Keluarga yang Diberkati Tuhan, 1 September 2019

Ef. 5:22-24

Pdt. Dawis Waiman, M.Div.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pernikahan itu adalah berkat dari Tuhan Allah. Memiliki keluarga itu adalah sesuatu yang indah atau bisa dikatakan yang terindah yang kita bisa miliki di dalam dunia ini selain dari pada penebusan Kristus. Dan memiliki anak di dalam pernikahan itu juga adalah sesuatu yang merupakan karunia dari Tuhan Allah. Oleh karena itu saya percaya ketika seseorang lahir dalam dunia ini, besar dalam kehidupan mereka, kecuali kalau dia mendapatkan suatu panggilan untuk hidup secara selibat, kalau dia memiliki panggilan bahwa dia tidak akan menikah dan dia kuat untuk memiliki hidup yang sendiri itu tanpa ada pernikahan, maka dia lebih baik menikah. Karena pernikahan itu sendiri adalah suatu institusi yang diperintahan oleh Tuhan Allah kepada manusia yang pertama Adam dan Hawa, dan itu kemudian diteruskan sampai zaman ini. Jadi pernikahan itu adalah hal yang penting, hal yang membawa berkat di dalam kehidupan dari pada manusia. Tetapi pada zaman kita saat ini seringkali orang orang lihat pernikahan itu menjadi hal yang agak sekunder di dalam kehidupan kita. Darimana kita bisa lihat itu? Salah satunya adalah dari usia pernikahan. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau orang dulu di dalam menikah biasanya usia berapa? 20-an, 25 mungkin sudah menikah. Kalau sekarang? Usia berapa? 30? Belum tentu. Tetapi mungkin 30-an ke atas atau menjelang 30-an. Kenapa? Karena di dalam pemikiran umumnya adalah “saya harus mengejar karir terlebih dahulu, saya harus memiliki ekonomi yang mapan terlebih dulu, baru dari situ kita masuk ke dalam pernikahan.” Saya bukan berkata kita tidak perlu berbijaksana di dalam memasuki kehidupan berkeluarga satu dengan yang lain, tapi saya melihat ketika orang makin lama makin maju di dalam perkembangan dunia ini, pengetahuan makin mendekati akhir zaman dalam kehidupan manusia, maka kehidupan untuk pernikahan dan kekudusan pernikahan tidak lagi terlalu menjadi hal yang utama dalam kehidupan manusia.

Dan Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, ada satu hal yang kita perlu berhati-hati khususnya bagi anak-anak muda yang belum menikah. Ketika kita melihat suatu pernikahan itu adalah sesuatu berkat dari Tuhan, Saudara juga harus menyadari dengan bertambahnya usia maka Saudara akan makin sulit untuk menikah. Dengan bertambahnya usia kalau Saudara belum menikah itu akan membuat Saudara merasa lebih nyaman hidup sendirian, dan akan membuat makin merasa bahwa Saudara adalah suatu pribadi yang bisa mengatur segala sesuatu dengan keinginan sendiri dan nyaman di dalam aspek ini. Tapi hati-hati, Saudara mungkin sudah jatuh ke dalam bahaya yang namanya keegoisan diri, cinta diri, menikmati waktu sendirian, semuanya serba sendirian sehingga kita tidak merasa bahwa ada orang lain dalam kehidupan kita itu membawa berkat tetapi justru mungkin membawa kesullitan dalam kehidupan kita. Karena apa? Mulai hari itu kita harus mulai memikirkan apa yang menjadi kebutuhan pasangan kita, kita harus mendahulukan apa yang menjadi keperluan mereka. Mulai hari itu ada mulai suatu suara suara yang nggak enak kita dengar dalam hidup kita untuk mengkritik kita punya kelakuan yang kurang baik atau kurang sesuai. Tetapi Saudara tahu tidak bahwa Tuhan memakai mereka untuk membentuk kita makin serupa dengan Kristus. Jadi pernikahan sekali lagi itu adalah hal yang saya percaya itu adalah berkat dari Tuhan Allah. Dan walaupun kita bahas mengenai bagian pernikahan dan karena kita memang secara eksposisi kita persatu, perpasal demi pasal akhirnya kita masuk ke dalam aplikasi ini. Tapi saya percaya walaupun ini adalah suatu pengajaran yang ditujukan kepada keluarga secara spesifik tapi saya yakin Saudara-saudara yang masih muda pun ingin menikah kan. Dan saya percaya dengan begitu kebenaran mengenai prinsip keluarga ini juga bisa menjadi sesuatu segera bisa kita terapkan di dalam kehidupan kita atau Saudara yang belum menikah. Jadi Saudara-saudara yang belum menikah saya minta jangan lama lama hidup lajang, segeralah menikah. Tetapi bagi Saudara yang sudah menikah, jangan lama-lama punya anak, segeralah punya anak. Alkitab menyatakan punya anak itu adalah sesuatu yang baik. Punya anak itu juga bukan sesuatu yang baik saja tetapi itu adalah ketaatan kepada perintah Tuhan. Di dalam ayat ini kita menikah tujuannya untuk melahirkan anak-anak ilahi dalam kehidupan kita. Lalu maksudnya apa dengan anak-anak ilahi? Saya percaya dibalik istilah ini dimaksudkan adalah tujuan dari pernikahan adalah untuk bisa mewariskan kebenaran Kristus bukan hanya kepada diri kita saja tetapi kepada anak cucu kita, itu tujuan dari pada pernikahan. Kalau gereja malas untuk menginjili, memberitakan firman kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus atau belum Kristen, tapi gereja juga malas untuk melahirkan anak dan bahkan malas untuk mendidik iman kepada anak-anaknya sendiri, saya pikir gereja tidak punya hari depan, pekerjaan Tuhan di dalam dunia ini tidak punya pengharapan sama sekali. Karena apa? Orang Kristen yang diharapkan untuk melahirkan orang-orang Kristen yang lain di dalam dunia ini untuk meneruskan pekerjaan Tuhan sampai pada akhirnya dari waktu Tuhan yang tentukan untuk bawa jiwa kembali kepada Tuhan melalui kesaksian hidup kita itu tidak jalankan sama sekali.

Karena itu Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kembali saya katakan memiliki keluarga itu adalah berkat Tuhan dan memiliki anak di dalam keluarga itu adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen ketika mereka menikah. Menikah itu bukan hanya untuk sekedar memuaskan rasa nafsu seks seseorang yang daripada pergi ke pelacur atau berhubungan bebas seperti itu maka lebih baik punya suami atau istri yang sah sehingga kita bisa lakukan itu setiap waktu, tetapi kita tidak mau menjalankan bagian yang lain yang menjadi tanggung jawab kita sebagai seorang suami istri yang Tuhan perintahkan dalam kehidupan kita. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, ini adalah hal yang serius sekali. Milikilah anak. Minimal berapa? Kalau saya dulu bilang minimal 2. Kalau sekarang saya berani sedikit bilang minimal 3 karena saya nggak ngerti juga. Tapi ada orang satu yang ngomong cukup baik ya. Kalau kita cuma punya anak 1 itu adalah pengurangan. Kalau kita punya anak dua itu adalah impas. Kalau kita punya anak 3 itu penambahan, kalau kita punya anak 4 itu namanya multiplikasi. Dan Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, nggak tahu atau mungkin Saudara-saudara lah yang belum menikah atau yang baru menikah. Sekali lagi saya katakan punya anak itu berkat Tuhan. Kalau itu berkat Tuhan berarti waktu punya anak itu bukan kita yang atur. Bisa memiliki anak atau tidak itu bukan keinginan kita. Itu adalah berkat Tuhan berarti Tuhan yang tentukan kita akan punya anak atau tidak. Dan saya umumnya bertemu keluarga keluarga yang berkata seperti ini, “Awal mula kami menikah, kami memang mengatur untuk tidak segera memiliki anak, tetapi ternyata setelah kami ingin punya anak itupun harus menunggu beberapa tahun kedepan lagi karena sulit punya anak.” Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, sekali lagi, punya anak itu adalah pemberian Tuhan, berkat dari Tuhan Allah, bukan karena keinginan kita mau punya atau tidak. Kalau kita diberikan karunia untuk bisa punya anak, saya harap sih, Saudara tidak tahan-tahan punya anak, tetapi ketika Saudara menikah punyalah anak terlebih dahulu, setelah itu mau KB untuk anak yang berikutnya, untuk tahun yang ke berapa, silahkan, tetapi paling tidak, ada satu anak terlebih dahulu dalam kehidupan keluarga. Karena kita belum tentu punya anak, dan saya percaya sukacita di dalam keluarga itu akan bertambah dengan kita memiliki anak. Betul tidak? Yang sudah punya anak, betul tidak? Betul kan? Ada sukacita lho, ada kegembiraan di dalam keluarga. Saya sudah punya anak, ini bukan curhat ya, banyak orang ngomong sama saya kalau saya khotbah tentang keluarga itu adalah curhat, sepertinya ndak bisa bedakan antara mana khotbah mana firman, bukan curhat, ini adalah sesuatu fakta. Ketika kita punya anak satu lagi, di dalam keluarga ada sukacita, ada kebahagiaan, ada tawa di dalam keluarga melihat anak yang kecil yang lucu tersebut. Saya percaya itu juga akan dialami oleh Bapak, Ibu semua. Ini adalah suatu berkat dari Tuhan Allah.

Nah saya, kita kembali ke dalam bagian ini ya, pada waktu kita berbicara mengenai satu kehidupan keluarga, yang berbahagia, suatu kehidupan keluarga yang benar di dalam Tuhan, suatu kehidupan keluarga yang bisa menjadi berkat di dalam kehidupan di tengah-tengah dunia ini, apa yang menjadi unsur penting di dalam kehidupan keluarga itu? Saya percaya unsur pentingnya adalah satu kehidupan yang saling menundukkan diri satu dengan yang lain. Kita pernah bahas ini dua minggu yang lalu, tapi saya yakin ini adalah hal yang serius dan penting karena itu saya akan ingatkan Saudara kembali mengenai hal ini terlebih dahulu sebelum kita masuk ke dalam ayat yang ke 22. Hidup merendahkan diri satu dengan yang lain, atau hidup menundukkan diri kepada satu dengan yang lain itu adalah hal yang penting di dalam satu kehidupan keluarga yang utuh, satu kehidupan keluarga yang bahagia. Dan pada waktu seseorang bisa menundukkan diri antara satu dengan yang lain, merendahkan diri satu dengan yang lain, semua itu adalah hal yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia, kecuali kalau dia adalah orang yang dipenuhi oleh Roh Kudus di dalam kehidupan mereka. Jadi pada waktu dia adalah orang yang dipenuhi oleh Roh Kudus dalam kehidupannya, yang berarti bahwa dia adalah orang yang mau ditundukkan di bawah apa yang menjadi kehendak Tuhan yang dipimpin oleh Tuhan, bukan secara statis tapi secara dinamis, ke mana Tuhan memimpin kita, kita akan ikut ke mana Tuhan memimpin kehidupan kita, maka saya percaya, orang ini akan memiliki suatu kehidupan yang penuh dengan ucapan syukur di dalam hati mereka, penuh dengan nyanyian dan pujian kepada Tuhan Allah, dan salah satu aspek lagi adalah, memiliki satu kehidupan yang ditandai dengan merendahkan diri antara seorang dengan yang lain. Jadi rasa syukur di dalam hati kita atau pujian yang keluar dari hati kita, itu bukan sesuatu yang kita bisa ciptakan, tetapi saya percaya itu adalah suatu respon dari pada pekerjaan yang Tuhan berikan atau kerjakan di dalam kehidupan kita dan di dalam hati kita. Dan satu pujian yang kita berikan kepada Tuhan Allah, bukan nyanyian rasa syukur, tetapi suatu pujian yang kita naikkan kepada Tuhan Allah, itupun adalah sebagai suatu respon dari yang kita lihat dari pada yang Tuhan kerjakan dalam kehidupan kita. Tapi satu sisi lagi adalah, pada waktu kita dipenuhi oleh Roh Kudus dan Tuhan bekerja di dalam diri kita, ada respons yang bukan hanya secara internal keluar, bukan hanya kepada Tuhan Allah saja, tetapi kepada sesama kita, dan kepada sesama itu wujud nya apa? Yaitu perendahan diri antara satu dengan yang lain.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya percaya ini adalah dasar adanya kesatuan yang bisa terbentuk di dalam sebuah relasi antara manusia satu dengan manusia yang lain dan dasar kesatuan di dalam sebuah keluarga. Tanpa adanya perendahan diri, tanpa adanya kita mendahulukan apa yang menjadi kepentingan orang lain dalam kehidupan kita, tanpa kita meninggikan orang lain daripada diri kita sendiri, saya yakin yang terjadi di dalam dunia ini, dan di dalam keluarga itu adalah perpecahan, adalah keributan. Makanya pada waktu Saudara, mungkin kalau masih ingat di dalam Efesus 4:2 dan 3, di situ, ini suatu renungan yang saya khotbahkan di radio kemarin, minggu yang lalu, di sini dikatakan, panggilan hidup orang Kristen yang menjadi kehendak Allah, salah satu aspeknya adalah, memiliki satu kesatuan di dalam dunia ini. Tujuan kita memiliki kesatuan dalam dunia ini adalah apa? Yaitu untuk menyatakan bahwa keberadaan orang Kristen dalam dunia ini, itu adalah hasil karya supranatural Tuhan Allah, yang kedua adalah untuk menyatakan kalau Kristus adalah kepala kita. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, manusia, Alkitab katakan, adalah manusia yang berdosa. Manusia, Alkitab katakan, adalah manusia yang sudah memberontak melawan Tuhan Allah, yang akibatkan kita masing-masing ingin meninggikan diri menjadi Tuhan Allah dan itu membuat apa yang menjadi kebiasaan di dalam dunia ini, atau lingkungan kita, masyarakat yang ada, adalah bukan merendahkan diri tetapi meninggikan diri dari pada orang yang lain. Dan kalau ini terjadi, bagaimana mungkin ada kesatuan, bagaimana mungkin ada kasih di situ, bagaimana mungkin ada penghargaan kepada orang lain? Dan kalau ini terjadi di dalam lingkungan keluarga, bagaimana suami bisa menghargai istri dan istri menghargai dan menghormati suaminya? Itu tidak akan mungkin terjadi, dan yang akan terjadi adalah “saya yang mau menang, saya yang penting, engkau tidak penting,” dan kalau itu dua-duanya terjadi, masing-masing ngomong “saya yang penting, engkau tidak penting,” yang terjadi adalah keributan di dalam keluarga. Makanya Alkitab berkata, kesatuan di dalam satu kehidupan gereja, kesatuan di dalam satu kehidupan keluarga, kalau bukan Tuhan yang bekerja, itu tidak mungkin terjadi. Saya bukan bicara di dalam dunia, orang-orang dunia tidak mungkin memiliki keluarga yang setia sampai mati ya, saya percaya di dalam anugerah umum Tuhan Allah, Tuhan bisa tetap memelihara mereka punya keluarga untuk tetap baik sampai kematian memisahkan. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, prinsip di mana saling rendahkan diri, tanpa batasan, selalu merendahkan diri dan mendahulukan orang lain, itu ndak mungkin dimiliki oleh dunia, kecuali oleh orang percaya. Karena semua itu hanya bisa dihasilkan oleh karya Roh Kudus di dalam kehidupan orang percaya.

Orang dunia punya prinsip pernikahan adalah selama dia menguntungkan saya, saya menguntungkan diri dia, kita masih bersatu. Tapi realitanya adalah apakah semua kehidupan keluarga pasti saling menguntungkan, selalu menguntungkan satu dengan yang lain? Kalau betul adalah selalu saling menguntungkan, kenapa ada perceraian di dalam dunia ini? Kenapa ada perceraian di dalam kehidupan Kristen? Saya percaya, saling menguntungkan itu bukan menjadi sesuatu yang akan selalu ada di dalam kehidupan keluarga. Ada kadang-kadang di mana kita merasa dirugikan, ada kadang-kadang kita merasa mungkin disakiti, ada kadang-kadang tidak ada sesuatu yang sama sekali kebahagiaan di dalam kehidupan keluarga, kalau di dalam kondisi seperti ini, perlu nggak tetap dipertahankan persatuan? Saya percaya kalau kita adalah umat Tuhan, orang yang mengikut Kristus, yang meninggikan Kristus, Alkitab berkata, kita harus menjaga kesatuan itu. Karena apa? Kesatuan itu adalah tindakan supranatural dari Tuhan Allah di dalam kehidupan manusia yang berdosa, atau orang percaya yang ada di dalam Kristus, baru bisa ada kesatuan di dalam kehidupan kita. Tapi untuk bisa ada kesatuan, hal pertama yang dikatakan oleh Paulus dalam Efesus 4 ayat yang ke-2 adalah kita hendaklah selalu rendah hati, merendahkan diri kita terhadap satu dengan yang lain. Itu adalah kunci untuk memiliki kesatuan yang pertama, sikap yang rendah hati satu dengan yang lain. Dan ini yang membuat Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, ketika kita masuk ke dalam poin berikutnya di dalam ayat 22, di sini dikatakan, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.” Istilah ‘tunduk’ di dalam ayat 22 sebenarnya di dalam bahasa aslinya tidak ada di situ, tetapi bahasa aslinya hanya berkata, “Hai istri, kepada suamimu seperti kepada Tuhan,” tetapi kenapa di bagian ini bisa muncul kata ‘tunduklah’ di situ? Karena konteksnya adalah melanjutkan dari ayat ke-21, “dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” Dan bagaimana kita mengaplikasikan kehidupan untuk merendahkan diri seorang dengan yang lain di dalam Kristus? Hal pertama yang harus diperhatikan adalah “istri, tunduklah kepada suamimu.” Sebenarnya kalau Bapak, Ibu, Saudara mau mengkomparasi dari Kolose 3:18, yang merupakan paralel dari ayat ini, di sini ada kalimat ‘tunduklah’ itu secara lebih spesifik dan lebih jelas ya. Di dalam Kolose 3:18, di sini dikatakan, “Hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana  seharusnya di dalam Tuhan.” Jadi ini yang membuat ketika Paulus atau penerjemah dari pada Surat Paulus menerjemahkan pasal 4 ayat 22, “Hai istri-istri, kepada suamimu seperti kepada Tuhan,” maka di situ penerjemah mulai memasukkan istilah, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.” Dan saya percaya, ini adalah terjemahan yang benar.

Yang dimaksud ‘tunduk’ ini apa? Satu hal yang menarik, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kita seringkali berkata istri harus apa kepada suami? Tunduk atau taat? Tunduk ya? Bukan taat ya? Ada beda nggak ‘tunduk’ dan ‘taat’? Saya percaya ada suatu perbedaan ya. Kalau ‘taat’ seakan-akan istri itu rangkingnya di bawah kita. Apa yang suami katakan, harus didengar, ndak ada kompromi sama sekali, itu taat. Tetapi ketika berbicara mengenai penundukan, memang di dalam bahasa aslinya, itu berbicara mengenai suatu rangking, satu jabatan di mana istri menundukkan diri kepada suami, itu seperti seorang pejabat militer, tentara yang berada di bawah atasannya. Jadi ketika istri dikatakan ‘tunduk’ kepada suaminya, berarti istri menempatkan diri di bawah suami. Tetapi kenapa pakai istilah ‘tunduk,’ bukan ‘taat,’ seperti itu? Saya percaya di balik pengertian ini, ada keintiman, ada relasi, ada kesetaraan, tetapi ada kerelaan untuk menundukkan diri di bawah apa yang menjadi pimpinan dari suaminya, itu ada di dalam kehidupan keluarga. Dan Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pengertian penundukan ini bukan sesuatu yang merupakan tradisi masyarakat. Di dalam jaman feminisme sekarang ini, perempuan kadang-kadang merasa bahwa mereka harus bisa melakukan segala sesuatu yang laki-laki bisa lakukan. Dan bahkan kadang-kadang, suami itu dianggap sebagai saingan di dalam kehidupan, dan di dalam pekerjaan, dan di dalam segala sesuatu, karena mereka tidak mau menundukkan diri di bawah suaminya. Kita ndak akan terlalu jauh membahas tentang feminisme ya, tetapi dasar dari feminisme kemungkinan besar adalah diakibatkan suami tidak menjalankan firman Tuhan dan suami tidak memperlakukan perempuan seperti yang Alkitab katakan, ada kesetaraan tetapi ada ordo di dalamnya. Sehingga itu membuat perempuan merasa dia direndahkan, “Saya ingin menonjol, saya bisa lebih baik daripada laki-laki,” dan itu berusaha untuk dinyatakan di dalam kehidupannya.

Tetapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pada waktu kita kembali kepada Kitab Suci, Alkitab berkata dunia Kekristenan itu berbeda dari dunia orang-orang dunia. Orang dunia bisa melihat bahwa perempuan itu memiliki kedudukan di atas laki-laki, bisa menjadi seorang pemimpin daripada laki-laki tetapi di dalam dunia Kekristenan perempuan itu bukan menjadi pemimpin laki-laki tetapi perempuan itu menjadi penolong dari laki-laki, dan di dalam kehidupan keluarga perempuan harus menempatkan diri di bawah suaminya, walaupun mereka memiliki kesetaraan, dengan istilah menundukkan diri di bawah suaminya. Kalau kita merasa ini bukan kunci yang merupakan kebenaran dari Tuhan Allah, kalau Ibu-ibu merasa bahwa ini hanya sebagai suatu kebenaran yang berpihak kepada laki-laki lebih besar daripada kepada perempuan, saya khawatir keluarga Bapak-Ibu tidak akan ada kebahagiaan. Tetapi yang lebih menakutkan lagi adalah keluarga yang kita bangun di luar dari pada pengertian firman ini adalah sebuah keluarga yang tidak menundukkan diri di bawah kebenaran firman Tuhan atau perintah Tuhan, karena sekali lagi, perkataan ‘menundukkan diri’ ini bukan suatu tradisi tetapi ini adalah sebuah perintah Tuhan, sebuah idealisme yang Tuhan ciptakan atau suatu kebenaran yang Tuhan ciptakan dan harus ada di dalam kehidupan keluarga. Makanya ketika Bapak-Ibu baca Kolose 3:18 ada sesuatu kalimat yang merupakan tambahan yang tidak ada di dalam Efesus 5:22. Di dalam Efesus 5:22 dikatakan, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,” Kolose 3:18 bicara, yang perempuan boleh baca ini, semua perempuan ya, “Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.” Ada kata “sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan,” artinya apa? Sikap menundukkan diri seorang istri kepada suaminya itu adalah kebenaran dari penciptaan yang Tuhan lakukan kepada manusia. Di dalam Efesus ada satu kalimat seperti ini, “Suami adalah kepala istri dan Kristus adalah kepala dari pada suami.” Orang-orang feminist ketika melihat ayat ini mereka umumnya akan berkata seperti ini, “’Suami adalah kepala istri dan Kristus adalah kepala suami,’ bahasa Yunaninya kephalē, kephalē itu bukan menunjuk kepada suatu otoritas tetapi ini menunjuk kepada siapa yang lebih mendahului siapa di dalam penciptaan.” Jadi pada waktu kita berbicara mengenai laki-laki dan perempuan dalam Kitab Kejadian maka di situ kita bisa lihat Allah pertama kali menciptakan laki-laki, Adam, lalu perempuan diciptakan keluar dari Adam atau dicipta dari Adam, makanya di situ dikatakan oleh orang-orang feminist umumnya kephalē itu berarti bukan laki-laki memiliki ordo di atas perempuan tetapi hanya menyatakan bahwa perempuan itu bersumber dari laki-laki. Tapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, ada seorang teolog bernama Wayne Grudem ketika dia menulis mengenai hal ini dia berusaha meneliti bahasa asli dari pada kephalē dan konteks yang digunakan untuk istilah kephalē itu, maka dia menemukan satu hal yaitu semua istilah kephalē selalu merujuk kepada otoritas, bukan sesuatu yang mendahului atau bukan sesuatu yang bersumber dari, tetapi otoritas. Atau istilah lainnya adalah suami-suami memiliki otoritas atas istrinya, itu sebabnya istri harus belajar tunduk kepada suami. Nah otoritas ini dalam aspek apa? Penundukan ini dalam aspek apa? Kenapa seorang istri harus tunduk kepada otoritas suaminya? Apakah karena istri-istri adalah lebih terbelakang di dalam kerohanian dibandingkan suaminya secara spiritual? Saya percaya di dalam Galatia pasal yang ke-3 dikatakan di hadapan Tuhan tidak ada laki-laki dan perempuan, tidak ada hamba dan budak, atau orang yang merdeka, ini berbicara mengenai  ketika kita ada di dalam Kristus, maka baik laki-laki maupun perempuan mereka setara di hadapan Tuhan. Saudara bisa lihat ini di dalam keajadian 1:28 ketika Allah menciptakan manusia menurut rupa dan gambar Allah, dalam ayat 26 Kej pasal 1, ayat 26 nya dikatakan yang rupa Allah itu siapa? Laki-laki dan perempuan, bukan hanya laki-laki saja. Dan ini menunjukkan ada kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan Allah. Tetapi bukan hanya kesetaraan itu saja, perempuan tidak kalah dibandingkan laki-laki seringkali di dalam aspek rohani. Spiritual. Perempuan tidak kalah dibanding laki-laki di dalam aspek kecerdasan dan pengontrolan diri.

Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, Alkitab jelas sekali berbicara seperti ini, saya mungkin pernah bicara kepada Bapak-Ibu, beberapa masih ingat atau tidak, misalnya berbicara mengenai penguasaan diri, yang emosional sebenarnya siapa? Siapa yang lebih emosional? Laki-laki atau perempuan? Laki-laki. Setuju ya laki-laki ya? Laki-laki kalau marah lihat istrinya selingkuh, mati lho laki-laki lain yang selingkuhin istrinya. Tapi kalau perempuan lihat suaminya selingkuh, belum tentu mati lho perempuan yang nyelingkuhin suaminya. Pada waktu laki-laki lagi emosi, ada orang, bisa dilabraknya lho. Kalau perempuan lagi emosi, waktu ada tamu datang, dia bisa menyambut tamu itu dengan baik sekali dan orang biasanya sulit membedakan orang sedang marah atau tidak, bisa menjaga diri mengontrol diri dengan begitu baik sekali. Bicara mengenai spiritualitas, jujur ya Bapak-bapak, yang lebih maju itu istri atau suami biasanya? Yang bikin suami setia datang, sebuah keluarga setia datang untuk beribadah kepada Tuhan, karena suaminya yang baik di dalam kerohanian memimpin istri? Ada, tetapi umumnya karena istrinya atau karena suaminya? Ada yang suami, tetapi umumnya istri yang mendorong suami untuk rajin. Jadi kalau  berbicara mengenai kerohanian, kesetaraan, istri tidak kalah dibandingin suami, istri bahkan bisa lebih unggul dibandingkan suami. Tetapi kenapa kalau istri lebih unggul dari suami, baik itu dalam sisi spiritualitas, baik itu di dalam kecerdasan, baik itu di dalam hal kesetaraan di hadapan Tuhan, tetapi ketika berkeluarga istri harus menundukkan diri di bawah suami? Saya percaya, ini bukan  kaitannya hanya di dalam aspek yang tadi saya katakan, tetapi kita kembali kepada tujuan Tuhan mencipta laki-laki dan perempuan itu berbeda. Tuhan mencipta laki-laki dengan postur yang lebih kuat daripada perempuan. Perempuan sekuat-kuatnya binaragawan saya pikir ndak akan lebih kuat dari Ade Rai kalaupun angkat besi, sekuat-kuatnya perempuan. Dan itu menunjukkan bahwa ketika Tuhan mencipta laki-laki, Tuhan punya tujuan, laki-laki punya satu tanggung jawab yang tidak mungkin bisa diambil alih oleh si istri. Dan ada hal yang tidak mungkin diambil alih oleh istri dari pada suami. Dan salah satunya adalah, suami ketika dicipta, mereka adalah orang-orang yang dicipta sebagai kepala, orang-orang yang memimpin, orang-orang yang memiliki kekuatan untuk melindungi, orang-orang yang dicipta untuk bekerja mencari uang, uantuk menafkai kehidupan keluarga. Ini kenapa Tuhan berkata laki-laki itu adalah kepala. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya percaya, keluarga di mana suaminya tidak mau kerja dengan giat dengan ngotot dengan membanting tulang untuk mencukupi kehidupan keluarga, sampai istrinya harus bekerja, itu menunjukkan keluarga ini tidak terlalu taat pada Tuhan Allah. Karena Alkitab jelas sekali berbicara tanggung jawab seseorang di dalam  memenuhi nafkah keluarga, itu adalah tanggung jawab dari suami, bukan istri. Jadi, penundukan diri itu berbicara mengenai aspek Tuhan mencipta laki-laki dengan suatu postur, secara fisik jauh lebih kuat dan perkasa daripada perempuan. Dan tujuannya adalah untuk apa? Melindungi, menjaga, memelihara, bukan menyakiti, bukan memukul, bukan membuat istri itu diperdaya atau dihina karena kekuatan dari pada suami. Tetapi untuk melindungi dan memelihara, mencukupkan apa yang jadi kebutuhan daripada keluarga.

Dan menundukkan diri ini itu berarti bukan suami menjadi orang yang main kekuasaan di dalam menaklukkan istri. Saya percaya di dalam Kejadian, memang dikatakan ketika manusia jatuh ke dalam dosa, maka istri-istri akan birahi kepada suami, tapi suami akan berkuasa kepada istri. Maksudnya apa? Bukan istri akan cinta kepada suami walaupun suaminya keras kepada mereka, tetapi istri akan menundukkan suaminya, mengontrol dan mengambil alih kekepalaan di dalam sebuah keluarga tersebut. Dan demi untuk menegakkan kembali otoritas keluarga, terjadi kekerasan di dalam rumah tangga. Bisa seperti itu. Ini cuma salah satu aspek ya, dan pengembangannya akan banyak dari aspek dasar ini. Tetapi Bapak-Ibu yang dikasihi Tuhan, saya percaya kalau istri belajar menundukkan diri kepada suami, saya percaya di dalam keluarga itu ada keharmonisan dan ada kebahagiaan. Saudara mau lihat ayatnya? Kita bisa buka di 1 Petrus 3:1-6. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, pada waktu kita melihat  kepada sebuah kehidupan keluarga, maka apa yang membuat sebuah keluarga bisa harmonis di dalam ayat ini? Kalau kita melihat kepada buku-buku keluarga tentang keluarga bahagia, atau kehidupan keluarga, mungkin kita akan berkata yang membuat keluarga harmonis itu adalah bagaimana istri mendandani diri, bagaimana suami itu menjamu istrinya, bagaimana mereka ada waktu kebersamaan bersama-sama dengan pasangan mereka, bagaimana mereka memiliki suatu komunikasi dan membangun komunikasi yang akrab di tengah-tengah mereka, bagaimana suami memberikan suatu kejutan-kejutan di dalam kehidupan keluarga kepada istrinya sehingga ada romantisme di dalam suatu kehidupan keluarga, itu bisa menghangatkan suatu kehidupan keluarga. Betul tidak? Saya berkata, itu bukannya tidak penting, bukannya tidak berarti, itu ada artinya. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita membangun satu relasi kehidupan keluarga, hanya didasarkan faktor-faktor eksternal itu, itu nggak akan pernah bisa memenangkan suami kita atau tidak bisa memenangkan suatu kehidupan keluarga yang bahagia. Karena, pada waktu kita ingin membangun suatu kehidupan keluarga, saya yakin, yang menjadi hal utama adalah kita membangun suatu keindahan, bukan di eksternal, tetapi di dalam internal kita di hadapan Tuhan. Istri-istri, kalau engkau ingin mendapatkan suamimu, dan ingin mendapatkan keharmonisan dalam keluarga, jangan ada dua kepala di dalam keluarga, tetapi belajarlah tunduk kepada perkataan Tuhan, karena ini adalah aspek dari pada suatu kehidupan yang membangun keindahan secara internal. Tadi saya bilang di awal, kalau kita terus mau ngotot? Boleh, silahkan! Tapi tolong lapor ke saya kalau nggak ada kebahagiaan nantinya  ya, atau kalau bisa bahagia kalau masih mau ngotot. Karena apa? Kita nggak mungkin melawan perkataan ini, karena perkataan ini bukan tradisi, ini adalah perkataan Tuhan. Saya harap kita bisa bedakan kebenaran ini ya.

Istri, kalau engkau ingin bisa membangun, coba jangan perhatikan hiasan saja, tetapi belajarlah takut akan Tuhan Allah, belajarlah tunduk kepada kebenaran firman, lakukan apa yang menjadi perkataan Tuhan, khususnya mengenai kehidupan keluarga, tempatkan dirimu seperti apa yang Tuhan katakan menjadi tempat dari seorang istri di dalam keluarga. Saya yakin, ada kebahagian di situ, bukan gontok-gontokan. Dan bahkan Paulus berkata, tidak hanya seperti di situ saja, tetapi dia akan menjadi seorang yang akan memenangkan suaminya yang tidak percaya. Atau saya ulangi seperti ini, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, atau ibu-ibu, kalau engkau punya suami yang tidak rohani, kalau engkau punya suami yang tidak takut Tuhan, kalau engkau punya suami yang bahkan bukan orang percaya, bagaimana cara menangkan dia? Bagaimana caranya? Alkitab sudah bilang, sudah kasih tahu, caranya adalah apa? Tunduk kepada, siapa? Suami. Yang percaya atau yang tidak percaya? Yang percaya? 1 Petrus 3:1 ngomong apa? Ibu-ibu tolong buka 1 Petrus 3:1, baca sama-sama ya, “Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.” Jadi, istri taat kepada suami yang taat kepada Tuhan atau yang juga tidak taat kepada Tuhan? Yang mana? Kalau kita punya suami yang taat kepada Tuhan, itu puji Tuhan ya. Tapi kalau suami nggak taat sama Tuhan bagaimana? Alkitab tetap bilang harus taat. Karena apa? Bagaimanapun juga dia adalah yang dicipta oleh Tuhan untuk memimpin sebuah keluarga. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, bukan berarti ketika suami melakukan pengambilan keputusan, atau mengeluarkan suatu perintah yang bertentangan dengan firman, kita pun tunduk dan taat kepada suami. Karena di atas suami ada Kristus. Jadi kalau Saudara mengerti prinsip ini, maka saya yakin ada keharmonisan, bukan hanya di dalam sebuah keluarga, tetapi juga di dalam gereja. Di mana dikatakan, oleh Kitab Suci, istri belajar taat kepada suami, suami belajar taat kepada siapa? Kalau di dalam gereja, penatua gereja. Penatua gereja belajar taat kepada Kristus. Itu akan ada harmonis seperti itu. Saya yakin kalau kita betul-betul bisa memiliki suatu kehidupan seperti ini, akan ada kesatuan di dalam gereja, Tubuh Kristus dan di dalam sebuah keluarga. Dan itu bisa memberikan suatu kesaksian yang baik di dalam dunia ini.

Sekarang saya masuk ke dalam poin pada waktu seorang istri harus tunduk kepada suaminya, dia harus tunduk kepada suami seperti apa? Sejauh apa? Kita bicara mengenai suami Kristen saja ya, dia harus tunduk kepada suami sejauh apa? Dia harus memperlakukan, atau istilahnya dia harus memperlakukan suaminya seperti apa? Tolong jawab, dong! Kok berat sekali rasanya? Seperti Kristus. Maksudnya seperti Kristus itu bagaimana? Maksud seperti Kristus itu adalah, istri-istri kalau engkau berkata, engkau taat kepada Kristus, wujud ketaatanmu kepada Kristus itu, harus engkau nyatakan di dalam kehidupan relasi antara engkau dengan suamimu. Itu namanya saya menundukkan diri saya kepada suami saya seperti kepada Tuhan. Bukan berarti bahwa istri nggak tunduk kepada Tuhan, bukan, tapi masalahnya adalah, ketika Tuhan berbicara mengenai keluarga, Tuhan sudah menunjuk suami menjadi wakil Dia di dalam keluarga. Karena itu, kalau istri-istri kemudian melihat suaminya tidak bisa respect, seperti dia me-respect atau menghormati Kristus, maaf tadi itu bukan ketaatan. Kita harus sampai kepada satu sisi kita melihat suami kita adalah wakil dari Kristus di dalam kehidupan keluarga. Apa yang menjadi perkataan suami, apa yang menjadi sikap atau keputusan yang diambil suami, itu belajar dihargai oleh istri dan belajar dipercaya oleh istri. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau kita kembali kepada Kitab Suci, maka saya percaya sekali, dan saya harap Bapak Ibu juga percaya, bahwa Tuhan sanggup bekerja di dalam segala sesuatu, dalam keluarga kita, Amin? Dan segala sesuatu itu, sesuatu yang baik saja atau yang tidak baik juga? Tidak baik. Sesuatu itu apakah hanya berdasarkan keputusan-keputusan yang benar saja, atau keputusan-keputusan yang salah dari suami? Termasuk yang salah dari suami juga. Karena itu kita perlu, saya percaya, kita perlu belajar. Istri-istri perlu belajar untuk mempercayai suami, istri-istri perlu belajar untuk menundukkan diri di bawah pimpinan suaminya, karena pada waktu itu terjadi, walaupun keluarga itu penuh dengan kelemahan, suaminya penuh dengan kelemahan, tetapi satu hal Tuhan pasti berkati keluarga itu, kalau kita sama-sama berusaha untuk menundukkan diri satu dengan yang lain. Menundukkan diri, bukan berarti tanpa otoritas, tanpa kepala tetapi menundukkan diri adalah berarti istri melayani suami, mendahulukan kepentingan suami, suami mendahulukan kepentingan istri. Dan saya yakin sekali, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, bukankah ini, kalau suami-suami memiliki sikap seperti ini, saya yakin dia akan menjadi suami idaman di dalam keluarga. Betul nggak? Istri-istri pingin punya suami yang bagaimana? Suami yang mengerti dia, suami yang mengejar kebahagiaan istrinya, suami yang mendahulukan kepentingan istrinya, betul tidak? Saya yakin benar ya. Dan itu sebabnya saya bilang, kalau suami bisa mengerti prinsip ini, penundukan diri, walaupun ada ordo tapi penundukan diri, saya yakin dia akan jadi suami idaman di dalam keluarga, suami yang akan dicintai oleh istri dia dan dihargai oleh istri dia.

Jadi, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya lihat Alkitab kita itu sudah memberikan segala rahasia untuk kehidupan kita di dalam dunia ini secara benar. Dan kita jangan coba-coba untuk mempermainkan, memanipulasi, atau mengatakan ada hal-hal dari pada Kitab Suci itu yang merupakan sesuatu yang kurang bijaksana untuk kita jalankan di dalam kehidupan kita, baik pekerjaan ataupun dalam keluarga, karena tidak ada satu kalimat pun yang bersumber dari Tuhan yang tidak tepat sasaran, tidak ada satu kalimat pun dari Tuhan yang tidak benar, semuanya pasti benar, semuanya pasti baik, semuanya pasti tepat sasaran. Semuanya ketika dijalankan itu akan membuat kita berfungsi tepat seperti Tuhan mencipta diri kita. Dan kalau kita berfungsi tepat seperti yang Tuhan cipta dalam kehidupan kita, dari situ akan timbul sebuah keharmonisan. Kalau mau bermain-main, silakan. Tapi saya yakin, nggak akan ada keharmonisan di dalam kehidupan keluarga tersebut. Jadi seorang istri harus belajar mentaati suami, menundukkan diri kepada suami berdasarkan apa? Kerelaan untuk mendahulukan kepentingan dari pada suami. Tetapi, saya tetap percaya itu adalah sesuatu yang bersifat timbal balik antara suami dan istri, antara orang tua dengan anak, anak dengan orang tua, istri kepada suami. Bukan satu arah saja, tapi itu adalah sesuatu yang timbal balik satu dengan yang lain.

Dan satu hal lagi yang saya ingin ajak Bapak Ibu lihat adalah, pada waktu Alkitab, mungkin 2 hal lah ya. Pada waktu Alkitab berbicara mengenai istri tunduklah, tunduk kepada siapa? Suami. Ingat ya. Istri tunduk hanya kepada suami. Suami siapa? Suami sendiri ya. Alkitab tidak pernah mengajarkan istri punya kewajiban tunduk kepada suami orang lain. Tetapi dia punya kewajiban tunduk pada suami dia sendiri. Artinya adalah, saya percaya kalau ini ditarik ke dalam aplikasi, bisa ditarik kepada aplikasi yang cukup lebih luas. Itu berarti, istri punya tanggung jawab utama di dalam kehidupannya adalah kepada suami dan keluarga, kepada anak-anak, bukan yang lain. Boleh buka dari Surat Titus 2:4 dan seterusnya, atau saya baca dari ayat 3 supaya ada konteks ya. “Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar firman Allah jangan dihujat orang.” Jadi pada waktu bicara mengenai relasi istri dengan suami, istri yang tua, Paulus berkata, harus menjadi sebuah contoh bagi istri yang muda, atau perempuan yang muda. Dalam hal apa? Dalam hal bagaimana mengasihi suami dan anak-anak. Saya lihat indah sekali ya, kalau gereja belajar mentaati perintah Tuhan, saya yakin keluarga-keluarga Kristen di dalam gereja itu akan menjadi keluarga yang baik dan menjadi berkat. Yang tua jadi contoh yang baik kehidupan keluarganya bagaimana. Suami, laki-laki jadi contoh laki-laki yang baik. Perempuan jadi contoh pada perempuan-perempuan muda yang baik, bagaimana kehidupan keluarga yang baik. Kalau perempuan tua mengasihi suaminya, mengasihi anak-anaknya, itu menjadi suatu teladan dalam keluarga yang muda, bagaimana belajar mengasihi suami dan anak-anaknya.

Tetapi, Paulus tidak berhenti di sini. Paulus juga berkata, perempuan muda perlu dididik bukan hanya untuk mengasihi suami dan anak-anaknya, tetapi juga hidup bijaksana dan suci. Makanya pada waktu Paulus berbicara mengenai perempuan muda di dalam Korintus, Paulus bilang, hai perempuan muda, janda-janda muda, menikah lagi, jangan hidup single, karena kalau tidak engkau mungkin akan jatuh di dalam kehidupan yang berdosa, kecuali kalau engkau sudah berumur mungkin masuk pada masa menopause dan ke atas, itu bisa. Kecuali juga kalau perempuan muda punya kekuatan untuk hidup dalam kesucian dan kekudusan. Tapi kalau tidak punya, lebih baik menikah daripada tidak menikah. Perlu hidup di dalam kesucian, hidup dalam bijaksana. Tapi juga satu lagi apa? Rajin, rajin apa? Mengatur rumah tangganya. Saya yakin ini bukan perkataan yang menyenangkan bagi perempuan. Dan bukan sesuatu yang enak untuk dikhotbahkan. Tetapi makna dari ayat ini adalah tanggung jawab utama seorang istri bukan bekerja di luar, tapi bekerja di dalam keluarga, mengurusi keluarga, mengurusi suami, mengurusi anak-anaknya. Itu tanggung jawab utama dari seorang istri. Kenapa? Karena ini menunjukkan bahwa dia memiliki penundukan kepada suaminya. Tetapi kalau dia sampai bekerja di luar, ada yang juga mengaplikasikan seperti ini, itu berarti dia punya 2 kepala atau 3 kepala. Kepalanya siapa? Bukan hanya suami, tetapi ada bos-bos lain, laki-laki lain yang menjadi kepala dari pada istri. Sehingga kadang-kadang itu menjadi suatu perebutan kepentingan di dalam hubungan suami-istri. Karena itu, istri-istri yang baik, Alkitab berkata, walaupun engkau sekolah tinggi-tinggi, sampai S1, S2, dan S3, perhatikan baik-baik, bahwa tanggung jawab utamamu bukan di luar, tetapi dalam keluarga. Tanggung jawabmu bukan bekerja mengejar karier, tetapi bagaimana engkau membesarkan anak-anakmu di dalam Tuhan, merawat keluargamu dengan baik, ketika suami dan anak-anakmu pulang ke rumah, mereka bisa merasakan, kami pulang ke dalam rumah.

Tapi zaman sekarang mungkin orang-orang berkata sepertinya, apa salahnya sih istri kerja? Anak sekolah, di rumah nggak ada siapa-siapa, saya juga kerja nggak masalah kan? Betul nggak? Tapi Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, kalau istri seperti ini, perhatikan baik-baik, tetap ada suatu kehampaan di dalam keluarga saya percaya, karena pada waktu anak-anak kembali, rumah itu bukan seperti rumah kok, karena mamanya masih sibuk urusan pekerjaan. Apakah ini berarti istri tidak boleh bekerja yang lain? saya percaya, apakah ini berarti istri tidak boleh pelayanan, saya percaya juga tidak ya, ada bagiannya, tetapi fokus utamanya bukan buat mengejar karir tapi keluarga. Tuhan percayakan anak-anak yang lucu-lucu itu yang punya nilai kekal, siapa yang Saudara percayakan untuk mendidik dan membesarkan mereka, suster? Pembantu? Saya yakin itu adalah hal yang fatal sekali, tanggung jawab membesarkan anak itu adalah orangtua, dan orangtua yang paling banyak memilki waktu bersama anak-anak itu adalah istri, mama, jadi ketika engkau bisa menyambut mereka, mengasihi mereka, membesarkan mereka dengan baik. Saya bukan berbicara suami nggak punya tanggung jawab membesarkan anak di dalam Tuhan ya, itu juga tanggung jawab, tetapi waktu yang paling banyak dari mama bersama dengan anak, itu harus dicurahkan untuk bisa didik anak di dalam takut akan Tuhan, nah itu yang jauh lebih berbahagia daripada kesuksesan dalam karir. Tapi Alkitab juga berkata seperti ini, Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi di dalam Tuhan, istri yang baik itu seperti Amsal 31, kita boleh buka ya, dari ayat ke 10 saya baca aja ya cukup nggak terlalu panjang, ini ayat yang penting dan indah sekali, puji-pujian untuk istri yang cakap. Istri yang baik itu yang seperti apa? Waktu dikatakan tanggung jawabnya ada di dalam keluarga, berarti apakah dia tidak bisa mengeluarkan semua talenta dan kemampuan dia? Saya percaya ketika kita baca Amsal 31 nggak seperti itu ya, dia adalah orang pengusaha yang hebat sekali ,dia rajin bekerja, dia pengusaha yang hebat, dia memberi keuntungan di dalam keluarga, tetapi ketika dia bekerja urus semuanya itu keluarganya tidak pernah terbengkalai, keluarganya baik-baik semua, dan di sini dia menjadi istri yang dipuji oleh suami dan anak-anaknya dan dikatakan sebagai istri yang berbahagia. Dan Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan, saya percaya inilah istri yang takut akan Tuhan.

Tetapi saya juga mau pesankan kepada laki-laki yang belum menikah, kalau engkau mau mencari istri jangan cari kayak yang di Amsal 31 ya, kamu pasti nggak akan dapatkan itu, tetapi carilah istri mulai dari yang punya hati takut akan Tuhan dan mau dipimpin oleh Roh Kudus. Sama-sama belajar bertumbuh ke arah Amsal 31, kalau nggak, sampai tua pun nggak dapet lho. Tetapi carilah istri yang bukan dengan menkomparasi perempuan lain yang sudah punya suami yang baik itu, tapi carilah perempuan-perempuan single yang belum berkeluarga yang memilki hati yang takut akan Tuhan dan mau dipimpin oleh Roh Kudus. Dan pemudi-pemudi jangan cari suami yang seperti Kristus, nggak ketemu seumur hidup, karena nggak ada suami yang sempurna, laki-laki yang sempurna, tetapi carilah laki-laki yang takut akan Tuhan dan mau dipimpin oleh Roh Kudus, dari situ kalian bangun sebuah keluarga seperti yang Tuhan katakan dan ajarkan dalam Kitab Suci. Sempurna tidak? Mungkin tidak. Suami-suami boleh tanya kepada istri, “Apakah aku menjadi seorang pemimpin yang seperti Kristus?” Istri-istri boleh bertanya kepada suami, “Apakah aku menjadi seorang yang tunduk dan mendahulukan apa yang menjadi kepemimpinan dari pada suami?” Saya yakin jawabannya tidak. Jangan tanya sama diri ya, kalau tanya pada diri kita yakin kita semua akan berkata iya, tapi kalau bertanya kepada pasangan kita semua akan berkata tidak. Tetapi tanyakan kepada diri, dengan tidaknya sempurnanya kita di dalam melakukan itu apakah itu membuat kita tidak menuntut diri untuk menjadi seperti Kristus dan menjadi seorang istri yang mendahulukan suami? Saya percaya kalau ini menjadi suatu perjuangan yang kita lakukan seumur hidup kita, suami terus berjuang untuk bagaimana menyenangkan istrinya, istri berjuang  bagaimana untuk mendahulukan suami dan menyenangkan suaminya, saya yakin ada kebahagiaan di dalam keluarga itu dan ada berkat Tuhan di atas keluarga itu. Kiranya firman ini boleh jadi berkat bagi kita semuanya. Sekali lagi ini bukan curhat, tapi ini perintah Tuhan untuk kita jalankan. Saya jalankan itu, saya berusaha, saya bukan suami yang sempurna, saya tahu saya banyak kekurangan, boleh tanya istri saya , tetapi satu hal bukan berarti saya tidak berjuang untuk bagaimana membahagiakan keluarga dan membangun keluarga di dalam Tuhan. Saya percaya istri saya juga seperti itu membangun sebuah keluarga, karena tidak ada yang seperti Kristus sempurna dan  Amsal 31 yang sempurna, tetapi kita bisa belajar bertumbuh ke arah situ. Kiranya Tuhan boleh memberkati kita ya, mari kita masuk di dalam doa.

Kembali kami bersyukur Bapa untuk firman yang senantiasa boleh Kau sediakan bagi kami, untuk kebenaran mengenai suatu kehidupan keluarga yang boleh Engkau bukakan bagi diri kami, untuk relasi suami-istri yang boleh Engkau nyatakan pada kami pada pagi hari ini. Kiranya semua kebenaran ini boleh menjadi kebenaran yang kami terima sebagai perkataan Tuhan sendiri, dan kiranya kebenaran ini kami belajar untuk taati walaupun itu berarti kami harus  belajar menyangkal diri kami, dan mengorbankan kepentingan diri kami demi untuk pasangan kami dan keluarga kami, karena ini adalah perintah dari Tuhan Allah sendiri. Tolong kami masing-masing ya Tuhan, jadikan keluarga kami sebagai keluarga yang diberkati oleh Tuhan dan memberkati. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami bersyukur dan berdoa, amin.

[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]

Comments