Allah yang Rapuh, 13 Maret 2022

Yunus 4:10-11; Yesaya 53

Vik. Lukman Sabtiyadi

Bangsa Asyur merupakan salah satu bangsa yang begitu brutal dan menyiksa banyak orang-orang yang dijajah atau yang dikuasainya. Ada catatan bahwa setelah bangsa Asyur itu menangkap musuhnya, mereka memotong kaki dan tangan musuhnya, lalu membiarkan tangan satunya agar mereka bisa menjabat tangan dengan musuh yang sekarat sebagai tanda penghinaan. Kemudian mereka berpawai bersama kepala orang yang digantung di tiang. Mereka mencabut lidah tahanan, menarik tubuh tahanan itu dengan tali agar dikuliti, dan kulitnya dipertontonkan. Mereka membakar majah hidup-hidup. Mereka memperbudak bangsa lain dengan kejam. Sangat kejam. Bangsa Asyur, pada tahun 722 SM, menghancurkan seluruh kerajaan Utara Israel.

Tapi ada catatan sejarah di dalam Alkitab yang menarik sekali dan yang mungkin sulit kita pahami, di dalam Yunus 4:10-11, “Lalu Allah berfirman: “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikit pun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” Konteks zaman Yunus dapat dilihat dalam 2 Raja-Raja 14:25. Dengan demikian jarak waktu penyiksaan Israel Utara oleh Asyur itu sangat dekat dialami oleh Yunus. Tapi Tuhan mengutus Yunus menginjili bangsa ini. Ini seumpamanya ada orang yang membunuh orang tua kita, lalu anak itu ketika besar, diutus Tuhan menginjili pembunuh itu. Pergumulan begitu berat. Yunus marah sekali. Mengapa Tuhan ini kok malah mengasihi seseorang, atau satu bangsa yang brutal, yang menyiksa dengan sangat kejam?

Mari kita merenungkan satu hal ini yang mungkin sulit, dan sering kali kontroversial, yaitu tentang Allah yang rapuh. Istilah ini pun kontroversial, dan istilah ini pun sangat terbatas untuk menjelaskan keberadaan Allah. Allah yang rapuh bukan berarti dalam hal esensi Allah. Esensi Allah, Allah pada diri-Nya sendiri adalah Allah yang kekal, Allah yang perkasa, Allah yang nggak berubah, Allah yang nggak mungkin kita lukai. Allah yang cukup pada diri-Nya sendiri, Dia nggak perlu kita. Itu esensi Allah, self existence of God. Di sisi lain, Alkitab mengajarkan dalam konteks relasi-Nya dengan ciptaan-Nya secara umum dan umat-Nya secara khusus, Allah itu rapuh. Allah yang rapuh artinya Allah yang membuka diri-Nya untuk dikecewakan, dikhianati, dilukai, bahkan disalibkan oleh manusia ciptaan-Nya, dan yang mengaku umat-Nya sendiri.

Allah yang rapuh di sini diungkapkan dalam 2 aspek. Yang pertama yaitu Allah yang menangis. Kita baca di dalam Yunus 4:10-11 itu ada istilah di situ ‘sayang.’ Istilah ‘sayang’ di ayat 10 dan ayat 11 ‘sayang’ itu di dalam istilah aslinya itu compassion. Compassion itu apa Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Kalau di dalam akar bahasa Inggrisnya com + passion. Com itu bersama, passion itu menderita. Ketika Dia mengatakan, “Bagaimana Aku tidak sayang dengan bangsa brutal ini,” bukan hanya sekedar di bibir saja atau ungkapan simpati, itu artinya Dia menderita bersama dengan yang Dia kasihi itu. Dia menghayati penderitaan orang-orang yang dikasihi-Nya itu. Timothy Keller menjelaskan ayat ini, ayat 10-11 ini, kata ‘sayang’ di situ artinya Allah menangis. Allah menangisi bangsa yang brutal ini. Kata-kata Allah menangis itu bukan menunjukkan Allah yang lemah. Karena Dia mengasihi ciptaan-Nya.

Yunus tidak menangisi bangsa Asyur. Kita baca Yunus dari 1 sampai 4, nggak ada setetes air mata pun diungkapkan di situ, malah yang diungkapkan adalah kebencian. Yunus 4:9, “Aku layak marah, aku layak marah, aku bahkan layak marah sampai mati.” Yunus tidak mengasihi bangsa Niniwe yang begitu brutal, kita pun mungkin nggak mengasihi bangsa Niniwe. Bahkan mungkin kita nggak menangisi diri kita yang berdosa. Kalau orang lain berdosa, “Kamu memang berdosa, kamu harus bertobat.” Kalau kita berdosa, “Maklum lah Tuhan, saya kan lemah.” Seringkali kita menangisi dosa kita itu hanya pertobatan awal-awal kita. Kita susah sekali menangisi orang yang berdosa kepada kita dan kita susah menangisi diri kita yang berdosa. Tapi Tuhan Allah menangisi manusia yang berdosa. Tuhan Yesus adalah man of sorrow, Allah yang menangis.

Alkitab mencatat begitu banyak tentang Tuhan Yesus yang menangis. Dalam Matius 16:13-14, “Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Tuhan Yesus dengan Yohanes Pembaptis memang ada banyak kesamaan. Misalnya mempunyai berita yang sama tentang Kerajaan Sorga. Tuhan Yesus dan Elia juga banyak kesamaan seperti dalam hal mukjizat-mukjizat. Tapi bagaimana dengan Yeremia? Karena Yeremia terkenal sebagai nabi yang meratap. Saya percaya Tuhan Yesus begitu banyak menangis di dalam hidup-Nya. Ibrani 5:7-10, “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya, dan Ia dipanggil menjadi Imam Besar oleh Allah, menurut peraturan Melkisedek.” Selain itu, Yeremia digambarkan juga sebagai domba. Yeremia 11:19, “Tetapi aku dulu seperti anak domba jinak yang dibawa untuk disembelih.” Nabi itu mendemostrasikan bayang-bayang dari Sang Juruselamat akan datang yaitu Tuhan Yesus, Anak Domba Allah.

B.B. Warfield seorang theolog Reformed yang begitu dikenal sekali. Biasanya ya theolong Reformed itu menulis buku seperti sistematik theology dan dogmatika. B.B, Warfield itu menulis The Emotional Life of Our Lord. Ini jarang sekali. Di dalam salah satu kesimpulannya, ia menyatakan bahwa ungkapan emosional, Tuhan Yesus yang paling sering dinyatakan di dalam Alkitab dicatat oleh Injil dengan kalimat “tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan.” Matius 9:36, “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.” Tergeraklah hati Tuhan Yesus melihat ada banyak umat Tuhan seperti domba tidak bergembala. Lalu Dia mengatakan, “Tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit.” Selain itu, Matius 14:14, Matius 20:34, Markus 1:41, Lukas 7:13, Yohanes 11:33 dan 38. Allah adalah Allah yang menangis dalam relasi-Nya dengan umat-Nya, Allah yang membuka diri-Nya untuk dilukai, dikecewakan oleh manusia yang berdosa. Sayangnya, seringkali kita tidak menggambarkan siapa Allah kita. Ketika lihat ada orang berdosa, kita adalah orang yang judgmental, orang yang pertama kali melempar batu pada orang yang berdosa. Ketika ada orang melakukan kesalahan, kita tidak berkaca pada diri kita yang diampuni oleh Tuhan tapi menghakimi sesama kita dengan tanpa ampun.

Aspek kedua, Allah yang murah hati. Yunus 4:11, “Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” Yunus 1:2, “Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka, karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku.” Tuhan dengan jujur melihat realita apa adanya bahwa Niniwe adalah bangsa yang jahat. Dalam Yunus awal, Tuhan mengatakan kejahatannya sampai kepada-Ku dan di ayat yang terakhir Dia menyatakan kemurahan hati-Nya. Dia menyatakan kemurahan hati-Nya kepada bangsa ini dengan memahami ketidakmengertian, ketidaktahuan, kebutaan rohani dari bangsa ini.

Dalam Kejadian 8:20-21, “Lalu Nuh mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala binatang yang tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah beberapa ekor, lalu ia mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah itu. Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum itu, berfirmanlah TUHAN dalam hati-Nya: “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan.” Seluruh bumi mendapat murka Allah lalu kemudian ada satu orang datang membawa persembahan kepada Allah. Satu orang dibandingkan seluruh bumi saat itu dengan persembahan yang sederhana. Tuhan langsung mengatakan bahwa Aku nggak akan lagi memberikan hukuman air bah bukan hanya untuk generasi itu, tapi sampai selama-lamanya. Dia tidak akan memberikan hukuman yang seperti itu lagi karena Ia adalah Allah yang murah hati.

Bukankah ini juga yang diajarkan Tuhan Yesus dalam perumpamaan anak yang hilang dalam Lukas 15:11-32? Perhatikan gambaran Allah di situ. Anaknya minta warisan sebelum orang tuanya meninggal, ini pasti kurang ajar. Tapi bapanya seperti apa? “Silahkan.” Bagi kebanyakan kita, ini gambaran bapa yang lemah. Namun perumpamaan Tuhan Yesus bukan sama sekali menyatakan kita harusnya jadi bapa yang lemah. Tapi dalam konteks itu Tuhan Yesus mengontraskan dengan kehidupan agama Israel secara khusus Ahli Taurat dan orang Farisi. Ada jalan keagamaan yang tidak alkitabiah dijalankan oleh orang-orang dianggap paling saleh pada masa itu. Tuhan Yesus memberikan perumpamaan anak yang hilang untuk mengontraskan dengan konteks saat itu. Berapa sering kita memperlakukan sesama kita yang berdosa dengan sikap yang tidak alkitabiah dan bahkan membenarkan perlakuan itu atas nama agama, atas nama kebenaran. Dalam perumpamaan anak yang hilang, sikap Bapa yang menggambarkan Allah Bapa dikontraskan dengan sikap kita yang seringkali mengatakan diri beragama tapi kehilangan kasih yang sejati, agama tanpa kemurahan hati. Itu bukanlah ajaran Alkitab.

Di dalam 2 Timotius 2:11-12 dikatakan, Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya. Allah yang murah hati artinya Dia tidak bisa berbohong kepada diri-Nya bahwa Dia mengasihi manusia. Hampir semua orang tua yang mendisiplinkan anaknya dengan tidak bisa membohongi dirinya betapa hatinya mengasihi anaknya. Seperti itulah Allah kita, Allah yang murah hati itu artinya Allah yang tidak bisa menyangkal diri-Nya bahwa Dia mengasihi anak-anak-Nya. Oleh karena itu, tidak mengherankan dalam 1 Yohanes 1:9 dikatakan, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”

Hari ini kita merenungkan tentang Allah yang rapuh di mana dinyatakan dalam 2 aspek yaitu Allah yang menangis dan yang murah hati. Allah yang rapuh bukan Allah yang esensinya itu rapuh. Tapi dalam relasinya dengan umat-Nya, dengan ciptaan-Nya secara umum dan dengan umat-Nya secara khusus Allah yang rapuh adalah Allah yang membuka diri-Nya untuk dikecewakan, dikhianati, dilukai, bahkan disalibkan. Gambaran yang paling mungkin komprehensif yang menggambarkan ini salah satu ayatnya yaitu Yesaya 53:3, “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan.” Inilah Tuhan Yesus Kristus, inilah Allah kita.

Di dalam sejarah gereja seringkali itu banyak doktrin secara dominan dibangun di atas dasar fokusnya itu Allah yang Mahakuasa. God is all powerful, omnipotent, tidak berubah, Raja, Bapa, Tuan, berdaulat. Dalam persoalan pergumulan kita di dalam kehidupan di dunia itu pun seringkali juga di dalam konteks tema Allah yang Mahakuasa. Jika Allah Mahakuasa, mengapa ada penderitaan? Jika Allah memang Mahakuasa, mengapa Allah itu mengizinkan manusia berdosa? Tapi seringkali kita lupa sisi Allah yang lain. Kita lupa Allah juga adalah Allah yang menangis dan murah hati. Kuasa identik dengan kejam, tegas, tanpa ampun, dan penghukuman. Itu gambaran yang salah, itu adalah gambaran allahnya dari dunia.

Ada satu filsuf itu namanya Niccolo Machiavelli, filsuf Italia. Dia menulis kalau jadi pemimpin lebih baik jadi pemimpin yang ditakuti atau yang dikasihi? Machiavelli bilang lebih baik jadi yang ditakuti karena yang dikasihi itu sesaat hilang, kalau ditakuti bisa takut sampai mati. Ini gambaran dunia. Seringkali ini kemudian mempengaruhi kita lebih baik saya menjadi seorang yang ditakuti daripada dikasihi padahal di dalam Alkitab antara takut dengan kasih itu tidak terpisah seperti itu. Kita harus takut dengan Allah, kita juga harus kasih dengan Allah. Allah adalah Allah yang kita harus takuti, hormati, segani. Allah juga adalah Allah yang mudah sekali untuk bermurah hati.

Misalnya kita belum kenal Tuhan lalu kita minta kepada Tuhan Allah tunjukkan Allah itu seperti apa? Apakah Ia mewujudkan diri-Nya sebagai raja yang perkasa, tangannya berotot, dan menghabisi semua lawan? Bukan. Tuhan Allah berinkarnasi ke dunia jadi seorang bayi, anak tukang kayu, menjadi pribadi yang biasa menderita, dan bahkan seperti domba yang dibawa ke pembantaian (Yesaya 53). Ia menjadi pribadi yang dihina-hina orang, dan yang menunggang keledai. Inilah puncak pewahyuan Diri Allah. Jika kita hadir pada saat Tuhan Yesus inkarnasi ke dunia, sangat besar kemungkinan kita juga yang berteriak “Salibkan! Salibkan Dia!” Lalu baru bertobat sesudah Ia bangkit dan Roh Kudus turun atas kita. Karena memang sulit dan hanya anugerah Allah kita dapat percaya Tuhan Allah dan Sang Juruselamat kita adalah pribadi yang disalibkan.

Dalam Wahyu 5:5-6, “Lalu berkatalah seorang dari tua-tua itu kepadaku: “Jangan engkau menangis! Sesungguhnya, singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang, sehingga Ia dapat membuka gulungan kitab itu dan membuka ketujuh materainya.”” Ayat 6, “Maka aku melihat di tengah-tengah takhta dan keempat makhluk itu dan di tengah-tengah tua-tua itu berdiri seekor Anak Domba seperti telah disembelih, bertanduk tujuh dan bermata tujuh: itulah ketujuh Roh Allah yang diutus ke seluruh bumi.”

Ketika lihat Kitab Wahyu kata “singa” dengan kata “domba” mana yang paling banyak yang dipakai menggambarkan Tuhan Allah kita? Yang paling banyak kata “domba.” Mengapa? Karena inilah yang mau dinyatakan kepada Tuhan, Aku adalah Aku yang perkasa tapi Aku juga adalah Anak Domba yang disembelih, Aku adalah Allah yang berbelas kasihan, Aku adalah Hamba yang menderita. Gambaran Alkitab tentang domba itu sebenarnya kita. Jadi waktu dikatakan Tuhan Yesus itu adalah seperti domba, itu artinya Dia menjadi sama dengan kita, kerapuhan-Nya itu adalah kerapuhan kita. Segala dosa itu ditimpakan, dosa manusia itu, ditimpakan kepada-Nya, ditanggung oleh Dia. Dia menjadi sama serupa seperti kita. Itulah mengapa Dia disebut Anak Domba Allah. Dia Anak Domba Allah.

Ada 3 hal yang bisa kita renungkan sebagai refleksi penutup kita. Pertama, Yunus tidak menangisi Niniwe, tetapi Tuhan Yesus menangisi bangsa yang brutal itu. Tuhan Yesus menangisi manusia berdosa, Tuhan Yesus menangisi kita sekalian, ini bukan kasih yang murahan. Mengapa? Karena Dia membayar harga untuk itu. Kasih murahan itu pengampunan dengan cuma bilang, “Saya ampuni kamu.” Itu kasih murahan tanpa ada salib, tanpa ada bayar harga. Kasih murahan itu ketika Tuhan mengampuni kita, sesudah itu tidak mengharapkan perubahan orang itu. Itu cheap grace (istilah dari Bonhoeffer). Tapi kasih Kristus adalah kasih yang agung. Waktu Dia menangisi itu artinya dia compassion, Dia menderita bersama dengan umat-Nya.

Kedua, Mazmur 103:8-14, “TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam. Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita, tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia; sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita. Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu.” Dia tahu siapa kita. Ketika kita merenungkan Allah kita Allah yang seperti ini, Allah yang membuka diri-Nya untuk bahkan dikecewakan, dikhianati, dilukai bahkan disalibkan, kita menyadari bahwa Dia sungguh tahu kita, Dia kenal kita, siapa yang bisa mengenal kita lebih dalam dari pada Allah kita? Hanya Tuhan Yesus, hanya Allah yang berinkarnasi karena Dia menjadi rapuh sama seperti kita rapuh, Dia menjadi domba seperti kita adalah domba sebenarnya. Ini pengharapan kita di tengah segala pergumulan kita. Ketika Tuhan Yesus di dunia ini Dia bergumul menaati perintah Allah. Ibrani 4:15, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.”

Ia tahu kelemahan-kelemahan kita, Dia menjadi sama dengan kita. Ini justru pengharapan kita. Nggak ada hal-hal lain yang seperti ini. Bapak, Ibu, Saudara sekalian kelemahan apapun jangan pernah berpikir bahwa Allah nggak mengerti itu. Datanglah kepada Allah kita, Allah yang diajarkan Alkitab, Tuhan kita Yesus Kristus karena Dia mengerti, Dia peduli, lalu yang terakhir Bapak, Ibu, Saudara sekalian puncak kasih Allah itu adalah salib Kristus. Puncak keadilan Allah itu adalah salib Kristus, kematian Kristus di kayu salib dan kebangkitan-Nya itu adalah peristiwa yang begitu penting di dalam sejarah manusia. Apa artinya di sini? Bahwa anugerah keselamatan yang kita imani itu bukan anugerah murahan, bukan. Harus ada yang membayarnya dan bayaran itu tebusan itu begitu mahal yaitu darah-Nya sendiri, darah Anak Domba Allah itu begitu mahal. Maka Bapak, Ibu, Saudara sekalian jangan take it for granted atas anugerah kita. Jangan anggap remeh keselamatan di dalam Kristus. Bapak, Ibu, Saudara sekalian mungkin, mungkin ada banyak kita di sini bahkan kecewa dengan dunia dan kecewa dengan diri kita mungkin. Tapi ingat Tuhan Yesus mati bagi kita.

Ketika kita mulai patah semangat di dalam mengikuti, menjalani segala perintah Tuhan. Jangan menyerah, jangan menyerah. Ingat kita ditebus dengan darah yang mahal, maka kerjakanlah keselamatan itu. Artinya memang pasti berbagian di dalam gereja Tuhan tapi juga yang lain di dalam setiap hal yang Tuhan percayakan kepada kita menjadi ayah/suami, menjadi istri, menjadi anak, menjadi mahasiswa, pemuda pemudi yang berkenan di hadapan Allah. Ingat setiap bangun pagi ingatlah, “Aku bisa bangun pagi ini, aku bisa beriman percaya kepada Tuhan Yesus dan bisa mampu melakukan segala perbuatan baik hari ini, pekerjaan baik hari ini karena Kristus sudah menebusku.” Hiduplah dengan kasih Kristus itu. Kristus mati bagi saya, saya mau hidup bagi Dia.

Bapa kami di sorga kami kembali datang ke hadapan Tuhan, kami mendengar begitu banyak khotbah di dalam hidup kami dan mungkin juga kami sudah berkali-kali mendengar tentang berita tentang Tuhan Yesus. Ampuni kami, Tuhan ketika kami seringkali malah tidak menyadari dosa kami, malah memaklumi dosa kami dan tidak melihat begitu besarnya kasih Kristus kepada kami dan hari ini kami merenungkan kembali Engkau adalah Allah yang peduli dengan kami, Engkau Allah yang menghayati, yang mengerti bahkan menjadi sama dengan kami. Allah yang menangisi dosa kami, Allah yang juga bermurah hati kepada kami yang berdosa. Ajar kami, Tuhan untuk kami hidup dengan iman bahwa dosa kami itu sudah dibayar lunas, sudah ditebus dengan darah yang mahal dan kami seharusnya hidup kudus, hidup takut akan Tuhan, menyatakan kasih Kristus kepada sesama kami dan memuliakan Tuhan di dalam setiap langkah hidup kami. Ampuni kami, Tuhan selidiki hati kami, ubahkan kami menjadi manusia yang semakin baru, semakin serupa dengan Tuhan kami Yesus Kristus, Anak Domba Allah yang disembelih itu. Dalam Nama Tuhan Yesus, kami berdoa. Amin. (KS)

Comments