Knowledge and Love, 29 Juli 2018

Flp. 1:9

Vik. Leonardo Chandra, M.Th.

Di bagian ini, ketika kita melihat apa yang dibahas di dalam ayat 6, mengatakan bahwa ada kepastian keselamatan bagi setiap kita orang percaya. Di bagian ini, sebenarnya di dalam ayat 6, kalau kembali saya ingatkan dan tekankan kita yaitu (Filipi 1:6), “Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” Kalau kita mau bilang, apa sih satu ayat yang mau menyatakan kepastian keselamatan kita? Maka inilah satu ayat itu, di dalam ayat 6 ini. Terkadang-kadang saya menemukan, dan sebenarnya baru seperti tadi pagi saja, ada seorang anak remaja kami itu yang bertanya, “Ko, bagaimana caranya saya yakin bahwa saya ini pasti selamat?” Bagaimana misalnya, di dalam pengandaian dia tentunya dan terbatas gitu ya, mungkin berpikir: “Kalau saya percaya kepada Tuhan tapi ternyata Tuhan tidak terima saya, gimana? Dan mana saya tahu, hari ini saya percaya, lalu lantas saya bisa ragu. Darimana saya tahu saya bisa akan sampai selamat, sampai pada akhirnya?” Bagaimana di dalam kehidupan ini, yang serba fluid, yang serba begitu cairnya dan begitu flush (?), begitu banyak perubahan. Itu darimana saya tahu, punya keyakinan bahwa saya akan terus percaya kepada Tuhan Yesus? Nah di sini kita menemukan bahwa sebetulnya di dalam doktrin Reformed menekankan bahwa: Once saved, is always saved. Sekali selamat, akan tetap selamat. Ini berbicara, bukan karena keyakinan kita sendiri. Bukan karena kita yakin: Oh saya yakin, saya pasti selamat, karena kemampuan saya sendiri. Tapi justru karena kita mempercayakan diri kita kepada Kristus, mempercayakan diri kita kepada Kristus.

Saya pikir di dalam satu ilustrasi sederhana, gitu ya, dan yang tentu mungkin terbatas, misalnya, darimana saya tahu, seperti tadi pagi saya datang dari Solo, bisa sampai datang di dalam Jogja ini. Saya naik kereta, darimana saya punya keyakinan pasti sampai di Jogja ini? Wah yakin sendiri, gitu ya. Yakin, yakin dengan iman, pasti, yes, yes, pasti saya sampai ke Jogja! Lho belum tentu Saudara, belum tentu Bapak, Ibu, gitu ya. Mungkin juga bisa yang jemput saya ragu nih, ini datang nggak? Darimana toh, yakin sampai atau nggaknya? Tapi kalau saya cuma teriak sendiri “Yakin” di kereta, gitu ya, sambil perjalanan panjang, terus nanti nyetop di stasiun, nanti lanjut jalan lagi, nyetop lagi di stasiun berikutnya. Darimana saya yakin pasti bisa sampai, kalau saya cuma bisa “Yes, yes, yakin” dengan diri saya sendiri, “pasti sampai” – bisa salah kan keyakinan saya? Iya, kan? Lagipula bisa juga misalnya, di dalam perjalanan itu, lantas saya mungkin mula-mula ragu: ini sampai nggak? Saya nggak bisa punya kepastian. Tapi sebenarnya kalau saya mau menaruh kepastian, keyakinan saya, sampai nggak nya ke Jogja adalah, bukan saya ragu, pede ngomong ke diri sendiri, self-confident, “Oh saya pasti sampai Jogja.” Tapi saya maju ke gerbong itu, sampai ke yang paling depan, menemui pak Masinisnya, “Pak, kita ini perjalanan ke mana?”“Jogja.”“Pasti sampai nggak, Pak?”Dan masinisnya akan jawab, “Pasti kita akan sampai.”

Itu beri kepastian. Bisa nangkep?Kepastian bukan pada saya, bahkan saya pun bisa ragu, ini bisa sampai atau nggak? Tapi kepastian itu kepada masinis yang memimpin gerbong ini, yang akan membawa seluruh rel kereta itu sampai ke tujuan. Dan mungkin memang di dalam kehidupan kita secara manusia, banyak hal-hal di luar factor, di luar kekuatan kita, yang bisa merubah keadaan. Dan, ya karena memang  manusia bisa terbatas, gitu ya, mesinnya juga bisa macet, dst. Tapi kalau kita kembali melihat bahwa, ini bukan berdasarkan keyakinan manusia, tapi perkataan Tuhan sendiri, yaitu Tuhanlah yang memulai pekerjaan baik di antara kita, dan Dia akan meneruskannya sampai pada akhirnya. Dan yang akan memimpin kita kepada keselamatan itu, sampai kita masuk ke langit dan bumi yang baru. Itu keyakinan kita, bukan pada keyakinan kemampuan kita sendiri. Dan karena Allah itu adalah Maha Kuasa dan Dia adalah Maha Bijaksana, Dia pasti sanggup menolong memimpin kita sampai kepada tujuan akhirnya. Kadang-kadang orang berpikir, “Oh kalau Allah itu baik,” di dalam banyak kehidupan ini, kadang-kadang berpikir itu ada kemungkinan, “Dia kadang mau, tapi tidak sanggup, jadi nggak sampai.” Gitu ya. Kita menginginkan sesuatu, tapi tidak sanggup, ya nggak jadi. Atau ada orang sanggup tapi nggak mau, ya nggak terjadi juga. Ya kan? Sederhana. Misalnya saya bilang, “Ya, saya mau traktir, kita makan di sini.” Ya kalau itu harus mencapai 2 ini, saya mau – ada willingness, dan ada kesanggupan, ada capability, kemampuan. “Oh saya mau main piano.”- yah, ada niat sih, begitu ya, tapi kayanya kapabilitas nggak sampai, gitu ya. Itu karena orang bilang: ada niat ada jalan. Ya, tunggu dulu, gitu ya. Niat, tapi kalau nggak punya kemampuan juga, ya nggak sampai.

Nah ini, tapi kalau kita lihat di dalam Allah justru ada 2 hal ini: ada keinginanNya untuk menyelamatkan kita, dan kesanggupanNya. Justru kuasa Allah itu nyata, yaitu Dia sanggup menyelamatkan kita yang berdosa. Itulah kuasa Allah, itulah mukjizat terbesar. Itulah mukjizat bagaimana kita orang yang berdosa, yang sebenarnya tidak mau mencari Tuhan, bisa dirubah, balik untuk justru datang kepada Tuhan. Itu kalau bukan kalau kuasa Roh Kudus, pakai kuasa apa (? Menit 05:30)? Saya teringat makanya selalu Pak Tong itu, di dalam banyak hal, ketika misalnya kami pelayanan KKR itu, dia paling tanya, “Berapa yang hadir?” Lalu, “Berapa orang yang maju ke depan?” Dia nggak pernah bertanya, “Berapa orang yang bertobat?” Kalau kita jeli perhatikan ini, Pak Tong nggak pernah bilang, “Berapa orang bertobat.” Dia pun tidak pernahclaim, oh.. sudah berapa orang yang bertobat dalam kebaktian saya. Kenapa? Dia bilang, “Ya saya nggak tahu. Dan saya memang tidak sanggup mempertobatkan siapapun. Yang saya cuma bisa lihat secara fenomenanya, oh sekian ribu orang yang hadir. Lalu sekian berapa ratus atau ribu orang yang maju meresponi altar call. Tapi yang mempertobatkan mereka bukan saya. Karena yang sanggup merubahkan hati manusia yang keras itu, hanyalah Roh Kudus. Dan itu kita tidak tahu, Roh Kudus bisa bekerja sebelumnya, atau setelahnya, atau memang di momen itu. Dan itu kita sadar, Roh Kudus yang menjadi jaminan kita dan menuntun kita sampai akhir. Dan keselamatan itulah, kita bahkan tidak bisa kehilangan keselamatan itu, bukan karena berdasarkan kekuatan kita sendiri, tapi berdasarkan kekuatan dan janji Allah sendiri. Ini menjadi kepastian kita, ini menjadi kepastian keselamatan kita. Bukan yakin, PD pada sendiri.

Ini ketika saya, biarlah kita sadar, ini adalah bicara dasar keselamatan kita yang tentu secara singkat sederhana saya jelaskan sini, tapi kemudian biarlah kita melihat ketika bicara keselamatan, itu bukan suatu the end of our Christian life, but it is actually the beginning of our Christian life. Keselamatan itu, salvation itu, bukan “Oh, akhirnya saya selamat.” Tapi justru, itu adalah awal dari kehidupan kita menjadi orang Kristen. Ini banyak orang gagal juga melihat ini. Kadang-kadang itu kita Injili, seorang injili, injili, injili, wah akhirnya dia bertobat, percaya, “Wah, puji Tuhan, akhirnya selamat.” Betul akhirnya selamat, tapi that’s not the end! Kecuali dia penjahat di samping Yesus ya, sudah percaya terus nggak lama mati. Tapi itu justru adalah titik awal dari kehidupan kita. Saya ingat sekali pendeta Stephen Tong itu berkali-kali juga katakan kepada jemaat maupun kami hamba Tuhan, “Ingat, ketika kamu jalani dan kerjakan apa-apa, jangan pernah berpikir sebagai Omega point, tapi selalu berpikir sebagai Alfa poin.” Oh akhirnya saya lulus, akhirnya saya wisuda. Wes sudah, gitu ya, bye bye… sudah foto-foto, buanglah topinya. Wes sudah. Tapi itu bukan akhir. Itu justru alfa poin, itu adalah titik awal, bagaimana kamu masuk ke jenjang berikutnya. “Wehhh, akhirnya menikah juga, foto-foto keren posting di social media.” Itu bukan akhirnya, itu justru awalnya. Entah anda maksud mencicipi kehidupan surga atau neraka, konon katanya kalau mau nikmati entah surga atau neraka itu dalam pernikahan. Tapi itu adalah titik awalnya kehidupan anda, masuk ke dalam jenjang berikutnya. Kalau kita langsung pikir endingnya, kita gagal melihat kehidupannya itu sebenarnya berisi itu seperti apa.

Dan sama, kehidupan Kristen itu justru setelah kita percaya, bertobat, menerima Kristus sebagai Tuhan Juruselamat kita, itu justru perjalanan mulai kita berjalan bersama dengan Tuhan. Hidup bergaul, kalau dalam terjemahan Indonesia itu, bergaul bersama dengan Tuhan, walk with God – berjalan bersama dengan Tuhan. Itu yang ngerti. Itu justru awal kehidupan kita menjadi Kristen. Beberapa di kita juga, seperti peserta katekisasi, janganlah kita berpikir, “Oh akhirnya saya jadi jemaat GRII.” Itu maksudnya ngomongin apa sih, ada kertas gitu ya, menyatakan anggota. Lho itu awal. Berarti mulai sekarang, saya jadi anggota GRII, lalu apa tanggung jawab saya, apa yang harus saya kerjakan? Oh saya sekarang sudah menjadi suami, saya harus menjadi apa? Oh sekarang saya menjadi orang tua, karena anak saya baru lahir. Berarti ada tanggung jawab, that’s a starting point. Itu titik awal bagi setiap kita.Dan di sini kita melihat, ketika kita berbicara titik awal, maka kita mengerti, itu masih perjalanan, masih perjalanan ke depan. Masih akan ada proses pertumbuhan itu. Dan ketika berbicara pertumbuhan, maka saya lihat ada 2 variabel yang dibicarakan oleh Paulus di sini, yang saya pikir mungkin tentu bukan kebetulan dengan pembahasan seminar yang nanti memang tidak mesti harus sama, yaitu inilah jadi doa Paulus. Di dalam ayat 9,“Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian.”

Di dalam terjemahan aslinya itu tidak ada istilah “pengetahuan yang benar”, itu ada emphasis, penekanan dari LAI mungkin karena menegaskan ini bukan pengetahuan umum tapi pengetahuan akan firman Tuhan, okay. Tapi ini saya lihat ini, dua variabel ini lho, love and knowledge, kasih dan pengetahuan, itu adalah sesuatu yang ada di dalam kehidupan kita. Dan saya memikirkan dua variable ini secara dalam bentuk empat kuadran. Empat kuadran terus, perlu kita biasakan lihat dengan hasil yang ini. Saya mulai dengan tahap yang negative, negative dulu, yaitu don’t have love. Yang pertama yaitu, don’t have love – no knowledge, tidak punya kasih juga tidak punya pengetahuan. Dan bagi saya ini adalah fase anak-anak. Iya kan? Anak-anak itu memang ya tidak punya apa-apa, hanya bisa terima. Iya kan? Anda itu sudah cape, kelelahan dari kerja, dari pagi siang sampai malam. Pulang, terus anak-anak cuma, yang bayi itu, apalagi yang bayi, cuma bisa nangis, “Aaah.. aahh.. lapar… lapar,” gitu, cuma gitu, ya kenapa ya? Memang nggak punya pengertian, ya juga nggak punya kasih, sebenarnya, dia nggak ngerti anda sedang cape, cape nggak cape, Aahh saya lapar, pokoknya minta makan, ya gitu. Memang cuma minta dikasih, tidak bisa untuk mengasihi. Cuma minta dikasihi, Cuma minta diperhatikan. Cuma tahu terima, cuma tahu oh ada begitu banyak pengetahuan, dia sendiri tidak tahu apa-apa. Tapi yang saya lihat ini ya fase anak-anak. Kalau sampai sudah gede, anda pulang kantor, atau saya lihat di sini ada beberapa bapak ibu yang sudah cukup berumur, pulang ke rumah terus ketemu anaknya yang sudah gede, lulus kuliah, nangis Aaahhh.. saya belum makan. Ini mungkin cek ke dokter, gitu ya, mungkin ada gangguan sedikit, gitu ya. Ini kok kembali ke fase anak-anak. Tapi begitulah, kalau kita amati anak-anak secara fair, gitu ya, memang anak-anak gitu. Dia belum mengerti apa itu kasih dan belum punya juga pengetahuan, sehingga dia perlu dididik, perlu diajar.Itulah kenapa ada yang mengatakan, sebenarnya anak-anak, dan setiap kita dulu lahir anak-anak toh, kita tuh lahirnya justru egois. By nature kita egois, by nature kita memang ingin diperhatikan, by nature kita mau “ya kamu itu fokus ke saya dan saya.” Nggak heran ada yang buat film The Big Boss gitu ya karena melihat anak ini kayak bos sendiri; apa-apa diatur sama dia, sejak punya anak yang mengatur jadinya bukan bapak, juga bukan isteri, anak ini lho, anak ini yang jadi bosnya ngatur, karena memang dia egois. Dia fokus pada diri, dia belum tahu bagaimana sebenarnya mengasihi dan memperhatikan.

Tapi kemudian anak ini setelah kita ajar, didik, dia bertumbuh maka biasanya dia akan masuk ke fase selanjutnya yaitu fase kedua yang saya mengerti sebagai have love without knowledge, punya kasih tapi tak berpengertian. Bagi saya ini ya kayak fase anak remaja yang memang sangat mudah disesatkan. Makanya anak remaja kita itu juga simptom yang paling sering itu kan cinta monyet. Kenapa cinta monyet? Ya itu, wah love at first sight;have love without knowledge, jadi cinta itu monyet memang meski nggak berbuntut. Kita semua pernah alami itu lah ya. Kenapa kita namakan anak-anak remaja itu yah cinta monyetlah, kenapa? Ya  karena orang dewasa mengerti mereka itu punya cinta, betul, kita tidak menghina cintanya, tapi belum punya pengertian. Punya cinta yang kayak polos gitu tapi belum punya pengertian yang dalam, belum mengerti kehidupan ini seperti apa. Biasanya saya lihat secara umum orang proses bertumbuhnya itu dia masuk ke situ dulu, dia punya love tapi tidak punya knowledge.

Tapi kemudian ada fase selanjutnya, kadang-kadang orang bisa banting setir kebalikannya, yaitu justru punya knowledge tapi tidak punya kasih. Kadang-kadang orang bisa banting setir setelah awalnya itu patah hati, patah hati, patah hati, lama-lama ya “sudahlah saya sekarang punya pengertian yang jelas, yang obyektif, meneliti, saya tidak boleh sembarangan jatuh cinta.” Punya knowledge tapi tidak lagi punya kasih. Memang bagian ini sedih juga. Dan saya pikir di bagian ini kadang-kadang orang bisa berbalik arah itu. Dan kita lihat kalau kita perhatikan apa yang dikatakan di dalam Kitab Suci, itu sebenarnya jadi gambaran orang Farisi ya. Orang Farisi itu punya knowledge tapi nggak punya love, tidak punya kasih kepada bahkan orang bangsanya sendiri. Ketika orang melihat “Oh kami suci, nggak mau ahh sentuh sama kamu.” Punya knowledge? Punya. Love? No. Dan saya teringat bagian ini itu di dalam salah satu hardikan yang Kristus sendiri berikan kepada jemaat-Nya di salah satu dari 7 jemaat yang dicatat dalam Kitab Wahyu, yaitu kepada jemaat Efesus, “Aku kagum, Aku bersyukur untuk kamu begitu pandainya, begitu hebatnya bisa membedakan ajaran Nikolaus dan ajaran-ajaran sesat. Tapi satu saja yang kurang dari kamu, yaitu kamu kehilangan kasih mula-mula.” Dan itu kalau kita kaitkan dengan Paulus, ya itu seperti gong yang bergerincing, tong kosong nyaring bunyinya, di dalam 1 Korintus 13, “Apalah gunanya aku punya segala sesuatu tapi tidak punya kasih?” Tapi saya lihat di dalam kehidupan kadang-kadang mungkin karena kepahitan atau hal-hal yang tragis dalam kehidupan itu orang bisa menjadi jatuh pada fase ini, yaitu orang-orang yang kepalanya gede tapi hatinya sangat kecil. Orang-orang yang akhirnya punya begitu banyak knowledge tapi kehilangan kasih mula-mula. Dan saya pikir di dalam perbandingan dua ini kadang-kadang kita itu, secara memang agak reduksi ya, menjadi gambaran orang-orang Karismatik dan orang Reformed. Kita kan suka bilang ke orang Karismatik, “Kamu itu rajin doang tapi nggak punya pengertian yang benar, makanya doa semalam suntuk.” Kita doa baru 5 menit sudah suntuk gitu ya, mereka doa semalam suntuk, “inilah punya love nggak punya knowledge.” Terus kita banggain apanya? Kebalikannya, kita punya knowledge tapi have no love. Betul nggak begitu? Kita itu bisa jatuh diametrical yang kebalikannya, kita juga nggak benar. Karena yang Tuhan inginkan justru adalah fase selanjutnya yaitu fase dewasa, yaitu have love and knowledge. Punyalah kedua-duanya itu. Punya pengertian yang benar dan juga punya kasih yang sejati.

Pak Tong sendiri suka ingatkan kepada kami, hamba Tuhan, bahwa, “Ingat ya, kalian hamba Tuhan GRII itu harus punya hati yang luas.” Saya ingat berapa kali dia ngomong kayak gini “punya hati yang luas.” Karena saya pikir dalam banyak hal dia tahu hamba-hamba Tuhan di kita itu ya punya pengetahuan yang luas itu sudah pasti, kalau nggak, nggak bisa bertahan ya kan, apalagi dihakimi oleh Bapak, Ibu, Saudara di sini. Bertumbuh pasti pengetahuannya tapi ingat punyalah tetap hati yang luas, punyalah kasih yang luas yang bisa care dan bisa punya hati yang menggembalakan begitu banyak orang yang dalam kesulitan, karena itu harus punya love juga. Dan memang justru 2 variabel ini yang harus menyatakan kedewasaan, ketika bertumbuh secara matang. Ini kita mengerti sebagai fase dewasa. Orang yang dewasa itu punya keduanya, dia punya knowledge, dia punya pengetahuan yang banyak; tapi dia juga tidak sampai kehilangan kasih.

Dan inilah yang diomongkan oleh Paulus di sini, untuk mereka bertumbuh, bagi jemaat Filipi. “O jemaat Filipi, kalian adalah jemaat yang namanya saja Filipi,” dari asal kata phileo, mereka mengerti kasih, mereka punya pengertian yang benar, mereka demi injil berani berjuang di tengah kesulitan yang ada,”Baik, tapi teruslah bertumbuh di situ, jangan stop, jangan stagnan, bertumbuhlah terus di situ.” Karena memang kasih dan pengetahuan itu harus terus bertumbuh. Zaman sekarang saya pikir kita berada di dalam zaman seperti itu. Bob Goodswart(?) mengatakan di dalam surveinya bahwa orang zaman sekarang itu highly competitive, orang zaman sekarang itu sangat suka berkompetisi satu sama lainnya, suka banding-bandingkan dengan tetangganya. “Oh rumput tetangga lebih hijau,” selalu pasti lebih hijau. Padahal jelas kalau kita melihat di dalam firman Tuhan itu kita tidak disuruh berbanding dengan orang lain. Sederhana sebenarnya di dalam firman Tuhan berbicara di dalam perkataan perumpamaan dari Tuhan Yesus sendiri ketika berbicara tentang talenta, ada yang diberi 5 talenta, ada yang 2 talenta, ada yang 1 kan? Beda-beda. Bayangkan kalau anda diberi 2 talenta, lalu anda bersaing dengan orang yang 5 talenta. Anda berjuang setengah mati, baru hasilnya 1 talenta, oh dia sudah 2; anda berjuang, yah 1.5, dia sudah 3.5. Kita bisa stres lho, dan putus asa. Tapi biarlah kalau kita melihat, sebenarnya semangat kompetisi itu janganlah kita berkompetisi dengan sesama kita, tapi berkompetisilah dengan diri anda sendiri. Ketika anda mau berkompetisi, berkompetisilah dengan diri anda sendiri, yaitu hari ini harus lebih baik dari kemarin, lebih baik dari saya yang kemarin, bukan orang lain yang kemarin. Dan ini yang menjadi dorongan kita terus bertumbuh secara sehat, dan ini semangat kita bertumbuh, berjuang.

Dan ketika kita bertumbuh, juga di dalam bagian ini, bertumbuh dalam hal apa? Dalam dua hal, yaitu di dalam kasih dan di dalam pengetahuan yang benar. Kita seringkali mandeg di dalam bagian ini ya. Apalagi berada di zaman sekarang itu karena memang sangat begitu tinggi kompetisi, kita itu berlomba-lomba maju di area-area yang lain, yang sebenarnya hanya bersifat sementara. Heran ya, kenapa ada orang itu kalau misalnya 4 cewek, wah satu gang gitu ya. Teman dari dulu, terus sesudah itu yang pertama ini dapat pacar, OK yang tiga lain, “senang ya kamu dapat pacar.” Terus yang kedua juga dapat pacar, Oh yang dua lain, “Oh iya senang.” Yang ketiga dapat pacar, Oh yang keempat stres. Lho kok stres temannya dapat pacar? “Iya trus saya gimana?” Trus sesudah itu yang pertama ini nikah. “waduh saya cuma bisa sebagai bride’s maid,” ya juga masih sendiri, terus bergumul kapan saya dapat pacar. Eh yang kedua ini nikah juga, terus nggak lama yang ketiga menjelang mau nikah, eh yang pertama punya anak. “Dia punya anak, saya juga kudu punya anak.” Memang kita berlomba ya? Terus nanti kalau sudah punya anak kedua, “Oh saya juga kudu punya anak kedua.” Ini kita sedang pentas lomba apa sih? Banyak sekali kita di dunia ini mengejar hal-hal yang fana. Saya nggak bilang nikah itu jelek, tentu nikah itu baik, jika anda bisa menikahlah. Socrates itu pernah mengatakan, “Kalau kamu punya kesempatan, menikahlah; kalau kamu dapat isteri yang baik, kamu akan bahagia. Kalau kamu dapat isteri yang buruk, kamu akan jadi filsuf.” Iya nikah adalah sesuatu yang baik, tapi kita bukan lihat itu sebagai ajang kompetisi. Karena orang itu didorong kompetisi doang, kenapa? “Teman saya sudah menikah, eh teman saya sudah punya anak, posting lagi lucu-lucu, saya juga pingin.” Ini kita berjuang, bersaing untuk apa sih? Kembali lagi, yang salah itu bukan anak, punya anak itu adalah baik tapi sesuai dengan talenta anda masing-masing, tidak anda berkompetisi dengan yang lain.

Lihatlah apa karunia dan talenta yang Tuhan percayakan kepada anda, dan seberapa besar itu yang dipercayakan kepada kita. Ada orang diberi talenta sedikit, ada orang diberi talenta banyak. Yang penting adalah kita masing-masing bertanggungjawab sesuai dengan porsi yang Tuhan percayakan kepada kita. Sebagaimana yang di dalam perumpamaan talenta itu katakan bahwa Allah yang sama yang memberikan talenta-talenta ini. Dan ada satu ayat yang singkat dan menarik dikatakan bahwa diberikan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan ketika yang 5 kerjakan, Oh disambut, 5 talenta menghasilkan juga 5 talenta kan, kita mengerti ada suatu development sih itu, bukan hanya “5 saya jaga Tuhan 5 ini nggak hilang,” tapi harus hasilkan 5 talenta lagi kan? Ketika datang pada Tuhan, Tuhan jawab apa? “Baik sekali engkau hamba-Ku yang baik dan setia, masuklah ke dalam kebahagiaan Tuanmu.” Lalu datang yang 2 talenta, kemudian juga hasilkan 2 talenta, Tuhan jawab apa? “Oh cuma 2? Kecil,” gitu ya? Enggak, sama, bahkan Alkitab sengaja mencatat hal yang sama, “Baik sekali engkau hamba-Ku yang baik dan setia, masuklah ke dalam kebahagiaan Tuanmu.” Mengerjakanlah sesuatu itu dalam kehidupan kita sesuai dengan porsi yang Tuhan percayakan kepada kita masing-masing.

Dan ketika di dalam bagian ini, kembali ke pembahasan kita, yaitu kita justru mengejar dan bertumbuh di dalam pengertian akan firman dan di dalam kasih. Sederhana saja, kalau mau dibilang pengetahuan kita akan firman, cek dalam setahun terakhir ini, atau kita sudah berjalan setengah tahun ini, pengetahuan kita akan firman Tuhan bertambah nggak sih? Tambah nggak? “Oh nggak nambah Pak.” Kenapa? “Susah mengerti.” Oh itu ada seminar nggak datang, ya datanglah, sederhana kok. Datanglah dalam ibadah; begitu banyak fasilitas buku, bacalah; dan begitu banyak pembinaan-pembinaan itu akan membentuk kita bertumbuh di dalam pengertian. Kenapa? Karena firman Tuhan sendiri menginginkan kita bertumbuh di sini. Dan yang kedua adalah bertumbuhlah juga di dalam kasih. Di dalam kasih masuk di dalam adanya kasih ini. Sederhana saja, kita bisa cek dalam setahun atau mungkin setengah tahun ini, kita makin bertumbuh nggak dalam mengasihi Tuhan? Saudara makin rela berkorban nggak bagi Tuhan? Ya kan? Kalau kita kasih persembahan, misalnya, ambil nggak angka yang lebih gede gitu ya? Atau makin susah, makin susah. Atau malah makin turun gitu ya. Harusnya kita melihat, ya tentu saya bukan mengatakan segala-galanya sih menuntut harta, tapi kita tidak bisa lupa bahwa firman Tuhan mengatakan di mana hartamu berada di situ hatimu berada. Sehingga, kita tuh makin rela nggak ya? Kita makin bertumbuh nggak di hadapan-Nya? Dan ini  yang harusnya dua barometer yang kita pacu diri kita untuk terus bertumbuh. Dari mana tahu kita ini sudah menjalani kehidupan keselamatan kita? Pertama tentu kita percaya pada Kristus Yesus dengan kematian-Nya di kayu salib menyelamatkan, menebus dosa kita. Betul. Betul. Dan Dia akan memimpin kita sampai pada akhirnya. Tapi kemudian kita menjalani kehidupan keselamatan itu bagaimana? Ya di bagian ini. Minimal berbicara 2 hal ini. Bertumbuh di dalam pengetahuan yang benar dan bertumbuh di dalam kasih yang sejati sebagaimana firman Tuhan sudah beritakan untuk kita pelajari, dan juga kasih itu sudah nyata untuk kita juga responi dengan balas mengasihi Tuhan yang lebih dulu sudah mengasihi kita. Nah ini kita harus bertumbuh.

Di dalam bagian ini, di dalam commentary-nya Osborne, Grant Osborne, itu orang mengatakan bahwa, saya pikir adalah satu statement menarik, ia katakan, love is not static but need to grow more and more, secara khusus dalam bagian ini. Karena memang Paulus itu pakai istilah itu makin melimpah gitu ya. Lebih dan lebih lagi. Itu bertumbuh. Dan Osborne itu mengatakan ada 3 aspek ketika kita bertumbuh dalam kasih. Yang pertama itu love relationship to God and Christ. Dalam relasi kasih kepada Tuhan dan kepada Kristus. Ini kita harus bertumbuh, terus bertumbuh. Tuhan itu sudah begitu mengasihi kita dengan begitu kasih sempurna. Lalu yang kita bisa lakukan bertumbuh untuk bisa membalas kasihnya dengan lebih dan lebih lagi. Saya pikir ini sama di dalam satu ilustrasi yang dituliskan oleh C.S. Lewis di dalam karyanya The Cronicles of Narnia ketika Lucy itu dia bertemu dengan singanya itu ya, Aslan ya. Aslan itu ketika dia berjalan, suatu ketika mereka itu lama nggak ketemu dan Aslan itu lama nggak ketemu dengan Lucy, terus perjalanan berapa lama ceritanya, terus suatu saat Lucy baru ketemu lagi dengan Aslan. Ya Aslan ini simbol dari Tuhan di dalam pelambangannya C.S. Lewis. Lalu ada suatu kalimat yang menarik dari Lucy. Lucy itu mengatakan begini, “Aslan, kamu itu makin besar.” Lalu anda tahu apa Aslan jawab? “No, Lucy. Kamu yang bertumbuh.” Bukan Aslan itu makin gede. Bukan Tuhan itu oh makin besar, makin mulia. Itu nggak. Dia sudah maha mulia, Dia kemuliaannya sudah tak terhingga, tapi kalau kita bertumbuh dalam relasi dengan Tuhan, baru kita ngerti kebesaran-Nya itu. Bukankah sama dalam kehidupan kita juga demikian? Kadang-kadang kita kurang menyadari apa kasih, perhatian dari orang tua kita sampai kita bertumbuh kan, baru tahu, oh iya ya, selama ini orang tua saya jaga saya kayak gini. Itu proses pertumbuhan dalam relasi itu. Dan di bagian ini kita juga ngerti, bertumbuhlah di dalam suatu relasi kasih kepada Tuhan dan kepada Kristus yang sudah lebih dulu mengasihi kita dengan kasih yang begitu sempurna.

Dan yang kedua dari Osborne adalah ketika bicara relasi kasih itu, kasih itu juga bertumbuh secara internal love within congregation, yaitu kasih secara internal bersama dengan jemaat Tuhan. Jadi jangan cuma bilang, oh iya saya mengasihi Tuhan, saya makin mengasihi Tuhan, karena makin saya mengasihi Tuhan, terus saya makin benci Saudara saya. Oh enggak. Justru Alkitab mengatakan, bagaimana mungkin kamu mengatakan kamu mengasihi Tuhan yang tidak kelihatan kalau kamu tidak mengasihi saudaramu yang kelihatan? Jadi kasih itu bukan cuma hubungan vertikal kita pada Tuhan tapi juga secara horizontal kita nyatakan pada sesama kita, kepada saudara seiman kita. Lho yang sama-sama ini lho dalam ibadah kita. Bertumbuhlah di dalam bagian ini. Ayo, kalau kita mungkin pernah clash dengan jemaat ini, sorry saya nggak tahu history-nya apa ada gitu, tapi misalnya ada, kita bertumbuh nggak akhirnya kita bisa bangun lagi komunikasi, bangun lagi relasi. Nah itu berarti ada menandakan suatu pertumbuhan. Ada nggak kita itu punya bertumbuh di dalam kasih ini, itu kepada sesama saudara-saudara seiman kita? Mulailah dulu memperhatikan sesama saudara kita, bukan lagi cuma bolak-balik melihat, oh kamu itu salah, kamu salah; tapi juga misalnya, apa yang bisa saya bantu kamu untuk kamu bertumbuh? Itu kasih itu. Bukan cuma blaming saja, ya kamu salah, kamu salah; tapi diajarin toh, bagaimana bertumbuh. Nah itu harusnya kita juga lihat area situ ada. Dan justru itu di dalam Mazmur setidaknya bagian ini berbicara relasi kasih internal itu di dalam umat, sesama umat Tuhan, itu juga harus bertumbuh. Bukankah Kristus sendiri mengatakan, justru tanda dari mana orang dunia tahu kita ini sungguh murid Kristus, jika kita saling mengasihi kan? Aneh ya, Yesus itu nggak mau kalau kelihatan kamu itu rela martir gitu nggak sih. Ya itu tentu bisa gitu, tapi itu kayak suatu peringatan-peringatan bagi gerejanya, ingat, kamu harus saling mengasihi sesama di dalam juga. Dan itu pun harus bertumbuh, bahkan sampai menjadi satu kesaksian di mana orang dunia bisa lihat, oh di sini ada kasih. Kasih Kristus bukan cuma suatu cerita di dalam Alkitab atau sesuatu yang dibuat. Tapi suatu memang dihidupi. Ada relasi kasih dalam jemaat. Kita harusnya bertumbuh di situ. Kembali lagi, bukan blaming satu sama lain, mulailah dari diri kita. Mulailah dari diri kita, mulai memperhatikan dan care kepada satu sama lain. Itu internal love within congregation.

Dan yang ketiga adalah external love for unbelievers, yaitu suatu kasih eksternal bahkan kepada orang tidak percaya. Lho orang yang tidak percaya harus dikasihi? Ya iya. Karena Allah Bapa juga menurunkan hujan yang sama baik kepada orang benar dan orang fasik. Itu ada ayatnya dan itu perkataan Yesus sendiri. Artinya apa? Yesus juga menyatakan kasih Allah itu di dalam cakupan yang melebihi ekstra luarnya yaitu juga dinyatakan sampai bisa dirasakan orang yang tidak percaya di luar sana. Bukan hanya sekedar saya kasih kamu supaya apa? Supaya kamu jadi Kristen? Oke, itu ada satu hal, misalnya penginjilan lewat pertemanan. Tapi bukan berarti, “Kamu nggak mau percaya? Ya sudah bye-bye.” Oh nggak begitu. Tetap ada suatu batasan kita tetap bisa nggak menyatakan genuineness itu ya, keaslian kasih kita juga kepada orang ini, kepada orang-orang di luar sana. Dan ya who knows, siapa tahu mungkin suatu saat mereka juga akan percaya kepada Kristus. Dan di bagian ini harusnya kita extend kasih kita itu juga bertumbuh di situ. Ini ya, ini bagian ini 3 aspek ini bertumbuh. Relasi kita vertikal kepada Tuhan bertumbuh, internal dengan sesama orang percaya bertumbuh, dan juga bahkan sampai di luar batasan gereja kita juga harus bertumbuh. Kenapa sih kita kerjakan KKR Regional? Ya kalau kita mau honestly speaking, buang-buang duit kan? Juga berapa sih yang diinjili itu datang gereja sini? Nggak ada kan? Buang-buang duit, terus apa? Ya itu sebenarnya menjadi suatu didikan bagi Bapak, Ibu, Saudara-saudara sekalian, kalau kita sekarang nggak sadar, untuk kita mau berbagian mengasihi orang di luar sana; karena mereka juga butuh Injil sama seperti engkau dan saya juga butuh Injil. Dan itu kita kumandangkan nyatakan itu kepada mereka, meski kita tidak mendapat balasan untung sama sekali. Itu kita belajar bertumbuh di dalam external love for unbelievers.

Dan kemudian di dalam bagian ini saya pikir ini saya pakai istilah yang dipakai John Frame bahwa ya, kalau kasih itu pun bertumbuh dan tidak statis, maka kita ngerti pengertian itu pun harus bertumbuh. Di dalam John Frame punya istilah itu mengenal di dalam pengetahuan yaitu berbicara dia dalam bentuk triperspectivalism ya. Itu dia pakai unsur itu ada 3 unsur yaitu bertumbuh mengenal Allah, ini adalah aspek normatif. Kita harus bertumbuh semakin mengenal Allah. Belajar kebenaran firman, itu pengetahuan kan? Bertumbuh semakin mengenal kebenaran Allah. Orang tidak bisa bilang, oh saya makin mengasihi Tuhan, makin mengasihi Tuhan, lalu tidak kenal. Di dalam buku R.C. Sproul itu ya, Dasar-Dasar Kebenaran Iman Kristen, dia katakan bagaimana mungkin seorang itu mengasihi Allah yang tidak dikenal? Kita harus bertumbuh juga di dalam aspek pengertian, di dalam aspek pengetahuan, di sini pengetahuan yang benar akan Allah dan ini adalah satu aspek-aspek normatif karena dasar kebenaran firman itu yang menjadi dasar kita ngerti hidup harus gimana. Dan itu kita bertumbuh mengenal Allah. Dan sebagaimana Calvin juga katakan, di dalam Institute bagian pertama, yaitu setelah mengenal Allah itu bukan cuma berakhir mengenal Allah, tapi ber-impact untuk mengenal diri. Itu ya. Jadi bukan cuma aspek normatif, ada aspek eksistensial. Setelah kita mengenal Allah, itu orang membawa diri orang itu pada efeknya justru makin mengenal diri. Heran ya. Kalau kita pernah alami mungkin di dalam satu relasi, apalagi dalam keluarga atau relasi yang memang dekat, kita kadang itu ya kalau mengenal pasangan kita misalnya, atau orang yang begitu dekat dengan kita, kadang-kadang itu membawa kita lebih bisa mengenal diri kita kan. Kalau orang yang belum pernah alami ya susah saya jelasin gitu ya. Ya itu dalam kehidupan kita kadang-kadang baru tahu, oh semakin mengenal dia, saya baru tahu, oh iya saya orangnya kayak gini ya. Heran ya? Karena itu interpersonal relationship. Relasinya itu bukan cuma satu arah ini, monolog gitu ya. Oh saya kenal kamu, saya kenal kamu. Tapi karena dalam relasi itu bertumbuh, maka saya juga makin mengenal diri saya seperti apa. Bukankah dalam kehidupan di dalam pasangan itulah kita bertumbuh juga semakin mengenal diri kita lewat kacamata pasangan kita. Terkadang seperti itu. “Oh kamu begini,” baru, “iya ya saya begini.” Atau ketika mungkin kadang dengan pasangan kita, kita bisa clash, marah sampai ribut, lalu kita ambil merenung pikir, iya ya, kok saya bisa marah ya? Nah itu. Itu step mengenal diri. Itu karena ada relasi yang dalam itu.

Dan di sini kita mengerti di dalam ketika kita relasi bergumul dengan Tuhan, justru semakin mengenal Allah yang kudus, makin kita sadar kita ini orang berdosa. Orang yang semakin mengenal Allah itu kudus, justru semakin sadar bahwa dirinya ini adalah berdosa. Itu. Saya bisa ngomong ke anda ratusan, ribuan kali, anda orang berdosa, kita orang berdosa, tapi sampai anda itu sungguh-sungguh bertumbuh mengenal kekudusan Allah, baru kita sadar betapa hinanya, betapa berdosanya kita. Dan itu bukan karena anda mendengar teguran dari mimbar, tapi di dalam relasi anda dengan Allah, anda sadar, betapa sebenarnya kita berdosa yang dikasihani oleh Tuhan, yang dikasihani Tuhan. Dan itu ada aspek mengenal diri. Lalu kemudian dari Frame makanya ada aspek yang ketiga yaitu aspek situasional yaitu mengenal dunia kita. Karena kita memang bukan dari dunia, tapi tidak dipanggil juga untuk keluar dari dunia. Dan ini knowledge ini juga harus bertumbuh. Kadang-kadang orang yah, “Oh, yang penting saya berelasi dengan Tuhan, terus saya mengenal diri saya makin tepat”Kenapa ya gagal dalam kehidupan? Dia enggak kenal dunia ini kayak gimana. Dia nggak ngerti dunia ini sekarang bergerak seperti apa, dan tantangan dan arus zaman itu seperti apa. Karena orang kalau tidak mengenal situasi dunia ini yaitu sering kali gagal dalam kehidupan.

Dari bagian ini kita mengerti, pembahasan Paulus itu mengatakan inilah bicara hulunya kamu bertumbuh dalam aspek knowledge, di dalam pengertian dan juga di dalam kasih; bertumbuh, terus bertumbuh, asah gali lagi. Dan sembari kita bergumul bertumbuh itu, ingatlah ketika kita tumbuhkan itu, Tuhan sendiri yang akan bukakan setahap demi setahap. Lalu setelah kita makin bertumbuh di dalamknowledge, makin bertumbuh juga di dalam love, lalu bawanya ke mana; hilirnya ke mana? Nah ini di dalam teks Indonesia itu mengatakan bahwa “…dan dalam segala macam pengertian.” Dalam terjemahan Inggris itu pakai istilah discernment, kayak wisdom ya, kayak bijaksana. Discernment itu kemampuan membedakan, suatu kearifan ya kalau terjemahan Indonesia. Nah, di sini kita lihat, di dalam bagian ini ketika kita bertumbuh dalam kasih dan di dalam pengetahuan yang benar, ini semua adalah hulunya; yang hilirnya itu kita bawa ke mana? Ya hilirnya itu bawa kepada kehidupan yang berbijaksana itu.

Kita pernah alami ya, dalam kehidupan ini kita sadar kok bahwa love danknowledge kita itu terbatas. Kasih kita itu terbatas, pengetahuan kita terbatas. Tapi kemudian dikembangkan dan bertumbuh sedemikian itu untuk apa? Untuk diarahkan untuk hidup yang berbijaksana, untuk punya kearifan itu, discernment. Untuk Anda tahu memikirkan sejauh yang sekarang Anda miliki, apa yang bisa Anda kerjakan? Kadang-kadang itu ya, sayang sekali saya ketemu dengan orang Reformed, ketika misalnya, “Ayo, penginjilan. Kamu kan sudah tahu doktrin yang benar.”  “Wah, bagaimana kalau saya takut?” “Takut kenapa?” “Takut ajaran sesat.” Oke, satu sisi bagus ya, gitu. Tapi terus maksudnya mau gimana? Ya tunggu saya belajar dulu, belajar sampai pintar sekali sampai lengkap semua baru saya menginjili. Ya, too late. Orang yang tadinya Anda mau injili mungkin sudah mati. Lihatlah, kita lihat dalam di pertumbuhan fase kita, karena ini adalah proses bertumbuh bukan sesuatu yang instan. Di dalam pengetahuan yang kita miliki, di dalam kasih yang kita punya hari ini, iya hari ini, bawalah itu untuk Anda melakukan tindakan yang arif, bijaksana. Yaitu untuk Anda melakukan, lihat, apa yang bisa Anda kerjakan sekarang.Saya pikir menarik ya di dalam salah satu sharing yang saya temukan yaitu Haldor (Lillenas – red), ada seorang pengarang lagu, Haldor itu, mengarang lagu Wonderful Grace of Jesus; Rahmat Yesus yang Indah. Anda tahu lagu ini dikarang itu bermodalkan apa? Pakai organ. Yang harganya berapa? $5. $5, Bapak-Ibu Saudara. Kita mungkin modalnya jauh lebih banyak dari itu; kita sudah bikin apa? Apa yang sudah kita perbuat bagi Tuhan? ‘Oh, andai kata Haldor ini punya suatu modal yang lebih limpah, lebih limpah, dia mungkin bisa karang lebih bagus.’ Iya, iya, iya, tapi dari modal dia punya, itu yang dia kerjakan. Dan itu yang lagunya masih kita nyanyikan sampai hari ini. Di sini kita lihat love and knowledge itu sebenarnya menjadi modal kita untuk bertumbuh; untuk bagaimana kita mengolah data itu – kalau seumpama pakai istilah ini – yaitu itu sebenarnya menjadi modal dan data kita untuk bagaimana kita itu berbijaksana. Karena itulah jangan kita itu justru puas dengan berakhir dengan kepunyaan semua data ini.

Kembali ya kalau seumpama pakai istilah term ini – data – misalnya saja ada seorang Bapak yang punya, seorang Ayah yang punya uang yang sangat banyak ya. Lalu dia pikir pada anaknya, “Ya sudah, nih. Nak ini jatahmu ya. Tak kasih ini modal.” Bagus nggak? Mungkin bagus ya. Kalau saya bilang nggak. Bukan cuma kasih. Tahu nggak dia ngolahnya? Nangkap ya? Bukan cuma dikasih datanya; tahu olahannya nggak? Tahu mengkajinya nggak? Tahu mengembangkan nggak? Kalau nggak, ya akan habis. Nih, dikasih nih. Foya-foya terus habis. Anda cek saja survei kita. Orang yang misalnya menang lotere atau kaya mendadak, setelah itu hidupnya jadi bagus tidak? Begitu hancur; lebih hancur bahkan dari sebelumnya loh. Nangkap ya? Bukan itu cuma uangnya, misalnya, dia dari uangnya cuma secukupnya, terus dapat nih, bonus, karena kamu, apa, juara lari, gitu mungkin ya. Tanpa dimodalin, pokoknya nih jadi juara terus dikasih nih, dari pemerintah nih, ratusan juta, gitu. Habis itu, oh kaya. Punya ratusan juta. Setelah itu, kalau nggak diajar sebenarnya gimana mengelola ratusan juta itu, habis itu dia bangkrut. Dan bukan cuma bangkrut, terlilit hutang, sampai minus. Lebih minus dari sebelumnya. Kenapa? The problem is not the data; the problem is how to evaluate the data. Bagaimana mengolah, bagaimana mengasah data itu. Sama, sehingga di sini kita melihat love and knowledge itu sebenarnya jadi modal dalam kita untuk kita kelola kembangkan di dalam kehidupan kita.

Dan banyak dalam kehidupan ini sebenarnya orang gagal di situ kan? Kenapa ya kadang-kadang kalau kita kehidupan sekarang, kalau kita ingat, iya ya, teman sekolah saya anaknya paling pintar, gitu ya, yang juara di kelas. Ternyata di kehidupan, biasa-biasa aja, malah gagal. Mudah-mudahan bukan Anda, gitu ya. Misalnya gitu. Kenapa ya kayak gitu ya? Padahal dia pintar sekali, pintar sekali di kelas. Kenapa ya? Ya itu, dia cuma tahu jawab soal. Tidak bisa mengolahnya dalam kehidupan. Tidak tahu dalam kehidupan ini seperti apa. Bukan hanya muncul, oh soalnya apa. Kalau dalam kehidupan ini kadang soalnya itu nggak kelihatan. Tapi kadang-kadang orang yang sepertinya biasa-biasa saja di sekolah tapi dalam kehidupan kok bisa sukses ya, kenapa? Kembali, bukan karena datanya lebih banyak. Tapi meski datanya sedikit, dia pintar olahnya. Dia pintar olahnya itu loh. Oh memang masakan saya bukan juara paling satu, tapi saya bisa sajikan terus jual, dan bagaimana kemasan, orang bisa nikmati dan laku. Loh, restoran paling laku itu kan bukan restoran yang paling enak dan paling top gitu kan? Meski itu mungkin margin-nya paling besar, mungkin. Tapi yang biasa-biasa saja tapi bisa diolah, dikemas dan disajikan dengan bagus. Nah itu. Karena kadang-kadang orang itu gagal  di dalam mengelolanya itu sendiri. Dan ini yang kadang-kadang kita juga lupa memikirkan gimana kehidupan kita setelah setiap kebenaran firman yang kita dapatkan. Setiap kasih yang sudah bisa kita rasakan, lalu kita bertumbuh di dalam kasih itu. Bagaimana itu modal kita untuk memmbalas kasih Tuhan di dalam pekerjaan dan panggilan yang Tuhan nyatakan bagi kehidupan kita. Itu harusnya kita terus pikir: “Lalu saya harus lakukan apa bagi Tuhan? Apa yang harus saya kerjakan bagi Kerajaan-Nya?” Dan itu butuh bijaksana, kearifan untuk bisa mengolahnya. Karena keputusan sehari-hari itu tidak muncul datanya – anda tanya saya harusnya apa? Kayak Q&A?Ya nggak begitu. Banyak faktor dalam kehidupan ini dan makanya butuh discernmentspiritual discernment yang didoakan makanya oleh Paulus ini, suatu doa untuk punya suatu kearifan rohani untuk bisa membedakan, mengambil langkah yang tepat seperti apa. Mengambil langkah yang tepat seperti apa.

Mungkin suatu contoh yang lain saja juga, mungkin sederhana dalam kehidupan kita, kenapa ya kadang kalau misalnya kita pusing, terus misalnya kita ke dokter, gitu ya, lalu dokternya bilang, “Oh, Anda pusing ya? Ya sudah. Nih, ta kasih obat.” Apa? Paracetamol. Minum, sembuh. Terus besok-besok kita datang, “Wah! Saya pusing lagi, Dok,” datang lagi. “Oh, kamu pusing?” Sudah, dikasih lagi Paracetamol, gitu. Bolak-balik gitu. Itu benar nggak dokter kayak gitu? Ya enggak loh, kenapa? Karena itu cuma lihat symptom-nya (gejala – red). Dokter itu kalau belajar itu – yang bikin dokter itu mahal itu apa sih? Bukan masalah “Oh, kalau orang pusing kasih Paracetamol,” itu saya juga bisa. Tapi yang bikin mereka pendidikan mahal itu apa? Dari sekian data symptom-symptom penyakit yang ada itu, bagaimana dia punya discernment menilai penyakitnya ini, lalu obatnya apa. Itu punyadiscernment di situ. Dan dalam kehidupan itu di situ; punya discernment, punya suatu kearifan hidup bijaksana, kenapa kita gagal menjalani kehidupan ini? Dan inilah menjadi dorongan Paulus bagi setiap kita, bagi jemaat Filipi dan bagi setiap kita. Di tengah penderitaan kesulitannya yang dia alami, tapi dia terus mengingat,“Ingatlah kamu tetap harus bertumbuh. Karena kamu harus bertumbuh dalam pengetahuan, di dalam kasih yang membawa kamu hidup bijaksana.” Memang di dalam semua pemberitaan Injil akhirnya saya masuk ke penjara. Bukan lantas, oh ya udah, besok-besok kita penginjilan cari aja yang mana dekat-dekat penjara. Ya enggak begitu juga, gitu ya. Punya bijaksana, tapi sekaligus tetap punya hati yang, yah kalau sampai kita lakukan sudah yang terbaik eh dapat hasil yang buruk, ya sudah. Tapi kita lakukan sudah yang terbaik bagi Tuhan kita. Dan ini yang terus diingatkan dan didorong oleh Paulus, justru kegagalan manusia sering kali adalah justru kegagalan untuk hidup bijaksana. Dan banyak orang Kristen juga gagal dalam hal ini.

Saya mungkin menutup di dalam khotbah hari ini teringat dengan kisah Lot. Kalau kita ingat kisah Lot itu, ya kita terus, jujur ajalah, kalau kita baca cuma Perjanjian Lama, kita pikir Lot ini orang apa sih? Bocai. Orang nggak guna ini; ngapain? Sudah dibantu, sama Abraham, ikut Abraham, okelah mulanya bagus. Eh, waktu bagi pilih tanah, oh dia pilih sendiri, pilih duluan gitu ya. Omnya belakangan, saya pilih yang bagus dulu. Sudah pilih, eh pilihnya Sodom dan Gomora. Tapi ada suatu catatan menarik bahwa itu kelihatan seperti Taman Tuhan; jadi sepertinya tempat yang paling makmur, gitu, paling sukses, paling jaya di zaman itu. Dia pilih sana. Terus kita, singkat cerita hidupnya bolak-balik malah rusak, malah makin seperti begitu, dan sampai akhirnya malah, ya kita tahulah bagaimana setelah dibebaskan dari Sodom-Gomora keturunannya itu nggak baik. Ya, saya nggak usah lebih eksplisit dari itu. Kalau kita baca dari Perjanjian Lama – ya sudahlah – ini cuma kisah Lot, keponakan yang bocai gitu ya. Keponakan yang nggak guna, ya cuma bagian serpihan dari kehidupan Abraham kan? Tapi menariknya ketika kita baca Perjanjian Baru, dikatakan Lot itu adalah ‘orang benar’. Oh itu saya, bagi saya, itusurprised. Karena di dalam Surat Petrus itu mengatakan Lot itu orang benar. Loh ini, kayak gini kok hidupnya, (orang) benar? Nah, itulah orang benar yang gagal dalam kehidupan. Gagalnya di mana? Start dari gagal memilah yang mana yangbenar itu seperti apaImannya benar nggak? Benar, Alkutab konfirmasi imannya, dia dikatakan orang benar kok. Ayo, siapa di antara kita ada namanya di Alkitab sini? Saya pun nggak ada. Leo ini atau pun Leo itu juga nggak ada di Alkitab: “Ini orang benar,” nggak ada. Lot itu ada lho. Tapi gagal hidupnya. Itulah orang yang selamat, punya pengetahuan yang benar, punya kasih yang betul pada Tuhan, tapi gagal dalam kehidupan. Tidak menjadi contoh, hanya malah menjadi batu sandungan dalam hidupnya. Tapi biarlah kisah Lot itu, ingatlah akan Lot. Itu justru menjadi peringatan, dorongan bagi setiap kita, bagaimana hidup bijaksana, untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Bagaimana kita hidup sungguh berfaedah bagi Kerajaan Surga. Berbagian di dalam mendukung pekerjaan Tuhan; perluasan Kerajaan Surga. Sampai kita bertemu dengan Tuhan kita, muka dengan muka. Amin.

[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]

Comments