Mendidik Anak dalam Ajaran dan Nasihat Tuhan, 1 Desember 2019

Ef. 6:4

Pdt. Dawis Waiman, M.Div.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pada waktu berbicara mengenai membesarkan anak, saya pikir itu bukan sesuatu yang gampang untuk membesarkan anak di dalam sebuah keluarga. Sehingga banyak sekali orang-orang, keluarga-keluarga ketika mereka menikah mereka berpikir: perlu nggak mereka punya anak, atau berapa anak yang mereka perlu miliki dalam hidup mereka? Karena apa? Karena menurut mereka, mungkin, membangun sebuah keluarga dan melahirkan anak dan membesarkan anak itu bukan sesuatu yang mudah. Tapi kalau ditanya kembali, permasalahannya yang sulit di dalam menjadi seorang tua itu terletak pada aspek apa sih sebenarnya? Mungkin ada orang yang berkata, “Oh, menyekolahkan anak itu susah. Biayanya mahal-mahal, besar.” Lalu ada yang apalagi? Gizi makanannya, mungkin seperti itu. Apalagi? Di sini banyak yang single sih ya. Yang sudah punya keluarga… saya terus terang gumulkan ini benar-benar ya, mau nggak khotbahkan bagian ini, karena menurut konteks di Jogja ini, nggak banyak yang punya anak, kalau yang punya anakpun sudah besar-besar. Tetapi karena kita ada di dalam runut dari khotbah eksposisi Efesus, akhirnya kita masuk ke dalam bagian ini. Jadi saya pikir ya sudahlah, saya coba bahas ini juga, apalagi keluarga-keluarga muda pingin menikah dan pengen punya anak kan? Jadi, saya pikir saya perlu bicara mengenai hal ini juga.

Apa kesulitan di dalam membesarkan anak, memiliki seorang anak, letaknya di mana? Prinsipnya apa? Satu hal yang menarik adalah pada waktu berbicara mengenai bagaimana seorang suami dan istri Kristen menjadi seorang tua di dalam kehidupan keluarga, Alkitab tidak berbicara mengenai prinsip-prinsip yang sangat banyak sekali. Dan Alkitab tidak memberikan satu buku khusus untuk berbicara bagaimana kita menjadi seorang tua yang baik, atau seorang tua Kristen yang baik di dalam membesarkan anak-anak kita. Alkitab tidak memberikan kepada kita, atau Tuhan tidak memberikan kepada kita prinsip-prinsip psikologi, atau karakter anak, usia anak kedewasaannya sampai sekian dan sekian, hal-hal apa yang harus kita perhatikan di dalam kehidupan mereka, seperti itu. Tetapi yang Alkitab berikan, yang menarik adalah Alkitab hanya ketika berbicara mengenai anak, itu memberikan satu kalimat ayat bagi orang tua di dalam membesarkan anak. Kalau mau ditambah sedikit, ya ditambah ayat sebelumnya: orang tua harus mendidik anak untuk anak bisa taat dan hormat kepada orang tua. Tetapi di dalam bagian ini, Alkitab, ketika berbicara mengenai bapak-bapak di dalam relasi dengan anak, apa yang harus ditekankan? Yaitu pada dua hal: pertama adalah bapak-bapak jangan membuat anak-anak menjadi marah terhadap diri bapak-bapak; dan yang kedua adalah anak-anak itu harus dididik dengan ajaran dan nasihat Tuhan. Cuma 2 prinsip ini Tuhan bicara. Dan waktu bertanya: Bagaimana menjalankan prinsip ini dalam kehidupan dari keluarga Kristen? Satu-satunya manual yang Tuhan berikan dalam kehidupan kita, itu adalah yang saya kira kita sudah bahas beberapa minggu lalu. Alkitab berkata, “Kamu harus didik agar mereka mengerti dan taat akan firman Tuhan, taat kepada orang tua. Dengan cara seperti apa? Yaitu dengan cara kalau mereka tidak mau mendengarkan firman Tuhan dan tidak mau mendengarkan perkataan dari orang tua, yaitu gunakan rotan, cuma itu saja.

Jadi seorang tua di dalam mendidik anaknya, anak itu harus hormat dan taat kepada dia, perkataan orang tua harus didengarkan. Tetapi kalau dia tidak mau taat, sudah dikasih nasihat dan segala macam pengertian dia tetap tidak mau taat, Alkitab cuma ngomong pukul dia dengan rotan. Supaya apa? Supaya dia belajar untuk mengerti mereka harus belajar taat dan hormat kepada orang tua yang melalui rasa sakit itu. Lalu dari situ, mereka juga belajar, selain mengerti rasa sakit dan harus dengar orang tua – ada konsekuensi kalau mereka tidak dengar orang tua, yaitu mereka belajar untuk mengendalikan diri mereka. Jadi pada waktu seorang anak nakal, diomongin tidak mau dengar, kita pukul dia, maka hari itu anak itu belajar, “Oh kalau saya kelewatan, saya tidak me-manage diri saya dengan baik, maka saya ada konsekuensi. Dan konsekuensinya tidak enak. Yaitu apa? Rasa sakit itu.” Akhirnya anak mulai belajar: saya tidak boleh seperti itu. Dan dia mulai belajar disiplin diri. Anak-anak yang nakal, yang akhirnya ketika tubuh menjadi dewasa, kurang bisa fokus, konsentrasi, manage diri, dan tidak bisa tertib seperti itu, atau tidak bisa terkontrol, umumnya itu bukan karena bad parenting. Ini ada yang menemukan ketika mereka meneliti para psikolog itu akhirnya mereka mendapatkan titik terang tersebut, itu bukan karena bad parenting. Maksud bad parenting itu adalah apa? Itu orang tua yang suka mukul anaknya – itu bad parenting. Jadi, para psikolog ini kemudian berkata, “Oh ternyata, selama ini anggapan kita bahwa kalau orang tua memukul anaknya, anak itu bisa menjadi jahat, pendendam, marah kepada orang tua, lalu mengakibatkan mereka kemudian menjadi liar atau rusak seperti itu. Satu sisi mungkin ada benernya, kalau ketika orang tua di dalam menghukum anak, anak itu tidak mengerti hukuman yang dia terima itu untuk apa, yang membuat mereka akhirnya mendendam kepada orang tua. Mungkin mereka bisa timbul perasaan marah di dalam hati untuk melawan orang tua tidak taat, tapi taat hanya sementara waktu selama mereka masih kecil, mereka tidak punya kekuatan untuk bisa melawan orang tua, akhirnya mereka harus tunduk di bawah otoritas orang tua itu. Tetapi ketika mereka menjadi dewasa, mereka punya kekuatan, mereka punya kemandirian, mereka punya pekerjaan sendiri, penghasilan sendiri. Mereka merasa, “Untuk apa saya punya orang tua lagi?” Lalu mereka mulai memberontak kepada orang tua. Tetapi di sisi lain, kalau pukulan itu diberikan secara benar, anak-anak tidak akan menimbulkan sakit hati dan luka di dalam hati mereka dan kemarahan. Tetapi yang justru terjadi adalah rasa hormat kepada orang tua dan ketaatan dalam kehidupan mereka kepada orang tua.

Nah di dalam dunia psikologi mereka menemukan, itu ternyata bahwa pukulan tidak akan mengakibatkan anak rusak, tetapi yang mereka temukan adalah, yang mengakibatkan anak menjadi rusak itu ada sedikit faktor hereditas di dalamnya. Maksud hereditas itu adalah bukan genetika yang diwariskan seperti itu, mungkin ada aspek itu juga kalau ada orang yang cacat mental atau sakit di dalam sesuatu yang berkaitan dengan fisik, seperti itu, tetapi maksud hereditas itu adalah anak-anak akan meneladani kehidupan orang tua. Kalau orang tuanya adalah seorang yang tidak disiplin, anaknya pasti tidak disiplin; kalau orang tuanya adalah seorang yang tidak bisa fokus dan konsentrasi, anaknya pasti tidak bisa fokus dan konsentrasi; kalau orang tuanya adalah kacau balau dalam manajemen hidupnya, maka anaknya juga akan seperti itu; kalau orang tuanya tidak bisa menegakkan batasan-batasan atau rules dalam kehidupan anaknya, maka anaknya tidak akan mengerti batasan-batasan dalam hidup mereka. Jadi keberadaan dari seorang anak dan pertumbuhan dari seorang anak itu sangat bergantung sekali dari kehidupan orang tuanya sendiri juga atau keluarga di mana dia dibesarkan di situ. Dan sekali lagi, hal-hal seperti ini dikatakan tidak di dalam Alkitab? Saya percaya Alkitab tidak bicara terlalu banyak mengenai hal-hal seperti ini, tetapi Alkitab berbicara, kalau engkau melihat anakmu melawan engkau, engkau harus bisa menundukkan dia dan membuat dia taat dan hormat kepada engkau, dengan pukulan tersebut salah satu sarananya.

Tetapi hal lain yang kemudian Tuhan katakan, bagaimana kita bisa menjadi orang tua yang baik? Orang tua yang baik bukan hanya berbicara mengenai anak harus hormat dan taat saja, tapi orang tua yang baik yang dibahas oleh Alkitab itu bukan berbicara mengenai bagaimana kita menyekolahkan kita di sekolah umum, atau berapa dana yang kita harus siapkan untuk menyekolahkan mereka, lalu gizi seperti apa yang mereka harus makan, walaupun di dalam Lukas kita sudah lihat seorang tua ketika membesarkan anak harus memperhatikan aspek fisik, aspek sosial, aspek mental, aspek rohani yang mereka miliki. Tapi sisanya bagaimana? Saya pikir sisanya ada di dalam anugerah umum Tuhan di dalam kita belajar untuk ini ya, belajar melihat situasi, belajar dalam perkembangan dari pada manusia, lalu kita kemudian memperlengkapi hal itu di dalam kehidupan kita. Kalau begitu, penting tidak hal-hal yang bicara mengenai karakter anak, kebutuhan mereka, perkembangan psikologi mereka dan yang lain-lain? Saya pikir itu juga penting. Kalau itu menjadi hal yang penting, kenapa Alkitab tidak berbicara mengenai hal ini dan memberikan prinsip itu untuk kita jalankan dalam kehidupan kita? Karena pertama, Alkitab bukan buku yang berbicara mengenai hal-hal yang spesifik seperti itu ya, tetapi Alkitab itu adalah berbicara mengenai firman Tuhan untuk kita belajar membangun keluarga di dalam terang firman Tuhan dan memiliki keluarga yang takut akan Tuhan. Makanya ketika Tuhan memberikan prinsip, Tuhan memberikan suatu prinsip yang sangat mendasar sekali di mana kita boleh membangun sebuah keluarga yang benar menurut Tuhan itu seperti apa dan keluarga yang baik itu seperti apa. Tetapi pada waktu berbicara mengenai hal ini, yang sekadar prinsip yang dasar ini, saya percaya, maka yang dasar ini ketika dijalankan dengan baik dan prinsip yang benar, maka semua yang lain otomatis akan tertata rapi di dalam kehidupan kita atau di dalam kita membangun keluarga. Karena pada waktu Tuhan berbicara mengenai suatu prinsip tertentu di dalam kehidupan manusia, maka prinsip itu adalah suatu prinsip yang memang Tuhan juga mungkin taruh pengertian itu di dalam hati manusia untuk manusia jalankan itu, dan kalau manusia tidak jalankan itu maka kehidupan keluarga atau kehidupan sosialisasi, kehidupan rohani dan yang lain-lain itu akan menjadi kacau balau. Jadi ini adalah suatu prinsip yang sederhana sekali, tetapi prinsip yang sederhana ini adalah suatu prinsip yang bisa menerangi seluruh kehidupan kita yang lain.

Di dalam buku Westminster Shorter Catechism ada kalimat seperti ini ya, Alkitab adalah kitab yang berbicara mengenai sejarah bukan? Bukan. Alkitab itu adalah Alkitab yang berbicara mengenai matematika bukan? Alkitab adalah Alkitab yang berbicara mengenai biologi bukan? Bukan. Tetapi ketika Alkitab berbicara mengenai hal-hal tersebut, kita boleh pastikan bahwa kebenaran itu pasti benar, yang dikatakan itu. Tetapi kalau begitu Alkitab berbicara mengenai apa? Alkitab berbicara mengenai kebenaran tentang Tuhan dan tuntutan yang Tuhan kehendaki untuk manusia lakukan. Dan bahkan ada prinsip seperti ini, ketika seseorang itu tidak mengerti Kitab Suci, walaupun dia menguasai segala macam pengetahuan yang ada di dalam dunia ini, Alkitab berkata, dia tetap berjalan di dalam kegelapan. Tetapi kalau dia adalah seorang yang tidak terlalu tahu segala sesuatunya, tetapi kalau dia mengerti firman Tuhan, dan dia kemudian belajar untuk menuntut sesuatu hal-hal yang merupakan ilmu pengetahuan berdasarkan terang firman Tuhan, maka dia adalah seorang yang berjalan di dalam terang. Jadi saya tetap lihat, walaupun prinsip di dalam kehidupan keluarga ini adalah sesuatu yang sangat sederhana sekali, tetapi inilah yang membuat kita bisa membangun sebuah keluarga yang berbeda dari keluarga-keluarga yang ada di dalam dunia ini, karena ini adalah prinsip yang harus dimiliki oleh keluarga Kristen supaya keluarga Kristen bisa hidup sebagai keluarga yang bersaksi bagi dunia ini berdasarkan apa yang Tuhan kehendaki.

Kalau kita perhatikan, mungkin saya sudah sering kali bicara mengenai kita manusia baru, kita keluarga Kristen, kita harus menjadi keluarga yang berbeda, dan saya tidak akan bosan ngomong hal ini karena ini adalah hal yang penting ya. Bapak-Ibu bisa perhatikan ini dari kehidupan orang-orang Israel. Pada waktu Tuhan mengutus Musa kepada Firaun untuk berbicara, “Ayo, bebaskan umat-Ku keluar dari pada Mesir ini,” Firaun pada waktu itu menolak. Firaun ngomong, “Kenapa kamu harus pergi jauh-jauh untuk beribadah kepada Tuhan? Kenapa kamu tidak beribadah di tempat ini saja, di Mesir? Kamu bisa beribadah kepada Tuhan Allah. Bukankah kamu tidak harus keluar menempuh 3 hari perjalanan, bawa suamimu, istrimu, anak-anakmu, ternakmu, dan semuanya untuk pergi ke luar sana?” Tuhan melalui Musa bilang, “Ndak bisa, kami harus keluar dari Mesir ini.” Tapi alasan waktu itu Musa gunakan kalau kami beribadah kepada Tuhan Allah kami dengan cara kami, kami yakin kami pasti ditolak oleh orang-orang Mesir. Tapi di sisi lain, ada satu aspek tertentu yang Tuhan kehendaki untuk umat Allah mengerti bahwa kehidupan orang-orang percaya itu adalah suatu kehidupan yang harus berbeda dari kehidupan orang dunia. Orang percaya tidak bisa memiliki satu kehidupan yang seperti orang dunia dan bercampur baur dengan orang dunia. Orang dunia harus bisa melihat bahwa ada suatu perbedaan yang dimiliki oleh orang percaya dari kehidupan mereka dan perbedaan itu termasuk di dalam kehidupan berkeluarga, bukan hanya di dalam kehidupan beribadah. Kalau di dalam kehidupan orang-orang Israel, orang-orang Israel disuruh keluar untuk apa? Mereka untuk beribadah kepada Tuhan. Walaupun ada unsur-unsur daripada keluarga yang disuruh terapkan yang berbeda dari orang-orang dunia, tetapi Tuhan juga berkata engkau harus punya hari raya sendiri, engkau harus punya konsep ibadah sendiri, engkau harus memberikan korban di dalam persembahanmu, engkau harus disunat, engkau harus memiliki pakaian imam yang secara khusus Tuhan berikan, engkau harus hadir dalam Kemah Suci ketika engkau beribadah kepada Tuhan. Untuk apa semua itu? Saya percaya itu adalah rules yang untuk membuat orang-orang Israel menjadi orang yang berbeda dari orang-orang lain yang ada di sekitarnya atau bangsa-bangsa lain dan mereka tidak bisa berbaur dengan bangsa-bangsa yang lain.

Jadi saya lihat ini adalah panggilan Tuhan yang mengatakan bahwa umat Tuhan harus kudus. Dan kudus itu berarti kita harus terpisah dari dunia ini. Bukan memutuskan diri dari dunia ini sehingga kita tidak punya teman dalam dunia ini, tetapi kita harus mempunyai prinsip yang berbeda dari dunia ini karena Tuhan menghendaki itu dalam kehidupan kita. Dan kalau kita ingin membangun sebuah keluarga yang betul-betul berdasarkan kehendak Tuhan, hal apa yang harus kita perhatikan? Mungkin ada aspek pendidikan itu, mungkin ada aspek oh makin besar seorang anak makin direpotkan dengan segala macam hal-hal yang menjadi kebutuhan anak itu dalam kehidupan kita. Kalau kecil mungkin kita paling repot karena dia menyita waktu kita, kita ndak bisa buat apa-apa, kita harus fokus memperhatikan diri dia. Setelah dia dewasa gimana? Makin berkurangkah? Saya pikir yang udah punya anak yang dewasa berkata tidak, karena apa? Dia perlu sekolah, dia perlu kebutuhan ini dan kebutuhan itu, lalu kita orang tua harus menyiapakan itu, mengantar dia ke mana, dia perlu les, dia perlu pertemuan kerja kelompok dan yang lain-lain, dia perlu belajar material yang dibutuhkan untuk sekolah dia, nggak lebih mudah seperti itu. Mungkin lebih sibuk lagi ada. Tapi kan bicara mengenai hal-hal seperti ini, apakah itu sebenarnya yang menjadi persoalan penting sekali yang harus atau menjadi kesulitan di dalam kita membangun sebuah keluarga? Itu bukan faktor utama kesulitan sebagai seorang orang tua di dalam membangun sebuah keluarga atau memiliki seorang anak dan membesarkan anak kita. Saya pikir bukan hal-hal seperti itu ya. Ada orang yang takut punya anak karena takut tidak punya biaya untuk membesarkan. Tapi Bapak-Ibu, orang zaman dulu ndak ada satupun yang takut anak banyak, minimal anak 6, 8 orang, 9 orang, dan semuanya jadi kok, baik-baik kan? Dan saya juga percaya setiap anak ada berkat Tuhan tersendiri di dalamnya. Jadi pada waktu Tuhan memberikan 1 jiwa di dalam keluarga, maka Tuhan juga akan memelihara keluarga itu untuk membesarkan anak ini. Ya kalau Bapak-Ibu memperhatikan keadaan teman-teman yang lain, atau kebudayaan kita, mungkin bapak ibu akan ngerasa saya ndak memberikan yang terbaik untuk anak-anak ini, anak-anak saya tersebut. Tetapi paling tidak Bapak-Ibu, kita perlu melihat bahwa pada waktu kita membesarkan anak berdasarkan berkat yang Tuhan berikan tersebut, saya harap kita tidak melihat itu dengan mengkomparasikannya dengan kebudayaan kita dan bagaimana keluarga-keluarga lain yang membesarkan anak-anak mereka dengan segala fasilitas yang mereka miliki dalam hidup mereka.

Yang membuat pekerjaan membesarkan anak itu menjadi sesuatu yang sulit, itu bukan karena kita punya waktu menjadi terbatas, kita terlalu disibukkan oleh anak-anak itu, semua fokus kita terkuras pada diri mereka dan yang lain-lainnya itu, tetapi saya percaya faktornya yang utama itu adalah dua: pertama adalah faktor eksternal dan yang kedua adalah faktor internal. Faktor eksternal itu seperti yang tadi saya bilang, waktu kita punya anak kita tahu itu adalah pemberian Tuhan, ada berkat Tuhan tersendiri dalam hidup anak tersebut, tetapi karena kita lihat tetangga kita, fasilitas yang mereka miliki untuk mendidik anak, lalu hal-hal apa yang menjadi milik anak itu yang bisa dia nikmati dalam hidup dia karena orang tuanya mungkin punya uang yang banyak, bisa memfasilitasi anaknya untuk memberikan segala yang dibutuhkan oleh anak itu, kita merasa susah, susah hati karena komparasi kita adalah komparasi dengan lingkungan kita. Tetapi hal yang lebih menyulitkan lagi sebenarnya adalah saya pikir itu adalah hal yang bersifat superficial. Hal yang lebih menyulitkan lagi adalah kalau kita mau membangun sebuah keluarga berdasarkan iman Kristen, kita harus mengerti lingkungan kita itu adalah lingkungan duniawi. Dan lingkungan duniawi itu adalah suatu lingkungan yang sebenarnya Tuhan tidak ingin kita turut berbagian di dalamnya. Di dalam Efesus 2:1-3 atau khususnya ayat 2-3 Paulus berkata ada 3 hal yang memberi kita pengertian kalau kita ada hidup di dalam dosa: pertama adalah kita hidup menurut jalan dunia ini, kedua adalah ada kuasa angkasa, iblis yang berkuasa atas kehidupan manusia yang berdosa, yang ketiga adalah faktor internal diri kita. Yang urusan kedua ini kita enggak akan bicara, itu adalah urusan Tuhan sama setanlah, kita sebagai orang percaya, kita berdoa di hadapan Tuhan, minta Tuhan pelihara dan jauhkan kita dari yang jahat tersebut. Tapi yang menjadi hal yang perlu kita perhatikan dalam kehidupan kita adalah dua aspek ini, eksternal dan internal. Nah waktu berbicara mengenai aspek eksternal, hal apa yang kita perlu perhatikan? Bukan masalah ekonomi, bukan masalah hal-hal yang lain, psikologi, dan hal lain-lain, itu bukan masalah esensi tetapi yang lebih menjadi masalah esensi adalah apakah kita mendidik anak kita menurut jalan dunia ini atau menurut jalan Tuhan, apakah kita mengekspos kehidupan anak kita tanpa ada batasan-batasan yang berdasarkan terang firman Tuhan atau pertumbuhan yang sesuai dengan kebutuhan dia, atau kita membiarkan dia tersingkap dengan segala sesuatu yang ada didalam dunia ini?

Kalau hidup di dalam zaman saya atau di zaman Bapak-bapak, Ibu-ibu yang lebih senior, seperti itu, zaman saya zaman internet itu sudah mulai masuk tetapi belum terlalu secanggih sekarang ini, di hp pun kita bisa akses dimana-mana ya. Dan waktu zaman saya sendiri, kalau saya buka internet itu kadang-kadang papa-mama saya masih ngawasin saya, dan saya tidak bisa sembarangan untuk buka-buka kesana-kemari, tetapi di dalam zaman sekarang, anak-anak kita itu saya pikir menjadi anak-anak yang tumbuhnya itu terlalu cepat, lebih cepat daripada zaman kita sebelumnya. Dan ditambah lagi dengan kesibukan dari orang tua yang seringkali tidak ada waktu untuk anak-anak, yang lebih memikirkan hal-hal yang di luar pekerjaan dan kesenangan seperti itu, maka adanya anak yang mau ikut dia terus, yang menyita waktunya itu menjadi sesuatu yang memberatkan, sesuatu yang membuat dia tidak bebas, lalu bagaimana solusi yang paling gampang? Itu adalah berikan game, berikan hp, berikan tontonan-tontonan melalui TV atau melalui HP, atau melalui film-film tetapi kita tidak punya kepekaan atau kekritisan untuk menyeleksi dan mensensor apa yang mereka tonton. Dan bahkan ketika saya memperhatikan film-film dari kartunpun, kartun-kartun telah mengajarkan anak-anak kita mengenai hal-hal yang sangat bertolak belakang dengan prinsip firman Tuhan. Saya ambil contoh film Frozen itu bagus enggak? Yang satu lumayanlah ya, tapi yang kedua mulai berbicara mengenai masalah LGBT. Lalu kita dorong anak kita nonton seperti itu bagaimana? Film film yang katanya Spongebob squarepants itu juga itu film yang agak ini ya, agak jorok kayak gitu ya, saya terus terang kalau nonton film spongebob itu saya enggak suka sekali, tetapi anak-anak senang untuk nonton film-film seperti itu, dan kita kadang-kadang ya sudahlah dia mau nonton asal enggak ganggu kita yah silahkan nonton kayak gitu.

Tapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pada waktu dia nonton kita sadar enggak kalau kita enggak punya cukup waktu untuk memperhatikan kehidupan dia dan kerohanian dia, pemahaman dia dan pertumbuhan dari pada hal-hal berdasarkan pengetahuan yang dia perlu miliki cukup di dalam usia dia? Makanya sebenarnya kita mendorong anak kita itu  menjadi orang yang lebih cepet dewasa dari waktunya, dan itu mengakibatkan bukan hal yang baik saya percaya, tetapi itu akan mengakibatkan anak kita rusak, karena dia belum bisa menyeleksi, dia belum bisa mensensor sendiri mana yang benar mana yang tidak, mana yang boleh mana yang tidak boleh, mana yang baik dan mana yang akan menghancurkan kehidupan dia, tetapi yang dia akan alami adalah dia akan asup semuanya, dia terima, dan dia fikir semuanya itu adalah baik. Ada satu orang yang pernah saya temukan ada seorang yang bicara pada saya seperti ini, “Saya waktu kecil, orang tua saya itu kalau nonton film porno itu saya duduk disampingnya. Tahu dampaknya apa? Dari kecil saya sudah ikut papa saya nonton, dan papa saya enggak larang saya untuk nonton di sebelah dia, dan sampai hari ini saya bergumul berat masalah nafsu seksual, itu terjadi, dan saya sulit untuk menghadapi atau menghilangkan pikiran-pikiran seperti itu dari hidup saya.” Jadi faktor eksternal, saya percaya, saya enggak akan terlalu masuk detail lah hal-hal seperti ini ya, tetapi dunia sekarang kita enggak bisa cegah pertumbuhan yang begitu cepat sekali dengan media yang banyak informasi di dalamnya. Bahkan sekolah-sekolah sendiri yang mendorong anak-anak kita untuk terjun di dalam dunia itu dan menggunakan internet untuk menjawab soal-soal yang diberikan oleh guru-guru di sekolah, tetapi itu sisi positif ada, sisi negatifnya yaitu masalah-masalah nilai-nilai hidup, nilai-nilai bermasyarakat, nilai-nilai rohani yang ditanamkan oleh dunia, itu adalah sesuatu yang bisa kita saring tidak dari pada kehidupan anak-anak kita? Masalah-masalah seksualitas bisa saring enggak dari kehidupan anak-anak kita?

Di dalam buku Timothy Keller, Counterfeit Gods, Timothy Keller ada tulis seperti ini, “Jangan kira kalau penyembahan berhala kepada dewa-dewa dan kuil-kuil itu adalah sesuatu yang hanya terjadi pada zaman para rasul atau pada zaman Israel kuno, dulu mungkin ada dewa-dewa yang bentuk nya patung yang disujud dan disembah oleh orang, ada kuil-kuil dimana orang-orang datang beribadah ke situ secara jelas kepada dewa-dewa tersebut. Tetapi sebenarnya zaman kita pun tidak berbeda dari zaman dahulu, kita tetap ada kuil-kuilnya, di zaman kita tetap ada dewa-dewanya, tapi kuil-kuilnya itu apa, dewa-dewanya apa? Kuilnyaitu bisa mall, bisa restoran, bisa shopping center, atau bisa permainan, dan bisa masalah-masalah yang berkaitan dengan seksualitas, itu bisa menjadi kuil kita. Lalu termasuk kantor, termasuk olahraga, itu bisa menjadi kuil. Masalah dewanya siapa? Dewanya bisa berupa Bill Gates, terus siapa itu orang Apple itu, Steve Jobs, itu bisa menjadi dewa lho. Dan ketika kita mendidik anak-anak kita, tanpa sadar kita membawa mereka untuk meneladani orang-orang dunia ini dan berkata bahwa merekalah orang yang harus kita capai, seperti itulah yang harus kita capai. Dan pada waktu mereka melihat consumerism dan kehidupan internet yang seperti itu dan komparasi dengan kehidupan kita sendiri yang mungkin kita tidak terlalu setia kepada Kitab Suci sebenarnya kita sedang menjerumuskan anak kita. Itu tantangan yang berat sekali.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, anak itu bertumbuh meniru orang lain. Kita di dalam belajar itu prinsip belajar adalah kita meniru. Lalu faktor yang menjadi pribadi yang ditiru seharusnya yang pertama kali ditiru itu siapa? Yang ditiru itu adalah orang tua, itu menjadi faktor utama. Sehingga kalau kita ingin membangun kehidupan keluarga berdasarkan Kitab Suci maka saya percaya center di dalam keluarga, di dalam suatu kehidupan keluarga itu adalah keluarga inti. Orang tua itu menjadi center, menjadi teladan, menjadi fokus, menjadi suatu pembelajaran yang bisa di pelajari anak-anak. Baik itu mengenai nilai-nilai kehidupan apa yang harus diutamakan, yang tidak diutamakan, bagaimana kita beribadah kepada Tuhan atau tidak, hal-hal apa yang disukai Tuhan dan tidak, itu harus diterima anak di dalam kehidupan keluarga. Tetapi karena dunia eksternal yang begitu canggih, akses yang begitu luas sekali dan sesuatu yang sepertinya tidak bisa dibendung itu membahayakan sekali. Saya terus terang sendiri bergumul dengan anak yang sulit berkomunikasi dengan orang lain karena kadang-kadang lebih aktif baca dari HP, tapi itu realita zaman sekarang ya, anak-anak begitu semua. Walaupun belakangan mereka belajar untuk berkomunikasi dengan orang lain dan saya kasih rule selama di gereja tidak boleh pegang HP sampai setelah tidak ada orang kalian pegang HP baru silahkan tapi selama ada orang kalian harus belajar bicara dengan orang lain. Tapi Saudara, kalau kita hanya sibukkan anak seperti ini dengan kesibukan mereka sendiri dan kita punya kesibukan kita sendiri, dimana anak bisa belajar prinsip yang benar? Enggak ada, komunikasi saja dengan orang tua tidak ada. Saya kadang-kadang kalau duduk di meja makan saya termasuk memperhatikan keluarga saya sendiri, ada komunikasi enggak, atau kita cuma sibuk dengan pikiran kita sendiri, dengan teman kita sendiri yang ada di dunia ini, padahal orang yang kita seharusnya ajak bicara itu ada di depan kita. Ini hal-hal saya percaya bisa merusak, merusak keluarga kita, anak-anak kita.

Dan kita pikir mereka yang penting tumbuh dewasa dengan apa? Dengan prinsip bahwa fisiknya sehat, makannya rutin, pakaiannya ada, yang dia inginkan bisa disediakan, secara pengetahuan umum dia terlengkapi karena dia sekolah di sekolah kita bisa biayai, mereka sekolah dan sekolah-sekolah yang terbaik. Tapi padahal kita tidak sadar, kita sedang membiarkan anak kita ditanamkan oleh prinsip-prinsip yang sesuai dengan prinsip dunia bukan prinsip Alkitabiah. Itu hal pertama. Faktor eksternal itu menjadi hal yang seharusnya kita lihat sebagai tantangan yang berat sekali di dalam membesarkan anak. Bukan bicara mengenai ekonomi, apa yang kita bisa kenakan, fasilitas, dan yang lain lain, itu sebenarnya hal yang bersifat superficial. Yang lebih esensi adalah kita membiarkan anak kita hidup menurut jalan dunia ini atau tidak? Dan kecondongan anak-anak kita dan diri kita sendiri mungkin adalah kita hidup menurut jalan dunia ini. Padahal Tuhan ingin kita tidak hidup menurut jalan dunia ini tapi menurut apa yang Tuhan kehendaki.

Hal yang kedua yang lebih sulit adalah berbicara mengenai faktor internal. Faktor internal itu berbicara natur atau karakter dari anak kita. Ini saya juga beberapa kali sudah sebutkan ya. Pada waktu seorang anak lahir, kita jangan pernah berfikir bahwa anak kita itu lucu, baik, maka dia adalah anak yang betul-betul membawa kebahagian, dia adalah anak yang terbaik, semua anak orang lain itu jelek tapi anak kita yang paling baik, sehingga kita protektif sekali, kita pelihara dia, dan segala sesuatu yang diakibatkan oleh anak orang lain kepada anak kita itu adalah kesalahan anak orang lain bukan kesalahan anak kita. Kalau kita hidup seperti ini saya pikir kita sedang membesarkan seorang penjahat nanti ketika mereka dewasa, tapi dia tidak tahu kalau dia jahat. Karena apa? Karena pada dasarnya anak kita itu anak yang berdosa. Secara natur mereka adalah orang orang yang berdosa, sehingga pada waktu dia lahir Alkitab berkata sejak dari kandunganpun Allah sudah melihat dia adalah sebagai orang yang berdosa. Allah berbicara mengenai natur yang berdosa ini dimana? Ayat yang jelas itu ada di dalam Efesus 2:3. Di dalam terjemahan LAI tidak dikatakan atau tidak muncul ya. Tetapi di dalam terjemahan bahasa inggrisnya ada. Efesus 2:3, di sini dikatakan “Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain.” Bahasa Indonesianya enggak kelihatan, Bahasa Inggrisnya berbicara sebagai berikut: “among whom we also all once lived in the lust of our flesh, doing the desires of the flesh and of the mind, and were by nature children of wrath, even as the rest.” Jadi, di antara kami, among whom we also all once, kami semua dulu adalah seorang yang hidup berdasarkan nafsu kedagingan kami, melakukan hal-hal yang kedagingan dan memiliki pikiran yang bersifat kedagingan. Lalu di kalimat berikutnya adalah, dalam natur, kami adalah anak-anak yang harus dimurkai, seperti semua orang yang lainnya. Jadi, pada waktu Alkitab berbicara mengenai dosa, Alkitab berkata bahwa dosa itu bukan sesuatu yang dilakukan saja oleh manusia, seseorang dikatakan pencuri bukan karena dia mencuri, seseorang dikatakan pembohong bukan karena dia berbohong, seseorang yang berzinah bukan karena dia adalah orang yang melakukan perzinahan dalam hidup dia, tetapi berdasarkan firman Tuhan natur manusia itu berdosa, itu yang membuat seseorang melakukan perbuatan-perbuatan berdosa. Maksudnya adalah seperti ini, karena hatinya pezinah maka dia berzinah, karena hatinya adalah seorang yang suka berbohong maka dia berbohong, hatinya itu adalah pencuri maka dia mencuri. Jadi kalau dia secara natur adalah orang berdosa, itu yang membuat dia menghasilkan buah-buah dosa di dalam kehidupan dia, itu namanya natur. Bahkan ada teolog yang berkata, natur itu berbicara mengenai suatu keberadaan dimana Tuhan melihat kita itu orang yang berdosa, walaupun kita dalam kondisi yang tidak melakukan apapun, atau kita dalam kondisi yang tidur, itu bicara mengenai natur. Jadi waktu kita, kalau kita melihat keberdosaan itu berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, maka, kita punya kecondongan untuk berkata, “Oh, kalau kita tidur kita dalam kondisi yang tidak berdosa, pikiran kita istirahat, seluruh tubuh kita istirahat, kita juga enggak tahu apa yang kita lakukan, kita enggak lakukan apapun, bahkan kita tidak lakukan dosa di dalam kehidupan kita saat kita tidur,” misalnya, lalu tidur banyak-banyak saja ya supaya tidak berdosa. Ndak bisa kan, Alkitab berkata, walaupun kita tidak melakukan apapun, walaupun kita sedang berisitirahat sekalipun, kita adalah orang yang dilihat Tuhan tetap adalah orang yang berdosa, karena apa? Natur kita berdosa.

Nah ini yang ada di dalam kehidupan, bukan pada orang yang dewasa saja, tapi pada bayi-bayi yang lahir pun ada di dalam kondisi yang berdosa seperti ini. Sehingga di dalam kecondongan seorang anak yang lahir di dalam dunia ini kita bisa lihat ada egoisme di dalam kehidupan anak itu, ada sifat selfish yang mementingkan dirinya sendiri, dia tidak memperdulikan yang lain, pokoknya yang dia mau dia harus terima, walaupun itu adalah sesuatu yang dilarang dan tidak boleh atau mengakibatkan orang tuanya sulit, dia tetap menginginkan hal itu untuk dia miliki. Saya baru tahu, kemarin saya baru pulang, ternyata anak yang paling kecil saya itu mulai punya kemauan yang agak keras. Dia kalau lihat saya sudah enggak mau tidur kalau malam hari, jam 3 bisa bangun, kemarin saya pulang cukup malam, lalu saya pulang sore, tapi karena persiapan dan segala sesuatu saya belum tidur, dia sudah tidur terlebih dahulu, pas dia lihat saya bangun, dia bangun, ndak mau tidur lagi, padahal capek sekali, mamanya capek, saya juga capek, seperti itu, masih harus persiapan lagi, pokoknya dia mau yang dia mau. Dia turun dari ranjang, dia kemudian mulai bisa berdiri kan, dia mulai berdiri, dia tahu di atas container itu ada barang-barang banyak, dan dia suka sekali kabel, pokoknya ngotot harus berdiri di situ, harus ambil kabel itu. Kita ngomong, “Sudah malam, tidur ya, jangan lagi.” Pokoknya mau begitu. Tapi dia berdiri kan harus dijaga, mau dijaga, mau gimana saya mau persiapan, mamanya mau istirahat, dan semuanya seperti itu. Tapi waktu ditarik, pokoknya dia nangis keras sekali, ndak mau pokoknya. Dia mau yang itu, pokoknya mau itu, walaupun orang tuanya ngomong, “Kita capek, ayo tidur, kamu juga sudah malem kan, kamu perlu tidur, istirahat,” tetap enggak mau, kenapa? Mungkin enggak mengerti sih, tetapi itu benih keegoisan tidak? Selfishness bukan? Dan kalau itu dipacu, diberikan tiap kali dia teriak kita kasih, dia teriak kita kasih, sampai besar dia akan jadi orang yang hanya mementingkan diri sendiri.

Jadi, anak kita dari kecil, sudah adalah orang yang memikirkan dirinya sendiri, dan bahkan, ketika dewasa, dia menjadi orang yang tidak memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan rohani. Saya yakin, setiap Bapak, Ibu, yang membesarkan anak, akan tahu hal ini, salah satu nya dari mana? Suruh baca Alkitab saja susahnya minta ampun, suruh selesaikan Alkitab saja susah sekali. Yang lebih menarik itu adalah baca cerpen, baca komik, atau main game, itu jauh lebih menarik, tetapi baca firman itu ndak menarik, heran ya? Kita sendiri enggak menarik kan baca Alkitab? Karena apa? Saya percaya itu adalah salah satu aspek dari natur dosa. Nah ini yang membuat mendidik anak itu juga tidak gampang, karena secara natur anak itu tidak suka kebenaran Tuhan, secara natur dia tidak suka hidup yang kudus, secara natur dia adalah memberontak melawan Tuhan dan tidak mau taat kepada Tuhan. Tetapi ini harusnya, walaupun menjadi satu tantangan yang berat bagi kita untuk mendidik anak, kita tidak boleh mengabaikan itu semua. Kita harus justru menjadikan natur itu dan perbuatan dosa yang dia lakukan, kesempatan untuk menginjili anak itu dan membawa mereka mengenal Tuhan. Hal apa yang harus kita didik dari kondisi ini? Saya percaya memang ada tahapannya, dan tahapan itu sesuai dengan pengertian anak yang makin berkembang, seperti itu, kita jelaskan. Tetapi, kita bisa menanamkan beberapa prinsip kepada anak kita, selama dia dari kecil mulai bisa mengerti, sampai dia bisa bertanggung jawab, dan kita bisa melihat bahwa dia memiliki hati yang takut akan Tuhan, baru kita bisa bersyukur dan melepas mereka.

Lalu hal-hal apa yang kita harus tanamkan ? Pertama misalnya, kita harus tanamkan bahwa Allah itu kudus dan suci. Bapak-Ibu, hal pertama yang Bapak-Ibu harus tanamkan kepada anak yaitu Allah itu adalah Allah yang tidak bisa sembarangan dihampiri manusia. Alkitab berkata, Allah kita itu adalah Allah kudus, siapa yang bisa datang dan beribadah kepada Dia (di dalam Yosua)? Jawabannya adalah tidak ada orang yang bisa datang dan beribadah kepada Tuhan karena kita adalah orang yang berdosa. Jadi kekudusan Allah berbicara mengenai suatu keterpisahan, kesucian, ketidakberdosaan dari pada diri Allah, suatu keberadaan yang tidak bisa menerima ada cacat dosa sekecil apapun dari kehidupan manusia di hadapan Dia. Dan saya percaya, ini adalah hal yang penting sekali, orang yang tidak pernah bisa melihat Allah itu adalah Allah yang kudus, dia tidak akan memiliki suatu kehidupan yang betul-betul dipersembahkan kepada Tuhan Allah, dan tidak pernah bisa memiliki suatu penghargaan terhadap anugerah yang Tuhan berikan di dalam Kristus. Kemarin di dalam retreat guru, ada satu guru bertanya seperti ini, “Pak, bukankah Alkitab ada berkata bahwa Allah itu adalah Allah yang adil. Lalu ada bagian lain dari Alkitab yang berkata Allah itu adalah Allah yang pengasih. Maksudnya gimana itu, kontradiksi?” Kayaknya kontradiksi, satu adil, satu kasih. Benar Alkitab ada berbicara seperti ini, misalnya pada waktu Musa ingin melihat kemuliaan Allah setelah peristiwa patung lembu emas tersebut, lalu Tuhan ngomong, “Kamu nggak mungkin bisa melihat Saya dengan segala kemuliaan Saya, kegemilangan Saya, karena kamu pasti mati.” Lalu apa yang harus dilakukan ? Tuhan ngomong : “Aku akan meletakkan engkau di antara bukit, Aku akan lewat dan engkau tidak akan lihat wajah Saya, tapi engkau akan lihat punggung Saya.” Dan Musa kemudian ditempatkan di situ lalu ia melihat punggung Tuhan. Tapi pada waktu Tuhan berjalan di situ, Tuhan berkata apa ? Alkitab berkata, ketika Tuhan jalan, ada suara yang berkata, “Tuhan itu adalah Tuhan yang pengasih, kasih setiaNya sampai selama-lamanya. Dia adalah Allah yang baik, Allah yang pemurah, Allah yang berkemurahan.” Tetapi di setelah ayat itu ada kalimat : “Ia adalah Allah yang tidak akan mengampuni kesalahan manusia sampai turun temurun, beribu-ribu orang,” karena Allah adalah Allah yang kasih,  Allah yang adalah adil. Saya lalu tanya kepada guru, “Menurut Bapak, Ibu Guru, kasih Allah dan keadilan Allah, besar yang mana ?” Lalu ada yang menjawab, “Kasih Allah lebih besar Pak daripada keadilan Tuhan.” Setuju enggak? Saya bilang adanya salib itu menunjukkan bahwa keadilan Allah-pun tidak bisa dikatakan lebih kecil daripada kasih Allah. Kalau kasih Allah itu lebih besar daripada keadilan Allah sebenarnya enggak perlu salib Kristus, Allah tinggal mengumumkan, “Kamu punya dosa Saya ampuni,” maka sudah diampuni karena keadilan-Nya itu lebih kecil daripada kasih-Nya. Tapi kalau keadilan-Nya itu setara dengan kasih, kalau kasih itu 100% karakter Allah, keadilan itu adalah 100% karakter Allah, satu sisi Allah ingin mengampuni, sisi lain, keadilan-Nya tidak bisa menerima orang yang berdosa dan Dia harus menghukum orang berdosa, makanya ada salib yang menjadi titik temu antara keadilan Allah dan kasih Allah. Sehingga ketika Kristus menanggung dosa manusia, Dia menanggung keadilan Allah menggantikan kita. Ketika kita ada di dalam Kristus kita menerima kasih Allah yang seharusnya diberikan kepada Kristus. Itu adalah suatu substitusi yang Allah lakukan untuk membenarkan kita.

Tetapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, apa yang akan terjadi kalau kita mengerti kalau kasih Allah itu lebih besar daripada keadilan Allah? Saya yakin kita akan menjadi orang yang tidak terlalu menghargai penebusan Kristus, kita akan menjadi orang Kristen yang suam-suam kuku, kita akan merasa bahwa ibadah kepada Tuhan bukan hal yang terlalu serius, kita akan merasa tuntutan yang dikatakan Kitab Suci untuk kita memberikan seluruh hidup kita dan kasih kita secara total kepada Tuhan, di dalam Ulangan pasal 6 misalnya atau di dalam Matius dan Markus, itu adalah sesuatu yang tidak perlu kita berikan, karena apa? Allah itu gampang sih, gampang menghadapi Dia. Kasih kan? Kalau saya berdosa tinggal minta ampun kepada Dia dan Dia pasti ampuni kok. Kenapa saya harus korban diri dan menyerahkan seluruh hidup saya Dia? Saya tinggal datang dan mohon pengampunan Dia sudah mengampuni kok. Tapi kalau kita tahu Dia adalah Allah yang tidak bisa dipermainkan, keadilan-Nya adalah keadilan yang 100% seperti kasihNya, dan keadilan-Nya yang membuat Kristus mati di atas kayu salib demi diri kita, maka hari itu saya yakin kita akan menjadi orang-orang yang tidak sembarangan hidup tetapi orang yang tahu bagaimana meng-komitmen-kan hidup kita sepenuhnya ke dalam tangan Tuhan, dan kita akan tahu bahwa itulah nilai tertinggi yang harusnya dimiliki manusia atau umat Tuhan.

Jadi tanamkan Allah itu suci dan kudus, dari kecil kita harus tahu ajar didik anak kita bahwa Tuhan tidak berkenan terhadap dosa, dan yang kedua adalah, engkau adalah orang yang berdosa. Jadi pada waktu seseorang mengenal kesucian Allah, dampak berikutnya adalah otomatis kita tahu kita adalah orang yang berdosa. Tapi bagaimana kita menanamkan tentang dosa kepada anak-anak kita yang kecil itu? Saya pikir ini suatu hal yang gampang-gampang susah ya, dan kita perlu bijaksana dari Tuhan. Satu hal, pada waktu kita lihat pertumbuhan anak, saya yakin satu anugerah yang Tuhan berikan dalam kehidupan keluarga sebenarnya adalah Tuhan izinkan anak kita melakukan kesalahan, kebohongan. Saya ngomong anugerah, itu sebenarnya dosa ya, anugerah karena Tuhan beri kita lihat secara langsung bahwa anak kita melakukan dosa, pelanggaran terhadap hukum Tuhan, atau pelanggaran terhadap perintah kita. Dan pada waktu kita melihat keadaan seperti itu, kita ngomongnya bagaimana kepada anak kita atau cucu? “Nak, atau cu, papa sudah ngomong kayak gini, atau kung-kung sudah ngomong kayak gini, kenapa kamu ndak taat? Kamu ndak hormat sama kung-kung ya, atau sama papa ya? Karena kamu ndak hormat sama papa, sama kung-kung maka papa, mama, atau kung-kung pukul ya.” Begitu kan? Nah itu alternatif pertama sih, tetapi dengan begitu saya pikir anak hanya belajar, “Oh saya harus dengar kata-kata orang tua saya karena orang tua saya berotoritas atas hidup saya.” Tetapi bagaimana kalau sebagai orang tua saya ngomong kayak gini, “Nak, kamu tahu tidak, Alkitab berkata anak harus taat dan hormat kepada orang tua. Ini perintah Tuhan. Sehingga pada waktu engkau tidak taat dan dengar perkataan orang tua yang Tuhan percayakan untuk membesarkan engkau, engkau sudah melawan dan berdosa di hadapan Tuhan.” Pada waktu seorang anak berbohong kepada kita, kita akan ngomong, “Kalian ini kelewatan ya, masa papa-mama saja ditipu oleh kalian?” Begitu nggak? Atau kita akan ngomong, “Tahu tidak kebohongan itu dilarang oleh Tuhan? Nah pada waktu engkau berbohong, engkau sudah berdosa di hadapan Tuhan. Engkau bukan hanya berdosa kepada papa-mama, engkau bersalah ke papa-mama, bohongi papa-mama, tapi papa-mama adalah wakil Tuhan. Engkau berbohong kepada papa-mama, engkau juga berdosa kepada Tuhan Allah.” Jadi dari aspek-aspek seperti ini, saya percaya anak-anak itu diajak untuk melihat kalau mereka adalah orang yang berdosa, bukan orang yang tidak baik menurut standar manusia atau orang yang melanggar etika atau moralitas yang ditanamkan di dalam keluarga oleh orang tua atau masyarakat. Tetapi mereka belajar ketika mereka melakukan hal-hal itu adalah suatu dosa yang mereka lakukan kepada Tuhan Allah yang suci, yang tidak bisa menerima dosa. Dan dari situ, saya pikir mereka akan mulai bertumbuh satu rasa bersalah di hadapan Tuhan dan satu kebutuhan yang ada di hati mereka pertolongan Tuhan atau jalan keluar dari Tuhan terhadap masalah itu.

Maka hal ketiga yang perlu disampaikan adalah penebusan Kristus. Kita berbicara mengenai Yesus kenapa harus datang ke dunia, Dia harus mati menebus  manusia berdosa, bukan papa-mama saja tetapi kamupun adalah  orang yang berdosa, sikapmu yang egois itu adalah dosa, sikapmu  yang tidak mau taat kepada orang tuamu itu adalah sifatmu yang berdosa, dan kamu harusnya dihukum oleh Tuhan dan tapi kita bersyukur ada Kristus yang datang menebus dosa kita. Hal keempat apa? Bicara tentang respon, komitmen untuk kehidupan yang baru. Nah saya percaya ini adalah prinsip  yang harus kita tanamkan bukan seminggu sekali di gereja, itu kurang sekali, justru kita punya kehidupan yang selalu berelasi dengan anak-anak kita di dalam keluarga itu menjadi satu kesempatan yang sangat efektif, yang paling baik untuk mendidik anak-anak kita bagaimana mereka mengenal Allah yang suci dan kudus, bagaimana dosa, dan kehidupan mereka menjadi kehidupan yang komitmen total kepada Tuhan. Saya ingatkan sekali lagi ya Bapak-Ibu, anak-anak itu bukan anak-anak yang bodoh. Dia tidak bodoh, ditambah dia berdosa, maka kemungkinan besar dia akan cari celah untuk melawan Tuhan dalam hidup dia, melalui apa? Melalui teladan  yang kita berikan yang tidak baik. Dia akan belajar untuk hidup mencari alsan-alasan untuk dia tidak taat kepada firman Tuhan kalau dia bisa pelajari itu dari orang tuanya. Dan saya harap kita sebagai orang tua betul-betul memikirkan bagaimana memberi suatu teladan yang baik kepada anak-anak kita dan bagimana untuk mendidik mereka di dalam takut akan Tuhan mulai mereka dari mereka kecil menurut hukum-hukum Tuhan. Itu adalah hal yang kita perlu perhatikan untuk membangun sebuah keluarga yang berkenan kepada Tuhan. Soal membangkitkan amarah saya pikir saya akan bahas  dalam pertemuan berikutnya, karena ini adalah hal yang penting juga. Tapi untuk saat ini saya pikir kita lihat kepada aspek bagaimana sebagai orang tua kita mendidik anak dalam ajaran dan nasihat Tuhan, karena ini adalah kehendak Tuhan untuk kita bangun dalam keluarga kita. Mari kita masuk ke dalam doa.

Kami sungguh bersyukur Bapa, untuk prinsip-prinsip firman yang boleh Engkau berikan di dalam hidup kami. Kami juga bersyukur lebih lagi sebagai orang-orang yang ditebus oleh Kristus, kami boleh disadarkan akan cinta kasih Allah pada kehidupan kami yang begitu besar, akan kekudusan Tuhan, akan keberdosaan kami di dalam kehidupan kami. sehingga melalui kehidupan kami yang ada di dalam anugerah Tuhan, kami boleh membagikan anugerah itu kepada anak-anak kami. Ketika kami membangun suatu kehidupan bersama dengan mereka kami boleh membangun itu berdasarkan relasi kasih yang kami miliki bersama mereka karena kami ada di dalam kasih Kristus. Sehingga anak-anak kami juga ketika kami bangun dan pertumbuhkan, mereka boleh bertumbuh menjadi seorang anak yang takut akan Tuhan, dan mereka boleh belajar mengenai hukum-hukum Tuhan dalam hidup mereka mulai dari mereka kecil, tetapi yang terlebih lagi mereka boleh  belajar tentang anugerah Tuhan ketika mereka masih anak-anak. Kiranya Engkau boleh peliharakan hidup mereka ya Tuhan, Engkau boleh jaga iman anak-anak kami yang Engkau lahirkan di dalam keluarga kami, Engkau boleh berikan kelahiran baru di dalam kehidupan mereka, Engkau boleh nyatakan hidup mereka yang sudah dilahirbarukan tersebut melalui perkataan mereka, karakter mereka, respon-respon yang boleh mereka berikan, kecintaan mereka kepada firman Tuhan, kekudusan hidup. Biarlah itu boleh Engkau nyatakan di dalam hati mereka di hadapan mata kami sehingga kami boleh belajar untuk melihat mereka ada di dalam pemeliharaanMu dan juga ada di dalam cinta kasih-Mu, dan mereka boleh ada di dalam kasih Tuhan. Dan kami boleh bersyukur kami sudah bisa melihat bahwa ana-anak kami adalah anak-anak yang takut akan Tuhan. Tolong beri kami bijaksana untuk membesarkan anak kami, mendidik mereka di dalam Tuhan. Dan tolong Kau juga boleh memberikan kepada kami kehidupan yang betul-betul dapat menjadi suatu teladan yang baik di dalam mengikut Tuhan. Berkati keluarga kami ya Tuhan, berkati anak-anak kami, pelihara senantiasa supaya kami boleh senantiasa hidup berdasar fiman Tuhan untuk boleh menjadi keluarga yang menyaksikan nama Tuhan. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami bersyukur dan berdoa. Amin.

[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]

Comments