Kesatuan Kristen Sejati, 17 Februari 2019

Flp. 2:1-4

Vic. Leonardo Chandra, M.Th.

Dalam salah satu kesempatan saya pernah pergi dalam suatu retreat. Lalu dalam lokasi retreat itu ternyata karena cukup luas maka ada juga orang lain yang melakukan retreat. Dan di retreat orang lain itu, kelihatannya juga Kristen ya, itu ada dia paang langsung banner-nya dengan moto, slogannya dituliskan di depan: we are one. Kami adalah satu. Dan memang slogan-slogan seperti ini itu kadang-kadang ada muncul di dalam beberapa event, di dalam beberapa tema itu, we are one, kita adalah satu. Tapi pertanyaannya, satu di dalam apa? Kenyataannya di dalam Kitab Suci ketika mencatat dimana manusia itu mulanya satu bahasa, satu tujuan, yang mereka kerjakan adalah membangun menara Babel lalu pikir mau naik ke langit, itu sebenarnya mau bicara mereka mau menantang Tuhan, mau seperti Tuhan. Dan menarik di dalam Kitab Perjanjian Lama, dalam Kitab Kejadian itu mencatat dikatakan “Tuhan turun melihat apa yang mereka kerjakan.” Itu tentu kita menngerti bukan maksudnya Tuhan perlu turun untuk lihat “apa sih?” Nggak, karena Dia maha hadir, Dia maha tahu, Dia maha kuasa. Tapi itu adalah bahasa sindiran yang mengatakan mereka itu mau bangun menara sebegitu besar sampai ke langit, Tuhan yang di langit itu bilang “Saya perlu turun untuk lihat apa yang kamu buat. Yang kamu buat itu begitu rendahnya dan Allah itu begitu tinggi adanya.” Dan kita tahu akhirnya mereka itu dicerai-beraikan dan mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda-beda semuanya. Itu menarik, kalau kita kapan ada waktu bicara itu ada kaitannya nanti dengan Pentakosta, ada kemiripan, paralelnya dalam bahasanya. Tapi anyway kita jadinya berkesan bahwa ketika berpatok saja kembali dalam peristiwa menara Babel, yaitu seolah-olah Tuhan nggak suka kalau orang bersatu. Seolah-olah Tuhan nggak suka kalau mereka kumpul bersama dan sepertinya suka untuk dipisahkan. Tapi saya percaya sebenarnya di dalam Kekristenan mengajarkan ada kesatuan juga, tapi pertanyaannya yang intinya itu bukan masalah bersatu atau berpisah, tapi persatuan di dalam hala apa dan persatuan seperti apa? Itu yang perlu kita pelajari di sini.

Menarik di dalam merenungkan bagian ini saya teringat sekali bahwa di dalam doa Tuhan Yesus sendiri, di dalam saat-saat terakhir sebelum Dia akhirnya disalibkan itu yang dicatat dalam Injil Yohanes. Di dalam Injil Yohanes 17 itu adalah mencatat setelah Yesus sebelumnya mendoakan, yang dicatat di dalam Injil sinoptik ya, “Ya Bapa, jikalau sekiranya mungkin biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku. Tapi biarlah bukan kehendak-Ku yang terjadi melainkan kehendak-Mu.” Dia meneriakkan itu 3 kali sampai Dia terakhir bahwa memang ini, ya kalau mau dibilang, Dia melihat itu dalam pergumulanNya bahwa ini memang harus diminum cawan itu, dan Dia terima bagian itu menjadi memang panggilanNya sesungguhnya, dijalankan sampai akhirnya mati di kayu salib. Tapi kemudian ada dicatat dalam Injil Yohanes itu ada doa percakapan pribadi yang intim, yang diutarakan dari Allah Anak kepada Allah Bapa. Di dalam doa itu ada suatu keindahan tersendiri karena itu adalah doa bukan lagi meminta untuk kehendak Allah itu untuk dirubah, cawanNya itu Dia nggak tanggung, tapi ada doa yang berbicara antar relasi dari Allah Bapa dan Allah Anak itu. Banyak hal yang bisa dibahas dalam doa Tuhan Yesus yang terakhir itu. Salah satunya adalah bicara tentang mengenal Allah itulah kehidupan kekal itu. Tetapi kemudian menarik di dalam doa yang terakhir itu adalah satu cetusan dari Yesus sendiri, yaitu Dia ingin adalah umat Tuhan itu menjadi satu. “Ya Bapa, Aku berdoa supaya mereka menjadi satu, sama seperti Engkau dan Aku adalah satu, sama seperti Kita adalah satu adanya.” Dan itu adalah suatu doa untuk bersatunya gereja, bersatunya umat Tuhan. Tapi pertanyaannya, yang dimaksudkan Tuhan Yesus itu bersatu itu seperti apa? Satu organisasikah? Satu denominasikah? Atau seperti apa?

Dan di bagian ini, di nats ini saya pikir bukan kebetulan di dalam pembahasan dari Paulus ini adalah berkaitan, berbicara true christian unity, yaitu kesatuan sejati dari orang Kristen itu sendiri. Dan ini yang menjadi tema di dalam pembahasan khotbah di hari ini, seperti apa sih kesatuan Kristen yang sejati? Kadang-kadang orang suka berpikir, “Hoi kita harus bersatu, bersatu, kumpul,” lalu berkumpul seperti apa? Dan seringkali di dalam persatuan, perkumpulan-perkumpulan orang Kristen kita menyatu di situ, seringkali ketika menyatu orang selalu berpikir, “Oh kita kalau bersatu seperti ini, beda denominasi, beda pemikiran, ya sudah kompromikan kebenaran itu demi persatuan.” Tidak bisa seperti itu, karena kita tahu sendiri yang persatuan dimaksud Yesus adalah persatuan tanpa mengkompromikan kebenaran. Terutama berbicara tentang mengkompromikan kebenaran esensi yang dinyatakan di dalam Kitab Suci. Iman yang dicatat di dalam Kitab Suci itu adalah esensi dasar semuanya, dan itu adalah kebenaran-kebenaran yang mutlak adanya yang tanpa boleh dikompromikan. Tapi ada bagian-bagian lain yang kita bisa toleransikan, yaitu misalnya kebiasaan, ada pembawaan masing-masing, adat istiadat, budaya yang memang pasti berbeda-beda. Kita tidak perlu bersatu dalam pengertian semua seragam karena itu uniformity; tapi kita adalah bersatu di dalam unity, adanya suatu kesatuan dan tentu tetap di dalam keberagaman yang ada. Kita itu jangan terlalu heran ya dengan istilah kalau Indonesia itu “Bhineka Tunggal Ika,” itu bukan start dari ide muncul sendiri. Tapi itu sebenarnya, saya percaya, itu adalah karena memang para bapak-bapak pendiri dari negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, punya background itu dulu sekolah di Belanda. Dan kita tahu di dalam Belanda itu adalah pengaruh dari Dutch Reformed, dari pengaruh orang Reformed yang ada di Belanda, dan sedikit banyak mereka mendapat pengaruh dari hal itu ya kemudian mereka impor dari sana. Dan ini kalau kita kembali akarnya adalah sebenarnya bicara dari Tritunggal itu sendiri. Ada kesatuan, satu esensi, tapi 3 Pribadi yang berbeda.

Saya lanjutkan lagi, kembali di dalam pembahasan ini. Di dalam bagian ini Richard Mellick itu mengatakan bahwa perikop ini bisa dibagi menjadi 3 bagian, itu berbicara memang tema kesatuan, yaitu the bases of unity, the essence of unity, and the expression of unity. Yaitu tentang dasar kesatuan, lalu esensi kesatuan itu, dan terakhir ada ekspresi dari kesatuan itu seperti apa. Dan ini akan kita bahas di dalam khotbah hari ini. Yang pertama, yaitu bases of unity, yaitu adanya dasar dari kesatuan itu sendiri seperti apa, apa sih yang menjadi dasar kita bisa bersatu satu sama lainnya? Apakah karena satu hobby, satu kesenangan, atau satu jenis pakaian, atau satu perusahaan, dan segala macamnya? Bukan, landasan kesatuan kita di sini sebagaimana Gordon Fee katakan adalah ada 4 pengalaman yang sama, yang serupa, yang dialami oleh orang Kristen; yaitu adanya anugerah yang Tuhan berikan kepada kita, yang diberikan oleh Allah Tritunggal. Dan karena itu Gordon Fee memberikan ini didasarkan dari Allah Tritunggal itu sendiri. Dia lihat ini ada kalimatnya di dalam teks aslinya itu ada kemiripan yang dikatakan juga dalam 2 Korintus 12:13. Yang pertama adalah adanya suatu encouragement, dorongan, kalau terjemahan Indonesia itu adanya nasihat, tapi dalam terjemahan lain itu ada suatu encouragement, suatu dorongan semangat di dalam Kristus. Yaitu kita punya kesatuan kenapa? Karena kita diberikan semangat, diberikan encouragement di dalam Kristus. Kita mengalami Kristus yang sama. Di dalam bagian ini saya percaya ketika bicara encouragement, dan kadang-kadang kita berada di zaman sekarang yang getol dengan: “Ayo harus memberikan motivasi, ayo memotivasi satu sama lainnya,” dan bahkan di mana-mana itu, orang, perusahaan-perusahaan itu suka undang motivator-motivator. Dan herannya yang begini juga sampai masuk ke dalam gereja. Kadang-kadang khotbah itu hanya isinya motivasi saja.

Bagi saya sendiri secara pribadi, dalam khotbah apa ada suatu dorongan motivasi? Iya, bisa, tapi bukan itu tujuan utama khotbah. Kembali ya, ada banyak hal-hal lain yang baik dalam dunia ini, ada banyak hal-hal lain yang bisa kita lakukan dalam dunia ini, tapi itu bukan tempatnya di dalam ibadah, bukan tempatnya itu di dalam kebaktian, apalagi tidak tentu ada tempatnya di dalam penyampaian firman. Ambil contoh sederhana saja seperti misalnya orang Jogja suka makan gudeg, itu adalah makanan setempat sini, fine fine saja jika anda makan sesuai dengan porsinya. Tapi kemudian hal yang baik itu menjadi hal yang tidak baik ketika misalnya “O orang di sini terbiasa makan nasi, ayo kita Perjamuan Kudus diganti saja rotinya menjadi nasi,” misalnya. Karena seseuatu yang baik itu ketika salah penempatannya menjadi hal yang tidak baik. Dan itu saya melihat dalam banyak hal itu kita belum bisa peka itu ada posisinya sendiri. Dan karena itulah kadang-kadang gereja itu ada keliru ketika menekankan tentang motivasi, diarahkan motivasinya itu ke arah mana dan motivasinya itu didorong seperti apa? Tapi ketika di dalam bagian ini kita juga tidak terlalu tidak usah di aspek lain, kita nggak usah terlalu alergi misalnya kalau ada bagian Alkitab memang memberikan dorongan semangat. Tapi kembali di dlaam Kitab Suci itu jelas menyatakan semangatnya kenapa. Semangatnya bukan karena “Yes, yes, we can. Yes kita bisa,” bukan, tapi kita adalah semangat di dalam Kristus. Kenapa, apa dasar semangat kita? Karena kenyataannya dalam posisi keterpurukan kita, dalam kondisi keberdosaan kita yang tanpa pengharapan, Kristus yang melihat kita dalam kondisi terendah itu Dia malah melihat, “Aku akan mati untuk kamu, menebus kamu, menyelamatkanmu,” itu menjadi dasar semangat bagi kita. Dorongan semangatnya bukan dari diri kita sendiri tapi justru dari luar yaitu karena Kristus itu yang menyatakan belas kasihanNya, Dia mau menebus, menyelamatkan kita bahkan selagi kita masih berdosa.

Dan ini harusnya kalau kita benar-benar menyadari, dan merefleksikan, dan memikirkan bagian ini dalam kehidupan kita, betapa itu menjadi suatu semangat dalam kehidupan kita. Betapapun sulitnya dan tantangan yang kita hadapi dalam dunia ini, betapapun dalam kehidupan ini kita bisa jatuh mungkin dalam kebangkrutan, dalam kesulitan-kesulitan yang tidak kita sangkakan, ingatlah bahwa jangan menyerah. Jangan menyerah kenapa? Karena Allah nggak menyerah pada kita. Hamba Tuhanpun, maafkan saya katakan, bisa menyerah dengan kita. Pasangan kitapun bisa menyerah pada kita. Orangtua kitapun bisa menyerah dan tinggalkan kita, tapi Allah tidak menyerah, dan bahkan bukan cuma tidak menyerah, Kristus tahu kita sudah begitu rusaknya, begitu bobroknya seperti apa, Dia bahkan rela mati untuk membangkitkan kita, untuk menyadarkan kita, untuk mempertobatkan kita, untuk menyelamatkan kita. Dan ini kembali ya kalau kita benar-benar hayati dan resapi apa maknanya dalam kehidupan kita itu menjadi dasar banyak hal dalam kehidupan kita. Kalau beberapa hamba Tuhan lainnya itu mengatakan menjadi dasar penerimaan kita, menjadi dasar pembenaran kita. Dan ini tidak bisa tidak itu pasti menjadi suatu dorongan semangat yang tak habis-habis. Kembali lagi bukan karena kenapa kamu semangat? “Iya dong, masak sebagai laki-laki patah semangat, ayo harus kamu berani, berani,” bukan, karena itu saja dorongan semangatnya berarti dari diri sendiri.  Tapi ini dorongan dari luar, tapi ini justru kita lihat dari luar yaitu dari Kristus yang tidak meninggalkan kita yang tidak melepaskan kita meski kita sendiri sebenarnya sudah tidak mau mencari dia. Dia yang tidak mau meninggalkan kita dan tidak membiarkan kita dalam keterpurukan ini.

Dan ini kembali lagi dalam pembahasan tema kita ini menjadi suatu pengalaman yang serupa yang dialami oleh semua orang Kristen. Sehingga biarlah ketika kita memiliki dasar persatuan itu kita sadar ketika kita menemukan teman kita yang lain, saudara kita yang lain mungkin ada berbeda latar belakangnya, berbeda kebudayaan, beda juga cara pemikirannya, dan segala sesuatu nya, tapi biarlah kita sadar ada dasar kesatuan dan titik temu nya yaitu, kontak poin nya, kita satu sama lain adalah kita ini sama sama adalah orang yang tidak ditinggalkan oleh Yesus. Biarlah kita start dari situ. Ikatan itu menjadi encouragement kita. Kita kadang kadang dalam kehidupan kita bisa  menemukan “Oh ini pak, saya memang beda dengan dia kehidupan ini berbeda beda satu sama lain,” tapi Biarlah kita kembali ke paling bottom, lainnya paling dasar nya hakikinya persatuan kita adalah iya tapi bagaimanapun juga meski saya tidak bisa pahami dia, meski saya tidak tau bagaimana bisa bersatu sepaham dengan dia apalagi dalam memberikan pelayanan tapi yang saya tau sama adalah saya dan dia itu sama sama dikuatkan di-encourage karena Kristus tidak meninggalkan kita. Sama sama tidak meninggalkan kami berdua dalam dosa kami masing masing.  Dan kalau kita kembali kerucutkan di dalam Allah Tritunggal itu kita baru bisa mengerti apa dasar kesatuannya karena itu yang tidak akan berubah. Hobi bisa berubah, kesukaan bisa berubah, dan bahkan di dalam sisi lain, kebencian kita akan sesuatu juga bisa berubah. DI dalam politik itu selalu ada istilahnya itu tidak ada lawan abadi juga tidak ada kawan abadi yang ada itu hanya kepentingan partai, jadi kawan dan lawan itu bisa berubah terus, tidak menentu. Tapi kalau kita lihat di dalam orang Kristen, biarlah kita menjaga kesatuan itu karena kita ingat bagaimanapun juga kita semua sama-sama sudah ditebus oleh Kristus. Dan itu yang menjadi landasan dasar persatuan kita kembali tarik ingat kepada itu. Kalau kita kembali terus ingat ke atas, kembali ingat integral ke atas, melihat persatuan yang dalam Allah Tritunggal, kita akan mengerti bahwa sebenarnya di situlah titik temu kita. Meski di aspek bawahnya secara diferensial memang banyak perbedaan.

Saya lanjut lagi disini. Kemudian berarti juga apabila dikaitkan dengan Tritunggal yaitu start dari ada suatu dorongan semangat dari Kristus, lalu kemudian ada penghiburan kasih; dan di sini dia mengatakan ada suatu penghiburan kasih dari Allah Bapa, meski memang teksnya tidak muncul Allah Bapa ya tapi karena dia kaitkan nanti di sini ada Kristus, ada penghiburan kasih, dan ada persekutuan Roh, sehingga dilihat implied disini bicara  kasihNya itu dari Allah Bapa. Karena sebagaimana juga dicatat dalam Yohanes 3:16, dan ini mungkin ayat yang paling kita hapal ya, “Karena begitu besar Kasih Allah,” yaitu bicara kasih Allah Bapa kepada dunia ini sehingga Ia mengkaruniakan AnakNya yang tunggal. Jadi karena kasih Allah Bapa yang begitu besar itu Dia berikan kepada kita sehingga setiap orang yang percaya padaNya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Dan di bagian sini menjadi suatu penghiburan kita juga bahwa ketika dalam dunia ini kita belajar kasih itu bukan start dari horizontal tapi start dari vertikal. Start dari relasi kita pada Allah Bapa sendiri. Jadi ketika kita biasanya clashed dengan teman kita, atau bahkan clashed dengan pasangan kita yang terkadang malah lebih sulit lagi, tapi biar kita ingat kita ini sama sama orang yang dikasihi Allah Bapa. Itu titik temu kita. Kita kalau cuma mau mengukur ini ya kadang-kadang orang juga terpikir “Kenapa menikah?” “O menikah karena saya cinta dia pak.” Itu ada hamba Tuhan kita sampai istilah ya kamu kalau nikah cuma dasarnya cinta ya nanti besok-besok kalau cintanya hilang bubar aja. Lho dasarnya cuma cinta tok. Bahkan orang dunia kadang bilang ingat ya cinta itu nggak bisa dimakan. Ibarat ini kiasan kasarnya ya cinta itu ga bisa dimakan kamu kalau nggak ada kerjaan, nggak ada usaha apa ya makan aja tuh cinta makan aja bunga gitu ya. Nggak bisa, harus memang punya ada kedewasaan bertumbuh. Ini bukan bicara uang berapa banyak, bukan, tapi ada suatu kedewasaan mau berjuang bertumbuh bersama membina keluarga itu. Itu keuletan dari manusia itu  yang menjadi dorongan membentuk keluarga. Dan sama ketika akhirnya juga di dalam perasaan  itu secara emosi itu bisa berubah kita bisa naik turun.

Bahkan dalam beberapa kesempatan misalnya seperti dalam Persekutuan Remaja saya pernah tanya, “Siapa yang di sini pernah naksir seseorang? Angkat tangan.” Wah sebagian besar angkat tangan. Terus saya tanya, “Siapa di sini yang pernah naksir seseorang, lalu something happen gitu ya, ada sesuatu yang terjadi entah berapa lama sekarang malah benci bukan main dengan orang itu?” Dan beberapa angkat tangan juga. Nah di situ kita sadar ya, perasaan emosi itu memang selalu tidak stabil, bisa berubah-ubah. Kalau kita lihat cinta sebagai suatu emosi saja ya memang bisa hilang. Dan bahkan bisa bergerak itu menjadi anti tesisnya, menjadi sebaliknya, menjadi benci bukan main. Tapi Kalau kita bersandar kepada itu, kepada kasih dunia dan itu sebenarnya bicara kasih eros yang memang ada unsur-unsur nafsunya itu, memang tidak stabil, itu bisa berubah rubah. Tapi kalau kita kembali diingatkan, sandarkan kita kepada kasih Allah Bapa, kasih yang kekal adanya, yang tidak berubah, kasih agape itu. Itu yang kita ingat, itu yang tetap. Kita bisa berteman satu sama lain, oh hubungan baik suatu saat bisa clashed, bentur, tapi kita ingat kita sama-sama dikasihi Allah Bapa. Karena itu “Yuk bersatu, yuk jangan mau pecah, jangan mau kisruh buat sana sini hanya untuk urusan yang sering kali juga itu cuma urusan yang remeh temeh, bukan berurusan urusan yang esential, bukan urusan, “Oh iya pak, saya ketemu dia ini pengikut anti-Kristus,” jarang. Jarang orang ribut karena itu. “Oh saya ketemu pak, dia ini ajarannya bidat,” jarang sekali. Mungkin cuma memang para reformator itu  yang ribut karena itu. Kita selalu urusannya ribut tuh hal-hal yang remeh temeh, urusan-urusan opini, urusan-urusan, hal-hal ya sudah memang itu ada yang beda-beda bagian dan sebenernya bukan hal yang esential seperti katakanlah Kitab Suci. Tapi saya kembali tarik lagi kalau kita mau kembali apa bisa kita dasar bersatu, biarlah kita ingat karena kasih dari Allah Bapa. Itu yang vertikal, itu yang tetap, dan itu yang tidak berubah, meski perasaan kita bisa berubah bisa naik-turun dan bahkan bisa hilang, tapi kalau itu diwarnai dari kasih Allah Bapa maka itu akan bisa titik balik lagi, dan bisa dipulihkan lagi, dan bisa dipersatukan lagi karena sumbernya itu kembali kepada Allah Bapa Sang Sumber segala sesuatunya itu. Ini menjadi dasar persatuan kita.

Lalu kemudian yang ketiganya, ada dipakai istilah ada persekutuan Roh, ada participation yang dalam terjemahan nya ada participation atau fellowship dan in spirit Adanya suatu persekutuan atau partisipasi dari Allah Roh Kudus bagi setiap kita. Dan saya pikir ini penting, yaitu kenyataannya siapa di sini yang berfikir, “Saya sudah sempurna”? Nggak ada. Kita itu suka ngomong gini “I’m in process,” tapi kalau orang salah, “O kenapa kamu salah?” Ya nggak bisa, karena diapun in processIn process by the Spirit. Diproses juga oleh Allah Roh Kudus dalam pengudusan yang progresif itu. Kita kalau masih berproses, ya orang lain juga sama. Tapi yang kita ingat Allah Roh Kudus tidak pernah meninggalkan kita dan masih terus memproses kita. Justru karena memang dia akan terus proses kita. Dan itu kita bisa belajar itu kan bahwa dalam banyak hal yang penting Allah Roh Kudus ada dalam dirinya, ada dalam diri kita, berarti masih ada titik temunya. Karena ketika gang buntu nggak ketemu nih satu ngomongnya A dan satu seperti ngomongnya anti A, biarlah kita kembalikan ada titik temunya dimana Roh yang sama, yang berbicara di hati saya, yang mengingatkan saya akan dosa saya, juga adalah Roh yang sama yang saya percaya juga bergerak dalam diri dia yang menginsyafkan dia dan mungkin kalau kita akan sampai ada suatu di titik temu nanti entah di dunia ini kalaupun misalnya tidak sempat ya akhirnya juga di kekalan nanti. Tapi itu menjadi landasan dasar persatuan kita. Kembali kita ingat kadang-kadang orang itu suka bersatu itu untuk hal-hal yang sebenarnya remeh temeh, hal-hal yang level di bawah, yang sebenarnya biasanya bisa diferensial sekali, yang bisa berbeda sekali, tapi lupa bahwa basic persatuan kita adalah in spirit. Kalau ada Roh yang sama yang bergerak dalam diri kita maka kelak niscaya pasti suatu saat pasti nanti bisa ketemu. Roh yang sama yang pimpin kok. Tapi kalau Roh-nya beda kapan mau ketemunya? Dan kalau sebentar “Oh sepertinya ketemu pak,” ya itu cuma pada titik itu, suatu saat pasti akan berseberangan karena roh-nya berbeda.

Itulah sebabnya nanti di dalam bagian lain seperti dalam 2 korintus 14 “Jangan kamu mencari pasangan yang tidak seimbang,” itu terjemahan Indonesia. Kalau dalam terjemahan bahasa Inggris “unequally yoked,” yaitu kuk yang tidak sama, kuk yang tidak sama rata gitu. Kenapa? Karena bicara ketika kita berpasangan dengan orang-orang yang beda iman dengan yang bukan di dalam Kristus itu kuknya beda. Menarik ya, di dalam bagian itu kalau kita ingat kembali Kristus itu mengatakan bahwa “Mari datang kepada-Ku, hai kamu yang letih lesu dan berbeban berat Aku akan memberikan engkau kelegaan. Pikulah kuk yang Kuberikan karena kuk-Ku itu enak dan ringan.” Jadi, menjadi orang Kristen itu bukan kita lepas bebas “Hore bebas, bebas, nggak ada apa apa,” nggak, ada kuk yang memang diberikan kepada kita. Tapi kuk itu adalah kuk yang enak dan ringan. Dan di situ kita ngerti kuk itu  diberikan kepada setiap orang Kristen, yaitu kuk kebenaran firman dan tuntutan dari Tuhan untuk di mana kita berjuang mentaati kehendakNya, menggenapi rencanaNya dalam kehidupan kita. Dan kita harus ingat ya dengan esensi ini kuknya itu bagi orang non-Kristen memang beda.  Memang beda, tidak akan ketemu.

Saya ingat dalam suatu waktu itu  ketika saya waktu itu masih mahasiswa STT lalu saya praktek di pusat. Suatu ketika itu dikumpulkan bersama dengan pendeta Ivan. Lalu dia sharing pada kami dia bilang seperti ini, ketika pertama kali pak Tong canangkan kepada dia, “Ivan, kamu  buat sekolah, Sekolah Kristen Calvin.” Lalu sudah mau mempersiapkan itu, cari guru-guru, ya kan? Karena sekolah bukan cuma ada tempat. Wah guru nya seperti apa? Nah di situ dia sharing pada kami, dalam pergumulan dia, dia ingat lalu mau cari orang yang seperti apa guru-gurunya. Secara sederhana dia berikan kepada kami ada dua macam kelompok orang, yang pertama itu orang-orang yang hatinya sudah mengerti visi gerakan Reformed, mengerti misi gerakan Reformed, tahu pak Tong, sudah biasa ibadah di kita, rutin ikut dengan kita, hatinya sudah di kita ini. Tapi ya maaf kata, masih she kia, masih anak-anak, masih cupu. Ya sorry ya bukan maksudnya masih anak kecil, bukan, maksudnya baru lulusan S1 belum ada pengalaman apa-apa. Oh menjadi guru SMP ya bisa sih secara memang standar persyaratannya cukup, ya tapi belum ada pengalaman apa-apa, tapi ini orang-orang kita, rutin ikut pemuda kita. Ya ini kelompok pertama. Kelompok kedua, orang-orang yang sudah bertahun-tahun ngajar, oh sudah kawakan, ngerti system pengajaran, kurikulum, segala sesuatunya, oh sudah hafal, ngerti semuanya, sudah punya pengalaman kerja, jam terbang yang tinggi. Tapi, eh belum ngerti gerakan Reformed, hatinya belum di kita, belum ngerti doktrin-doktrin Reformed, ya masih belajar-belajar lah seperti itu. Lalu pak Ivan tanya kami, “Kamu kalau hadapi ini, kamu pilih yang pertama, hatinya sudah di kita tapi tidak ada skill sama sekali, atau yang kedua, skill nya sudah bagus, hatinya belum di kita?” Dia langsung bilang, “Ingat, tiap kamu hadapi ini, pilih yang pertama, jangan yang kedua.” Kenapa? Secara dunia orang akan bilang, “Oh skill itu, yang penting itu, yang skill ada, dia punya kemampuan, sekolah jalan. Kalau gurunya itu sudah terbentuk, sudah tahu tentang kurikulum segala sesuatu, dia bisa ngajar bagus, tekniknya bagus.” Tapi hatinya, kalau nggak di kita, siapa yang bisa jamin kapan nantinya akan ke kita? Tapi dia bilang: “Ya, tipe pertama ini mesti start dari bawah. Oh belajar itu, waduh masih harus kejar skill segala macamnya, tapi ingatlah, skill itu bisa dilatih, kemampuan itu bisa dipelajari, dan jam terbang itu dalam berjalannya umur dan kesempatan yang diberikan, orang bisa bertumbuh di sini, tapi kalau hatinya tidak di kita, mau tunggu sampai kapan? Kalau spiritnya beda dengan kita, mau tunggu sampai kapan spiritnya sama dengan kita? Karena kita tahu yang berikan spirit itu adalah Allah Tritunggal sendiri, itu semata-mata dalam kedaulatan anugrah Tuhan. Kita doa pun kalau Allah tidak berikan, kita tidak bisa apa-apa.” Dan di situ dia bilang, “Kamu mau doa begitu, kamu sebenarnya itu ya, sebenarnya mau paksa Tuhan.” “Tuhan saya maunya gini, saya suka dia, saya naksir dia” – misalnya, konteksnya – “Saya naksir dia, Tuhan tolonglah supaya dia jadi orang Kristen!” Itu paksa Tuhan, cuma ajukan itu untuk Tuhan restui. Kenapa nggak dari awal lihat, “Tuhan, yang penting hatinya itu sama kepada Kamu. Roh yang sama sudah pimpin dia dan itu kami bersatu.” Meski ada beda latar belakang, meski beda ada karakter, skill kemampuan dan hal lain. Tapi ingatlah, yang bagian itu bisa dilatih, bisa dijalani dan bisa berubah tergantung memang usaha manusia. Tapi kalau di titik awal ini, anugrah Tuhan itu mutlak kedaulatan Allah. Kalau Tuhan seumur hidup nggak kasih, sampai seumur dia mati juga Tuhan nggak kasih, mau bicara apa? Kita tidak ada hak untuk Allah dalam bagian ini. Dan di dalam bagian ini, dia bilang, kedatangan Allah itu… apalagi kadang ya, terus terang aja, kadang kita bilang gitu ya, itu ada anugrah Allah pertama bagi orang itu bisa percaya kepada Kristus. Itu ada satu anugrah tersendiri. Itu adalah anugrah yang pertama, titik menjadi dasar keselamatan kita. Tapi kenyataannya, kadang-kadang itu memang “butuh anugrah lain” supaya orang bisa ngerti doktrin Reformed, untuk ngerti kebenaran itu.

Ini orang kalau sudah lama di kita itu, kadang-kadang aware gitu ya, “kenyataannya itu” seolah-olah memang butuh anugrah yang lain supaya dia itu bisa mengerti teologi Reformed. Dan bahkan bagi saya itu ya, “masih butuh anugrah lain lain”, kalau orang itu mau, setelah ngerti doktrin Reformed, “mau di GRII”. Terus terang aja. Dalam banyak kesulitan, lika liku dan tantangan, dan cara kinerja yang ada, di GRII itu nggak sama. Dan memang ada regulasi-regulasi tertentu yang sedikit banyak berbeda sesuai dengan konteks kita juga dengan gereja-gereja Reformed lainnya. Dan ini kalau nggak sama, kita mau tunggu kapan dia berubahnya? Dan bagi saya ya, ini kalau ngomong secara fair, dia nggak bisa disalahin. Lho dia nggak dapat anugrahnya? Kamu mau paksa gimana? “Oh saya tahu pak. Ikutin saja, jeblosin NREC, jeblosin NRETC, jeblosin ikut SPIK, otomatis bisa.” Siapa yang bisa jamin? Siapa yang bisa jamin? Kalau dia lahir baru, kalau Tuhan tidak beranugrah pada dia, dan itu sebenarnya kedaulatan Allah, karena ini bicara Roh Kudus, Roh Kudus itu nggak bisa disebut-sebut, disuruh satu sama lain, Dia itu Allah, Pribadi Allah, Dia berhak, dan Dia menetapkan kapan waktunya Dia bekerja dan kepada siapa Dia bekerja. Kita nggak bisa atur. Bagian kita memang kita bisa mendoakannya. Tapi ingat, kalau memang Tuhan tidak berikan, atau belum berikan, kita nggak bisa paksa. Tapi ketika justru kita ketemu ada rekan yang lain, sudah jelas-jelas Roh Kudus bekerja pada dia, dia punya spirit yang sama dengan kita, itulah kita punya dasar basis, kita berarti ada titik temu. Harusnya kita lihat di situ. Itu menjadi landasan persatuan kita.

Dan seringkali yang bagian ini, seringkali orang take it for granted bagian ini. Padahal ini ya, ini kalau bicara anugrah ya, itu sepenuhnya kembali. Itu mutlak kedaulatan Allah. Kamu jangan paksa saya, suruh lagi, “Oh Pak, doakan pak. Cobain khotbahin, khotbahin habis! Ajarin semua sampai dia bertobat.” Nggak tentu. Saya tidak bisa rubah hati orang. Even pak Tong sendiri ngomong dalam KKR, pak Tong ini ya, kalau dia spesifik itu dia ngomong, “Saya tidak pernah ngomong berapa orang bertobat dalam KKR saya.” Nggak pernah. Dia cuma ngomong: berapa hadir, berapa orang maju. Kenapa? Pak Tong jawab sederhana: saya tidak bisa pertobatkan orang. Yang pertobatkan orang itu Roh Kudus. Roh Kudus memakai hamba Tuhan? Ya! Dan kita bersyukur. Tapi kapan orang itu bertobat? Pak Tong pun jawab, saya ngga tahu. Ya kan? Dia bertobat mungkin bisa sebelumnya, makanya dia bisa datang KKR itu. Bisa saja. Jadi bukan waktu KKR itu. Dan bisa juga, “Oh pak dia sudah maju nangis- nangis!” Oh belum tentu. Bapak, Ibu, kita jangan terkecoh, gitu ya. Tapi saya rasa, mungkin berapa kita kalau terlibat dalam penatalayan itu tahu, orang nangis-nangis KKR itu bisa macam-macam alasan, gitu ya. Ada yang, “Kenapa kamu nangis?” “Ya, saya baru diputus pacar.” Baru ngomong: “Allah mengasihi kamu,” langsung nangis. Dia tampak dengar sih saat khotbahnya, cuma tapi ya… “Saya dikasihi, ya saya dikasihi, pacar saya tinggalin saya makanya saya maju.” Mungkin pikir, mungkin di antara penatalayannya ada yang keren, jadi dia maju. Orang ada macam-macam alasan, Bapak Ibu, Saudara sekalian, dan tidak tentu pertobatan.

Tapi makanya kita lihat, tapi kalau Allah beranugrah, itu dinomenanya(?) di esensinya, dia bertobat, bukan di tataran fenomenanya. Kita jangan mau tertipu di tataran yang tampilan luar. Kembali tentu juga, kita juga jangan ekstrim: Oh dia menangis, oh pasti palsu! Ya, nggak. Bisa juga asli. Tapi kembali, kita tidak tahu. Yang tahu itu Allah sendiri dan pribadi orang itu yang tahu, dia mengalami kelahiran baru atau tidak, dia memang berjumpa dengan Kristus dan dia dapat dorongan semua dalam Kristus itu atau nggak, dia memang sadar akan kasih Allah Bapa pada dia atau nggak, dan adakah dia punya persekutuan dengan Roh Kudus itu atau nggak. Di dalam bagian ini saya teringat sekali dalam suatu sharing dari R.C. Sproul. R.C. Sproul itu, ya Almarhum ya, seorang tokoh Reformed yang besar itu, ketika dia masih muda lalu dia ada berpacaran dengan seseorang. Lalu dalam proses pacaran itu, pengenalan itu, dia coba gumulkan namun cari tahu, dari mana tahu ya sebenarnya pacarnya ini tuh sungguh-sungguh percaya Tuhan Yesus atau nggak. Lalu dia coba dorong, ya kamu datanglah ikut pertemuan itu, ada pertemuan, ada KKR, ada ibadah, ada pengajarannya. Kamu coba ikut itu. Lalu menarik memang di dalam statement R.C. Sproul, dia mengatakan bahwa, lalu suatu ketika mereka tuh sebenarnya mau sama-sama hadir dalam ada suatu pertemuan itu, pembahasan dan pemberitaan firman, tapi somehow dia nggak bisa hadir, lalu cuma pacarnya itu yang hadir. Lalu setelah itu akhirnya pacarnya itu pulang, lalu mereka berjumpa di waktu yang lain, dia tanya, “Oh iya, sorry ya, kemarin ini pas berhalangan kenapa gitu, nggak bisa hadir. Lalu apa yang kamu dapat dalam pembahasan kemarin?” Menarik pacarnya itu jawab satu hal, dia bilang, “Oh saya baru tahu siapa itu Roh Kudus.” Dan RC Sproul mengatakan, “Di saat itulah saya tahu, dia ini lahir baru. Karena dia jawab, “Who is the Holy Spirit, not what is Holy Spirit? Ini kalau Bapak Ibu bisa nangkap yang dimaksud itu, ya itu seperti itu, dia punya pengertian relasi, “Oh siapa Pribadi itu, bukan apa.” Kalau “apa” itu cuma something, cuma data, “Oh begini, gini, gini,” tapi tidak punya relasi. Dan di situ R.C. Sproul, itu ya bahkan sharingnya, catatan R.C. Sproul itu seinget saya malah dia bilang, dia sampai pikir, mungkin kalau memang bukan lahir baru ya sudahlah, dia lepas saja. Begitu istilahnya. Ya memang kan? Itu kembali ya, R.C. Sproul waktu masih muda, dia belum jadi teolog gitu, tapi dan dia sadar, pacarnya ini sudah mengalami lahir baru, dan itu worthed untuk dijalani. Biarlah itu jadi dasar pertimbangan kita juga dalam banyak putusan-putusan penting yang besar dalam kehidupan kita.

Lanjut, kemudian juga, yang menjadi dasar persatuan kita, adalah ada kasih mesra dan belas kasihan, ada tender as a compassion from one God. Gordon Fee mengatakan, ada suatu kelembutan dan belas kasihan dari Allah yang sama ini. Jadi di close terakhir menjadi, ini keseutuhannya itu bicara dari Allah Tritunggal, bukan hanya 3, tapi satu juga. Yaitu satu dari Allah yang sama, yaitu adanya belas kasihan yang Tuhan berikan pada kita, sehingga kita bisa mengenal Dia. Ini menjadi dasar persatuan kita. Yaitu pengertian dari Allah Tritunggal sendiri. Mengalami Allah Tritunggal itu sendiri di dalam kehidupan kita, meski terkadang dalam pertemuan rohani iman seseorang, meski ketika mungkin dia masih bayi rohani, baru lahir baru, dia belum bisa, sampaikan, utarakan dengan utuh lengkap, tapi dia alami. Tapi kalau memang dia sudah sungguh alami, sebagaimana Anschel mengatakan, Faith seeking understanding, dari iman itu akan mencari pengertian. Dari iman yang sejati, dia akan bertumbuh dan memang akan mencari pengertian yang sejati. Dan ketika diajarkan, dia akan klop, “Oh iya, itulah yang saya…, itulah yang sungguh saya imani.” Tapi kalau nggak punya faith, mau dikasih understanding berapa banyak, doesn’t work! Nggak bisa. Nggak punya iman, dikasih mau pengajaran berapa pengertian-pengertian, nggak masuk, nggak punya iman itu. Dan ini … tapi biarlah kita ingat kembali, ingat kembali bagian ini, masih tema persatuan, kita jangan take it for granted bagian ini. Orang-orang yang kita tahu, rekan-rekan sepelayanan kita, rekan-rekan mungkin dalam aktivis, mungkin dalam pengurus, dan bagian-bagian lain, yang penting kita ingat: yang penting dia ini lahir baru. Itu dasar persatuan kita. Itu menjadi ada start, oh ada harapan. Karena kalau nggak, kita mau harap apa?

Kemudian, berikutnya adalah esensi kesatuan. Biarlah esensi kesatuan ini bicara di dalam setelah orang memang sudah mengalami kelahiran baru, sudah dia percaya dapat anugrah dan belas kasihan dari Allah Tritunggal, tapi masuklah dia bergumul bertumbuh di dalam esensi kesatuan ini, yaitu ada 4 kualitas internal di dalam kesatuan, dan yang tidak bisa tidak kalau bukan dimulai dari Allah yang beranugrah itu di titik pertama. Yaitu, bicara essence of unity, dibagi dengan 4 aspek. Yang pertama itu, same mindset in the Lord – yaitu sepikir, terjemahan Indonesia itu memang jadi ditambahkan sehati sepikir. Sebenarnya: Sepikir di dalam Tuhan. Di dalam bagian ini tentu bicara sepikir, sebagaimana Gordon Fee mengatakan: ini bukan berarti mempunyai opini yang sama untuk semua hal tapi ini punya mindsetnya itu sama, cara pikirnya itu lho, mindsetnya ini sama. Cara pikirnya ini sama. Yaitu ketika kita kerjakan pelayanan, mindsetnya dari awal jelas apa: kita bukan melayani siapa. Kita bukan melayani sesama manusia ini. Oh saya bukan melayani, kenapa? Karena ikuti disuruh, misalnya, Pak Dawis, atau disuruh oleh hamba Tuhan seperti itu. Atau disuruh pengurus? Nggak, tapi punya mindset sama, kita melayani siapa, yaitu Tuhan kita Yesus Kristus sendiri, yaitu Allah kita yang sudah beranugerah pada kita, ini same mindset kita. Ini bicara mindset itu cara berpikir, cara lihatnya itu di situ. Kembali, kita dalam pelayanan itu ada aneka macam bentuk, ada aneka macam hal, elemen-elemen di dalamnya, bahkan apalagi ketika bicara nanti kita ke depan akan ada KKR itu lebih kompleks lagi, ada banyak bagian-bagian yang memang beda-beda, tapi yang penting mindsetnya sama ya. Sehingga ketika misalnya seseorang itu yang di posisi bawahan bertemunya pada atasannya, biarlah dia ingat saya bertemunya pada atasan saya kenapa?  Karena itulah artinya saya sepikir dalam melayani Kristus, sepikir dalam melayani Tuhan kita, sepikir untuk melayani Sang Allah, kehendak Tuhan Allah Tritunggal, yang sudah menyelamatkan saya di titik pertama ini, dan ini kita belajar sepikir di sini. Kembali ya, belajar sepikir di sini, meski tidak tentu kita punya opini yang sama dalam semua hal, kembali ya Allah Tritunggal itu kalau kita pelajari dan hayati sedalam-dalamnya, justru itulah yang indah, karena ada perbedaan tapi tetap pada kesatuan. Jangan demi persatuan menghancurkan perbedaan yang ada, dan sebaliknya jangan demi perbedaan itu menghancurkan kesatuan yang ada, itulah Allah Tritunggal. Dan harusnya pengertian ini yang kita tadi dalam esensi kehidupan kita juga sama same mindset in the Lord, punya satu set pikiran yang sama: saya bekerja ini, meski saya misalnya nanti terjun dalam KKR saja, O saya ini mungkin ya bagiannya ini penatalayan, saya ini bagiannya usher, O cuma usher, tapi saya ini punya mindset sama, saya sedang kerjakan, berbagian dalam Kerajaan Surga, meski cuma bagian itu saja, meski bagian untuk kolektan. Kadang-kadang itu ya, orang datang KKR itu ada aneka macam pergumulan masing-masing, tapi dia liat kita sambut dengan baik, dengan ramah, sopan, itu saja kadang-kadang sudah menyentuh ya. Terus terang ya, kita kadang-kadang kurang aware gitu, kadang-kadang ada orang datang KKR dan bahkan kebakitan kitapun kadang ada pergumulan masing-masing, tapi kadang-kadang itu dengan presence kita saja, kehadiran kita saja di situ dan fokus kita tetap kita melayani Tuhan itu juga sudah menguatkan rekan kita yang melayani ini. Kadang-kadang memang bisa seperti klise gitu, tapi kembali lagi, yang penting kita mindset yang sama, di bagian manapun. “O saya urusnya transport, urus-urus nya mobil,” ingat kamu urus mobil ini kenapa? Supaya bisa diatur dengan baik, supaya jemaat yang hadir itu bisa mengikuti KKR dengan baik, berarti juga bisa ikut yang baik, supaya itu nuansa ibadah itu satu arah semuanya jelas, dan Kristus saja dimuliakan dan ditinggikan, dan tidak ada distraction-distraction lain yang bisa merusak situasi yang sudah ada itu.

Biarlah kita lihat, kita kerjakan bagian kita, dan itu berarti dengan sikap hati kita terus berdoa di hadapan Tuhan, untuk menjaga kita pikiran arahnya di sana, karena kalau nggak pikiran kita bolak-balik pasti ditarik ke ego, ego sendiri, “Saya maunya gini, saya maunya gini, harusnya gini, harusnya gini” terus akhirnya. Tapi kalau mindset kita pada Tuhan, “Ya sudah, saya bisa konflik, saya bisa nggak setuju, tapi yang penting pelayanan ini dikerjakan demi Tuhan yang sama, saya jalani,” itu baru punya sikap yang gentleman, itu baru punya mental apa artinya jadi pelayanan, iya toh? Istilah pelayanan saja, kamu kalau pergi ke restoran, pelayan itu kan siapa pun datang dia layani toh? Bahkan kadang-kadang itu ya, orang yang, customer, yang sudah bawel itu ya, kadang-kadang memang ada orang itu, kalo di rumah makan itu pesennya  aneka macam, beda sendiri, kayak punya menu sendiri, “Saya maunya begini pak, bawang segini yah, cabenya segini yah.” Tapi kalau kita perhatikan pelayan itu ya, orang punya sikap pelayan, karena memang dia pelayan sih, dia akan tetap, “oh iya Pak, baik Pak saya catat,” itu kenapa ? Karena dia melayani ya, di dalam hal ini bosnya itu. Kita yang melayani Tuhan kita, masak sih kalah dengan mereka? Mereka itu melayani itu karena apa? “Oh karena mereka itu digaji Pak,” bukankah kita dibayar lebih mahal dari itu, yaitu dengan darah Kristus yang tidak ada bisa satu sen duit kita yang bisa mengganti itu? Biarlah kita ingat itu yang sudah dikerjakan Kristus, dan karena itulah kita harus punya mindset yang sama.

Lalu berikut nya adalah same love, yaitu punya kasih yang sama. Kembali lagi, kasih yang sejati itu adalah justru belajar berkorban dan itu yang kembali sudah diteladankan oleh Yesus Kristus sendiri. Dia yang sudah menyatakan kasihNya, Dia yang berkorban itu di depan, berkorban bagi siapa? Bagi murid-muridNya yang tinggalkan Dia itu, murid-murid yang kocar kacir itu, murid-murid yang waktu di mulanya itu , itu yang ngomong, “Waah Kristus, aku akan mengikuti Engkau, sampai mau mati pun saya akan ikut Engkau,” sangkal dia tiga kali, tapi Kristus tetap mengasihi dia. Itulah kasih itu, karena kasih itu berkorban. Kasih saya itu berkorban demi objek yang saya kasihi, bukan sebaliknya. Kembali, apa bedanya? Kadang-kadang kalo memang bedanya kasih dan nafsu sederhana saja, nafsu itu mengorbankan yang dikasihi demi kepentingannya, tetapi kasih itu mengorbankan dirinya demi yang dikasihi itu. Dan itu yang dilakukan Kristus, itu yang dilakukan Tuhan kita. Dan makanya sebenarnya kalau bicara kasih ya, dan tentu di sini pengertiannya agape, itu beda sekali dengan apa yang disodorkan dengan dunia. Bicara cinta-cinta, cinta-cinta romantis seperti itu, yang sebenernya hanya mau demi kepentingan dan keperluan sendiri, yang sebenarnya kadang-kadang juga itu asasnya untuk utilitarian ya, sama-sama menguntungkan, kalau menguntungkan saya kerjain, kalau engga ya sudahlah bye-bye, kalau repot, bikin susah, ya buang. Kasih itu bukan yang selalu romatis-romatis seperti itu. Saya pernah ngomong suatu ketika dalam suatu Persekutuan Remaja, saya ngomong seperti ini, saya bilang saya kasih contoh saja kalian anak remaja ya, misalnya ini saya kasih kamu anjing, ya seekor anjing , lucu ya, kira-kira kalian mau pelihara nggak? Lucu anjingnya, tapi  itu ya tiap 3 jam sekali itu dia menggonggong terus minta digendong, gendong-gendong, gendong-gendong, kasih makanlah gitu, gendong, taruh lagi, nanti berapa lama gonggong lagi, gonggong lagi, mau minta digendong-gendong lagi. Gendong-gendong seperti itu tiap tiga jam lho, kamu ada PR kek, kamu ada ujian kek, menggonggong dia, kamu udah bobo, dia menggonggong, tiap tiga jam seperti itu. Saya tanya ini karena remaja ya, kamu mau pelihara nggak anjing itu? “Oh nggak mau Koh, ngapain lah, engga lah, kasih aja orang lain.” Terus saya ngomong, kamu nggak mau sayang ya yang  kayak gitu ya? Saya ngomong kamu ya, ingatlah dulu  kamu bayi itu kayak begitu, tiap malam nangis, tiap malam minta digendong, tiap malam mau diurus, dikasih makan lagi, tapi orang tua mu itu sayang kamu tulus, itu kasih. Itu kasih.

Lanjut lalu bicara same soul, yaitu bicara satu jiwa, yaitu bicara punya whole being, keseluruhan diri kita itu kita bersatu itu karena kita sama ngerti kita keseluruhan keberadaan kita, kita jaga kesatuannya itu, keseluruhan keberadaan kita itu, kita jaga. Dan ini biarlah di dalam gereja ini, konteks dalam Jogja kita punya same soul sama, yaitu kita jadi berkat bagi kota Jogja ini, dan ini bicara seluruh keberadaan kita, seluruh pusat kita. Itulah sebabnya di dalam perintah kita mengasihi Allah, kasihilah Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu itu bicara keseluruhan keberadaan kita, kita upayakan semua yang terbaik untuk kemuliaan Tuhan. Dan ketika kita mengasihi juga sesama, justru dirasakan karena kasih kita kepada Allah itu, ya, justru kita mengasihi sesama karena didasarkan bukan demi sesama itu, tapi karena kita lebih mengasihi Tuhan. Itu yang pernah teman rohani saya itu pernah katakan seperti bahwa, pasangan yang baik itu apa? Adalah pasangan yang mengasihi Tuhan lebih daripada kita itu sendiri, kenapa ya? Kembali Kristus sendiri mengatakan kalau kamu mengasihi istrimu, anakmu, dan semuanya itu lebih daripada Tuhan kamu tidak layak, ya, jadi memang dalam mengasihi Allah itu, kita harus mengasihi Dia yang sebagai ultimate lebih dari pasangan kita. Dan menariknya C.S Lewis mengatakan bahwa ketika kita mengasihi Allah begitu utamanya , begitu ultimatenya lebih daripada keluarga kita, lebih daripada apapun, di saat itu malah kita menemukan kita telah mengasihi keluarga kita, pasangan kita, lebih baik dari sebelumnya. Taruhlah kasihmu kembali ultimatenya, pusatnya, fokusnya, yang utamanya itu pada vertical, nanti karena Allah itu adalah kasih adanya, Dia bukan egois, kita akhirnya bertemu dengan kasih kita, kitapun bisa mengasihi keluarga kita, pasangan kita, kerabat kita yang melayani dengan lebih baik sebelumnya. Karena kita mengasihi Sang Kasih itu, kembali ke sumbernya. Tapi kalau kita hanya cuma patok saja untuk mengasihi sesama, horizontal-horizontal ini, pasti suatu saat bisa berubah, pasti bisa hilang.

Dan same mind, yaitu kalau dalam bahasa Inggris same mind tapi dalam bagian lain memang bicara satu tujuan yang sama, satu direction yang sama,dan di sini bicara berarti bergerak ke arah yang sama. Dalam kita kerjakan pelayanan, kembali kita ingat pelayanan bisa jalan kalau kita bergerak di jalur yang sama. Sebagaimana gerbong kereta  yaitu dia bergerak ke depan, hanya bisa bergerak jalan itu kalo semua beranjak dalam track yang sama, dan berada dalam satu arah yang sama. Kalau kita pikir saya mau tarik ke sini, saya mau tarik ke sana yang lain, nggak bisa jalan. Biarlah di dalam pelayanan kembali kita ingat ya, kita memang tetap bisa disagree satu sama lain, kita bisa tidak setuju satu sama lainnya, tapi seperti saya bilang memang kalau kita nggak setuju dan di situlah kita belajar taat. Toh karena kalau sudah setuju nggak butuh taat, loh iya toh, orang sudah setuju, tapi kalau nggak setuju di situlah titik kita bisa belajar taat, terutama kita taat kepada pimpinan, taat kepada kita tahu orang yang Tuhan taruh ordonya, urutannya di atas kita, dan yang kita apalagi tahu kerohaniannya, adakah kita bergumul di hadapan Tuhan melihat yang cuma terbaik untuk pekerjaan Tuhan. Ada hal-hal yang dia lihat yang kita nggak lihat, dan kita tidak tentu harus setuju dengan dia, dan dia juga tidak tentu setuju dengan kita, tapi yang penting pimpinannya jelas, pimpinannya tidak berbuat berdosa, pimpinannya bukan untuk mengejar ego sendiri, kepentingan sendiri, biarlah kita belajar taat, itu baru same direction, baru punya satu same purpose , satu tujuannya yang sama, digerakkan ke arah yang sama, dan akhirnya pekerjaan Tuhan jadi. Kita jangan selalu pikir bikin macet temen, bikin macet itu ya bikin perkerjaan Tuhan nggak jadi. Apalagi karena kita itu bikin macet untuk hal-hal yang remeh temeh gitu ya, kita tahu dia sudah menggumulkan pekerjaan ini, pelayanan itu, intinya dasarnya dan motivasinya dan pergumulan dia di hadapan Tuhan, bertanggung jawab di hadapan Tuhan, dia lakukan untuk kemuliaan Tuhan, sudah. Kalau kita nggak setuju kita bisa ngomong, kita bisa sampaikan, tapi biarlah kita taat pada dia. Ini kemudian nanti kalau kita bicara di waktu yang lain ya bicara tentang suami-istri, ingat ya ada perintah itu memang jelas, literal, istri-istri harus tunduk kepada suami, itu anda mau balik-balik teks nya memang begitu, mau teks asli apa? nggak usah, teks Indonesia sama kok. Jelas di situ tunduk pada suami, dan karena itu ke dalam kita melihat suami kita, pasangan kita ya, terutama suami dialah sang Kepala tunduklah pada dia ketika berjalan bersama itu dialah yang pimpin gerbong keretanya itu ke depan. Karena apa? Karena dia juga dipimpin Kristus. Itu baru jalan. Itu baru jalan. Bagian itu sebagai helper itu adalah menunjang, mengarahkan. Sama seperti anak-anak itu taat juga pada orang tua, mengikuti gerbong arahan dari pergumulan sang pemimpin kepala keluarga kemudian mentaati kehendak dari sang kepala gereja itu. Saya tidak ada waktu jelaskan semua ini, tapi kembali kita ingat, jangan kita pikir untuk menggeser dari posisi harusnya, sampai akhirnya semua juga program nggak jalan. Tapi kita belajar taat pada dia, supaya bisa jalan keretanya, seperti itu.

Dan yang ketiga itu adalah bicara the expression of unity, yaitu suatu ekspresi kesatuan dan ekspresi kesatuan ini adalah, kita ketemu di dalam ungkapan yang kita pahami di sini adalah bicara humility, yaitu suatu etika kerendahan hati itu, suatu etika yang merendahkan dirinya sedemikian menganggap seorang itu, menganggap yang lain itu lebih utama daripada dirinya sendiri. Itulah humility itu sendiri. Kerendahan hati itu bukan nggih, nggih, gini. Nggak. Itu, itu bisa budaya gitu. Tapi kerendahan hati itu memang melihat yang dibicara, lawan bicara itu yang lebih utama dari saya. That’s it. Itu saja kerendahan hati. Secara basic sederhananya, dia fokus lihat, ya kamu lebih utama dari saya. Dan itu bagian yang kita bisa pelajari dan taati dan gumulkan karena bagian sini,  ini bukan bicara kerendahan hati oh karena dia atasan, dia bos saya, dia gaji saya otomatis saya rendah hati. Ya itu memang nggak bisa. Itu pasti mutlak itu, kalo nggak kamu dipecat. Tapi di dalam relasi satu sama lain kita belajar melihat yang lain lebih utama daripada diri kita sendiri. Dan di bagian ini diekspresikan dengan dua bentuk, bentuk negatif dan bentuk positif. Yaitu bentuk negatif adalah tidak mencari ambisi pribadi, tidak mencari kepentingan diri sendiri, ataupun pujian yang sia-sia; yaitu bicara di dalam terjemahan Inggris-nya, bicara not selfish ambition and empty glory, yaitu bukan mencari, bukan mengejar ambisi-ambisi kita yang egois, yang selfish, ataupun kemuliaan yang kosong, kemuliaan dunia. Itu ya. Kalau kita melihat di dalam hati kita sendiri dan tanamkan satu ini dalam ekspresi, kita mengekspresikan kesatuan itu adalah kita jangan kejar ambisi pribadi. Karena dalam kita kerjakan pelayanan, kadang-kadang ya, ada orang pikir pelayanan itu “Oh keren Pak, saya bisa tampil di depan, saya bisa kerjakan ini, saya bisa gini,” itu mah aktualisasi diri. Tapi kalau kita melihat pelayanan itu kita justru mematikan ambisi pribadi kita dan tidak mengejar kemuliaan yang kosong, kemuliaan dunia ini, tapi hanya mengejar kemuliaan Tuhan, itu kalau kita arahkan situ saja dan terus kita kerjakan itu, maka ini akan menghentikan banyak pertikaian-pertikaian nggak kondusif. Kita banyak itu kadang cekcok itu kan masalah apa? “Oh saya tersinggung Pak.” Oh, kalau Pak Tong bilang ya, berarti mukamu itu tuanmu, mukamu itu tuhanmu. “Oh saya tersinggung Pak, dia ngomongnya nggak enak.” Itu bisa ribut untuk hal-hal itu, hal-hal yang sebenarnya, kalau kita mau belajar aja, untuk tidak mengejar kemuliaan dunia dan tidak mengejar ambisi pribadi, ya sudah oh nggak apa-apa. Kalau memang dia salah ya sudah itu tanggung jawab dia di hadapan Tuhan. Bagian kita tetap kita kerjakan apa yang kita kerjakan, kenapa? Kita melayani Tuhan. Tuhannya nggak ganti kan? Pelayanannya nggak ganti kan? Alkitabnya nggak ganti kan? Khotbahnya nggak ganti kan? Terus kenapa kita berhenti melayani? Yang kita layani siapa sebenarnya? Yang kita cari siapa? Yang kita tinggikan siapa? Dirikah atau Allahkah?

Dan di situ kita belajar untuk tidak mencari kepentingan sendiri, tapi juga kepentingan orang lain. Yang tidak  memperhatikan kepentingannya sendiri, tapi memperhatikan kepentingan orang lain. Di sini saya percaya dalam banyak hal ketika terjadi konflik kepentingan di dalam kehidupan, karena memang kenyataannya Alkitab sendiri menyatakan jelas bahwa sebagaimana besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya, itu berarti ada gesekan di situ. Iya to? Kamu tajamin besi, oh dikasih gini Pak. Sentuh melayang-melayang gitu, mana bisa? Memang ada gesekan. Tapi ketika gesekan itu terjadi, dan tentu bukan karena kita sengaja cari gara-gara tapi di dalam izin kedaulatan Allah itu terjadi, konflik kepentingan terjadi, kita justru yang dewasa yang belajar ngalah. Orang dewasa rohani justru yang harusnya bisa menjaga diri supaya tidak menjadi batu sandungan bagi yang masih kecil. Lha iya to. Sederhana, misalnya tadi saya datang ibadah, datang mau pelayanan di sini, saya sudah datang misalnya saya ketemu anak sekolah minggu. Terus anak sekolah minggu, “Oh Ko Leo, kamu ngapain ke sini? Nggak usah sering-sering ke sini,” terus saya tersinggung, saya tersinggung sekali, “Kamu hina saya, kamu nggak tahu saya pengkhotbah sini? Sudahlah saya pulang kembali ke Solo.” Ya bodoh tho. Tapi banyak kita begitu tho? Kita ini dewasa atau kanak-kanak? Biarlah kita belajar secara dewasa rohani, kalau ada yang gini ya sudah, ampuni, Bapa. Ampuni dia, ya sudah, tetap kita kerjakan pelayanan karena itu tanggung jawab kita. Itu orang dewasa. Melihat bukan kepentingan sendiri, oh kepentingan saya terganggu. Nggak. Yang penting kepentingan orang lain. Saya kerjakan saya melayani siapa dan kenyataan bisa jadi berkat bagi sesama, itulah goal yang kita capai. Sebagaimana Galatia 6:2 menyatakan, bertolong-tolonglah menanggung bebanmu. Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Dalam bagian ini, bearing each other’s burdens, yaitu bersama-sama menanggung beban orang lain; dan kita belajar bersandar dalam kesulitan yang sama, kita menanggung beban yang sama. Kesulitan itu ditanggung bersama, jangan mau lepas. Kita kalau lepas ya yang lain juga kesulitan. Tapi sama-sama kita tanggung bersama, kenapa? Karena ini adalah kuk yang memang Tuhan berikan pada kita. Itulah kita jalani pekerjaan Tuhan. Pasti ada kuk-nya. Pasti ada kuknya. Kristus sendiri sudah mengatakannya. Sisa pertanyaan, kita mau pikul atau nggak?

Saya lihat makanya di dalam bagian ini saya teringat ketika dalam satu pembahasan itu, apa sih bedanya orang Farisi dengan Yesus Kristus sendiri? Tentu banyak yang bisa dibahas perbedaannya, tapi terutama ketika bicara dalam menghadapi orang-orang berdosa. Saya lihat orang Farisi itu selalu dan selalu memang lebih memperhatikan dan mempertahankan serta menjaga status quo kerohaniannya sendiri. Najis, najis, oh jauh, jauh, jauh. Orang pemungut cukai, jauh, sana jauh, sana. Orang kusta, oh sana, sana, saya orang suci, orang suci. Saya jaga status quo kerohanian saya. Sedangkan Yesus justru lebih memperhatikan untuk menumbuhkan iman dan kerohanian orang lain itu. Itu bedanya. Orang Farisi lihat orang berdosa, oh, kamu kapan bertobat? Sekarang bertobat ya. Jaga jarak aman ya, jaga, kalau bahasa Alkitab itu jarak sepelemparan batu. Maksudnya kamu mendekat saya lemparin batu kamu. Jangan, jangan dekat-dekat, jangan dekat-dekat. Kamu sentuh saya nanti saya jadi najis. Tapi Kristus justru mendatangi, kenapa? Interest others. Untuk kepentingan orang itu bukan interest pribadi. Untuk kepentingan orang, yaitu ketika saya mendekat, saya bisa menggarami, saya bisa menerangi dan menumbuhkan iman orang lain. Itu yang dilakukan Kristus.

Menarik di dalam kisah yang dicatatkan dalam Injil Yohanes 4 bagaimana kisah Yesus bertemu dan bercakap-cakap dengan perempuan Samaria, itu ya kalau kita ngerti konteksnya itu, wah itu luar biasa indahnya. Minimal saja dari David Macintrin itu ada mengatakan bahwa di dalam bagian ini Yesus itu menyeberangi, Dia itu, apa ya, melewati batas-batas, barrier, ketika Dia berbicara dengan perempuan Samaria ini. Ada banyak batas-batas, barrier konteks zaman itu yang memang menghalangi sebenarnya antara Yesus itu berbicara pada dengan orang Samaria, perempuan Samaria ini. Dia mengatakan, pertama itu ada ethnic barrier, yaitu adanya barrier secara etnis. Etnisnya beda. Tapi Dia datangi. Tidak pakai diskusi, tidak pakai pikir, udah langsung datangi. Karena kita tahu orang Samaria itu sendiri selalu ya, orang Yahudi melihat orang Samaria itu bukan orang Yahudi asli. Dan memang banyak campurannya situ, palsu, seperti itu. KW, gitu ya. Tapi, Yesus datangi. Itu berarti menerobos dinding batasan etnis itu. Kita kalau pelayanan, hanya mau pelayanan dengan etnis kita sendiri, atau yang lain juga, terbuka buat yang lain, terbuka dengan yang lain? Kristus saja menembus ini. Masa kita tidak? Lalu kemudian juga ada religious barrier, yaitu ada batasan atau kalau mau dibilang tembok itu secara agama, karena bagaimanapun Samaria itu dianggap justru sebagai Apostate Jews ya, orang Yahudi yang versi murtad. Sebagai agama kepercayaannya itu dianggap sebagai Yahudi sekte sesat. Tapi Yesus datangi. Cross barrier itu. Bukan cuma, oh sesat kamu, sesat kamu, sesat kamu, enyahlah kamu masuk neraka. Nggak. Datangin, Injili dia. Karena apa? Kembali, kepentingan itu. Bukan jaga nama baik saya, bukan jaga image saya, tapi bagaimana saya bisa jadi berkat bagi dia. Bagaimana bisa menumbuhkan kerohaniannya. Dan yang ketiga, masih dikatakan oleh si David, dia katakan sebagai social barriers, yaitu adanya tembok pemisah itu secara sosial, karena apa? Karena kenyataannya konteks zaman itu adalah perempuan itu tidak diajar langsung oleh rabi, oleh guru. Jadi sistem orang Yahudi itu selalu lihat, rabi itu, rabi-rabi Yahudi, pengajar-pengajar itu, ahli Taurat itu bahkan tidak mengajar perempuan. Dianggap, wah kamu kasta lemah, kasta di bawah. Diajarnya laki-laki aja. Lalu laki-laki ini yang ajar para perempuan. Bisa nangkap ya? Ini di-cross seperti itu oleh Kristus. Dan kalau yang saya bisa tambahkan terutama ya, Kristus lewati dalam bagian ini adalah Allah yang suci melewati dinding keberdosaan manusia, mendatangi dia untuk mengubahkan dia, untuk mempertobatkan dia, untuk orang itu mengalami kelahiran baru.

Berapa banyakkah dalam kehidupan kita, kita sadar akan iman kita ini, dan kita belajar untuk memikirkan ulang, mengorientasikan ulang apa kehidupan kita dalam Kristus. Terutama dalam menjaga kesatuan sebagai gereja dan di dalam relasi kita pada sesama didasarkan pada apa yang sudah Tuhan kerjakan dalam hidup kita melalui anugerah belas kasihan karena Dia sudah lebih dahulu memilih kita sebelum dunia dijadikan menjadi anak-anak-Nya. Kiranya ini mendorong kita belajar apa arti persatuan orang Kristen, dan biarlah kita mengekspresikannya di tengah dunia yang berdosa, yang terhilang ini. Mari kita satu dalam doa.

Bapa kami dalam sorga, kami berdoa bersyukur untuk kebenaran firman-Mu. Kami berdoa, bersyukur untuk Engkau yang begitu mengasihi kami, yang menebus kami, menebus gereja-Mu sebagai satu umat Tuhan. Kami berdoa ya Bapa, kami mohon ampun apabila sering kali kami jatuh ke dalam kesombongan dan ego kami masing-masing. Sering kali kami bertikai untuk urusan-urusan yang remeh temeh semata. Sering kali kami juga mungkin undur dari pelayanan hanya karena masalah ego dan kepentingan kami. Kami berdoa kiranya Engkau belas kasihan dan ampuni dosa kesalahan kami, dan kami berdoa kiranya Engkau yang ubahkan kami dan topang kami melalui pertolongan Allah Roh Kudus saja yang menjaga kami boleh tetap satu untuk berjuang bagi kemuliaan nama-Mu, untuk belajar setia pada-Mu yang sudah lebih dahulu menyatakan kesetiaan-Mu pada gereja-Mu, pada umat pilihan-Mu. Terima kasih Bapa untuk semua ini, kiranya kami boleh ditumbuhkan menjadi orang Kristen yang semakin dewasa, yang mempermuliakan Kristus saja. Demi Putra-Mu yang Tunggal Tuhan Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.

[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]

Comments