Kepuasan

 

“Man’s chief end is to glorify God, and to enjoy him forever” (Westminster Shorter Catechism Q1).

Katekismus Westminster diatas mungkin kita sudah hapal di luar kepala. tapi betulkah kita sudah memahami dan menghidupinya? Semua orang mengejar pemuasan akan kenikmatan, yang menjadi masalah adalah kita dalam kondisi keberdosaan ini menjadi sangat mudah puas. Tepatnya kita tidak lagi memiliki standar kepuasan yang sejati dalam hidup. Kepuasan kita bukan lagi di dalam Tuhan tetapi semata di dalam ciptaan-ciptaanNya. Bukan lagi di dalam diriNya tapi di dalam berkatNya.

Kita cenderung datang kepada Tuhan untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, bukan memposisikan Tuhan menjadi pemenuhan atas segala sesuatu. We tend to come to God asking to get something, not to make God the fulfilment of everything. Kita lupa bahwa segala rekreasi dan kenikmatan yang Tuhan ijinkan ada di dalam dunia saat ini sebenarnya hanyalah karikatur dari apa yang sesungguhnya kita nikmati di dalam persekutuan yang sempurna dengan Dia.

Adam dan Hawa telah kehilangan kepenuhan persekutuan intim itu saat mereka berdosa melanggar perintah Allah di Taman Eden. Kenikmatan yang tadinya kekal bergeser menjadi temporal. Kita tidak pernah bisa memuaskan mata kita, kita terus mencari pemuasan lidah kita, orang menikah tapi tidak mendapatkan kepenuhan pemuasan akan relasi. Dunia lebih jauh lagi memelintir pengejaran akan kepuasan itu dengan menawarkan hal-hal yang diluar apa yang Allah tetapkan, maka muncullah narkotika, homoseksual, pornografi, dsb.

Kita sudah tidak lagi dapat sepenuhnya memahami kenikmatan bergaul bersama Allah hari demi hari seperti saat Adam dan Hawa berjalan-jalan bersama Dia atau seperti saat Henokh bergaul setiap hari dengan Dia. Saat beribadah kita tidak bisa katakan itu sebagai sebuah kenikmatan, saat membaca firmanNya kita tidak mendapati keasyikan. Kita bingung, kita tidak paham, karena yang kita pahami sebagai sebuah kenikmatan semata hanyalah apa yang oleh dunia dengan gencar tawarkan kepada kita setiap hari. Dunia berteriak: “Hidup tidak hidup jika anda belum punya Iphone, belum merasakan sensasi Disneyland, belum punya anak, belum kaya,” dsb.

Kita sudah menjadi semakin kebas (numb/mati rasa) jika kita tidak menghadiri kebaktian. “Ahh minggu depan kan bisa kebaktian juga,” tapi kita begitu merasa panik saat smartphone kita hilang. Kita sudah sesat dalam kegelapan dosa sehingga menjadi bingung dalam menilai berkatNya. Kita tidak lagi merasakan kebutuhan untuk lebih mengenal Tuhan dan karyaNya. Saat diundang seminar di gereja kita malas, tapi saat diundang makan-makan ultah kita catat baik-baik tanggalnya.

Oh betapa kita sudah kehilangan cahaya kemuliaanNya. Paulus berkata, “All things are lawful,” segala sesuatu itu boleh atau tidak ada yang haram, “but not all things are helpful, but I will not be dominated by anything, and not all things build up” (1 Cor. 6:12, 10:23). Kita di dalam Kristus memiliki kemerdekaan, kita bukanlah legalistik seperti orang-orang Farisi, tetapi Paulus menasehati kita untuk bijak karena tidak semua hal itu dapat membangun kedewasaan rohani kita maupun saudara/i seiman lain di dalam Tubuh Kristus.

Jadi bolehkah kita bertamasya di hari Minggu? Bolehkah kita spent time untuk nonton film di bioskop bersama teman-teman? Bolehkah saya piknik bersama keluarga? Jawabannya adalah boleh. Namun mohonlah hikmat dalam doa agar Allah Roh Kudus boleh memampukan kita untuk memilih prioritas yang seturut dengan kehendak Tuhan: apakah ini dapat membawa saya untuk lebih mengenal dan berelasi dengan Allah, can this build up my brethren or further His Kingdom, is this becoming a substitution for Him, akankah ini memuliakan namaNya dengan menjadikan Dia sebagai kenikmatan ultimat dalam hidup kita?

Kiranya Allah Roh Kudus terus memperbaharui dan menguduskan pikiran serta hati kita sehingga hari demi hari kita boleh kembali disadarkan akan betapa manisnya persekutuan dengan Allah, betapa memuaskannya saat-saat berada di hadiratNya, betapa ajaib firmanNya. sehingga setiap kita dapat seperti Maria yang telah memilih Tuhan sebagai bagian yang terbaik dan tidak akan pernah hilang dari dirinya (Luk. 10:38-42).

Leonard H. S.

Pembina Remaja MRIIY

Comments