Menanti Pertolongan Tuhan, 14 November 2021

Rat 3:25-26

Pdt. Yan Wira Nugraha

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pada awal Agustus tahun 2010, sebuah peristiwa yang sangat menggemparkan dunia, terjadi di Chile. Mungkin Bapak, Ibu semua sudah pernah mendengar, di mana sebuah pertambangan emas di Copiapo, terjadi satu insiden, 33 pekerja tambang yang berada di kedalaman 600 m di bawah tanah, tertimbun longsoran tanah yang akhirnya menawan mereka, kurang lebih 69 hari, 2 bulan lebih. Maka ketika mereka berada di dalam jebakan, timbunan puing-puing tanah yang ada di sana, apa yang mereka lakukan? Mereka hanya menanti pertolongan. Dan tentu, tim penyelamatan dari pihak Chile sendiri berusaha keras untuk membebaskan para pekerja tambang, 33 orang pria yang ada di dalamnya. Mereka berusaha bagaimana caranya membebaskan dengan berbagai macam cara. Tidak mungkin cara itu dipakai dengan cara sembarangan karena akan memungkinkan, justru, mengubur mereka hidup-hidup dan akhirnya mati.

Sisa persediaan makanan bertambah hari semakin lama semakin habis. Persediaan oksigen yang ada di dalam galian tanah tersebut juga akan semakin menipis. Maka kalau Bapak, Ibu, Saudara, bayangkan betapa menakutkan dan mencekamnya peristiwa yang mereka alami. Dan akhirnya upaya dari pemerintah Chile mendatangkan hasil, setelah terlebih dahulu mereka mengirimkan kapsul yang berisi alat komunikasi dan persediaan oksigen sampai akhirnya mencapai lubang tersebut, dan akhirnya bisa dipakai untuk berkomunikasi dan satu per satu mereka dikeluarkan. Ketika orang terakhir itu dikeluarkan, maka negara sangat bersukacita, 33 pekerja itu akhirnya terselamatkan.

Tentu hal ini menjadi sebuah insiden yang sangat mencekam, tentunya bagi 33 orang yang terjebak di dalam pertambangan tersebut. Dan ketika Bapak, Ibu, Saudara, membayangkan seandainya kita yang ada di dalam tambang tersebut, atau kita mungkin membayangkan bagaimana reaksi mereka pada saat mereka terjebak di tambang tersebut. Apakah mungkin mereka memikirkan bagaimana riwayat mereka nanti, apakah mereka mungkin sudah berkata, “Ah tamatlah riwayat kami, tidak mungkin lagi ada sebuah kesempatan untuk kami keluar,” atau mungkin ada yang berkata di dalam benak mereka, “harap-harap tim penyelamat bisa menemukan kami.” Tetapi seberapa banyak pengharapan yang muncul dari dalam benak mereka?

Tentu mereka ada yang khawatir, ada yang takut, ada yang merasa resah, yang pasti mereka tidak akan melakukan satu tindakan-tindakan yang mungkin kita anggap konyol. Misalkan, “Mumpung kami terjebak di dalam area tambang ini, maka ini kan adalah tambang emas, maka kita bisa lebih banyak menggali emas, mumpung kesempatan sambil menanti pertolongan dari luar, kita menambang emas lagi.” Saya pikir itu adalah tindakan yang bodoh. Tidak ada pikiran-pikiran di dalam benak mereka untuk kembali menggali sumber daya yang sangat berharga dan bernilai, yaitu emas, untuk ditumpuk kembali, yang mereka pikirkan adalah bagaimana cara untuk mereka dapat keluar. Karena emas dalam kondisi mereka terjepit seperti itu, tidak akan ada artinya. Apalah artinya mereka menimbun banyak emas tetapi akhirnya mereka, misalkan, harus kehabisan oksigen dan mereka mati. Maka mereka tidak akan bisa menikmati hasil penambangan yang mereka gali. Cara untuk selamat itulah yang terus mereka pikirkan.

Bapak, Ibu, Saudara, mungkin kita tidak pernah mengalami situasi sulit yang sangat mencekam seperti mereka, situasi yang sangat ekstrim yang seperti mereka alami. Kalaupun ada pengalaman itu di dalam diri Bapak, Ibu, Saudara, mungkin adalah pengalaman-pengalaman pribadi yang terjebak di dalam bahaya-bahaya yang sangat, mungkin, sangat bisa merenggut nyawa Bapak, Ibu, Saudara. Tetapi ketika Bapak, Ibu, Saudara, diperhadapkan dengan situasi-situasi terjepit seperti itu, ada rasa takut, ada rasa khawatir di dalamnya.

Apa bedanya takut dan khawatir? Mungkin kita anggap ini hal yang sama. Tetapi secara sederhana, takut dan khawatir itu bisa dipisahkan atau dibedakan ketika kita melihat ada objeknya. Ketika kita melihat ada objeknya, itu lebih kepada sebuah tendensi kekhawatiran, tentang hari esok, tentang masa depan kita, yang kita belum pernah tahu, tidak ada objek yang mengancam kita. Kita bisa memiliki banyak kekhawatiran terhadap situasi-situasi di depan yang kita tidak tahu. Tetapi kalau objek itu jelas, bahkan objek itu membuat kita terancam, maka itu lebih mengarah kepada rasa takut yang muncul dalam diri kita. Misalkan objek bencana alam, yang jelas-jelas terlihat, kita takut untuk menghadapinya.

Bapak, Ibu, Saudara, kita sebagai orang Kristen justru sering kali banyak keuatiran-kekuatiran yang berlebihan. Dengan kekuatiran yang berlebihan yang kita hidupi, justru seiring dengan iman yang kita sudah jalani di dalam Kristus. Artinya apa? Waktu kita sudah menyatakan diri bahwa saya adalah pengikut Kristus, maka kita banyak sekali menghidupi kekhawatiran-kekhawatiran yang sebenarnya kurang berdasar. Itulah kenapa Tuhan Yesus sering mengatakan dalam kalimat-kalimat-Nya, “Jangan engkau kuatir tentang apapun juga, akan apa yang kamu makan, akan apa yang kamu pakai, karena kekhawatiranmu tidak akan menambah sehasta saja hidupmu.” Justru kekhawatiran-kekhawatiran kita, yang muncul di dalam diri kita, di dalam iman yang keluar dari pengakuan kita bahwa saya percaya Kristus, akan menjadi timbunan-timbunan yang semakin memperpanjang jarak dari sebuah pengharapan.

Semakin banyaknya kekhawatiran yang muncul dalam diri setiap orang Kristen akan memperpanjang jarak pengharapan. Padahal kita sangat memerlukan pengharapan-pengharapan yang makin hari semakin mendekati akan terwujudnya pengharapan tersebut. Sama seperti orang-orang yang terjebak di tambang emas tersebut, mereka terus berharap pertolongan dari luar, dan semakin mereka mendekati masa-masa di mana waktu berlanjut, oksigen semakin menipis, persediaan semakin menipis, mereka akan semakin memperpendek jarak pengharapan, berharap supaya pertolongan segera datang. Setelah muncul ada tanda-tanda pihak penyelamat bisa melakukan, dilakukan penyelamatan, maka mulailah ada secercah sinar, titik sinar yang membawa mereka kepada sebuah kelegaan, “Ah pertolongan itu akhirnya datang.”

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saat kita kembali melihat sejarah bangsa Israel, mereka telah melewati masa keemasan saat pemerintahan Raja Daud. Daud sebagai simbol raja yang membawa bangsa Israel itu hidup di dalam kedamaian. Dia membawa bangsa ini ketika menghadapi berbagai peperangan, memiliki kekuatan yang membawa bangsa ini menang dalam peperangan. Dan bangsa ini akhirnya merasa bahwa simbol Raja Daud inilah menjadi satu simbol raja yang membawa damai. Dan demikian pula ketika Raja Daud akhirnya merindukan Tuhan untuk bertahta di tengah-tengah mereka dengan membangun Bait Allah. Tetapi Tuhan bilang, “Tidak, bukan waktumu, bukan bagianmu untuk membangun Bait Allah, tetapi keturunanmu,” yaitu Salomo. Sehingga pada saat pemerintahan Raja Salomo, maka kita lihat Tuhan masih memberi kesempatan bagi Salomo untuk membangun Bait Suci, Tuhan juga menganugerahkan, bagaimana bijaksana dan hikmat yang luar biasa ada di dalam diri Salomo. Dan hal itu membuat bangsa Israel sangat-sangat gembira sekali.

Tetapi, Bapak, Ibu, Saudara, iblis rupanya menyusup untuk memperdaya bangsa Israel ini melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Salomo. Dengan mengambil banyak istri dari kerajaan-kerajaan lain, dengan mengambil banyak wanita dari kerajaan-kerajaan asing, tanpa sadar rupanya cara Salomo untuk mengambil begitu banyak istri-istri dan juga gundik-gundik merupakan sebuah ikatan yang tanpa disadarinya membawa bangsa Israel menjadi penyembah-penyembah berhala. Membawa bangsa Israel akhirnya mencondongkan hatinya, bukan lagi kepada Allah, tetapi kepada ilah-ilah dari bangsa-bangsa lain. Karena ketika para istri-istri dan gundik-gundik itu mempunyai posisi sebagai permaisuri-permaisuri yang begitu banyak, maka mudah sekali mereka masuk kepada masyrarakat dan mempengaruhi kepada masyarakat. Mungkin dengan bantuan-bantuan, mungkin mereka menawarkan, “Kalau engkau mau menyembah ilah kami, kami akan dukung engkau dengan bantuan-bantuan secara ekonomi,” dan sebagainya. Bukankah cara-cara itu juga banyak dilakukan di kantong-kantong kekristenan? Ketika ada pelayanan di Papua, saya sendiri melihat dengan mata kepala, bagaimana masyarakat-masyarakat kantong-kantong Kristen, hanya dengan penawaran, dukungan-dukungan material, bantuan-bantuan keuangan, akhirnya mereka memilih mengkompromikan iman mereka dan beralih ke keyakinan yang lain.

Bapak, Ibu, Saudara, hati Salomo akhirnya berpaling dari Allah, dan condong kepada ilah lain, dan tentu saja apa yang dilakukan oleh Salomo yang sudah mencondongkan hatinya ke ilah lain berdampak besar kepada rakyatnya, dan hal itu sangat melukai hati Tuhan, sangat menyakiti hati Tuhan. Akhirnya Tuhan berjanji untuk memecahkan kerajaan tersebut, memecah kerajaan yang sudah solid, memecah kerajaan yang sudah dipersatukan oleh Allah yang sudah mendiami Tanah Perjanjian. Maka setelah kerajaan itu pecah, Israel Utara dan Israel Selatan. Israel Utara, beribukotakan Samaria, Israel Selatan beribukotakan Yerusalem. Israel Utara ada 10 suku yang berdiam di sana, Israel Selatan hanya 2 suku yang berdiam di sana.

Maka dari dua kerajaan ini, Tuhan izinkan adanya raja-raja yang memerintah suku-suku Israel ini dengan beraneka ragam karakter dan sifatnya. Ada raja-raja yang baik, sekaligus ada raja-raja yang kejam. Ada raja-raja yang lalim, yang justru lalim kepada bangsanya sendiri dan melakukan kejahatan kepada bangsa-bangsa lain, juga ada raja-raja yang akhirnya membawa bangsa Israel kembali beribadah kepada Allah. Kejahatan-kejahatan dari raja-raja yang kejam, kebanyakan adalah membawa bangsa Israel jauh dari penyembahan kepada Allah YHWH. Maka, Bapak, Ibu, Saudara, Tuhan marah di dalam hal itu, dan Tuhan biarkan pergantian raja-raja di dalam kerajaan Israel, baik Utara maupun Israel Selatan, menjadi satu penghukuman Tuhan kepada umat-Nya sendiri. Tuhan yang baik, adalah Tuhan yang juga adil. Selain Tuhan kasih, kita tahu, Tuhan juga adalah Tuhan adalah Allah yang adil. Sehingga ketika Allah juga menghukum umat-Nya, itupun sebagai sebuah wujud kasih Tuhan.

Maka pada waktu setelah kerajaan Israel terpecah, kerajaan Israel Selatan diperintah oleh Yerobeam. Dan turun temurun raja-raja di kerajaan Israel Selatan, sampai raja yang terakhir, itu Raja Yoyakim, anak-anak terakhir, gitu, Raja Yoyakim itu melakukan apa yang jahat di mata Tuhan. Maka ketika dia melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, Tuhan kirim raja Babel, yaitu Nebukadnezar, untuk menaklukan Yerusalem. 3 tahun lamanya akhirnya Yerusalem ditaklukan, dan hal itu membuat Yoyakim akhirnya mencoba untuk memberontak kepada Babel. Ketika dia akhirnya mulai mau memberontak kepada Babel, Babel mulai mengepung kota Yerusalem. Dan akhirnya Tuhan, dikatakan di dalam kisah 2 Raja-Raja, Tuhan mengirim gerombolan-gerombolan, ada gerombolan orang-orang Kasdim, ada gerombolan orang-orang Arab, ada gerombolan orang-orang Amon, ada gerombolan orang-orang Moab, untuk apa? Untuk melawan Yoyakim yang sudah mulai memberontak kepada Babel.

Ini sebuah kisah yang sangat seru sekali. Karena ketika Babel menaklukkan Israel, menaklukkan kerajaan Yehuda, tapi masih diberi kesempatan untuk Yoyakim menjadi raja di sana. Hanya dia diwajibkan untuk membayar upeti-upeti kepada Babel. Tapi rupanya itu tidak membuat Yoyakim nyaman sebagai jajahan Babel. Lalu dia memberontak, dan saat dia memberontak, dan Babel mengetahui hal itu, akhirnya Babel mengutus gerombolan-gerombolan dari bangsa-bangsa Amon, Moab, ya, untuk apa? Untuk kembali menaklukkan Yehuda, menaklukkan Yoyakim. Akhirnya gerombolan-gerombolan itu memperlakukan umat-umat Allah yang ada di Yehuda dengan sangat-sangat menyedihkan. Hal itu Alkitab catat karena dosa-dosa pendahulu-pendahulu mereka, dosa-dosa raja-raja yang sudah mendahului mereka, salah satunya adalah dosa Manasye, anak dari Hizkia.

Bapak, Ibu, Saudara, cara Tuhan ketika menyatakan penghukuman-Nya, dikarenakan dosa seorang pemimpin, dosa seorang raja, Raja Manasye, ketika berdosa, mengakibatkan bangsa Israel itu mendapat penghukuman dari Allah. Mengerikan sekali. Walaupun kita tahu bahwa Tuhan itu adalah maha pengampun, tetapi ingat, Tuhan yang maha pengampun tidak membiarkan kejahatan itu melukai hati-Nya, apalagi kejahatan itu dilakukan oleh umat yang dikasihi-Nya. Justru umat yang dikasihi-Nya ketika memberontak, maka keadilan Tuhan harus dinyatakan.

Setelah Yoyakim wafat, maka dia digantikan oleh anaknya, Yoyakhin. Sama seperti ayahnya, ia juga melakukan apa yang jahat di mata Allah. Dan Tuhan kembali membangkitkan Nebukadnezar, raja Babel, untuk datang mengepung kota Yerusalem. Kota Yerusalem dikepung, kurang lebih hampir dua tahun, mereka mendirikan kemah-kemah di sekitar tembok Yerusalem, karena kota Yerusalem itu ada tembok yang melingkar, lalu ketika Nebukadnezar melihat, “Wah ini raja di dalam melakukan pemberontakan,” maka mereka mencoba untuk membuat sebuah strategi bagaimana cara menghancurkan Yerusalem ini. Karena mereka sebenarnya sudah di bawah, tetapi mereka mulai memberontak kembali. Lalu mereka mendirikan kemah-kemah, mengitari tembok Yerusalem tersebut.

Hampir selama dua tahun, mereka terancam di dalam kepungan bangsa-bangsa Babel. Lalu mereka akhirnya setelah dua tahun dan kehabisan bahan makanan, kehabisan pasokan-pasokan yang membuat mereka bisa bertahan di dalamnya, barulah orang-orang Babel itu merubuhkan tembok Yerusalem, membelah tembok Yerusalem, menghancurkan tembok Yerusalem. Dan raja-raja mulai ditawan, raja-raja kecil mulai ditahan, pegawai-pegawai istana ditahan, Yoyakhin pun ditahan. Maka di situlah akhirnya Yoyakhin dijatuhi hukuman. Hukuman yang dijatuhkan Yoyakhin, dia dirantai, matanya dicungkil, lalu pegawai-pegawai istananya semua ditahan, bahkan anak-anak Yoyakhin sendiri dibantai, digorok di depan dia.

Sebuah peristiwa yang sangat kejam, dilakukan oleh orang-orang Babel kepada orang-orang Israel. Dan hal itu dikarenakan apa? Dikarenakan ulah orang-orang Israel sendiri. Dan ketika Yoyakhin sudah tertahan, akhirnya orang-orang Israel ini dibawa ke Babel, menjadi orang-orang tawanan. Orang-orang yang disebut sebagai orang-orang buangan. Mereka dibawa ke Babel ditawan. Apalagi yang ditawan adalah orang-orang yang dipilih, orang-orang pilihan yang pandai besi, orang-orang teruna-teruna yang masih mempunyai badannya kuat, kekar, untuk dijadikan budak, dan juga orang-orang yang masih memiliki keahlian-keahlian tertentu. Yang dibiarkan di Yerusalem adalah orang-orang miskin, orang-orang yang sudah kelaparan, yang mungkin tinggal tunggu waktu untuk mati saja.

Maka ketika sudah mengetahui kondisi Yerusalem hanya tinggal orang-orang miskin, Nebukadnezar mengangkat salah seorang paman dari Yoyakhin, yang bernama Matanya, yang akhirnya diganti namanya menjadi Zedekia, untuk memimpin wilayah yang sudah menjadi puing-puing reruntuhan tersebut. Tetapi ketika Zedekia, yang hanya memimpin satu kota yang hanya reruntuhan puing-puing, apakah dia bertobat? Tidak. Dia tetap melakukan kejahatan-kejahatan di mata Allah. Dia mengulangi kejahatan-kejahatan ayahnya, mengulangi kejahatan-kejahatan kakeknya, sehingga membuat hati Tuhan murka. Zedekia tidak pernah belajar dari sejarah pendahulunya.

Kita seharusnya belajar dari sejarah, bagaimana pendahulu-pendahulu kita, dalam konteks yang sudah membangun bangsa kita ini, menginginkan adanya sebuah dasar negara yang baik. Dan kita bersyukur karena melalui Pancasila, kita sebagai bangsa Indonesia memiliki hati yang toleransi, hati yang berusaha untuk bersama-sama membangun bangsa ini. Tetapi ada juga orang-orang yang tidak pernah belajar dari sejarah, karena hanya ingin merampas apa yang dapat memuaskan hidup mereka. Bahkan berusaha mengganti dasar negara. Bapak, Ibu, Saudara, Zedekia tidak sadar, bahwa dia berada di bawah kekuasaan Babel yang Tuhan pakai untuk mendidik umat-Nya. Dan Zedekia rupanya memilih untuk memberontak kepada didikan Allah, dengan cara memberontak kepada Babel. Setelah Yoyakim memberontak, Yoyakhin juga memberontak, akhirnya ketika Zedekia menggantikan Yoyakhin pun juga akhirnya dalam beberapa waktu memberontak juga.

Bapak, Ibu, Saudara, satu kisah yang sebenarnya sangat memilukan terjadi dalam kehidupan orang-orang Israel. Maka di situlah Tuhan munculkan orang-orang seperti Zefanya, ya, karena Zefanya ini adalah orang-orang yang menjadi tawanan yang dibawa ke Babel pada zaman Zedekia. Ketika Zedekia mulai memberontak, kembali orang-orang Kasdim diutus oleh Babel untuk menghancurkan, bahkan, Bait Allah pun dirampas semua perkakas-perkakasnya, sampai sendok-sendok, garpu, cawan kebaktian, tiang-tiang tembaga, semua yang ada di dalam Bait Suci yang didirikan Salomo dijarahi semua. Akhirnya benar-benar Yerusalem itu runtuh, termasuk Bait Allahnya itu runtuh. Dan ketika kondisi Yerusalem yang sudah sedemikian runtuh, barulah orang-orang yang sudah ada di dalam pembuangan, mereka mulai meratap, mereka mulai mengeluh, mereka mulai menyesal dengan tindakan-tindakan yang sudah dilakukannya.

Bukankah fenomena seperti ini banyak terjadi? Banyak orang Kristen ketika sebuah identitas iman dari seorang itu dikorbankan? Bangsa Israel pun ketika identitas imannya yang percaya pada Allah Abraham, Ishak, dan Yakub akhirnya dikorbankan dengan menyembah ilah-ilah lain, hanya karena mereka ingin menikmati kenyamanan bersama dengan ilah-ilah asing. Mereka tidak mau menikmati kebersamaan itu bersama dengan Allah YHWH karena bagi mereka mengikuti Allah YHWH terlalu banyak aturan-aturan, hukum-hukum Taurat yang harus mereka jalankan. Mereka tidak lagi mengasihi Allah YHWH dengan menaati hukum-hukum Allah. Itu adalah sebuah kecelakaan terbesar. Banyak orang Kristen juga memilih untuk kompromi dalam hal ini bukan? Daripada mempertahankan keyakinan iman sambil tetap menjaga identitas sebagai orang Kristen, lebih baik mengorbankan iman, mengorbankan identitas iman hanya demi sebuah jabatan, hanya demi peluang bisnis, hanya demi kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan, kesempatan untuk mendapatkan otoritas, dan sebagainya. Bukankah kesempatan-kesempatan yang dianggapnya menguntungkan dirinya, walaupun itu dipertaruhkan dengan mengorbankan imannya, banyak dilakukan oleh orang-orang Kristen sebagai contoh tadi saya sampaikan di kantong-kantong Kristen.

Bapak, Ibu, Saudara, tentu hal ini harusnya menjadi perenungan kita. Ketika kita sebagai bagian dari gereja Tuhan, mungkin kita tidak merasa bahwa kita sedang ada di dalam sebuah keruntuhan seperti apa yang dialami Israel sehingga tidak ada ratapan-ratapan yang mungkin sekeras yang dilakukan oleh para orang Israel. Mereka di dalam masa-masa pembuangan, mereka meratap. Orang-orang Israel yang ada di dalam pembuangan itu mereka menangis, mereka terus berteriak, mereka menantikan Tuhan, pertolongan seperti apakah yang akan dikirimkan? Makanya di antara ratapan mereka kita bisa baca di dalam Kitab Mazmur, mazmur-mazmur ratapan, karena memang mazmur ratapan seringkali itu menjadi nyanyian-nyanyian bagi mereka-mereka, orang-orang Israel yang ada di dalam penindasan, mereka-mereka yang sedang mengalami satu himpitan ketika mereka diperhadapkan dengan bahaya, dengan ancaman, mereka berteriak melalui nyanyian-nyanyian ratapan ini.

Ketika kita kembali kepada tulisan Ratapan, Kitab Ratapan pasal 3 tadi, tampak sekali bagaimana murka Allah dinyatakan atas umat-Nya. Di dalam Ratapan 1, penulis melukiskan bagaimana kesunyian kota Yerusalem setelah tembok-temboknya runtuh dan teruna dan teruni yang gagah perkasa itu ditawan ke Babel, hanya disisakan orang miskin yang hanya mengais-ngais apa saja yang dapat dimakan. Tuhan telah meninggalkan Yerusalem dan umat-Nya meratap dengan penuh sengsara. Di pasal ke-2 Kitab Ratapan kita melihat Yerusalem mengalami kehancuran sedemikian hebatnya karena murka Allah terhadap umat-Nya. Hal itu digambarkan umat-Nya itu seperti putri Sion. Dan di dalam pasal ke-3, penulis Kitab Ratapan masih memberikan sebuah penghiburan, adanya sebuah pengharapan yang sangat besar sehingga penulis menuliskan puisi penghiburan bagi umat Allah yang menderita.

Dan kita mencoba merenungkan jika kita berada di dalam posisi sebagai umat Allah yang sedang tertindas oleh pemimpin-pemimpin yang lain. Mungkin Bapak, Ibu, Saudara, tidak mengalami langsung bagaimana pemimpin-pemimpin atau negara kita ini menindas. Tetapi saya percaya jemaat-jemaat di Jogja sudah mengalami sendiri yang saya dengar beberapa kali harus ditolak oleh ormas-ormas ketika menjalankan ibadah, berapa kali mengalami satu pertentangan-pertentangan dari kelompok-kelompok tertentu. Hal itu jelas berbeda dengan mereka-mereka yang sudah stabil di dalam ibadah. Misalnya dalam jemaat kami di Gempol, bahkan saya juga terus mengingatkan kepada jemaat-jemaat di Gempol, jemaat yang sudah cukup lama berdiri dan cukup sangat stabil gereja sudah ada izin, sudah ada tempat, lingkungan tidak ada pertentangan. Maka apakah hal ini merasa akan membuat jemaat akan merasa nyaman? Sangat mungkin. Sangat mungkin jemaat akan merasa nyaman dan tidak lagi mengetahui, tidak lagi peka terhadap apa yang harus menjadi tatanan yang dihadapi. Justru saya percaya jemaat-jemaat di GRII Jogja, dengan adanya tantangan-tantangan semakin banyak membawa jemaat berlutut dan berdoa, berharap dan menantikan pertolongan Tuhan.

Bapak, Ibu, Saudara, mungkin respon kita sebagai orang-orang yang tertindas juga sama. Kita berteriak di dalam doa, kita minta pertolongan. Tetapi akankah penindasan itu sesuatu hal yang seolah-olah menekan dan mengancam kita saja? Tidak. Penindasan itu bukan hanya semata-mata menekan dan mengancam nyawa kita saja, tetapi tanpa sadar ketika iblis dengan secara halus memberikan rasa nyaman, maka itupun juga sebuah penindasan di bawah tipuan setan, tipuan iblis, dengan memberikan kenyamanan, tidak lagi ada tantangan. Maka kalau Bapak, Ibu, Saudara, menyaksikan gereja-gereja yang sudah stabil, berpuluh-puluh tahun, kecenderungannya akan mengalami kemerosotan. Bahkan ada waktunya kaki dian itu diambil. Tuhan tidak lagi menyatakan pekerjaan di sana.

Bapak, Ibu, Saudara, kita sadar bahwa teriakan penantian akan pertolongan Tuhan itu seringkali muncul ketika jemaat atau manusia itu merasa tertekan. Ketika merasa tertekan, mereka bersama-sama erat sekali dalam sebuah komunitas persekutuan, ketika ada tantangan mereka bersama-sama bersehati, bersatu hati untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Tetapi pada saat kenyamanan, justru sebaliknya.

Di dalam pengalaman gereja kami di Gempol, ketika dahulu masih berupa gereja Bethel, maka setiap kali ada persekutuan doa, bahkan dulu persekutuan doa itu setiap pagi, Bapak, Ibu, Saudara. Ya saya sendiri tidak mengalami hal itu. Setiap pagi ada persekutuan doa dari 04:30 – 06:00, dan jemaat-jemaat itu rajin sekali berdoa. Tapi ketika sudah beralih menjadi gereja reformed, maka yang berdoa hanya tinggal generasi-generasi pertama. Persekutuan doa pun hanya tinggal seminggu sekali. Tidak lagi ada sebuah gerakan untuk berdoa. Ya kita bisa bicara, “Oh dulu kan pokok-pokok doanya mungkin mendoakan si A, si B, si C, lebih bersifat human-centric,” dan sebagainya. Ya lepas daripada itu semua, tetapi spirit untuk berdoa itu masih tampak sekali di dalam generasi pertama. Setelah generasi kedua, generasi ketiga, justru merasakan stabilitas dalam kehidupan berjemaat sehinggan menjadi gereja komunitas yang seolah tanpa tantangan, dan akhirnya meluputkan spirit untuk berdoa. Maka bersyukur untuk waktu-waktu beberapa tahun terakhir sudah mulai terbangun kembali, bersyukur untuk kebersamaan sudah mulai terbangun kembali, dan hal itulah yang tidak boleh terhenti atau tidak boleh putus dari setiap generasi untuk meneruskan spirit dalam kesehatian.

Bapak, Ibu, Saudara, menjalankan spirit di dalam kebersamaan, kesehatian, sambil bersama-sama menantikan pertolongan Tuhan itu bukan hal yang mudah. Mengapa? Karena waktu kita menantikan pertolongan Tuhan, seringkali pertolongan seperti apakah yang kita harapkan? Dan tentu ketika seseorang mengharapkan sebuah pertolongan, seperti misalnya orang yang terjebak di dalam tambang di Chile tadi, pertolongan mereka adalah bagaimana mereka selamat, bagaimana mereka keluar dari tambang tersebut dengan masih hidup begitu. Tetapi bagaimana kalau kondisi stabilitas ketika gereja sudah berdiri? Kita belajar peka bahwa kita tetap memerlukan pertolongan Tuhan.

Setelah GRII Jogja kira-kira dalam 2 bulan lagi mendapatkan IMB, lalu dalam 2 tahun ke depan nanti sudah bisa berdiri sebuah gedung yang sangat indah sekali, generasi pertama seperti anda-anda ini yang bulan lalu sudah berbagian dalam janji iman dan Tuhan memberkati sangat luar biasa, setelah gedung itu jadi, maka spirit kesehatian mengerjakan pekerjaan Tuhan itu masih terus menyala, masih terus terbakar dalam diri Saudara. Saya percaya itu. Tetapi bisakah spirit itu diwariskan kepada generasi-generasi setelah anda? Spirit pengorbanan itu bisakah diwariskan pada penerus-penerus anda? Anak-anak anda, cucu-cucu anda? Penerus gereja GRII Jogja, jangan sampai itu terputus.

Belum lagi kalau ada jemaat-jemaat dari luar yang akhirnya atestasi ke dalam gereja ini, musti harus benar-benar mengerti visi daripada gerakan kita ini. Di beberapa cabang saya mendengar justru mereka-mereka yang atestasi dari luar menjadi bibit-bibit yang memecah-belah gereja, bibit-bibit yang menghancurkan gereja. Itulah mengapa perlu benar-benar ketat dalam menyaring ataupun memproses atestasi jemaat yang masuk. Didik benar-benar supaya benar-benar mereka mengerti visi. Karena kalau tidak, baik mereka yang masuk dari luar ataupun generasi yang meneruskan kita akan berpotensi untuk mereka justru menghancurkan gereja ini.

Bapak, Ibu, Saudara, setelah misalkan gereja hancur, maka apa yang hanya bisa dilakukan? Hanya bisa meratap, hanya bisa menyesal. Bukankah penyesalan seringkali terjadi setelah semuanya terjadi? Setelah semuanya dianggap gagal akhirnya hanya bisa menunduk dan menangis? Bapak, Ibu, Saudara, maka kembali ketika kita melihat di dalam Kitab Ratapan 3:24, “Adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari dia, adalah baik menanti dengan diam pertolongan Tuhan.” Bapak, Ibu, Saudara, ini yang seharusnya menjadi respon dari orang-orang percaya. Ketika orang-orang percaya peka bahwa kita semua di dalam menanti pertolongan Tuhan bukan saja pada saat mengalami sebuah penindasan-penindasan yang mengancam kita, mungkin ancaman terhadap ibadah atau gereja, tidak. Tetapi ketika kita berada di dalam kondisi yang tampaknya stabil, ingat bahwa penindasan itupun terjadi ketika semangat kenyamanan itu merajalela dalam diri jemaat. Ketika jemaat merasa tidak lagi perlu berkorban karena gereja sudah berdiri, tidak lagi perlu berkorban karena sudah kegiatan berjalan dengan baik. Maka saat jemaat generasi-generasi berikutnya yang tidak belajar dari pendahulu-pendahulunya, lemah, tidak menerima visi yang baik, yang jelas, di situlah yang akhirnya mereka tanpa sadar sudah tertindas, hanya tinggal tunggu waktu ratapan saja.

Maka perlu kita sebagai seorang percaya di dalam komunitas gereja belajar untuk merespon setiap apapun juga dari setiap situasi yang Tuhan izinkan terjadi. Kita perlu terus menanti pertolongan Tuhan. Itu adalah sebuah sikap respon hati kita. Menanti pertolongan Tuhan bukan sekali lagi bukan pada waktu ancaman saja tapi setiap waktu nantikan pertolongan Tuhan. “Pertolongan apa? Kan kami tidak sedang tertindas, kami tidak sedang terjebak?” Ingat, stabilitas, kenyamanan, itupun merupakan sebuah penindasan. Kalau kita tidak berharap menanti pertolongan Tuhan, kitapun akhirnya juga hancur di dalamnya. Bukankah bangsa Israel juga demikian? Mereka merasa nyaman, mereka merasa segala sesuatu terpenuhi, apalagi di zaman Raja Salomo di mana kekayaan kerajaan Israel sangat melimpah. Saya yakin waktu itu juga rakyatnya sangat menikmati kekayaan dari raja yang mungkin juga begitu loyal membagi-bagi untuk kesejahteraan masyarakatnya. Maka tanpa sadari itu mengalihkan atau mencondongkan mereka menjadi penyembah ilah-ilah lain, dan Tuhan akhirnya serahkan kerajaan Israel.

Bagaimana respon kita menghadapi situasi-situasi di mana kita harus peka dan terus menanti pertolongan Tuhan? Maka yang pertama, di dalam Kitab Ratapan ini kita bisa belajar bagaimana kita harus berdiam diri dan berharap. Berdiam diri dan berharap, itulah hal yang pertama yang kita bisa renungkan. Apa maksudnya berdiam diri dan berharap? Tuhan itu baik bagi orang yang terus berharap kepada-nya. Bapak, Ibu, Saudara, Tuhan itu baik bagi orang yang terus berharap kepada-Nya, apa maksudnya? Apakah kebaikan Tuhan tergantung dari harapan seseorang? Apakah kalau kita terus berharap kepada Tuhan baru Tuhan itu menjadi Tuhan yang baik? Tidak. Kebaikan Tuhan tidak tergantung pada pengharapan manusia. Bukan karena Bapak, Ibu, Saudara, berharap pada Tuhan maka Tuhan itu baik, tidak, tetapi Tuhan pada naturnya adalah kebaikan itu sendiri. Justru kebaikan Tuhan itulah yang seharusnya dan ketika kita menyadari dan mengetahui kebaikan Tuhan itu ada pada natur diri-Nya sendiri, di situlah yang membuat kita terus menerus berharap bahwa Dia baik selama-lamanya walaupun kita mungkin ada di dalam penindasan secara fisik ataupun penindasan yang secara tidak halus, dan setiap waktu kita harus terus menerus menantikan pertolongan-Nya. Karena pertolongan itu kita harapkan itu seperti tatapan mata yang tidak pernah lepas kemanapun kita berjalan.

Seperti pujian nomor 2 tadi “Tuhan Menjagamu”. Bagaimana kita bisa memikirkan, merenungkan, “Tuhan itu menjaga saya bagaimana sih? Toh saya pergi ke mana-mana sendirian, juga tampaknya saya sendirian kok.” Tentunya kita diingatkan dengan iman, kita yang sudah berada di dalam Kristus dan Kristus berada di dalam kita, maka tidak ada tempat di mana Allah tidak ada di sana. Kehadiran Tuhan ada di mana-mana karena Dia tidak terbatas ruang dan waktu. Di situlah sebenarnya membuat kita tenang karena Tuhan beserta kita dan penjagaan-Nya pun nyata atas diri kita.

Cara pandang yang demikian itulah yang sebenarnya membentuk suatu konsep kita dalam hidup kita. Demikian juga kebaikan Allah bukan ditentukan dari kita. Sama kalau Bapak, Ibu, Saudara, menanggapi, “Orang baik itu apa sih?” Misalnya Bapak, Ibu, Saudara, menganggap si A itu baik, dan menyebut dia, “Oh dia itu orang baik.” Biasanya apa sih? Biasanya ketika si A itu atau orang itu memberikan sesuatu yang menguntungkan anda. Ketika anda mendapatkan keuntungan dari si A, maka anda akan menyebut si A itu baik. Tetapi ketika anda mendapatkan sebuah tindakan yang tidak menyenangkan dari si A, anda sudah bisa langsung menyebut si A itu tidak baik. Sehingga kebaikan si A itu tergantung dari penilaian anda secara subyektif. Dan apakah hal itu, penilaian kebaikan seperti itu bisa kita tujukan kepada Allah, sesuai dengan subyektifitas dari kita? Tentu tidak. Apakah ketika firman Tuhan mengatakan Tuhan itu baik bagi mereka yang berharap kepada-Nya, “Oh kalau saya berharap kepada Tuhan barulah Tuhan menjadi baik. Kalau saya tidak berharap kepada-Nya ya Tuhan nggak baik. Mungkin kita tidak tahu Tuhan seperti apa, mungkin Tuhan sepertinya membiarkan saya bergumul sendiri dengan berbagai macam pergumulan saya,” dan sebagainya, dan sebagainya.

Bapak, Ibu, Saudara, kebaikan Allah adalah natur yang melekat dalam diri Allah. Natur asali di dalam pribadi Allah. Dan kebaikan Allah di dalam natur asalinya justru semakin kita memahami kalau kita hidup berharap kepada-Nya. Nah pertanyaannya bagaimana hidup yang terus berharap kepada-Nya dan sekaligus hidup di dalam penantian akan pertolongan Tuhan? Karena menanti pertolongan dan berharap ini adalah dua respon yang tidak bisa dipisahkan. Di dalam menanti pertolongan Tuhan tentu ada sebuah pengharapan yang ingin tercapai atau ingin kita peroleh di dalamnya.

Lalu di dalam ayat berikutnya juga dikatakan apa maksudnya sih jiwa yang mencari Tuhan? Bukankah Tuhan tidak dapat dicari oleh manusia berdosa? Bukankah Tuhan adalah pribadi yang invisible, tidak tampak? Bagaimana kita yang kelihatan ini bisa mencari yang tidak kelihatan? Bapak, Ibu, Saudara, kata mencari itu kesannya sebagai suatu tindakan aktif dari si pencari. Dan hal itu mungkin membuat kita berpikir bagaimana kita mencari, dengan secara aktif, pribadi yang tidak tampak, yang tidak kelihatan. Kalau Bapak, Ibu, Saudara, mencari sebuah barang ya, maka yang aktif siapa? Ya kita yang mencari, kita yang mencari barang dengan melangkah, lalu dengan berpindah, lalu dengan memandang ke segala penjuru di mana kira-kira barang itu terletak, lalu berpikir, “Tadi saya taruh di mana ya, tadi saya letakkan di mana ya,” dan sebagainya. Tetapi bagaimana kita bisa mencari Tuhan dengan sebuah tindakan aktif mencari ke mana-mana? Dan akhirnya, Bapak, Ibu, Saudara, kita baru menyadari bahwa kita yang visible mencari yang invisible itu bukanlah hal yang bisa masuk ke dalam logika manusia. Tapi Tuhan menyatakan firman-Nya. Carilah Dia selama Dia diperkenan.

Lalu bagaimana proses aktif pencarian seseorang ini? Dengan firman Tuhan yang seolah men-challenge kita, “Ayo carilah Aku.” Selama Allah, pribadi yang invisible itu, berkenan untuk ‘ditemukan’. Itulah yang akhirnya mengarahkan pada kita mulai memahami oh iya ya kenapa banyak orang itu ketika ‘mencari’ Tuhan itu dengan cara mereka itu bersemedi lah, mereka bertapa lah justru mereka melakukan sebuah tindakan yang tampaknya pasif, dengan apa? Berdiam diri. Dengan pasif berdiam diri, bertapa, naik ke gunung di tempat-tempat yang sunyi, mereka berharap mereka bisa bertemu dengan pribadi yang rohani. Dan bagaimana dengan umat Tuhan, bagaimana dengan Bapak, Ibu, Saudara, dengan kita sebagai umat Tuhan pada saat kita mau mencari pertolongan Tuhan?

Tentu kita tidak bisa aktif mencari dengan carilah Tuhan di mana? “Oh Dia ada di gereja A atau Dia ada di gereja B,” tidak mungkin kita bisa lakukan seperti itu. Tetapi kita sudah belajar melalui firman Tuhan yang terus menerus mengingatkan kita bahwa kita bertemu Tuhan di mana saja apalagi ketika kita dipersatukan dalam sebuah kesehatian dengan visi yang sama lalu kita berdiam diri dengan lutut yang bertelut bersama-sama bersehati membawa pergumulan-pergumulan doa, pergumulan komunitas gereja ini kepada Tuhan, di situlah kita bisa ‘menemukan’ pertolongan Tuhan.

Berdiam diri secara komunal dapat dipahami sebagai saat ketika kita menyediakan diri dalam sebuah persekutuan, dalam sebuah ibadah, dalam sebuah persekutuan doa, dan Tuhan juga menyatakan diri-Nya dan bersedia ditemui ketika Dia berfirman, berbicara melalui hati kita, mencerahkan pikiran kita. Inilah paradoksikal yang terjadi di dalam gereja Tuhan, dalam umat Allah. Waktu kita berdiam diri dan berharap pertolongan Tuhan, di situ kita sedang menantikan Tuhan. Hal yang kedua Bapak, Ibu, Saudara, yang kita bisa lakukan bagaimana kita menantikan terus pertolongan Tuhan, bukan hanya di dalam masa-masa sulit secara pengalaman-pengalaman, mungkin juga terancam tetapi juga masa-masa di mana kita tanpa sadar mengalami masa-masa penindasan-penindasan yang secara halus yaitu kenyamanan, yaitu melalui pengakuan secara komunial. Komunal confession, pengakuan secara komunal ini perlu menjadi bagian dari gereja Tuhan.

Apa itu pengakuan komunal? Bangsa Israel ketika mereka sadar bahwa apa yang mereka alami adalah sebuah penghukuman Allah, apa yang mereka alami adalah satu wujud di mana Tuhan menyatakan murka-Nya kepada mereka ketika Tuhan menyatakan murka-Nya kepada mereka maka mereka mulai sadar dan mereka mulai meratap dan mereka orang-orang yang masih tertaut hatinya kepada Allah, mereka berseru kepada Allah, “Tuhan tolong kami! Kami sudah tertindas! Kami sudah sengsara! Umat-umat-Mu sudah dibantai, darah-darah nabi-nabi-Mu sudah tercecer-cecer,” semua itu menjadi nyanyian ratapan dari orang-orang yang disebut umat-umat Allah, orang-orang Israel, dan akhirnya mereka mulai sadar dan mengaku bahwa ini adalah dosa-dosa kami, dosa-dosa kami.

Jarang sekali di dalam sebuah ibadah gereja kita memiliki sebuah mindset, cara pandang mengakui dosa bersama. Kalaupun pengakuan dosa itu dilakukan misalnya di dalam liturgical ya seperti tadi doa syafaat diawali dengan, “Mari kita menenangkan diri kita mengaku dosa kita di hadapan Tuhan,” mindset kita langsung mengarah oh dosa apa ya yang sudah saya lakukan selama seminggu ini? “Oh mungkin kemarin saya berbohong, mungkin kemarin saya mencuri, kemarin saya menyaksikan hal-hal yang tidak baik,” hanya berfokus kepada dosa-dosa pribadi yang akhirnya pengakuan ini pun mengarah, “Tuhan, ampuni saya, ampuni saya dan layakkan saya pada saat saya akan beribadah, layakkan saya supaya saya bisa beribadah dan mendapatkan berkat-Mu hari ini dalam hari Sabat.” Itu tidak salah Bapak, Ibu, Saudara, sekalian. Tapi seberapa banyak kita yang memiliki cara pandang mengakui bahwa, “Eh selain saya pribadi berdosa, umat Tuhan di dalam gereja ini pun juga sama-sama mungkin kurang peka terhadap pimpinan Tuhan bagi gereja ini.” Secara komunal kurang peka terhadap apa yang sebenarnya Tuhan minta untuk dilakukan dalam gereja ini.

Bapak, Ibu, Saudara, pada saat kita mengaku dosa secara bersama-sama, misalkan dalam doa syafaat seperti tadi, jarang sekali arahan dosa kita itu memikirkan apakah gereja ini sudah bersama-sama mengerjakan tugas dari yang Allah sendiri berikan? Apakah gereja ini jemaatnya sudah bersama-sama memberitakan Injil? Apakah gereja ini secara komunal bersama-sama peka terhadap masyarakat sekelilingnya? Apakah gereja ini secara bersama-sama masih terus memelihara persekutuan? Hal inilah yang jarang sekali muncul dalam pemahaman atau pengertian gereja secara komunal.

Itulah kenapa di dalam doa Bapa Kami, Tuhan Yesus mengajarkan sebuah doa Bapa Kami. Kata ‘kami’ mengarah kepada kita secara komunal, secara umat Tuhan, bukan Bapaku yang di sorga karena kita adalah umat yang sama-sama sudah ditebus oleh Allah maka ketika kita mengatakan Bapa Kami yang di sorga. Pengakuan itu bukan hanya sebagai personal kita, pribadi kita saja, tidak. Tetapi Bapa Kami karena kami adalah umat yang sudah Kau tebus maka juga ampunilah kesalahan kami sebagai jemaat-Mu yang kurang saling memperhatikan satu dengan yang lain, yang masih mungkin ada perselisihan satu dengan yang lain, yang mungkin masih ada tidak adanya kesehatian satu dengan yang lain, yang mungkin menjadi bibit-bibit perpecahan di dalam gereja yang sudah terbangun ini, misalkan demikian atau yang mungkin kurang aktif di dalam berlutut bersama mendoakan pekerjaan Tuhan.

Maka saat kita mencoba untuk mengakui dosa-dosa kita secara komunal, secara komunitas, kita mungkin melihat secara praktikalnya adalah dari sekian banyak yang ibadah hari minggu berapa banyak yang sudah ikut persekutuan doa? Kalau yang ikut persekutuan doa sedikit, kemana yang lain? Dosa siapa itu? Kalau kita mungkin saling menyalahkan, “Kamu sih nggak ikut Persekutuan Doa.” Apakah dengan menyalahkan, masalahnya selesai? Tidak. Tapi bagaimana kita mendorong ayok semakin banyak terlibat, ini pekerjaan kita bersama, ini tugas kita bersama, apalagi konteks Jogja sedang ada di dalam sebuah tantangan membangun gedung gereja lalu diperhadapkan dengan tantangan-tantangan dari luar-luar, suara-suara yang mungkin bisa memicu gerakan-gerakan ormas-ormas, ini adalah tantangan bersama yang harusnya membuat semakin banyak lutut yang mau bertelut untuk berdoa.

Tapi kalau yang ikut persekutan doa sedikit, bagaimana hal itu bisa membuat kita berjalan dengan hati yang lapang, “Oh pasti ini pimpinan Tuhan, pasti ini kehendak Tuhan,” maka kita jalan terus bangun gereja tanpa ada pengakuan bahwa kami ini adalah umat yang masih perlu pertolongan, kami ini masih banyak dosa dan kesalahan kami secara komunal, bukan hanya pribadi dan tentunya waktu kita bicara soal secara komunal, secara kelompok tidak lepas pribadi-pribadi kita pun yang mungkin menjadi riak-riak yang menodai kelompok besar tersebut. Bagaimana kita bisa mengatakan kami ini adalah umat-Mu sementara ada satu orang yang melakukan dosa di luar yang justru menjadi noda yang mencederai gereja Tuhan. Kita harus melihat ini pergumulan kita bersama secara komunitas.

Menantikan pertolongan Allah bukan hanya dalam pengalaman pribadi ketika Bapak, Ibu, Saudara, mungkin secara personal-personal pasti ada pergumulan-pergumulan yang Bapak, Ibu, Saudara, juga mungkin sedang menantikan pertolongan Tuhan cara-Nya seperti apa dan cara Tuhan bekerja dalam masing-masing pribadi adalah unik dan pengalaman Bapak, Ibu, Saudara, mungkin bisa membangun iman masing-masing anda. Tetapi setelah Tuhan bekerja di dalam masing-masing pribadi anda, bagaimana kita semakin lebih besar lagi secara umat ini, secara komunitas ini bersama-sama menantikan pertolongan Tuhan yang tidak pernah henti-hentinya.

Hal terakhir yang ketiga, bagaimana kita menantikan pertolongan Tuhan adalah seperti dalam Mazmur 119 tadi dengan menantikan pertolongan Tuhan kita menjalankan titah-titah Tuhan, menjalankan perintah-perintah Tuhan, menjalankan perintah Tuhan. Bapak, Ibu, Saudara, menjalankan perintah Tuhan di dalam kondisi menantikan pertolongan Tuhan mungkin ini adalah hal unik kalau Bapak, Ibu, Saudara, mungkin pertanyakan kembali, “Lho bagaimana orang-orang yang terjebak di dalam tambang di Chile tersebut? Sementara mereka menantikan pertolongan dari luar, mereka mengerjakan sesuatu misalkan nambang terus bukankah hal itu semakin memicu keruntuhan dari material-material yang lain dan malah mengubur mereka?” Bapak, Ibu, Saudara, inilah paradoksnya. Paradoks yang terjadi ketika seseorang itu menantikan Tuhan dengan cara ya istilahnya contoh di dalam tambang tadi mereka terjebak di dalam tambang dengan kita para orang yang menantikan pertolongan Tuhan dengan tidak henti-hentinya. Kita sadar tanpa pertolongan Tuhan kita tidak pernah bisa menikmati Tuhan.

Menantikan pertolongan Tuhan bukan bicara soal masalah timing dalam kronologi waktu saja. “Oh saya sekarang sedang terhimpit atau gereja secara komunal sedang mengalami pergumulan. Kapan kita menantikan pertolongan Tuhan? Oh jawaban Tuhan kalau nanti misalkan IMB sudah keluar, oh nanti kalau misalkan gereja sudah terbangun.” Bukan hanya masalah kronologi saja tetapi bicara menantikan pertolongan Tuhan adalah Tuhan memberikan kepekaan-Nya terus menerus setiap waktu di dalam setiap timing kronologi waktu. Tiap hari kita perlu menantikan pertolongan Tuhan bukan hanya pertolongan untuk menyelamatkan kita saja tapi lebih dari itu adalah sebuah kepekaan untuk secara pribadi maupun komunitas mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawab kita di hadapan Tuhan.

Kalau kita peka, kalau Bapak, Ibu, Saudara, peka akan kehendak Tuhan dan akhirnya menggerakkan anda untuk mengerjakannya, itu suatu bentuk Tuhan tolong, itu suatu bentuk pertolongan Tuhan, pertolongan-Nya adalah ketika Dia memberi kepekaan pada kita. Maka ketika tadi kita meresponnya dengan terlebih dulu belajar untuk bergiat, belajar kalau kita secara pribadi yang kita terapkan adalah waktu kita menantikan pergumulan misalkan kalau Bapak, Ibu, Saudara, punya pergumulan pribadi ya, kadang-kadang kita semakin banyak beraktivitas itu semakin stress, semakin membingungkan. Maka berdiam diri dan berharap mungkin kita bisa gambarkan sebagai kita duduk diam, berlutut, berdoa, menenangkan diri kita, tanya menyatakan curahan hati kita kepada Tuhan, berharap Tuhan memberi kepekaan pertolongan untuk memberikan kepada kita langkah-langkah apa yang kita harus ambil, langkah-langkah seperti apa yang harus kita ambil, berdiam dan berharap itu menjadi tindakan yang pertama.

Secara komunal pun sama, jangan pernah henti-hentinya kita terus belajar berdiam diri di hadapan Tuhan, mencari pimpinan Tuhan sambil berharap Tuhan, pertolongan-pertolongan apa, langkah demi langkah yang Tuhan berikan kepada saya, selain itu akui secara komunitas kami ini orang-orang berdosa, Tuhan, kami ini kurang peka terhadap Tuhan, kami ini kurang peka terhadap tuntunan Tuhan, kami masih mementingkan diri kami sendiri, kurang peka satu dengan yang lain, karena hampir pergumulan jemaat-jemaat di mana pun hampir selalu sama, kita manusia berdosa yang seringkali tidak peka terhadap pimpinan Tuhan khususnya di dalam sebuah komunitas umat-umat Tuhan dan berikutnya ketika diberi kepekaan maka apakah kita berdiam dan pasif saja? Tidak. Tetapi perlu sebuah tindakan untuk menjalankan perintah-Nya.

Inilah paradoksnya, Saudara. Paradoksnya bukan diam dan pasif, bukan ketika menanti pertolongan Tuhan lalu diam hanya berdoa saja, tidak. Waktu Saudara, bergumul untuk sebuah pergumulan misalkan Tuhan, saya sudah kehabisan bahan makanan, bagaimana? Maka apakah hanya dengan diam saja tanpa usaha? Apakah hanya dengan istilahnya pasrah yang pasif? Tidak, Saudara. Tapi ada langkah-langkah justru jalankan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Secara komunal bagaimana? Jalankan terus apa yang Tuhan minta, misalnya di dalam menghadapi pandemi COVID ini, Bapak, Ibu, Saudara. Saya percaya di banyak gereja juga mengalami hal yang sama.

Ketika awal-awal pandemi COVID hampir ibadah semua di mana-mana tertutup begitu dan banyak jemaat yang mungkin merindukan bagaimana dapat bisa beribadah. Kami di Gempol ya di satu sisi kami bersyukur karena lokasi kami agak sangat tersembunyi begitu ya sehingga dari awal pandemi bukan karena kami nekat tetapi kami tetap ibadah. Beberapa sudah mengingatkan, “Pak, jangan. Pak, jangan.” Oke di minggu pertama saya menggunakan streaming dengan sangat sederhana sekali, dengan HP di depan. Tapi beberapa pengurus justru mendorong saya, “Pak, saya nggak bisa ibadah di rumah. Boleh nggak saya besok datang?” “Oh silahkan kita nggak bisa marah orang datang.” Bukan karena nekat, bukan sekali lagi bukan karena nekat.

Awal-awal pandemi semua masih begitu banyak ketakutan demi ketakutan tapi karena pengurus-pengurus kami, “Pak, kami boleh datang?” Satu, dua, tiga, akhirnya di minggu pertama itu 15 orang, 20 orang. Itu kami terus jalan. Kami tetap mengerjakan sebuah persekutuan dengan hati yang berharap kepada Tuhan. Dan bersyukurnya ketika ada tim gugus covid kami bilang silahkan lihat semua prokes kami jalankan dan silahkan tunggui, awasi kami dan bersyukur mereka terus izinkan kami untuk mengadakan ibadah sampai dalam beberapa bulan sudah kembali normal seperti biasa. Dan hal itu juga terjadi ketika gelombang kedua tidak pernah tutup sama sekali, tidak pernah. Sekali lagi itu bukan karena kami nekat, tidak. Tapi kami benar-benar kalau jemaat-jemaat di daerah biasanya mereka mungkin kesulitan untuk mengakses Youtube lewat live streaming lalu dari pada mereka taruh HP lalu ketiduran. Mereka ngaku sendiri, “Pak, saya kalau misalnya ibadah online HP saya nyalain tapi saya tidur, Pak.” Gitu ya. Mereka jujur ya, “Daripada begitu gimana sebaiknya? Oh saya boleh datang?” “Ya silahkan datang saja, ingat ya prokes ya.” Maka itulah yang terjadi Bapak, Ibu, Saudara.

Tetap kita mengerjakan bukan hanya berdiam diri menanti, “Tuhan, tolong kami, kami ada pandemi, ibadah kami tidak ingin jemaat akhirnya terbengkalai dan akhirnya mereka semakin luntur imannya tapi supaya terus imannya jadi kuat, apakah kami harus berdiam, Tuhan?” Tetap jalankan. Tentu dengan terus berharap kepada Tuhan. Seperti kalau misalkan Bapak, Ibu, Saudara, ketika menanti sesuatu, menunggu sesuatu, apakah kita harus pasif? Apalagi kalau sekarang misalkan Saudara, sedang menunggu bus kota untuk menunggu bus kota minimal ada aktivitas-aktivitas yang Saudara bisa lakukan, misalnya buka-buka WA atau berkomunikasi lewat media sosial dan sebagainya, tetap ada aktivitas yang dilakukan. Kalau di dalam dunia kehidupan kita di masyarakat saja di dalam menanti sesuatu ada aktivitas yang kita kerjakan, apalagi kita terus menerus menanti pertolongan Tuhan, tentu bukan hanya diam tapi terus mengerjakan dan melaksanakan perintah-perintah Tuhan.

Jalankan terus persekutuan dalam suatu menjadi tugas gereja, Koinonia. Jalankan terus untuk pemberitaan Injil dalam tugas misi, Marturia. Jalankan terus pelayanan kasih, Diakonia. Bersyukur juga GRII Jogja bisa berbagian untuk membangun pengisian oksigen sehingga boleh menjadi berkat bagi masyarakat. Bapak, Ibu, Saudara,dalam gerakan reformed ini kita benar-benar bersyukur karena prinsip-prinsip seperti ini menjadi prinsip-prinsip yang terus disandingkan, dikumandangkan supaya kita dalam menanti pertolongan Tuhan tidak berdiam diri saja walaupun berdiam diri itu adalah satu wujud di mana kita memang perlu ada saatnya berdiam diri dan menanti bagaimana Tuhan berfirman dan mengutus jemaat-Nya namun sebagai responnya jemaat-Nya pun juga tidak berdiam secara statis tetapi terus dinamis bergerak untuk  menjadi berkat di mana pun Tuhan utus, di mana  pun Tuhan arahkan.

Bapak, Ibu, Saudara, walaupun gereja GRII Jogja ini ya mungkin membutuhkan begitu banyak uang untuk pembangunan gereja dalam proses pembangunan gereja, tetapi apakah perhatian dari jemaat, “Ya sudah kalau gitu uang semua kita kumpulkan ke pembangunan saja,” kan tidak. Tetap ada alokasi untuk pelayanan kasih, tetap ada alokasi untuk pelayanan pekerjaan, penginjilan dan itu terus berjalan bersama-sama. Ketika perintah-perintah Tuhan yang lain ini kita jalankan, maka tanpa sadar Tuhan yang akan penuhkan berkat-berkat-Nya untuk supaya rumah Tuhan nanti jadi di kota Jogja ini dan akhirnya bisa menjadi berkat buat masyarakat di Jogja ini. Setelah berapa tahun menanti kurang lebih? Dari sejak 25 tahun, 25 tahun.

Bapak, Ibu, Saudara,ini sebuah anugerah tentunya dan ini muncul dari jemaat-jemaat yang tahu visi, yang mengasihi Tuhan tapi berapa banyak yang terus berdoa supaya ini menjadi pergumulan bersama bukan hanya segelintir sekelompok orang saja karena pekerjaan Tuhan ini adalah besar, luas, Kerajaan Allah itu bukan hanya scope dari sekelompok jemaat saja karena hati Tuhan untuk menemukan orang-orang pilihan-Nya di Jogja ini sangat besar sekali dan kita masih tidak tahu berapa banyak lagi orang-orang pilihan Tuhan yang nanti akan dimunculkan. Tapi apakah nanti menunggu sampai gereja jadi? Tentu tidak. Dari kapan? Dari sekarang jangan sampai berhenti. Kita memang menanti pertolongan Tuhan lebih nyata lagi. Tapi apakah dengan menanti pertolongan kita hanya berdiam secara pasif saja? Tidak. Ada waktunya kita bersama-sama berlutut, berdoa, ada waktunya terus kita mengerjakan panggilan Tuhan bagi jemaat-Nya. Kiranya apa yang kita boleh renungkan terus menolong dan membangkitkan setiap kita. Amin. Mari kita berdoa.

Kami terus mohon anugerah Tuhan ketika Tuhan terus berfiman mengingatkan jemaat Tuhan, kiranya jemaat-Mu terus dibangun, jemaat-Mu terus diingatkan supaya terus belajar dari sejarah, supaya terus belajar bagaimana cara Tuhan mendidik setiap jemaat-jemaat Tuhan mulai mendidik dari setiap pribadi-pribadi, memberikan sebuah visi yang sama dalam sebuah kesehatian, memberikan beban yang sama dan ini biarlah Tuhan terus membangun khususnya jemaat GRII Jogja ini Ya Tuhan supaya benar-benar jemaat GRII Jogja semakin terbentuk dalam sebuah kesehatian untuk nama Tuhan semakin terpancarkan dan jemaat GRII Jogja ini boleh menjadi berkat di manapun juga mereka berada dalam panggilan mereka masing-masing. Terima kasih Bapa di Sorga. Kiranya materaikanlah firman-Mu kepada hati dan pikiran setiap jemaat, setiap umat. Inilah doa kami, Bapa. Demi nama Putera-Mu yang tunggal, Tuhan kami Yesus Kristus, kami berdoa dan kami mengucap syukur. Amin. 

 

Transkrip khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah (KS)

Comments