenta kita itu sampai maksimal.

Dan di situ kita lihat, ketika berbicara tentang pendidikan demikian; dan saya pikir bukan kebetulan ya ketika mempersiapkan ini ternyata kita ada seminar yang tentang pendidikan juga; itu bicara higher education, bukan hanya sekedar education. Ya orang tahu pentingnya education, tahu pentingnya pendidikan; tapi bagaimana pendidikan yang lebih tinggi, pendidikan yang supaya kita mengerti itu lebih tajam lagi sesuai dengan prinsip kebenaran firman. Dan itu yang itu akan dikupas lebih tuntas lagi dan dibahas dengan begitu baiknya oleh pakar-pakar yang sudah di dalam tadi klip sudah bahas ya. Dan saya mengajak kita semua hadir di situ untuk sama-sama kita diperlengkapi. Oh setiap kita sudah mengecap pendidikan. Oh setiap kita tahu lah pendidikan kira-kira seperti apa. Tapi bagaimana pendidikan yang lebih baik itu ya kita pun perlu dididik untuk mengerti pendidikan yang baik. Nah kalau toh pendidikan saja, tatanan di dalam knowledge saja kita perlu dididik, apalagi bicara kerohanian kita. Kita pun perlu dididik di dalam kerohanian kita karena supaya kita bisa berpikir secara kritis. Berpikir secara kritis itu adalah berpikir dengan lebih tajam lagi, dengan lebih jeli, lebih detil, untuk memilih.

Di dalam ayat 10 dikatakan, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus. Dan ini yang bicara yaitu kita perlu pendidikan, perlu diajar supaya kita bisa memilih demikian. Saya enggak tahu berapa di dalam kehidupan kita itu sadar ya seperti di dalam gereja reformed itu kenapa sih kita itu ada di dalam pengajaran yang sangat kental sekali, baik oleh Pak Dawis ataupun rekan Hamba Tuhan yang lain yang pegang firman sini, itu bukan hanya untuk mengatakan, “Oh anda baik-baik saja, atau, anda yang penting hidupnya beres,” seperti itu, tapi kita dididik kan, dilatih. Kadang-kadang mengatakan, iya, kita kalau hadir dalam gereja reformed, ibadah di reformed itu ya seperti ikut kelas gitu ya. Ya kenapa? Karena memang ya ini seperti kelas untuk anda menghadapi ujian di kehidupan anda. Ini adalah bentuk pendidikan. Ya memang mungkin tapi jarang ujiankan kecuali anda ikut STRIS atau seperti ikut kelas katekisasi, baru ada ujiannya. Tapi ini ada kelas, kenapa? Ini adalah pendidikan iman bagi setiap kita untuk mengerti bagaimana kita sebagai orang Kristen, oh iya saya sudah Kristen, saya sudah diselamatkan oleh pengorbanan Kristus, iya betul. Dan keselamatan saya pasti, ya itu juga ada pendidikannya sendiri nanti kita diselamatkan oleh anugerah, bukan perbuatan baik kita; tapi kemudian dari buah kebenaran yang sudah ditanam oleh Kristus itu pada kita, biarlah kita mengolahnya, bagaimana kita mengembangkannya, dan itu justru sisa hidup kita sebagai orang Kristen itu adalah mengembangkan itu yang ada. Bukan hanya, oh yang penting saya selamat, sudah selesai. Lho enggak. Bagaimana kamu mengembangkan keselamatan itu, mengerjakan keselamatan itu. Itulah menjadi bagian untuk pendidikan dan bagian pembentukan kehidupan kita. Sama seperti yang saya kasih contoh, seperti Mozart tadi. Dia pun perlu dididik, dikembangkan. Apalagi setiap kita.

Nah di bagian sini Paulus mengajarkan kita untuk kita bisa membedakan, perlu punya pemikiran yang kritis karena seperti Pak Tong sendiri katakan, orang bodoh cuma melihat persamaan. Orang pandai itu atau orang bijaksana itu justru melihat perbedaan. Dan ketika bisa membedakan itu ada justru kemampuan berpikir kritis. Ya kan? Cuma kalau orang enggak mengerti sesuatu itu semua rasanya sama. Gitu kan? Kadang-kadang saja kalau untuk minum air misalnya, kita rasa, oh semua merek sama. Kalau misalnya kita beli, pesan Aqua gitu ya, misalnya, biasanya Aqua, terus dikasih merek lain, oh sama lah. Kita minum aja gitu. Tapi orang yang belajar itu ngerti, oh beda itu lho, dia punya kualitas airnya itu seperti apa. Nanti ada ionnya seperti apa, itu berbeda. Nah mungkin bagi kita yang awam rasanya ya sama saja. Ya kembali lagi, orang yang pandai mengerti perbedaan. Orang yang enggak belajar, orang yang bodoh, ya rasanya semua sama saja gitu ya. Nah dan terlebih ketika bicara kerohanian dalam kehidupan kita, itu kita harus mengerti apa yang tepat itu, yang sesuai dengan prinsip firman. Bukan hanya melihat persamaan-persamaan saja, oh semua kristen sama. Kalau kita sudah pelajari lebih dalam, baru tahu perbedaannya. Kadang-kadang saya ketemu orang juga mengatakan, ah semua agama sama. Terus terang aja ya, statement itu kalau mau diteruskan itu terus terang itu bodoh dan dalam satu titik itu bisa satu bentuk penghinaan. Jujur aja ya, saya ambil contoh ya misalnya seperti berapa tempo hari ini saya ada datang sini lalu kami ikut rapat pengurus, lalu misalnya setelah saya balik ke Solo pada tanya, “Oh kamu rapat dengan pengurus? Oh dengan siapa aja?” “Eh siapa ya? Pokoknya pengurus. Saya nggak tahu bedanya mereka semua.” Lho itu dalam satu titik bisa kasar lho. Kalau misalnya saya enggak bisa bedakan misalnya Pak Veri dengan Pak Barus. Oh sama aja itu semua. Pokoknya pengurus Jogja gitu. Lho itu satu sisi itu malah aneh gitu kan? Kok enggak bisa bedain. Kalau mengerti itu, orang barat itu punya ada kecenderungan itu kadang-kadang mereka enggak bisa bedain antara Chinese, orang Jepang, dengan orang Korea gitu. Katanya semua sama. Ya itu bagi saya itu mereka kurang terekspos untuk hal itu ya. Bagi kita sendiri orang Indonesia, orang tahu orang Jawa, orang Sunda, terus nanti ketemu orang Batak, suku-suku lain itu kita bisa lihat bedanya. Kenapa? Karena kita terlatih, tahu perbedaannya; bukan cuma sama, oh sama-sama punya 2 mata. Ya sama. Sama-sama manusia, sama-sama logatnya ini. Antara orang Jawa Timur, Jawa Tengah, nanti Jawa Barat aja bisa tahu bedanya. Saya tuh enggak ngerti ya, karena saya orang Makassar gitu, tapi berapa kita yang dari daerah sini kan bisa membedakan. Kenapa itu bisa punya kemampuan berpikir kritis, membedakan ini.

Dan terutama di sini ketika kita kembali pada Paulus, dia mengatakan, untuk memilih apa yang baik, di dalam terjemahan Indonesia memilih apa yang baik; karena kita untuk membedakan dari hal-hal lainnya, ada hal-hal yang tidak baik. Tapi sebenarnya istilah apa yang baik itu kalau kita kembali ke bahasa aslinya diaphero itu sebenarnya bukan cuma bicara apa yang baik, bukan hanya agathos gitu ya, hal yang baik, tapi diaphero itu adalah superior, yaitu suatu yang the best. Dalam terjemahan ESV makanya pakai itu choosing the best, memilih yang terbaik. Berpikir kritis itu diperlukan untuk kita memilih yang terbaik. Kenapa? Karena memang kenyataannya hidup ini bukan hanya antara memilih apa yang baik dan tidak baik, ya oke itu ada ya, itu ada pembelajarannyalah di waktu yang lain dan tempo yang lalu sudah dibahas. Tapi kadang dalam kehidupan itu memang pergumulan kita itu memilih antara apa yang baik, baik, baik, yang mana yang terbaik dari semua itu. Iya kan? Kadang-kadang kita di rapat juga di dalam ataupun pembahasan segala sesuatu kan begitu. Ini lho, kita ada opsi A, lalu ada opsi B, bahkan ada opsi C. Lalu yang mana yang terbaik? Ya kan? Di sini beberapa yang mungkin juga kalau masih jomblo kan ya itu ada pilihannya beberapa, yang mana yang terbaik, gitu ya? Nah itu pergumulan gitu ya. Ya oke ada lagi orang bergumul, Pak, pilih mana ya antara orang Kristen atau non-Kristen. Ya oke lah kalau yang masih remaja, masih anak-anak gitu. Tapi orang kalau sudah lebih dewasa ya berpikir antara sesama Kristen, sama-sama Reformed, memilih yang paling baik yang mana. Atau dalam artian di sini yang terbaik itu adalah yang paling cocok, sepadan dengan saya. Nah itu ya. Itu harus berpikir kritis. Enggak bisa, “Oh, yang penting saya laki-laki ya carinya perempuan; semua perempuan sama.” Berbeda toh. Mana bisa semua sama. Kita aja pakaiannya beda, pendidikan beda, latar belakangnya beda, cara berpikirnya beda, konsep pelayanannya beda. Itu cara memilih choosing the best itu adalah hal yang penting.

Dan ketika merenungkan bagian ini saya teringat ada pepatah orang Itali yang mengatakan bahwa the best is the enemy of the good. Menarik ya, ataupun sebaliknya, the good is the enemy of the best. Kadang-kadang kita suka berpikir, oh antara yang baik, baik, baik, ya tapi yang terbaik itu justru menyisir semua yang good, good yang tadi. Ya kan? Kalau kita sudah lihat yang the best, ya yang lama itu dibuang. Ya kan? Kalau, saya enggak tahu di sini misalnya ada yang pikir, oh saya mau membeli hp itu lho yang terakhir keluar itu, yang paling terbaru, hp yang terbaru paling canggih. Ya itu the best bagi kita. Habis itu yang lama disimpan? Ya sudah dijual toh. Kenapa? The best is the enemy of the good. Ngapain sih pegang lagi yang lama. Dan yang kalau orang lihat, oh sama kok, pakainya juga cuma whatsapp, ya itu enggak tahu perbedaan gitu ya. Kalau orang merasa, oh semua hp sama, ya sudah kasih aja hp butut gitu. Udah kasih aja yang hp jadul gitu. Lho kita ini yang belajar ini tahu kok perbedaannya. Tapi pertanyaannya itu seberapa kita mengerti perbedaannya itu untuk iman kita, untuk kebenaran firman? Berapa banyak orang cuma tahu itu apa yang the best, the best itu untuk hal-hal yang fana. Tapi berapa banyak kita tahu itu mencari yang the best, firman yang terbaik, kebenaran firman yang makin lebih setia kepada Injil, kepada keseluruhan Kitab Suci, dan itu yang kita terus perjuangkan dan terus kita proklamasikan di dalam doktrin reformed; yaitu suatu undangan untuk kita kembali kepada keseluruhan firman Tuhan, bukan hanya pada satu ayat-ayat tertentu saja. Kadang-kadang orang juga suka begitu kan? Punya ayat-ayat emas. Lho terus sisanya ayat perak, ayat perunggu gitu ya? Ayat batu gitu, nggak dibaca. Lho dibaca semuanya. Dan doktrin reformed itu justru menyarikan semua keseluruhan pemikiran, kerangka berpikir Alkitab dari awal, dari Kejadian sampai Wahyu dan melihat di dalam sejarah perkembangan gereja di dalam interpretasi yang ada di dalam, kita mengerti kehidupan itu bagaimana implementasinya yang terbaik. Dan di situ kita ngerti kenapa kita perlu belajar. Kenapa sih kalau saya sudah pasti selamat dan keselamatan saya pasti tidak akan hilang ketika saya sungguh percaya pada Tuhan Yesus, saya masih harus belajar? Ya itu, karena keselamatan itu titik awal, lalu kamu bertumbuh mengerti the best, itu adalah proses.

Mengerti the best itu butuh proses memang. Enggak bisa instan. Enggak bisa langsung. Ketika merenungkan bagian ini saya teringat apa yang dialami oleh Thomas Alfa Edison. Thomas Alfa Edison kalau kita cukup tahu gitu ya, biasanya orang tahu dia itu penemu apa? Penemu apa? Kursi? Lampu ya. Penemu bola lampu itu lho lampu-lampu yang kita lihat ini. Oh iya dia adalah penemu lampu gitu ya. Bukan nemu di jalanan gitu ya, dia adalah pembuatnya gitu ya. Dia yang pertama kali menemukan bagaimana susunan komponennya sehingga bisa menjadi lampu. Nah konon katanya Edison ini ketika dia lakukan eksperimen untuk sampai dia menjadikan bolam lampu yang berfungsi dan ini efektif dan efisien pemakaian tenaganya; karena katanya sebelum itu sudah ada yang berhasil buat tapi ya enggak tahan lama, enggak efisien, cuma pakai sebentar sudah habis. Tapi dia bisa menemukan sampai bagaimana penyusunannya itu bisa dipakai menjadi bola lampu yang bisa dipakai sehari-hari dan efisien untuk kita pergunakan dalam kehidupan kita. Itu konon katanya dia lewati percobaan sampai 1000 kali. Kita bisa bayangkan ketika misalnya dia percobaan sampai yang ke-512 trus dia rasa, “Ah sudahlah, berhentilah, ini gagal, gagal terus. Sudah stop,” apa jadinya? Nah menarik kalau kita teliti kehidupan Edison, kadang-kadang orang cuma tahu Oh dia itu penemu bohlam lampu, tapi mungkin kalau kita selidiki saja dengan sederhana, sebelum dia menemukan bohlam lampu itu apa sih yang dia kerjakan? Pengangguran? Oh nggak, menariknya dia justru sebelum melakukan percobaan yang panjang sampai membuat lampu listrik, dia sudah terkenal sebagai penemu phonograph. Jadi dia sudah buat phonograph, itu alat untuk perekam suara, dan penemuan itu saja dijamin membuat orang berkata, “Oh kamu Edison, penemu phonograph, luar biasa, kamu memang jenius, kamu jagoan.” Tapi dia lanjutkan lagi eksperimennya di bagian yang lain sampai akhirnya membuat lampu listrik. Kalau kita bayangkan Edison berkali-kali gagal percobaan lalu berpikir, “Ah sudahlah, kan saya sudah buat phonograph, that’s good enough,” kalau dia stop di situ, hari ini kita jadi apa? Masih bawa lampu lilin masing-masing.

Tapi di sini saya percaya di dalam spirit dari Edison sama seperti the good is the enemy of the best, jangan cukup dengan rasa baik tapi bertumbuhlah melihat apa yang the best yang sebenarnya Tuhan kasih dalam kehidupan kita. Apa potensi talenta kita yanng kita belum garap dan itu harusnya kita melihat. Samalah seperti ketika kita ibadah, seperti di sini misalnya, “Oh kita kan sudah nikmati yang baik, ngapain kita mikir lagi mau bangun gereja? Ya sudahlah di sini saja sudah cukup.” Nanti kalau memang kita sampai di sana di dalam waktu Tuhan, kita akan lihat itu the best dan ini cuma good. Kita punya mata yang pandang jauh ke depan atau tidak? Atau kita just settled for the good dan gagal melihat apa yang the best yang Tuhan sebenarnya sediakan bagi kita untuk kita kerjakan. Banyak orang Kristen itu gagal melihat hal ini. Kehidupan ini harusnya menjadi the best yang Tuhan inginkan dalam hidup kita, dan kita capai itu baru kita tahu kita menggenapi rencana Tuhan. Don’t settled for the good, jangan hanya puas dengan hal yang baik, karena the good is the enemy for the best. Biarlah kita terus canangkan ini dalam kehidupan kita. Dan di bagian ini saya teringat apa yang dikatakan dalam proses pengudusan hidup kita, kita bertumbuh. Proses pengudusan itu seperti yang saya ngomong, patokannya itu pada diri kita sendiri, bukan ambil orang lain tapi kita melihat hari ini saya harus lebih baik dari kemarin. Saya harus better hari ini daripada dulu, dan itu proses terus begitu. Kalau kita merasa, “Oh hari ini saya sudah cukup baik,” ya kita berhenti. Tapi justru selagi kita masih diberikan napas hidup, diberikan kesempatan, kita masih bisa bergerak, berfungsi organnya dan otak kita masih berfungsi, kita kerjakan dan aim target kepada yang the best. Makanya menarik juga di dalam salah satu catatan dari Jonathan Edwards, dia mengatakan suatu istilah “Lord stamp eternity to my eyeballs,” Tuhan, capkanlah kekekalan itu pada bola mataku. Maksudnya supaya saya terus lihat ke depan, ke depan, bukan cuma settled di sekarang. Kita membangun gereja memang nggak pernah sampai sempurna, tapi biarlah kita terus melihat berarti kalau kita belum sempurna masih ada ruang untuk kita bertumbuh, masih ada kesempatan selama masih ada matahari besok pagi terbit dan kita masih bisa bernapas berarti masih ada  kesempatan untuk kita bertumbuh lebih baik. Dan aim for the best itu yang bahkan dikatakan oleh Paulus di sini.

Lalu kemudian di dalam berpikir kritis itu adalah pertama choosing the best, memilih yang terbaik. Yang kedua adalah “what is pure,” apa yang murni dalam terjemahan Indonesia, supaya kamu  suci. Jadi memilih apa yang suci. Jadi poin kedua adalah bicara hal yang suci, hal yang murni, itu adalah bicara suatu motivasi yang tidak bercampur dengan yang lain. Dalam kita mengerjakan sesuatu, dalam kita memilih sesuatu juga motivasinya harus murni. Harus kita tetap murni di hadapan Tuhan dan tidak boleh bercampur dengan hal yang lain. Kadang-kadang orang mengerjakan sesuatu itu pikir dia mau jadi yang the best, lalu apa? Ya untuk dia show-off, untuk dia tampil di depan, untuk dia paling jagoan. Padahal di bagian ini kita melihat justru yang diajarkan adalah kita motivasi itu harus murni. Kalau saya melihat, istilah the best itu adalah suatu yang perbandingannya kita bisa lihat dengan sesama kita. Iya kan? “Oh dia sudah lebih baik dari sebelumnya.” Tentu the best itu progres terus sampai akhirnya. Tapi kemudian, what is pure, yang murni, itu adalah bicara motivasi kita di hadapan Tuhan saat kita kerjakan itu seperti apa. Kita diingatkan ketika kita mengembangkan kehidupan kita sebagai orang Kristen, kita harus menjaga juga motivasi kita tetap murni karena ini adalah bagian yang sebenarnya paling dalam dan hanya Tuhan yang bisa lihat secara langsung dalam kehidupan kita. Bahkan mungkin kadang orang di samping kita itu bisa dikecohkan dengan motivasi kita, tapi Tuhan yang lihat dan kita sendiri yang tahu kita ketika kerjakan ini murni atau enggak. Paulus ingatkan kepada jemaat, kamu harus tetap kerjakan ini dengan murni, dengan suci. Ingatlah ketika kamu kerjakan itu bukan untuk bersaing dengan luar, bukan untuk mendapatkan pengakuan dari luar, tapi untuk kamu tetap menjaga kemurnian hatimu di hadapan Tuhan. Ini adalah yang kedua, yaitu kamu harus tetap suci, murni. Banyak orang itu ketika dia mau mentarget hal yang menjadi the best, menjadi lebih baik, dia kehilangan kemurnian. Nah itu masalah. “Oh dia jadi the best Pak di dalam pekerjaannya, perusahaannya maju,” tapi motivasi sudah tidak murni. Dari hati itu kalau sudah tidak murni nanti itu geser, geser, dan makin lama makin jauh. Sama seperti Pendeta Stephen Tong katakan pergeseran itu biasanya cuma 1 derajat tapi makin lama makin jauh, makin jauh dari titik mulanya dan akhirnya kehilangan kemurnian, kehilangan motivasi yang suci.

Dan kemudian adalah yang tak bercacat. Nah istilah “tak bercacat” atau aproskopos itu adalah terjemahannya “apa yang blameless.” Sebenarnya kata ini juga dipakai oleh Paulus dalam 1 Korintus 10:32 yaitu tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Jadi kalau mau dibilang aspek pertamanya itu dalam karya kita kita bertumbuh jadi lebih baik karena kita mentarget the best, lalu di dalam diri kita sendiri kita memikirkan bagaimana supaya kita tetap murni motivasinya, tapi kemudian ada aspek lain, yaitu kita memikirkan secara sosial tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Kadang-kadang ini, apalagi orang Reformed itu kurang aware ya. Kadang-kadang mengambil suatu tindakan itu ya yang penting the best, terus saya lakukan tulus, terus jadi batu sandungan dimana-mana. Kita harus memikirkan ada aspek sosial dalam tindakan kita. Ada aspek bagaimana reaksi orang sekitar, dan kita harus memikirkan bagaimana teman-teman seiman kita itu ketika kita mengambil suatu tindakan. Dan aspek sosial itupun adalah hal yang penting dalam kita memilih segala sesuatu ini, jangan sampai kita mengambil tindakan yang sebenarnya menjadi batu sandungan bagi orang lain. Ini sebenarnya kita temukan juga tidak terlalu asing dalam surat Paulus yang lain juga bicara kamu jangan jadi batu sandungan bagi orang Kristen yang lain. Kadang dalam suatu keputusan kita bisa memilih, “OK kita tahu yang benar yang ini,” tapi ketika kita tahu itu batu sandungan bagi orang lain ya kita jangan pilih ini. Jadi itu menjaga gitu ya, aspek-aspek ini menjaga kita. Saya pikir bicara aspek sosial ini tentu hal yang cukup umum dan luas dalam kehidupan kita. Ambil contoh saja seperti ada yang pernah bilang kepada saya ketika kamu memilih parfum, kamu semprotkan itu jangan untuk dirimu sendiri tapi itupun harus untuk sosial. Orang kalau semprot parfum itu bukan semprot-semprot sampai saya cium terus wanginya, wah enggak, itu tajam banget bagi orang lain. Semprot parfum itu justru disemprot secukupnya lalu kita cuma cium awal terus kita sendiri nggak begitu terasa tapi orang sekitar yang cium baunya. Itu baru benar, bukan semprot banyak sekali sampai kita cium semua, yang lain sudah mabok, “Waduh ini orang parfumnya pakai banyak sekali.” Ya hal yang sama juga kala anda buang angin ya, itu aspek sosial bagi orang lain. Kita melihat itu ada aspek sosial, kenapa? Karena ada blind spot kita, ada bagian-bagian titik buta kita. Dan ketika kita mengambil keputusan kita pikirkan itu.

Di sini kita melihat 3 unsur ini yang dikatakan Paulus untuk menjadi pegangan bagi jemaat. Ketika kamu mengambil keputusan, ingat yang kamu kerjakan itu harus the best, kedua, jaga motivasimu tetap murni, dan yang ketiga adalah jangan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Pikirkan juga bagaimana saudara-saudara seiman yang lain. Ketika kamu memikirkan suatu pekerjaan, ketika kamu mengambil langkah, keputusanmu, pikirkan efek sampingnya itu seperti apa. Kadang-kadang kita nggak aware seperti ini, dan kadang orang hanya memilih sebagian saja. Cuma memilih “Oh saya jangan jadi batu sandungan, terus saya lakukan semua tindakan ini murni,” tapi akhirnya gagal menjadi the best. Ini seperti dengan 3 mata kaki itu menarik kita memikirkan dengan semua keputusan kita dalam berpikir kritis itu kita cari yang the best, cari yang untuk kita itu tetap murni, dan yang kita lakukan itu biarlah juga tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Berapa banyak ketika kita menyusun program ataupun dalam kita mengambil keputusan dalam pelayanan itu kita memikirkan semuanya ini? Berapa banyak kita memikirkan lanngkah-langkahnya untuk harus seperti ini. Dan ini, kadang-kadang kehidupan kita itu jatuh karena cuma sebagian yang kita ambil. Apalagi kalau cuma ambil, “Pokoknya doktrinnya the best,” terus motivasi sudah nggak murni, terus menghakimi orang lain, judgemental, habis itu ya jadi batu sandungan dimana-mana. Lalu kita bilang Oh yang penting saya Reformed, ya nggak begitu. Kita harus pikirkan semua yang lain. Tapi saya pikir juga di dalam ekstrim yang lain ada orang yang cuma memperhatikan bagaimana tidak menjadi batu sandungan tapi dia gagal mengerti kebenaran firman yang sejati, dan itu juga suatu kegagalan.

Menariknya ketika kita bahas ini, ketiga terminologi ini memakai bentuk jamak. The best, lalu the pure, dan blameless itu memakai istilah yang jamak, bukan tunggal. Saya pikir ini menarik karena di dalam salah satu commentary itu justru mengatakan berarti ini bicara  untuk banyak orang, corporate, berarti untuk gereja. Saya lihat ini juga menjadi apa yang Paulus nyatakan dalam kehidupan kita dan di dalam setiap kita hamba Tuhan. Kita nggak puas cuma muncul satu-dua orang yang bisa lakukan the best, pure, dan blameless; kita mau seluruh jemaat. Ini untuk seluruh jemaat. Kadang-kadang kita kalau sudah dikasih patron, “Oh itu cuma si ini, si itu,” Oh nggak, untuk semua kita. dorongan firman ini adalah untuk setiap kita, bukan hanya hamba Tuhan, bukan hanya pengurus, bukan hanya aktivis, tapi untuk setiap kita jemaat; karena Tuhan menyelamatkan kita secara pribadi, nama kita itu tercatat bukan borongan, “Oh ini grup dari MRII Jogja,” nggak begitu, nama anda masing-masing tercatat di dalam Kitab Kehidupan. Dan itu berarti ada rencana Tuhan bagi setiap kita dalam kehidupan kita. Berapa banyak dari kita memikirkan demikian? Sehingga ketika kita mengembangkan pelayanan kita, di dalam banyak keputusan yang kita ambil, adakah kita juga memikirkan kita melibatkan orang lain berbagian di dalamnya? Saya pikir menarik, bukan kebetulan ya tadi sharing dari salah satu aktivis, kita dan juga pengurus, ini sudah ada tampil paduan suara, terus setelah nyanyi kita tepuk tangan, gitu kan. Kapan anda berbagian? Kapan anda berbagian? Atau kita hanya puas jadi penonton? Aim for the best, dan jaga kemurnian. Dan lihatlah, ketika kita kerjakan pelayanan itu tetap kita lakukan dengan tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Itu baru kita bertumbuh, itulah baru kita mengerti sebagai orang Kristen kita sedang mengaktualisasikan setiap buah kebenaran yang diberikan kepada kita.

Di bagian ini dikatakan Paulus, yaitu adalah “penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.” Di sini bicara ada buah kebenaran yang diberikan dalam kehidupan kita. Di sini kita mengerti kembali dalam doktrin dasar kebenaran kita bahwa kita menjadi orang benar bukan karena perbuatan kita tapi karena karya Kristus, kebenaran Kristus yang diperhitungkan pada kita, bukan kebenaran kita sendiri. Kita justru orang berdosa yang kemudian dibungkus oleh kebenaran Kristus. Ada yang mengatakan kita seperti hitam karena dosa kita, lalu dibungkus dengan putih, jadi Allah Bapa melihat kita hanya melalui pengorbanan Kristus. Di situlah kita bisa dilihat sebagai  orang benar, sebagai orang benar bukan karena kebenaran kita tetapi kebenaran Kristus. Namun kemudian kebenaran itu bukanlah menjadi, “Oh saya sudah benar,” tapi itu bicara buah, jadi itu harus diaktifkan dan dihidupi supaya buah kebenaran itu muncul. Ya karena itu sama seperti kalau sudah ditanami di dalam pot satu benih yang baik, “oh benihnya bagus,”  lalu dibiarin, ya nggak toh. Benih itupun harus bertumbuh kan, mulai mengeluarkan akarnya, menumbuhkan tunasnya, lalu jadi batang, daun, dan menghasilkan buah, itulah baru berbuahkan buah kebenaran. Buah kebenaran yang mula-mula sudah ditanamkan oleh Kristus melalui karya keselamatan Kristus di kayu salib, dan kemudian bagian kita adalah menyatakan itu pada sesama kita. Dan di bagian inilah kita mengerti kenapa di dalam pertanyaan pertama di dalam Westminster Shorter Cathecism itu mengatakan bahwa: apa tujuan terutama manusia? Yaitu untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia. Pernaha ada jemaat tanya saya, “Kenapa ya, Allah kan sudah mulia, kenapa kita harus memuliakan Dia lagi?” Ya memang Dia sudah mulia, tapi masih banyak orang di luar sana yang belum melihat kemuliaan itu. Dan bagaimana dia melihat kemuliaan? Kita suruh dia lihat matahari? Nggak, dari kehidupan kita, kita menjadi saksi Tuhan, menyatakan buah-buah kebenaran itu, memancarkan kemuliaan Kristus itu kepada mereka, membawa mereka juga melihat kepada Kristus. Dan itulah artinya kita menghasilkan buah kebenaran yang sudah Kristus tanamkan dalam kehidupan kita.

Berapa banyak yang dalam kehidupan kita itu seringkali mandeg di dalam hal ini? Itu sama seperti benih yang sudah ditanam terus tidak bertumbuh, kenapa? Ya dibiarin begitu saja. Benihnya masalah? Nggak, benihnya baik, tapi kalau tidak dikembangkan, tidak dididik, ya nggak bisa berbuah. Apalagi bicara cara berpikir kita, konsep hidup kita, itu masih banyak yang menyimpang dan masih banyak itu kena pengaruh dari latar belakang kita, gaya, atau tarikan dari dunia juga seringkali menghambat kita mengeluarkan buah kebenaran dari Kristus. Tapi di sinilah kita mengerti kenapa kita selalu membutuhkan pendidikan, pengajaran, pendalaman firman yang lebih dan lebih lagi. Kamipun, hamba-hamba Tuhan, ketika sudah selesai studi teologi, “Oh sudah belajar semua kan?” Tetap perlu belajar, karena proses terus bertumbuh, karena kita dipakai menjadi saksi bagi Kristus. Dan di sini saya pikir, ketika kita kembali kepada Paulus, kenapa ya di tengah penderitaannya justru dia menceritakan hal bagian ini? Dan di sini saya pikir justru inilah menariknya, ini adalah hal yang kontras sekali. Kita lihat ya, Paulus itu hidupnya dia mengerjakan yang terbaik untuk Tuhan, yang terbaik pasti dia kerjakan. Lalu dia kerjakan dengan motivasi murni nggak? Murni, sungguh murni. Lalu kemudian ketika dia kerjakan apapun itu dia berjuang supaya tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Dia lakukan itu meski kadang-kadang bisa konflik, seperti dengan Barnabas, maupun juga dengan Petrus, tapi dia memikirkan bagaimana melakukan yang terbaik dan menjaga tidak menjadi batu sandungan bagi jemaat yang lain, maka dia menuliskan itu juga di dalam suratnya. Tapi kita lihat ujungnya, hasil akhirnya itu apa? Dia dipenjara tho. Ini saya pikir yang menarik, yaitu kadang-kadang orang kalau sudah kerjakan yang terbaik, “Saya lakukan dengan murni, saya berjuang memikirkan dari aspek sosial supaya tidak menjadi batu sandungan, lho kok kenapa saya malah dibenci? Lho kenapa kok saya malah dihukum? Kok saya malah mengalami ketidakadilan dipenjarakan?”

Yang pertama, biarlah kita ingat kita jangan jadi orang Kristen yang naif karena ini adalah dunia yang berdosa. Ketika kita lakukan semua itu, siap-siaplah kita justru mengalami penganiayaan. Itu yang dialami oleh jemaat mula-mula, itu yang dialami sepanjang sejarah gereja. Dan ini yang kenapa lalu Paulus tuliskan kepada jemaat di Filipi karena terkadang orang kalau sudah alami hambatan seperti itu kadang akhirnya pikir ya cukup sampai sini kan? “Saya sudah kerjakan yang terbaik, saya sudah kerjakan mitivasi murni, betul supaya tidak menjadi batu sandungan, saya sudah kerjakan dengan sungguh, dengan takut gentar,” eh kita dipenjarakan, eh kita dipermasalahkan, “Ya sudahlah, kita buang aja prinsipnya, kita lakukan apa yang kita bisa aja.” Nah di sini kadang-kadang orang ketika mengalami hambatan, dia membuang unsur-unsur itu yang penting. Dan saya lihat itu menjadi peringatan bagi jemaat Filipi, sekaligus dorongan karena ini adalah doa, dan saya pikir itu menjadi kehidupan kita juga sih. Kadang-kadang kita juga mengalami itu kan. “Saya nggak salah, saya sudah kerjakan benar, kok malah saya dianiaya, kok malah saya dibenci?” Memang dunia ini membenci kita, dunia aja membenci Tuan kita Yesus Kristus, bagaimana mungkin dia tidak membenci kita pengikut-Nya? Tapi yang kita lakukan itu adalah kembali seperti yang Paulus lakukan, and yet tetaplah lakukan itu, tetaplah kerjakan yang the best, tetaplah kerjakan dengan motivasi yang murni, meski kamu dianiaya, meski kamu disalah mengerti, tetaplah berjuang supaya kamu tidak menjadi batu sandungan. Kadang-kadang orang itu bisa masuk kepada kepahitan, “Saya sudah berjuang tidak menjadi batu sandungan, disalah mengerti, ya sudahlah, terserahlah, saya lakukan yang suka-suka aja. Saya buat yang benar juga orang salah mengerti saya, ya biar aja, sembarangan aja gitu, yang penting bisa jalan.” Jadi masuk filsafat pragmatisme, kita tidak boleh masuk situ, tetaplah kerjakan yang terbaik bagi Tuhan. Kenapa? Karena di sini dia ingatkan bahwa kita lakukan itu untuk memuliakan dan memuji Tuhan. We do it to please God and not man, for the glory of God, itu yang kita lakukan. Kembali ya, kita tidak menjadi batu sandungan bagi sesama itu bukan untuk demi sesama kita menerima kita, bukan. Ini kadang-kadang kalau orang salah mengerti itu jadi ekstrim satunya ya, “Oh saya pokoknya menyenangkan Tuhan, terserahlah kamu mau apa,” jadi batu sandungan; atau sebaliknya, saya jangan sampai jadi batu sandungan sampai akhirnya tidak memuliakan Tuhan. Itu memang beda tipis ya, satu kita memikirkan sebaik yang kita bisa, tidak menjadi batu sandungan bagi sesama, tapi penilaian akhir itu adalah Tuhan sendiri karena kita lakukan bukan untuk menyenangkan orang. Lha anak kita aja kita perlakukan begitu.

Di sini ada yang usia pemuda, masuk sekolah kan, pernah nggak alami dulu waktu pertama mau masuk sekolah itu nangis? Nangis, mau pulang. Terus kalau orangtuanya pikir, “Oh ya sudah, kasihan ya, sudahlah supaya kamu itu nggak tersiksa saya pulangin, nggak usah sekolah,” apa begitu? Nggak kan. Karena bukan mau nyenangkan anak. Nyekolahin anak aja bukan buat nyenangin anak, apalagi masuk ke sekolah yang terbaik, pasti susah, sudah tahu juga bukan untuk menyiksa diri tapi karena kita mau menyenangkan Tuhan. Nangkap ya? Fokusnya ke sana. Dan tentu memang jangan dibalik, anak kita lalu disiksa, ya nggak begitu. Saya kan pernah bilang, dalam penderitaan itu menyatakan siapa diri kita. Lalu saya kasih contoh, bagaimana misalnya kalau mati lampu terus AC-nya mati, kita masih sungguh ibadah nggak? Itu menjadi ujian bagi iman kita. Tapi kan minggu depan nggak lantas kita tes ya, jemaat berapa yang datang kita matiin AC-nya semua biar tahu masih bertahan nggak. Itu menyiksa diri, asketis, kita nggak masuk ke situ. Kembali ya, kita harus punya kelincahan dan cara berpikir kritis itu secara tepat di sini. Orang bodoh ya hanya lihat masalah ini susah atau gampang, tapi orang pintar itu melihat, “Oh ini ada kesulitan yang perlu dan ada yang nggak perlu. Yesus sendiri mengajak kita, memperingatkan kita, “Kamu mau menjadi pengikutKu? Sangkal diri, pikul salib, dan ikutlah Aku.” Kita harus memikul salib, tapi tidak berarti semua salib harus anda pikul; ada salib yang harus kita pikul, kita pikul, tapi yang tidak perlu ya kita hindarkan dari itu. Jangan masuk kepada masalah-masalah yang nggak perlu. Sudah bikin salah sampai misalnya ada orang korupsi, dipenjara, “Oiya Pak, ini salib yang saya pikul.” Rupamu salib! Ini kesalahanmu, memang kamu salah lalu masuk penjara. Tapi kalau orang sudah lakukan yang benar eh disalah mengerti ya sudah, itu baru salib; itu baru kita lihat ujian karakter seseorang. Di tengah kesulitan itu kita lihat dia tetap berintegritas atau nggak, itu kita tahu dari awal dia kerjakan itu targetnya kemana sih. Orang kalau mau target untuk dapat nama, untuk dapat pamor, untuk dapat takhta, ketika mandeg ya sudah buang semua kan, buang semua prinsip mula-mulanya. Tapi kalau kita terus mengingat bahwa yang kita target itu kemuliaan Tuhan, kita terus maju, terus maju. Dihambat, kita berjuang yang kita bisa lakukan, karena kita tahu yang kita target kemuliaan Tuhan, bukan kemuliaan manusia, bukan pengakuan sesama. Tapi biarlah ketika kita bertemu dengan Tuhan kita, Dia menyambut kita dan mengatakan, “Hai hamba-Ku yang baik dan setia, engkau telah setia dalam melakukan perkara kecil, Aku akan mempercayakan kepadamu perkara yang lebih besar,” itu yang kita tuju sesuai dengan potensi talenta kita masing-masing.

Dan mungkin untuk menambahkan, saya menutup bagian ini dengan memberikan suatu aplikasi. Dalam kehidupan kita, kita mengerti ketika merenungkan bagian ini, untuk mengerjakan yang terbaik, dan apa yang murni, dan apa yang tak bercacat, dan tidak menjadi batu sandungan itu adalah suatu pergumulan kehidupan kita. Dan kita mengerti ini bukan sesuatu yang bisa kita lakukan dengan kekuatan sendiri tapi melalui pertolongan dari Allah Roh Kudus. Allah Roh Kudus yang akan mengingatkan kita, memberikan kepekaan, coba lihat dalam pergumulan itu ambil langkah seperti apa. Karena itu kita harus terus peka akan kehendak Tuhan, da bagaimana cara pekanya adalah dengan terus membaca firman Tuhan, karena lewat firmanlah Roh Kudus akan memakainya untuk mengingatkan kita. Di dalam berbagai pergumulan, Roh Kudus itu bisa menginggatkan kita akan sesuatu ayat firman Tuhan, “Oh iya ya, harusnya mengambil langkah begini.” Dan ini saya percaya Roh Kudus itu berikan dalam diri setiap orang percaya, sesuai dengan firman Tuhan mengatakann memang Roh Kudus itu diberikan kepada setiap orang percaya dan Dia mengingatkan kita akan firman Tuhan sehingga kita harus peka mendengarkan arahan dari Dia. Tapi selain itu, Roh Kudus kenyataannya juga memakai berbagai macam orang untuk mengkoreksi diri kita. Ini ya yang kadang-kadang orang ngomong, “Peka, peka,  mau peka pimpinan Tuhan bagaimana,” terus dia bergumul, berdoa sendiri. Ya kadang itu dia harus lihat sekelilingnya, karena Roh Kudus juga pakai orang lain. Di dalam suatu ilustrasi yang sederhana, orang itu mengalami musibah banjir lalu dia sudah di atap rumahnya, lalu dia berdoa, “Tuhan, kirimkanlah kapal untuk menolong saya.” Lalu dia berdoa, berdoa terus, memang ada orang, “Ayo naik ini kapal.” “Oh nggak, saya tunggu dari Tuhan saja,” berdoa, berdoa. Tunggu. Lewat lagi sekoci berikutnya, “Ayo ikut ini.” “Oh nggak, saya tunggu yang dari Tuhan.” Sampai akhirnya dia tenggelam, lalu sampai Sorga, “Oh Tuhan, kenapa nggak kirim kapal?” Itu sudah kirim tapi kamu nggak naik.

Nah kadang-kadang orang juga bisa jatuh ke ekstrim yang lain, spiritualitas yang sangat eksistensialis, yang sangat fokus ke kepekaan diri sendiri saja, tapi kenyataannya memang Tuhan ada pakai sekitar kita. Nah di sini saya lihat Roh Kudus pun memakai berbagai macam orang untuk mengkoreksi hidup kita. Bagi saya bagaimanapun secara obyektif adalah hamba Tuhan tersendiri. Hamba Tuhan itu melayani firman yang diberitakan di mimbar, tidak pernah hamba Tuhan itu mau pakai untuk nembak sasarin ke kalian supaya ini, supaya ini, nggak, ini ngomong umum untuk setiap kita. Dan Tuhan pakai hamba Tuhan untuk bicarakan kebenaran firman, lalu melalui pimpinan Roh Kudus yang memakai hamba Tuhan itu kemudian Dia mencelikkan mata rohani kita lalu kita bisa menangkap suatu firman, “Oh saya harus lakukan ini.” Ini kita mengerti dalam doktrin Reformed adalah iluminasi dari Roh Kudus. Roh Kudus mencerahkan hati kita atau pikiran kita orang-orang percaya untuk menangkap firman dalam konteks spesifik hidup kita. Dalam kehidupan itu seperti itu. Dan itu saya lihat ya Tuhan memakai hamba Tuhan juga, dan ini saya ngomong bukan karena saya sebagai hamba Tuhan, saya alami dulu ketika pemuda. Dari mana saya tahu panggilan? Kadang beberapa kali orang tanya saya, “Darimana kamu tahu dulu punya panggilan jadi hamba Tuhan?” Bagi saya dengar ibadah aja, dari ibadah Minggu dan memang waktu itu Pak Tong yang khotbah. Lalu “Penting penginjilan, penting penginjilan,” lalu itu diberikan iluminasi, pencerahan dari Allah Roh Kudus, itu mengingatkan ya kamu menjadi hamba Tuhan, ya kamu berbagian. Nah itupun sudah karya dari Roh Kudus yang memakai hamba Tuhan, kita dengar suaranya secara audio. Dan Tuhan memakai hamba Tuhan demikian. Siapapun hamba Tuhannya, yang penting dia tetap setia pada firman yang sejati, maka dia dipakai Tuhan untuk berbicara pada setiap kita dalam konteks kehidupan kita masing-masing seperti apa. Kembali, hamba Tuhannya tidak tentu punya intention untuk anda melakukan itu, tapi melalui pencerahan dari Roh Kudus mengarahkan anda ke sana. Ini yang pertama, Roh Kudus memakai manusia, yaitu hamba Tuhan secara obyektif berbicara tentang firman kepada kita.

Dan yang kedua bagi saya adalah lapisan yang mungkin irisannya lebih dalam, yaitu teman-teman seiman kita juga. Roh Kudus memakai teman-teman seiman kita untuk mengingatkan kita akan firman. Kadang-kadang juga begitu kan, kita dalam suatu pergumulan, kita sharing dengan teman seiman lalu ia akan ingatkan, “Kamu harus begini, ingat lho ada firman begini.” Nah itu juga Tuhan biasanya memakai dia untuk menarik kita, mengingatkan kita akan firman Tuhan. Saya sendiri ya, terus terang latar belakangnya dulu itu orang yang, sampai sekarang saya masih ingat ketika saya remaja itu saya duduk ikut ibadah Minggu. Bagi saya saya sangat menikmati ibadah itu, karena saya nggak pelayanan. Saya ingat ada teman saya yang ajak, “Yuk ikut pelayanan,” ya bukan kebetulan waktu itu diajak ikut paduan suara, juga pelayanan ini, pelayanan itu. Saya pikir ngapain, lalu teman saya terus ajak, ya sudah saya ikut. Tapi saya lihat itu memang Tuhan memakai orang sekitar, membentuk kita akan calling, panggilan kita ya lewat situ. Teman saya yang pertama kali ajak saya untuk ikut paduan suara mana pernah kepikir, “Oh saya punya rencana supaya Leo ini jadi hamba Tuhan,” ya nggak ada, tapi Tuhan pakai dia. Dan Tuhan juga pakai orang-orang di sekitar kita, rekan-rekan sama-sama seiman, dan apalagi juga segereja. Dan karena itulah kita mengerti kita membutuhkan gereja untuk menjadi wadah pembentukan iman kita, dan kita mengasah satu sama lainnya, sebagaimana besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya. Itu mengingatkan kita akan kebenaran-kebenaran firman itu. Minimal menarik kita, melibatkan kita di dalam ataupun di dalam beberapa kesempatan tertentu yang kita bisa ikuti bersama. Itupun pembentukan dari Tuhan. Makanya jangan bilang, sudah diumumkan seminar, “Oh tunggu Pak, kalau Tuhan kasih saya beban nanti baru saya datang.” Ini sudah obyektif ini, sudah di mimbar, diajak teman-teman ya datang, bukan bergumul agar dapat wangsit gitu ya. Kita bisa bergumul dari orang-orang sekitar mengajak, kita responi, karena Tuhan juga pakai mereka. Dan itu kalau kita taati sedikit demi sedikit, kita akan diarahkan itu sampai golnya itu mencapai panggilan hidup kita.

Lalu yang ketiga itu adalah keluarga inti. Kenapa? Karena teman-teman seimanpun itu bagaimanapun juga tidak melihat kita 24 jam, tapi keluarga inti itu yang tahu kehidupan kita setiap harinya seperti apa. Dan Tuhan juga memakai mereka untuk mengingatkan kita akan kebenaran firman. Keluarga inti, apalagi ada yang bilang pasangan itu adalah yang menjadi alat Tuhan untuk selalu ingatkan dan asah kita setiap hari. Mungkin itu katanya ada yang malas nikah gitu ya, “karena diingatkan Pak setiap hari,” tapi itu adalah alat Tuhan juga untuk mengasah, membentuk kita, memurnikan kita, mengingatkan kita akan kebenaran firman lalu kita harus hidup seperti apa. Karena dia yang tahu setiap detil kehidupan kita. Saya tidak mengatakan lantas keluarga kita itu pasti benar, ataupun teman-teman kita selalu benar,  tapi di bagian itu kita melihat Tuhanpun bisa pakai mereka untuk membentuk kita, asal kita tetap mau punya hati yang teachable gitu ya, bisa dididik, mau dibentuk, mau diajar, yang dengan rendah melihat bahwa ya saya bergumul mencari kehendak Tuhan. Dan ketika Tuhan menghadirkan melalui opsi-opsi sekitar kita, biarlah itu membentuk kita, mengarahkan kita.

Tapi andaikata misalnya hal itupun tidak bisa mengubahkan anda, maka ada yang terakhir, yaitu diri anda sendiri. Ada kalanya memang ketika orang itu sudah tidak bisa diomongi, orang lain sudah ngomong, nggak bisa, yang terakhir adalah pakai diri anda semua. Kadang-kadang orang itu sudah janji kepada hamba Tuhan, “Oh saya janji Pak, saya tidak akan merokok lagi,” janji berkali-kali juga langgar. Janji kepada pasangan, “Oh saya tidak akan masuk kepada pornografi lagi,” janji, janji, akhirnya langgar. Kalau mau, terakhir itu jani kepada diri sendiri, khotbahi diri anda sendiri, ngomonglah kepada diri anda sendiri karena Tuhanpun memakai diri anda untuk mengingatkan anda akan firman Tuhan. Dan ini adalah juga suatu pimpinan Roh Kudus yang memakai dengan cara yang berbeda. Terkadang kebangunan rohani yang efektif itu bukan terjadi di tempat pertemuan besar yang dihadiri ribuan orang, melainkan di tengah keheningan di salah satu sudut rumah kita dan pembicaranya adalah nama anda sendiri. Kita yang tahu diri kita bagaimana, maukah kita juga ngomong, “Saya stop di sini, saya harus berjuang,” kenapa? “Karena Kristus sudah mati untuk menebus dosa saya, Dia sudah dikorbankan untuk saya, kenapa saya masih begini? Kok saya masih begini sih? Kristus sudah mati dengan begitu luar biasa, Alkitab sudah dituliskan dengan begitu banyak, masa sih saya cuma begini?” Terkadang ya semacam omongan kepada diri sendiri, “Tuhan itu sudah mati bagi saya, masak sih saya datang ke gereja aja malas. Anak Manusia saja datang ke dalam dunia bukan untuk dilayani. Masak sih saya nggak mau melayani?” Di sini kita mengerti ada bagian dimana Tuhan memakai kita juga untuk mengingatkan setiap kebenaran firman yang sudah kita dapatkan, justru mengingatkan diri kita sendiri, mengkhotbahi diri anda sendiri sesuai dengan prinsip firman. Sehingga singkatnya yang saya maksud di sini adalah in short, the maturity of a critical mind is the ability to do self-critics. Singkatnya, kematangan cara berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengkritisi diri anda sendiri. Dan ketika itu bisa berjalan kita tahu Roh Kudus yang memakai anda, Roh Kudus memakai setiap kita, lingkungan kita, bahkan diri kita untuk mengingatkan kita apa artinya kita menghasilkan buah kebenaran Kristus itu bagi kemuliaan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya. Kiranya ini menjadi dorongan bagi setiap kita untuk hidup bagi Dia saja. Amin. Mari kita satu dalam doa.

Bapa kami dalam Sorga, kami bersyukur untuk kebenaran firmanMu. Dan kami sejatinya sadar bahwa sebenarnya kami adalah manusia yang lemah, yang malas, yang tidak mau mengejar yang terbaik, yang motivasinya selalu bercampur dengan ego sendiri, dan yang seringkali juga menjadi batu sandungan bagi sekitar kami. Kami mohon ampun ya Tuhan, kiranya Engkau berbelas kasihan pada setiap kami, supaya kami sungguh boleh menghasilkan buah kebenaran yang sudah Kristus berikan dalam hidup kami ini. Kami berdoa ya Tuhan, biarlah karya keselamatan yang sudah dikerjakan Kristus itu bukan hanya menjadi pengetahuan doktrin semata di dalam pikiran kami tapi sungguh menjadi suatu yang nyata, berinkarnasi di dalam darah dan daging kami. Pimpin setiap kami Bapa, karena kami adalah anak-anakMu. Kiranya Roh Kudus saja yang menuntun kami untuk hidup menggenapi rencana hidup kami. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.

[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]

Comments