Wanita dalam Sejarah Gereja (Bagian 2)

Pada artikel sebelumnya telah dibahas sejarah pandangan terhadap wanita dari berbagai perspektif: perspektif Bapa-bapa Gereja, zaman ini, hingga (sebagian) perspektif Alkitab. Perlu diakui bahwa sebenarnya pembahasan tentang wanita itu sendiri tidak cukup dimuat dalam dua artikel – tema tentang “wanita” bisa sangat beragam, luas, dan membutuhkan kajian yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setelah membahas konsep wanita dan pandangan akan perannya, kali ini kita akan meninjau para wanita yang berperan penting dalam sejarah gereja, suatu potret sejarah yang sering kali dilupakan dan tidak begitu dihiraukan.

            Catherine Kroeger menyatakan: “One of the best-kept secrets in Christianity is the enormous role that women played in the early church.[1]Catherine Kroeger adalah seorang dosen yang memiliki spesialisasi dalam bidang wanita di agama kuno serta wanita dalam ekklesiologi dari Rasul Paulus. Menarik ketika Kroeger menyatakan bahwa pada zaman Gereja Mula-mula terdapat jumlah yang tidak seimbang antara pria dan wanita, di mana jumlah wanita lebih banyak (mirip dengan zaman kita sekarang mungkin?). Mengapa hal ini dapat terjadi? Salah satunya adalah karena pada zaman itu praktik budaya yang beredar adalah membuat bayi-bayi perempuan yang tidak diinginkan (masih ingat artikel sebelumnya tentang bagaimana budaya zaman itu yang menganggap wanita sebagai “produk gagal”?). Umat Kristen, tentu saja, tidak melakukan praktik ini, maka dari itu terdapat lebih banyak perempuan Kristen yang hidup. Selain itu, banyak wanita kelas atas yang bertobat menjadi Kristen sementara suami-suami atau saudara laki-laki mereka tetap beragama pagan demi mempertahankan jabatan senatorialnya. Akhirnya para wanita Kristen kelas atas ini banyak yang mempelajari Alkitab, bahasa Ibrani, serta Yunani – layaknya mahasiswa theologi zaman sekarang. Bahkan pada awal tahun 400-an, Agustinus sendiri menyatakan bahwa banyak perempuan senior yang terdidik dengan lebih baik dalam hal-hal spiritual daripada banyak filsuf laki-laki. Berbekal pengetahuan theologi dan spiritualitas yang ada, wanita-wanita Kristen saat itu tidak sedikit yang menjadi theolog serta melawan bidat. Misalnya, Marcella yang merupakan theolog wanita pada zaman Bapa Gereja Jerome. Jerome sendiri memberi testimoninya bagi Marcella: “She was in the front line in condemning the heretics.” Selain itu, mereka juga sangat aktif dalam pelayanan sosial: “The women’s spiritual zeal exploded into social service”(Kroeger, 1998: 5). Bahkan banyak dari mereka juga yang ditentang secara keras oleh keluarganya oleh karena membagi kekayaannya untuk menolong orang miskin. Pelayanan yang “self-less” seperti ini akhirnya menjadi ciri khas atau trademark bagi wanita-wanita Kristen.

            Bukanlah sesuatu yang mengejutkan jika wanita begitu aktif dalam pelayanan di zaman Gereja Mula-mula. Sejak awal – mulai dari kelahiran, pelayanan, kematian, dan kebangkitan Yesus – wanita telah terlibat secara signifikan. Kita mengetahui bahwa ketika semua murid pria lari meninggalkan Yesus saat penyaliban, wanita justru tidak lari. Ketika Yesus bangkit, para wanitalah yang mengingat bahwa Anak Manusia akan bangkit pada hari ketiga. Merekalah yang bergegas memberitahukan para murid tentang kebangkitan Yesus. Oleh karena itu, Gereja Mula-mula menganggap Maria Magdalena sebagai “apostle to the apostles”. Keterlibatan wanita terus berlanjut dalam beberapa dekade pertama dari gereja, yang tercantum baik di dalam Alkitab maupun sumber-sumber lain di luar Alkitab. Berikut ini adalah nama-nama dari wanita yang dianggap berperan penting dalam sejarah Gereja Mula-mula – nama-nama yang jarang atau bahkan tidak pernah kita dengar sebelumnya. Beberapa nama ini diambil dari artikel “Women of the Early Church: A Gallery” yang ditulis oleh Mary L. Hammack, penulis buku “A Dictionary of Women in Church History”.

Anthusa
Anthusa adalah ibu dari John Chrysostom, salah satu pemimpin dan pengkhotbah terbesar dari gereja di abad ke-4. Anthusa hidup sekitar 330 – 374 M di Antiokia dikenal memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan John Chrysostom. Di usianya yang ke-20, Anthusa sudah menjadi janda, namun ia bertekad untuk tidak menikah lagi dan mengabdikan hidupnya bagi kedua anaknya (John dan saudara perempuannya) dan bagi pelayanan di gereja. John Chysostom menuliskan kesaksiannya tentang ibunya, bahwa ia bukan hanya mengajarkan anak-anaknya untuk mengetahui dan mencintai Alkitab, namun hidupnya sendiri sudah menjadi model dari ajaran Alkitab. Chrysostom sangat mengagumi kesetiaan ibunya dalam doa dan iman. Tidak banyak catatan akan hidup Anthusa, namun satu hal yang pasti bahwa ia memiliki pengaruh yang besar bagi Chrysostom, yang akhirnya menjadi Bapa Gereja di Konstantinopel dan seorang misionaris yang gigih.

Candace
Candace adalah ratu dari Ethiopia yang disinggung dalam Kisah Rasul 8:27 dalam kisah tentang Filipus yang bersaksi bagi seorang sida-sida Etiopia, yang adalah sida-sida dari Ratu Candace. Candace dan suaminya berkuasa selama 16 tahun dari sekitar 25 – 41 M. Tradisi menyatakan bahwa Ratu Candace bertobat dan menerima Kristus melalui kesaksian sida-sidanya dan pertobatannya mengakibatkan ia menggunakan jabatannya untuk menyebarkan kekristenan di Etiopia dan sekitarnya.

Cecilia
Cecilia adalah seorang martir pada abad ke-2 yang bukan saja diingat sebagai seorang martir namun juga kontribusinya bagi perkembangan musik gerejawi. Cecilia terkadang disebut sebagai salah satu “Patron saint of music”. Tradisi menyatakan bahwa karyanya telah menjadi inspirasi bagi Chaucer’s Canterbury Tales dalam “The Second Nun’s Tale” dan pelukis Raphael melukis Cecilia yang sedang duduk di atas organ. Kemudian dari segi kerohanian, menurut catatan sejarah Cecilia sebenarnya pernah memutuskan untuk hidup selibat dan mengabdikan hidupnya pada Tuhan. Akan tetapi orang tuanya tidak setuju dan malah menjodohkannya dengan seorang pria Romawi. Namun sesuatu terjadi sebelum pernikahannya: calon suaminya dan kakak laki-lakinya bertobat, menerima Kristus dan menjadi Kristen. Hal ini merupakan berita baik bagi Cecilia – sekaligus berita buruk, karena pada zaman itu menjadi Kristen sama dengan siap-siap kehilangan kepala. Hidup Cecilia juga senantiasa terancam oleh kuasa imperial Romawi, namun ia baru menjadi seorang martir bagi imannya di kemudian hari, di Sicillia.

Helena
Sama halnya dengan Anthusa, Helena dikenal sebagai ibu dari seorang pemimpin Kristen besar. Helena hidup pada abad-4, ia dikenal karena pengaruhnya bagi Konstantin, pemimpin Kristen pertama dalam Kerajaan Romawi. Helena menurut catatan mengaku satu kali mendapatkan penglihatan dalam mimpi bahwa ia harus bertobat dan menerima Kristus. Dan ia pun mendorong Konstantin untuk juga percaya pada Yesus Kristus. Berkat dorongan ibunya inilah, Konstantin menerapkan bahwa agama Kristen menjadi agama negara. Helena juga banyak membantu mendirikan gereja-gereja pada saat itu.

Macrina
Macrina adalah seorang wanita Kristen yang dikenal memiliki peran dan pengaruh besar bersama dengan kedua saudaranya laki-laki yang menjadi pemimpin gereja di Asia Minor: Basil the Great (Bapa Gereja Kaisarea), Gregory (Bapa Gereja Nyssa), dan Peter (Bapa Gereja Sebaste). Macrina lahir dari orangtua Kristen di Kapadokia pada tahun 327, namun ia dan adik-adiknya laki-laki tumbuh di Pontus (diduga Macrina merupakan anak paling sulung dari 10 bersaudara). Macrina memiliki keunikan di mana ia terdidik dengan baik di tengah zaman di mana wanita kurang mendapat pendidikan, dan ia justru yang mengajari adik-adiknya laki-laki terutama ketika ibunya meninggal dunia. Maka dari itu, adik-adiknya begitu menghormati Macrina. Bahkan Basil pun mengetahui kemampuan intelektualitasnya dan memberikannya kesempatan untuk edukasi theologi – sesuatu yang langka bagi wanita di zaman itu. Pada sekitar tahun 355 di usianya yang masih 20an, Macrina membentuk komunitas religius bagi wanita di Pontus dan menjadi pelopor gerakan wanita dalam kekristenan. Macrina dikenal karena kemampuannya dalam mengajar, mengorganisasi komunitas keagamaan, bahkan dalam hal mendirikan rumah sakit bagi orang-orang yang membutuhkan. Rumah sakit yang ia dirikan cukup besar dan telah membantu banyak orang, dengan pendanaan dari uang warisan orang tua Macrina. Faktanya, ia sangatlah murah hati dengan uang hingga menurut catatan sejarah ia meninggal dalam keadaan miskin, dengan tidak memiliki baju yang layak untuk penguburan di tahun 379.

            Gregory yang saat itu sedang frustrasi dalam pelayanannya di gereja, menghampiri Macrina yang sedang mendekati ajalnya. Macrina di saat-saat terakhirnya masih bisa memberikan semangat kepada Gregory dan mengatakan bahwa gereja membutuhkan Gregory, bahwa ia harus menerima tanggung jawab pelayanan gerejawi sebagai anugerah Tuhan, bukan beban. Gregory tersentuh dengan kata-kata kakaknya. Ia mengambil komitmen dan akhirnya melayani di gereja selama 20 tahun lagi. Kemudian pada tahun 381 Gregory memenangkan iman ortodoks dalam Konsili Konstantinopel. Gregory terus menemani Macrina hingga ajalnya dan begitu terkejut ketika mengetahui bahwa tidak ada satu pakaian yang layak bagi penguburannya karena ia telah memberikan hampir semua pakaiannya bagi orang miskin. Namun hadiahnya bagi adik-adiknya laki-laki dan gereja lebih besar: pengaruh spiritual, amalnya bagi mereka yang berkekurangan, dan suatu komunitas wanita yang sepenuhnya mendedikasikan hidup bagi Tuhan.

Marcella
Marcella lahir dalam keluarga bangsawan Romawi di tahun 325. Ia sangat dihargai oleh Jerome, penerjemah Alkitab versi bahasa Latin di abad ke-4. Kontribusi Marcella tidaklah sedikit, di antaranya adalah ia menjadikan istananya sebagai tempat pengungsian bagi umat Kristen yang saat itu dianiaya dan juga aktif dalam mengajar kelas-kelas Alkitab serta persekutuan doa di antara sesama wanita bangsawan. Walaupun ia menjadi janda di usia muda dan tidak memiliki anak, sama seperti Anthusa, ia memilih untuk tidak menikah lagi dan mendedikasikan hidupnya bagi Kristus serta gereja. Pada saat Paus Damaskus menugaskan Jerome untuk merevisi terjemahan Latin akan Injil, Jerome pindah dan tinggal sementara di rumah tamu milik Marcella selama mengerjakan tugasnya itu. Selama tiga tahun Jerome dibantu oleh Marcella termasuk untuk menerima kritik atau masukan bagi karyanya – suatu karya yang nantinya menjadi klasik: Alkitab Latin Vulgata. Selain perannya dalam bidang theologi dan juga beramal bagi orang yang membutuhkan, Marcella adalah yang pertama kali mendirikan biara bagi wanita dalam sejarah gereja di Barat.

Marcellina
Dikenal sebagai pendoa yang giat, Marcellina memiliki pengaruh besar bagi saudara laki-lakinya, Bapa Gereja Ambrosia di Milan. Marcellina yang hidup pada abad ke-4 merupakan pelayan doa yang efektif dan seorang pengajar. Ia juga memutuskan untuk hidup selibat. Begitu rajinnya ia berdoa dan berpuasa, Ambrosia satu kali dalam suratnya mengingatkan Marcellina agar tidak terlalu berlebihan dalam puasa. Ambrosia juga mendedikasikan bukunya, “De Virginibus” (Of Virginity) bagi Marcellina, untuk mengenang doa-doanya yang begitu giat.

Monica
Banyak dari kita yang mungkin tidak asing dengan wanita yang satu ini, yang beberapa kali disinggung dalam khotbah. Monica adalah ibu dari salah seorang theolog dan Bapa Gereja terbesar sepanjang sejarah, Agustinus. Kita mengetahui seberapa besar kesetiaan Monica dalam mendoakan dan menginjili anaknya yang sebelumnya hidup bergelimangan dosa. Agustinus sendiri menganggap ibunya sebagai kekuatan pendorong bagi keselamatannya sendiri (terlepas dari tentu keselamatan merupakan anugerah dari Tuhan), yang dengan gigih dan tekun berdoa bagi dirinya. Hal ini sudah sering disorot, akan tetapi salah satu aspek kehidupan Monica yang tidak terlalu sering diekspos adalah mengenai bagaimana perannya sebagai seorang istri. Dalam Buku IX, Agustinus membicarakan tentang kehidupan pernikahan Monica dengan Patricius dari Thagaste, yang merupakan penganut agama pagan seumur hidupnya namun akhirnya menerima Kristus pada saat-saat terakhir. Monica dikatakan memiliki sikap yang begitu tunduk dan hormat kepada suaminya, melayani suaminya dan membuat dirinya layak dicintai oleh seorang suami. Ia begitu setia menjaga kekudusan dan kemurnian pernikahan. Ia berusaha sebisa mungkin tidak pernah berdebat atau bertengkar dengan suaminya, ia senantiasa sabar menghadapi suaminya yang tempramental. Suaminya memang tidaklah jahat, hanya saja dikatakan mudah tersulut oleh kemarahan dan bad-tempered. Akan tetapi tidak sampai di situ, kebanyakan istri yang memiliki suami bertemperamen buruk akan dengan mudah menggosipi suami mereka pada saat berkumpul sesama istri. Tidak jarang para istri mengeluh dan membicarakan kejelekan suami mereka kepada teman-temannya. Namun Monica menahan lidahnya dan tidak pernah mengeluarkan satu patah kata pun yang berusaha membicarakan keburukan suaminya di belakang. Bahkan ia tidak pernah membuka mulutnya bahwa Patricius suaminya pernah satu kali memukul dirinya, hingga Agustinus sendiri yang membuka fakta itu dalam tulisannya. Akhirnya kita melihat bahwa peran wanita dalam sejarah gereja bukan saja aktif dalam pelayanan yang kelihatan di gereja atau masyarakat, namun juga dalam pelayanan di ranah domestik yang paling kecil: keluarga. Monica sebagai wanita Kristen patut diteladani dalam perannya menjadi ibu yang begitu taat dan istri yang begitu setia – sehingga menghasilkan seorang pemimpin gereja yang begitu dipakai oleh Tuhan.

Olympias
Olympias lahir dalam keluarga kaya di dekat Konstantinopel pada tahun 368. Ia menjadi janda di usianya yang sangat muda dan memutuskan untuk tidak menikah lagi, sama seperti beberapa wanita lain yang sudah dibahas. Setelah mengabdikan hidupnya bagi Tuhan, ia membagi hartanya bagi gereja di Konstantinopel dan bagi kaum yang membutuhkan – bagi mereka yang sakit, janda-janda miskin, narapidana penjara, pengemis, dan budak-budak (ia bahkan membeli banyak budak dan membebaskan mereka). Kemudian ia menjadi seorang diaken di Gereja di Konstantinopel dan menjadi teman baik John Chrysostom – walaupun John beberapa kali menasehati Olympias untuk tidak terlalu sering memberi bagi orang miskin karena itu akan membuat mereka malas. Namun kesetiaannya pada John Chrysostom ternyata menuntut adanya bayar harga. Chrysostom suatu kali berbicara dan melawan perilaku istri Kaisar Eudoxia dan tindakannya ini membuat Eudoxia melakukan ‘intervensi’ dalam hirarki gereja serta menyingkirkan Chrysostom dari jabatannya. Olympias pun tidak turut diam dan dengan umat Kristen di Konstantinopel yang lain turut memprotes hal ini, dan akhirnya menerima penganiayaan dari pemerintahan Romawi. Harta Olympias semua disita dan proyek-proyek amalnya ditutup. Akhirnya Olympias meninggal dalam keadaan sangat melarat pada tahun 407. Tetapi dirinya senantiasa dikenang sebagai seorang Kristen yang taat, tidak egois untuk mempersembahkan harta kekayaannya bagi Tuhan, serta menjadi diaken yang setia bagi gereja.

Paula
            “…she mourned and she fasted… her eyes were dim with weeping… the Psalms were her only songs; the gospel her whole speech; continence her one indulgence; fasting the staple of her life…”

            Begitulah kira-kira kutipan dari testimoni Jerome terhadap sahabat terdekatnya: Paula (347-404). Paula merupakan salah satu anggota kelompok atau komunitas wanita Kristen bangsawan yang diketuai oleh Marcella (yang juga adalah teman baik Jerome). Sebagai bagian dari komitmennya, Paula mengubah gaya hidupnya yang dahulu seorang Romawi dengan penuh harta pada asketisme yang ketat – seperti tercermin dari kutipan Jerome tentang dirinya. Sebelum menjadi seorang Kristen, Paula dan keluarganya dipenuhi dengan gaya hidup glamor: mereka menghiasi wajahnya dengan berbagai riasan, mengepang rambutnya dengan hiasan rambut, bersepatu emas, dan senantiasa dikawal oleh sida-sida. Namun setelah bertobat, Paula tidak lagi makan daging dan makanan manis, hanya memakan roti dengan sedikit minyak saja. Ia tidak lagi minum anggur, melainkan hanya air putih. Seperti kebanyakan pemimpin wanita Kristen di zaman itu, ia mendedikasikan hidupnya untuk beramal dan mendirikan rumah sakit. Pada tahun 382, ia pertama kali bertemu dengan Jerome dan belajar Alkitab di bawah pimpinannya. Perlu diketahui bahwa Paula telah menjanda di usia muda (oleh karena pada zaman itu adalah lumrah ketika pria tua menikahi wanita muda, sehingga menghasilkan banyak janda muda) dan memiliki seorang anak perempuan. Suatu kali Jerome mengajak Paula dengan anak perempuannya, Eustochium, untuk mengikuti perjalanannya ke Timur. Jerome dan Paula menjalin suatu hubungan yang sungguh tidak biasa: bukan sebagai pasangan romantis, bukan pula teman biasa. Yang pasti, Jerome sangat mengagumi wanita yang satu ini dengan dedikasinya yang begitu tinggi dalam menjaga kesucian hidup melalui gaya hidup asketismenya (walaupun bukan berarti kita harus mencontoh gaya hidup asketisme, karena ini pun sebenarnya tidak sepenuhnya alkitabiah). Jerome sendiri mengatakan, semenjak kematian suaminya, Paula tidak pernah makan bersama dengan laki-laki, tidak peduli seberapa lapar. Ia tidak pernah masuk ke dalam pemandian kecuali sedang sakit parah (ada suatu konsep bahwa tubuh wanita sama dengan “daging” yang jahat dan berdosa, maka wanita perlu malu dan merasa jijik melihat tubuhnya sendiri – tentu pandangan yang sangat bias Platonis dan Gnostik). Jerome sendiri memang sebenarnya memiliki pandangan yang cukup negatif terhadap wanita, pernikahan, dan hubungan seks; ia melihat hal itu sebagai kedagingan yang berdosa. Kembali lagi kepada Paula, dikatakan pula ketika menderita demam bahkan ia tidur di atas tanah yang keras, yang hanya ditutupi oleh matras bulu kambing. Ia juga lebih sering berdoa pada waktu malam ketimbang tidur. Tentu saja gaya hidup seperti ini tidak perlu secara literal kita teladani, akan tetapi prinsip-prinsip tertentu dapat kita pelajari yaitu prinsip gaya hidup Kristiani yang disiplin dan tidak hedonistik.

            Terlepas dari gaya hidupnya yang begitu asketis, Paula adalah seorang yang senantiasa mendukung pekerjaan Jerome. Selama mengerjakan terjemahan Alkitab baik Septuaginta maupun Vulgata, Paula senantiasa mendukung Jerome dari segi finansial: ia membantu biaya hidup Jerome serta membelikan Jerome manuskrip-manuskrip dan keperluan lain yang tidak murah. Dalam biara yang Paula kelola, ia dan para wanita lain turut menulis ulang secara tulis tangan manuskrip Alkitab atau theologi dalam rangka melestarikan dan menyebarluaskannya. Selama 1.000 tahun kemudian, para biarawan/wati senantiasa melanjutkan pekerjaan ini: memelihara bukan hanya Alkitab dan commentary, tetapi juga karya-karya theologi dan kebudayaan. Kontribusi Paula bagi Jerome bukan hanya pada dukungan finansial, namun juga bantuannya dalam pekerjaan menerjemahkan Alkitab. Ia sering kali memberikan Jerome inspirasi, stimulasi intelektual, dan respons-respons yang kritis. Jerome adalah seorang pria yang ‘sulit’ dan ia sendiri mengakui bahwa Paula adalah satu-satunya wanita yang memiliki ‘kekuatan’ untuk ‘menaklukkan’ dirinya: mungkin juga ia adalah satu-satunya wanita yang memiliki kesabaran untuk bekerja bersama Jerome. Seperti telah disinggung sebelumnya, di tengah-tengah pandangan yang begitu negatif terhadap wanita, Jerome sendiri menunjukkan hormat dan afeksinya yang begitu dalam kepada beberapa wanita yang ada di sekitarnya: Paula, Eustochium, dan Marcella. Paula menghembuskan nafas terakhir pada usia ke-56 dan Jerome memberikan testimoninya yang terakhir bagi Paula sebagai “one of the marvels of the Holy Land”.

Beberapa Martir Wanita Lain

            Sebenarnya daftar wanita yang menorehkan namanya dalam catatan sejarah gereja bukan mereka saja. Masih ada banyak nama lain yang tidak sempat dicantumkan di sini, khususnya para martir wanita seperti Blandina, Justin, dan Perpetua. Tentu saja para martir sangat patut untuk dicontoh, akan tetapi saya pribadi hendak memfokuskan pada wanita-wanita yang berkontribusi selama hidupnya. Karena panggilan untuk menjadi martir sesungguhnya terlalu mulia, dan hanya diberikan kepada beberapa orang saja. Akan terlalu naif apabila kita menyatakan bahwa kita rela mati martir bagi Kristus – sedangkan menjadi martir itu sendiri adalah privilege yang diberikan oleh Tuhan tidak kepada banyak orang.

Kesimpulan
Setelah kita melihat daftar nama wanita dengan kisah hidupnya serta perannya dalam sejarah gereja, bagaimanakah respons kita – khususnya para wanita? Tak perlu dipertanyakan lagi bahwa panggilan setiap orang dalam Kerajaan Allah berbeda-beda – begitu pula dengan panggilan kita sebagai wanita. Secara universal, sudah dibahas pada artikel sebelumnya bahwa wanita pada intinya dipanggil untuk taat di bawah otoritas pria dan memberi ruang bagi pria untuk memimpin. Namun terdapat panggilan spesifik yang unik bagi setiap wanita: ada yang terpanggil menjadi seorang ibu rumah tangga full-time, seorang istri dari misionaris atau hamba Tuhan, seorang pengajar, seorang penggembala, atau mungkin seorang ibu dari hamba Tuhan yang besar. Kita melihat dari nama-nama tadi bahwa bukan berarti wanita yang tidak menikah mengabdikan hidupnya bagi Tuhan lebih ‘suci’ daripada mereka yang berkeluarga. Atau mereka yang menjadi penginjil terkesan lebih tinggi daripada yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Dalam hal ini, baik itu seorang Marcella yang melawan bidat dengan Monica, seorang ibu yang taat mendoakan anaknya dan melayani suaminya adalah sama: mereka sama-sama mengerjakan bagiannya dalam Kerajaan Allah. Mereka yang hidup begitu sederhana dengan beramal seperti Olympias, dengan mereka yang tetap berada pada posisinya sebagai kaum pejabat seperti Candace juga adalah sama. Hendaklah kita sebagai kaum wanita yang ada di Gerakan Reformed Injili ini semakin peka akan kehendak Tuhan bagi diri kita masing-masing: apakah bagian kita dalam gerakan ini?

            Sebagian dari kita mungkin ada yang terpanggil untuk berdiri di hadapan ratusan anak sekolah, mengabarkan salib Kristus, dan menantang mereka untuk percaya Kristus. Sebagian yang lain ada yang terpanggil untuk melayani sekitar 10-20 anak-anak dalam kelas kecil di sekolah minggu. Sebagian yang lain bahkan mungkin “hanya” terpanggil untuk melayani satu saja anak kandungnya untuk percaya pada Injil (atau suaminya mungkin?). Kadang, kita sebagai wanita bukan menjadi yang disorot oleh dunia – sering kali wanita “bekerja di belakang layar”. Ada benarnya juga pepatah dunia yang menyatakan bahwa ‘di balik pria sukses ada wanita yang kuat’.

            Kiranya melalui pembelajaran akan wanita-wanita yang ada dalam sejarah, kita tergerak untuk bukan saja kagum kepada mereka, tetapi meneladani mereka yang mendedikasikan seluruh hidupnya bagi pekerjaan Tuhan dengan menggenapi rencana Allah bagi diri mereka. Dan wanita-wanita Kristen – terlebih lagi dalam Gerakan Reformed Injili – boleh menjadi garam dan terang bagi sekitarnya. Kiranya perkataan Libanius, seorang filsuf pagan pada abad ke-4 boleh terulang lagi di zaman ini: “What women these Christians have!” – bahkan seorang non-Kristen pun memuji para wanita Kristen. Segala kemuliaan dan hormat bagi Allah Tritunggal!

 

Endnotes:
[1] Kroeger, C. (1998). “The Neglected History of Women in the Early Church”. Christian History Magazine: Women in the Early Church.

Comments