Perjalanan Hidup Orang Kristen, 10 Januari 2021

Ulangan 6:22-25

Vik. Lukman Sabtiyadi

Hari ini kita merenungkan yaitu tentang Perjalanan Kehidupan Kristen ya. Salah satu gambaran yang Alkitabiah tentang kehidupan Kristen yaitu bahwa kehidupan Kristen itu adalah sebuah perjalanan. Ini merupakan gambaran Alkitabiah dari lagu-lagu himne yang kita juga pernah nyanyikan ada diungkapkan hal ini. Misalnya seperti lagu Berjalan ke Sion, “Ke Sion, Ke Sion, kami berjalan ke Sion…” bahwa kehidupan Kristen itu seperti kita berjalan ke Sion. Atau lagu Tuntun Aku Tuhan Allah, bait pertama “Tuntun aku Tuhan Allah lewat gurun dunia…” bait keduanya, “…dan berjalanlah di muka dengan tiang awan-Mu…” lalu bait ketiga, “Pada batas Sungai Yordan hapuskanlah takutku…” Di Mazmur 84 juga menyatakan hal yang serupa. Dalam Perjanjian Baru, misalnya di dalam Kisah Rasul 9:2, orang Kristen disebut sebagai pengikut jalan Tuhan.

Salah satu pola perjalanan kehidupan Kristen adalah perjalanan bangsa Israel menuju tanah perjanjian. Perjalanan ini bukan hanya ditafsir secara historis sebagai fakta sejarah, tetapi juga bisa dilihat sebagai analogi pola kehidupan Kristen. Perjalanan ini diringkas dalam Ulangan 6:23. Orang Kristen itu seperti orang Israel yang dibawa keluar dari Mesir kemudian masuk ke dalam padang gurun lalu menuju tanah perjanjian. Salah satu makna dari hal ini adalah kehidupan Kristen merupakan proses panjang pelepasan dari ikatan dosa menuju kemenangan yang sempurna di kota sorgawi. Hari ini saya mau mengajak kita merenungkan ada dua macam perjalanan yang kita bisa lihat di sini dari perjalanan orang Israel menuju tanah perjanjian.

Pertama, perjalanan orang Israel keluar dari Mesir masuk ke padang gurun. Mesir digambarkan di dalam Ulangan 6:12 sebagai rumah perbudakan. Itu adalah gambaran riil tentang Mesir. Mesir yaitu tentang tempat perbudakan. Mesir adalah gambaran bagaimana orang Israel itu terikat dengan kepercayaan yang salah, terikat bahkan dengan kenyamanan dari kemajuan peradaban Mesir, terikat dengan pendidikan Mesir di sana, kebudayaan Mesir, semuanya, dan ikatan itu disebut sebagai perbudakan. Jadi bukan ikatan untuk keselamatan atau ikatan yang menyenangkan tapi ikatan perbudakan yang mengikat yang entah itu hal-hal yang tidak menyenangkan bahkan hal-hal yang menyenangkan. Sekalipun di Mesir terdapat ikatan perbudakan; dan orang Israel dinyatakan begitu tersiksa. Orang-orang Mesir memanfaatkan orang Israel untuk membangun kerajaannya dan peradabannya. Orang Israel begitu tidak nyaman dengan hal itu dan mereka merintih, mengeluh, dan berharap supaya Tuhan melepaskan mereka dari Mesir. Kita bisa lihat ini serupa dengan gambaran sebagaimana orang berdosa juga. Kita adalah orang-orang yang terikat di dalam dosa, entah hal-hal yang mungkin tidak menyenangkan dan bahkan hal-hal yang menyenangkan, itu merupakan ikatan dosa yang membuat kita tidak nyaman. Ikatan dosa yang mungkin banyak sekali kebudayaan yang baik, banyak sekali tawaran-tawaran yang indah bahkan kemajuan-kemajuan yang bisa kita banggakan.

Tuhan itu mendengar rintihan orang Israel dan kemudian menyelamatkan bangsa Israel, lalu Tuhan mengutus Musa. Ketika Tuhan mengutus Musa tentu tidak berjalan dengan mulus dalam arti Musa langsung, “Iya,” kemudian menyelamatkan bangsa Israel, tidak. Ada proses pergumulan dijalani oleh Musa. Musa adalah seorang yang begitu banyak belajar Mesir, pasti begitu pandai, begitu dihormati tapi mengalami suatu pergumulan di mana dia mungkin mau berjuang untuk dengan kekuatan dirinya untuk mengeluarkan bangsa Israel dari Mesir. Kemudian dia sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya sendiri lalu dia begitu rendah sampai titik terendah dia merasa tidak sanggup untuk melakukan itu. Dan ketika Tuhan bertemu dengan Musa di titik terendah di dalam hidup Musa, Tuhan memanggil Musa untuk membawa orang Israel keluar dari Mesir. Musa tidak sanggup untuk melakukan itu. Tapi Tuhan menguatkan Musa dan akhirnya Musa menjalankan tugas panggilannya. Tentu hal ini bukan tugas yang mudah. Musa membawa orang Israel keluar dari Mesir dengan begitu banyak pergumulan, baik dirinya sendiri dan juga orang-orang yang dibawa olehnya. Bahkan sampai akhirnya Musa tidak masuk ke dalam tanah perjanjian. Ada beberapa kegagalan-kegagalan Musa yang membuat dia tidak masuk ke dalam tanah perjanjian tapi bukan berarti dia tidak diselamatkan. Dia memukul batu dengan tidak mengikuti perintah Tuhan dan bahkan dinyatakan dengan emosi yang tidak kudus di hadapan Tuhan.

Ketika bangsa Israel di Mesir menyadari dia diperbudak oleh Mesir, dimanfaatkan oleh Mesir, baik itu hal-hal yang mungkin bisa patut dibanggakan dan hal-hal yang tidak menyenangkan, itu semua adalah perbudakan di Mesir, mereka ingin keluar dari Mesir. Kemudian Tuhan membawa mereka keluar dari Mesir dengan mengutus Musa. Dan kita tahu Musa ini tipologi Kristus. Seperti Musa yang membawa ke luar bangsa Israel dari Mesir, demikian juga Kristus membawa kita keluar dari perbudakan dosa. Ketika orang Israel itu mengeluh di dalam dosanya, di rumah perbudakan Mesir, ternyata Tuhan itu melepaskan bukan langsung masuk tanah perjanjian. Orang Israel dibawa keluar dari Mesir masuk ke padang gurun. Ini perjalanan pertama dari kehidupan Kristen bahwa ketika kita lepas dari perbudakan dosa, kita dibawa masuk ke dalam padang gurun.

Tuhan mungkin saja membawa orang Israel dalam sekejap. Tetapi mengapa Tuhan perlu membawa orang Israel masuk ke padang gurun? Padang gurun di dalam Alkitab itu digambarkan ada banyak, dua hal yang penting di sini yaitu, padang gurun adalah tempat pemurnian dan pembaruan. Padang gurun adalah tempat pemurnian dan pembaruan orang Israel demikian juga orang Kristen. Ketika kita mungkin sekarang kita bisa membayangkan ya, mari kita sebentar coba mengingat kembali, flashback, ketika kita terus hidup di dalam dosa lalu suatu kali kita bertobat di hadapan Tuhan seringkali yang kita bayangkan adalah, “Wah saya sudah jadi Kristen, percaya Kristus. Saya langsung seperti sudah suci seluruhnya lalu dunia ini jadi benar-benar dunia Bapa sepenuhnya.” Lalu kita rajin ke gereja ketemu orang-orang kudus di gereja senang sekali. Lihat hamba Tuhan ngomongnya bisa lembut sekali, wah ini luar biasa. Lalu dari firman Tuhan yang begitu memotivasi kita. Ketika pertama kali kita mengikut Kristus, bertobat, kita begitu berapi-api, begitu berbunga-bunga, dunia yang lama itu sudah saya tinggalkan dan saya masuk ke dunia yang baru yang sempurna itu.

Tapi kehidupan Kristen tidak demikian. Beberapa waktu kemudian kita menyadari “Wah ternyata perjalanan saya sebagai orang Kristen itu tidak berhenti ketika saya bertobat lalu baik-baik saja semuanya.” Nggak. Ternyata kita mungkin bergumul juga dengan dosa kita. Kita masih merasa tersendiri walaupun kita berada di dalam komunitas gereja umat Tuhan. Kita merasa tidak terlalu diperhatikan. Kita membaca Alkitab tapi firman itu tidak sungguh-sungguh masuk ke dalam hati kita. Kita sudah membacanya dari awal sampai akhir, waktu awal kita bertobat tapi kemudian di dalam perjalanan itu pergumulan itu begitu riil, firman itu menjadi biasa saja. Bahkan belum lagi kita melihat ada orang-orang Kristen yang juga jatuh didalam dosa, ada hamba Tuhan yang juga jatuh di dalam dosa. Kita bergumul, ini bagaimana?

Ya saya kira yang salah bukan, bukan firman Tuhannya, bukan Tuhannya yang mempertobatkan kita, bukan. Tapi yang salah adalah gambaran kita melihat kekristenan. Mungkin karena seringkali kita melihat kekristenan itu semacam “Disneyland.” Kita langsung, “Wah jadi Kristen bisa melayani dengan baik, bisa menaati Tuhan dengan sempurna, ketemu dengan orang-orang yang baik, yang perhatian.” Ternyata tidak demikian perjalanan kekristenan. Demikian juga pada orang Israel. Di dalam Perjanjian Lama sudah dinyatakan bahwa ketika Tuhan itu membawa orang Israel keluar dari Mesir, tidak langsung masuk ke tanah perjanjian, tetapi masuk ke padang gurun. Dan padang gurun itu adalah tempat pemurnian dan pembaruan.

Mengapa padang gurun perlu? Karena kalau orang Israel dari Mesir langsung saat itu juga belum diproses oleh Tuhan masuk ke tanah perjanjian, saya yakin tanah perjanjian menjadi Mesir yang kedua. Tanah perjanjian orang Israel ada yang menjadi Firaun, lalu memerintahkan bangsa-bangsa asing sekitar menjadi budak untuk membangun kerajaannya sendiri, bukan Kerajaan Allah. Maka di dalam perjalanan orang Kristen, kita dibawa Tuhan masuk ketika keluar dari dosa lalu masuk ke padang gurun, ke padang gurun kehidupan.

Tujuan Tuhan membawa orang Israel menuju ke padang gurun secara spesifik yaitu untuk beribadah kepada Yahweh. Dan ini adalah hal yang baik bagi Israel. Tuhan ketika mendengar keluhan orang Israel, mengingat janji-Nya kepada Abraham, melepaskan orang Israel keluar dari Mesir untuk apa? Untuk kebaikan orang Israel. Demikian kita juga. Mengapa Tuhan membawa kita memasuki proses ini? Untuk kebaikan kita supaya kita beribadah kepada Dia, supaya kita tidak lagi terikat dengan dosa, supaya kita dekat dengan Dia, beribadah kepada Dia, itu tujuan Tuhan ketika melepaskan orang Israel dari Mesir, yaitu untuk beribadah di padang gurun. Bukan beribadah di tanah perjanjian, bukan, tapi beribadah di padang gurun. Beribadah di tempat yang sulit, beribadah di tengah pergumulan, beribadah di tempat yang kering, beribadah dengan segala kesulitan untuk percaya kepada Tuhan, beribadah di padang gurun. Kalau kita langsung ke tanah perjanjian, apakah kita akan beribadah di tanah perjanjian? Tidak. Saya ini yakin kita tidak beribadah kepada Tuhan di tanah perjanjian kalau kita tidak melewati proses padang gurun.

Tuhan membawa bangsa Israel masuk ke padang gurun untuk beribadah di padang gurun, untuk menjalin relasi kedekatan dengan Tuhan di padang gurun. Tentu memang tidak mudah. Ada banyak hal yang membuat kita itu sulit untuk berada di padang gurun. Ada dua penyakit orang Israel yang pasti juga ada pada kita, yaitu unbelief dan disobedience. Tidak percaya dan tidak taat. Mengapa bangsa Israel begitu bergumul di padang gurun sampai bahkan generasi yang pertama tidak sampai masuk kepada tanah perjanjian? Karena unbelief dan disobedience, karena tidak percaya dan tidak taat. Ketidakpercayaan itu merupakan akar dari kita tidak taat kepada Tuhan. Ketidakpercayaan kita kepada Allah merupakan akar dari ketidaktaatan kita kepada Tuhan. Bayangkan, ketika Tuhan membawa orang Israel keluar dari Mesir, tujuan Allah untuk beribadah, untuk menyembah Allah, untuk menyelamatkan bangsa Israel keluar dari perbudakan dosa, dari perbudakan Mesir, tetapi apa prasangka dari Israel? Keluaran 14:11-12, “dan mereka berkata kepada Musa: “Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir? Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini.”” Tujuan Allah ketika membawa orang Israel keluar dari Mesir adalah untuk hidup orang Israel, untuk beribadah kepada Allah, tetapi prasangka orang Israel, “Engkau membawa kami untuk mati di padang gurun.” Mengapa? Karena unbelief, tidak percaya.

Ketidakpercayaan itu penyakit yang mematikan kita sekalian. Berapa banyak dari kita, sering kali juga mungkin hampir-hampir mengatakan mirip yang demikian? “Mengapa Tuhan saya menjadi orang Kristen jika keadaan saya demikian?” Saya percaya itu bukan karena ajaran Alkitab atau karena kesalahan Allah yang membawa kita keluar dari dosa kita. Ada orang-orang menyatakan, “Tolong kami Tuhan, Engkau yang memulai ini, tolong kami lepaskan dari apa yang sudah Engkau mulai. Karena Engkau sudah mencipta, kemudian karena Engkau mencipta kami, lalu kami ada, lalu kami jatuh dalam dosa, lalu kami jatuh dalam dosa kami kemudian Engkau selamatkan, tapi kami terus bergumul di dalam dosa kami untuk menaati perintah Tuhan, lalu ketika bergumul itu sering kali jatuh, jadi semuanya karena Engkau. Coba Tuhan dari awal tidak mencipta kita.” Jangan sampai kita mengatakan demikian. Tapi ada orang-orang mengatakan demikian. Persoalannya Tuhan yang memulainya, dan sekarang kita yang bergumul. Ketika kita masuk ke padang gurun, unbelief, kita mencurigai Tuhan, kita mencurigai apa yang Tuhan rancangkan ini semuanya untuk kerugian kita. Prasangka Israel itu tidak percaya kepada Tuhan. Tuhan ingin itu untuk menyelamatkan bangsa Israel, melepaskan dari perbudakan dari Mesir, untuk kita itu hidup. Tapi bangsa Israel mengatakan, “Engkau membawa kami untuk mati.” Kecurigaan-kecurigaan kepada Tuhan. Ketika tidak percaya, maka pasti kita tidak taat. Dan kalau kita tidak taat, pasti kita semakin terjerumus lagi dalam ketidakpercayaan kita.

Unbelief dan disobedience adalah penyakit orang Israel yang rawan sekali juga mengenai kita dalam padang gurun kehidupan. Dalam padang gurun kehidupan Kristen, ada banyak penderitaan, kesulitan, mungkin kekecewaan kepada gereja, kekecewaan kepada hamba Tuhan, kekecewaan kepada orang-orang Kristen sesama kita. Bahkan pada tahap tertentu, ketika unbelief itu menggerogoti kita, kita tidak percaya kepada firman Tuhan. Ketika tidak percaya pada Tuhan, maka kita terus berpikir “lebih baik begini dan begitu,” lebih baik saya di Mesir diperbudak dosa. Ada banyak orang-orang itu ketika menjadi orang Kristen itu tidak siap untuk menghadapi realita bahwa orang Kristen itu mungkin masuk ke padang gurun. Ada banyak juga, pengajaran kita kepada anak-anak kita bahwa kehidupan Kristen itu mungkin kita gambarkan terlalu indah sehingga tidak realistis. Maka ketika menghadapi proses kedewasaan dalam kedewasaan jasmani, ya, tapi rohaninya masih anak-anak. Saya pernah ada anak kecil itu datang kepada saya, lalu ya biasa main-main, ngobrol-ngobrol, lalu tiba-tiba anak kecil ini menyeletuk, “Kak Lukman, itu saya sedih, papa mama berantem.” Saya dengar itu saya langsung juga jadi sedih, “Gimana ya anak-anak ini bisa bertumbuh?” Kalau kita gampang ya ngomongnya, “Kalau menurut Alkitab, itulah realita dosa anakku, nanti kamu juga berantem juga.” Tapi sulit kita menceritakan realita kehidupan Kristen yang sejati. Dan saya kira, kita harus memulainya.

Kita harus memulai bahwa kehidupan Kristen itu ada masa-masa masuk ke padang gurun, masa-masa yang digambarkan Andrew Murray demikian, “Masa-masa di padang gurun itu seperti kadang kita merasa dekat dengan Tuhan, kadang kita merasa jauh dengan Tuhan, kadang kita merasa menikmati persekutuan dengan Tuhan, kadang kita merasa tidak menikmati persekutuan itu, kadang kita sangat ingin dekat dengan Dia, kadang kita juga tidak ingin sama sekali dekat dengan Dia.” Itu masa-masa padang gurun. Masa-masa di mana kita harus bergumul di dalam iman kita. Sekali lagi ingat, tujuan Allah bukan untuk mencampakkan kita. Tujuan Tuhan mengizinkan kita mengalami segala sesuatu, Dia turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap kita yang mengasihi Dia (Roma 8:28).  Ada begitu banyak hal yang kita alami di padang gurun tapi hal yang membuat kita bisa kuat itu adalah iman kita. Kita terus percaya kepada Dia, karena ketidakpercayaan kepada Allah itu merupakan penyakit yang paling mematikan bagi kehidupan kita di tengah padang gurun dunia.

Maka di dalam pergumulan kita di padang gurun dunia, kita perlu untuk menjalankan kedisipilinan-kedisiplinan rohani. Ketika kita mulai ragu kepada Tuhan, berdoalah kepada Tuhan, “Tuhan, tolong aku yang tidak percaya. Help my unbelief.” Tuhan mengatakan, “Hanya dekat Allah saja aku tenang” (Mazmur 62:1) tapi di tengah-tengah padang gurun tidak pernah aku temukan ketenangan dekat dengan Tuhan. Sulit sekali mendapatkan ketenangan dekat dengan Tuhan, sulit. Maka kita ingat lagi firman Tuhan, kita berdoa lagi memohon kepercayaan Tuhan menguatkan iman kita. Ketika kita berada di padang gurun, ada begitu banyak kekecewaan, bahkan termasuk kepada gereja Tuhan, kepada hamba Tuhan, kepada jemaat Tuhan, teman-teman kita, maka kita harus berdoa lagi kepada Tuhan. Kita doakan gereja kita, umat Tuhan, orang-orang lain, kita doakan diri kita, “Tuhan tolong kuatkan iman saya Tuhan, tolong aku yang tidak percaya.” Kita harus terus belajar untuk dekat dengan Tuhan dan itu perlu kedispilinan.

Salah satu kedisiplinan kita yang umum dalam kehidupan Kristen, yang kita bisa lakukan, yaitu ibadah. Dalam 1 Timotius 4:8, “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang.” Ibadah itu berguna, kalau di dalam bahasa aslinya itu piety, kesalehan, yaitu latihan rohani, bukan ibadah dalam arti sempit, formal, ya bukan, tapi ibadah yang dalam arti yang sejati, yang sesungguhnya yaitu misalnya termasuk kita memuji Tuhan, merenungkan firman Tuhan, baik secara komunal maupun individual. Jadi itu kesalehan (latihan rohani), itu sangat berguna untuk kita. Itu yang kita perlukan. Mengapa kita harus baca Alkitab? Harus berdoa? Itu bukan hanya untuk Tuhan itu senang, tapi untuk kebaikan kita juga. Itu latihan-latihan rohani yang harus kita jalankan. Ketika kita tidak ingin datang ke gereja, justru saat itulah kita harus datang ke gereja. Ketika kita tidak ingin berdoa, justru saat itulah kita harus berdoa. Ada orang-orang pernah tanya kepada saya, “Kak Lukman, kalau saya ini datang ke gereja, lalu saya penuh pergumulan, tapi lagunya lagu ini, tentang sukacita, ku bersukacita kerja bagi Dia, tapi saya kayaknya berat sekali pergumulan, terus saya gimana? Saya harus sukacita atau nggak?” Justru harus sukacita. Bukan sukacita superficial, bukan arti ya langsung senyum-senyum, “Ku bersukacita kerja bagi Dia,” lalu kita datang ke gereja orang-orangnya penuh senyuman semua. Orang yang muram mukanya, “Kayanya kamu lagi bergumul dalam dosa ya kayaknya. Kami doain kamu supaya ada sukacita,” bukan. Justru ketika kita datang kepada Tuhan, hati kita itu harus diarahkan kepada apa yang disingkapkan kepada kita.

Misalnya ketika di dalam ini kita memuji Tuhan lalu kita menyanyikan Rajakanlah Yesus, hati kita nggak mau merajakan Yesus, siapa yang mau merajakan Yesus? Orang berdosa nggak mau merajakan Yesus. Merajakan Yesus artinya kita menundukkan segala agenda kita di bawah agenda Dia, dan kita nggak pernah mau itu. Agenda Tuhan, Kerajaan Allah untuk kebaikan kita yang sering kali tidak sesuai dengan agenda kita. Kemudian kita diajak menyanyikan Rajakanlah Yesus, akhirnya karena kita tidak mau tunduk, maka nyanyian kita itu bukan nyanyian dari hati tapi nyanyian di mulut saja. Rajakanlah Yesus ya sudah di mulut tapi hati kita, “Nggak mau, nggak mau, nggak mau, jangan rajakan-Nya.” Di mulut kita Rajakanlah Yesus tapi hati kita nggak mau Rajakan Yesus. Justru itu kita harus mengarahkan hati kita kepada apa yang sudah dinyatakan kepada kita, Rajakanlah Yesus, itu menjadi ingatan kepada kita, “Iya, saya harus Rajakan Dia.” Damai di Hatiku tapi hatiku nggak damai Tuhan, banyak pergumulan, kesulitan pergumulan keluarga, keuangan, kekecewaan melihat gereja Tuhan, kekecewaan melihat pemerintah Jokowi, kekecewaan dunia, bahkan pergumulan kesedihan, misalnya Sriwijaya Air yang kecelakaan. Begitu banyak yang membuat kita tidak damai, tapi tadi pujian kita mengatakan, “Damai di hatiku…” Bagaimana? Arahkan hati kita kepada damai itu. Kita harus melatih diri kita mengarahkan kepada hal itu. Damai di hatiku karena Kristus adalah Raja Damai dan Kerajaan-Nya adalah Kerajaan Damai. Bukan berarti pura-pura melupakan lalu meniadakan semua ketidakdamaian yang ada di dunia, bukan, tetapi kita melihat itu menjadi satu pengharapan kita, penantian kita, datanglah Kristus, nyatakanlah kedamaian-Mu, dan tolong aku untuk mengalami damai sejahtera itu. Ini latihan rohani. Latihan rohani itu adalah tentang supaya kita dapat mengarahakan hati kita, hidup kita kepada apa yang sudah tersingkap pada kita, yaitu firman Tuhan, kebenaran-Nya, dan segala ibadah, segala persekutuan kita bersama dengan Dia. Ada banyak hal yang kita alami di padang gurun, tapi berdoalah supaya kita itu tidak jatuh terlalu dalam di dalam ketidakpercayaan dan ketidaktaatan kita kepada Allah. Lakukanlah latihan rohani dengan tekun terus-menerus. Hadir ibadah, ikut melayani Tuhan, ikut persekutuan doa. Itu yang baik untuk kita.

Lalu yang kedua, perjalanan keluar dari padang gurun masuk ke tanah perjanjian. Perjalanan pertama itu bisa dikatakan itu yang terus menerus kita jalani sekarang ini, perjalanan kedua ini adalah perjalanan pengharapan kita. Bagaimana caranya supaya kita dapat tetap konsisten, stabil, setia, tekun di dalam kita menjalani kehidupan di padang gurun memasuki tanah perjanjian? Yaitu dengan mengarahkan pandangan kita kepada tanah perjanjian itu. Mengarahkan kita pada tujuan akhir dari perjalanan kita. Mengapa kita sulit, banyak orang Kristen yang bahkan berhenti untuk berjuang di dalam kehidupan Kristennya? Karena belum melihat, belum memegang jelas visi Kerajaan Allah. Belum mengarahkan hatinya sungguh-sungguh kepada akhir dari perjalanan ini. Dan memang sulit untuk mengarahkan. Karena apa? Karena kita tidak melihat keseluruhannya. Kita tidak melihat keseluruhan dari perjalanan kita, kita nggak tahu sampai umur berapa kita akan tetap setia kepada Tuhan, kita belum tahu sampai kapan, misalnya, orang-orang sekitar kita dapat terus keep up, terus moving bersama dengan kita, menuju tanah perjanjian, menuju Sion, menuju Allah, kita nggak tau. Memang benar tetapi ini perlu untuk kita lakukan.

Mengapa ini perlu kita lakukan, dan saya percaya, saya percaya kita harus yakin bahwa akhirnya itu segalanya itu indah? Karena Alkitab menyatakan Kristus sudah menyelesaikannya. Ketika kita menjalani perjalanan kita lalu masuk ke padang gurun, ada begitu banyak hal yang membuat kita goncang, jatuh, dan bergumul. Hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, dalam kehidupan Kristen atau di luar kehidupan Kristen. Hal-hal itu membuat iman kita mulai meragukan Tuhan, jauh daripada Tuhan, lalu membuat kita mulai tertatih-tatih melangkah, bahkan mulai belok dan tidak berada di dalam jalur yang seharusnya. Apa yang harus kita lakukan? Kita perlu mempertajam visi kita akan Kerajaan Allah.

Dunia ini sementara dan itu fakta. Itu harus terus keep in mind. Dunia ini sementara, maka Alkitab mengatakan lebih baik datang ke rumah duka. Mengapa? Karena kita disadarkan dunia ini sementara. Bukan berarti dunia ini sementara lalu akhirnya kita anti dengan kehidupan dalam ‘kenikmatan-kenikmatan’ dunia atau keindahan yang Allah sediakan di dalam dunia ini, bukan demikian. Ada jalan-jalan, ada jalan yang keagamaan Kristen pun ada yang jalan demikian yaitu anti dengan segala kenikmatan duniawi. Akhirnya menjadi Kristen yang Asketis. Kristen yang puasanya mungkin hampir setiap hari. Ketika dia melakukan sedikit kesalahan dia harus mencambuk dirinya. Tapi Alkitab tidak mengajarkan demikian.

Alkitab mengajarkan ketika kita menjalani padang gurun, memang ada goodness of creation, ada kebaikan ciptaan dan it’s ok kita menikmatinya. Kita bukan anti dengan jalan-jalan atau rekreasi melihat pemandangan yang indah, itu ok. Kita tidak anti dengan membaca buku-buku atau novel yang bukan Kristen yang memiliki keindahan estetis, sastra, atau mungkin musik yang estetis, ada keindahan-keindahan umum yang Tuhan berikan di sana, it’s ok. Bukan berarti anti pergi ke mall atau ke bioskop, it’s ok. Tapi kita harus mempertajam visi Kerajaan Allah pada kita sehingga yang kita lewati itu tidak mengaburkan visi kita akan Kerajaan Allah. Dengan fokus pada visi Kerajaan Allah bahwa Allah pasti akan memulihkan ciptaan ini, langit dan bumi yang baru di mana Allah Kristus itu bertakhta secara sempurna, secara utuh di dalam kehidupan kita yang baru itu, maka saya yakin kita akan bisa melewati segala yang kita jalani sekarang ini.

Apa masalah orang Kristen? Karena seringkali kabur akan visi Kerajaan Allah itu dengan pekerjaan, dengan kesulitan hidup, dengan kesulitan ekonomi, kekecewaan dalam keluarga, kekecewaan pada gereja Tuhan, dan lain-lain. Kita melihat semuanya menjadi meaningless karena kita lupa visi Kerajaan Allah itu. Tujuan akhir itu, ketajaman melihat tujuan akhir itu menguatkan kita di dalam menjalani kehidupan Kristen kita hari lepas hari. Suatu kali saya mengikuti perjalanan naik gunung Gede, Jawa Barat. Karena ini pertama jadi saya belajar dari orang yang sudah sering naik gunung. Saya tanya teman yang sering naik gunung, dia bilang, “Kamu harus fit, lalu pokoknya harus hangat tubuhnya, jangan sampai kedinginan, jangan sampai kehujanan, lalu kalau bisa naik gunung juga nggak usah terlalu banyak orang, 10 orang juga cukup karena masih pemula.” Tapi, Saudara, waktu kami naik gunung, kehujanan, kedinginan, 30-40 orang yang naik, dan itu untuk pertama kalinya. Dan yang naik itu bukan orang-orang besar seperti pemuda saja tapi ada juga yang umur 15 tahun. Saya sampai pikir, “Lengkap sudah penderitaannya.” Saya masih ingat pertama kali itu bagaimana saya siapkan semua makanan untuk energi. Saya takut ketinggian jadi waktu naik di puncaknya yang kiri kanannya jurang itu, saya gemetaran. Gemetaran, kaki sudah nggak mau jalan, tapi mau balik juga nggak mungkin lagi. Jadi berjalan naik gunung, lalu kami menginap satu kali di titik tertentu. Terakhir kami menginap lagi di puncak yang paling tinggi.

Tapi yang menjadi hal pengalaman yang menurut saya berkesan, yaitu ketika suatu kali itu di tengah-tengah perjalanan di puncak terakhir itu sebelum masuk ke tempat yang kami bisa istirahat, saya dan beberapa orang termasuk yang sampai duluan mungkin ada 5 orang sampai duluan. Lalu kami bangun tenda berat sekali. Sudah bangun dengan kehujanan, kedinginan, agak gelap itu mungkin jam 6 jam 7 kira-kira tapi sudah gelap semuanya, tangan saya sampai gemetaran membangun tenda, lalu waktu mau pegang itu sampai sakit karena kedinginan. Lalu sudah selesai, sudah hampir semua kumpul. Lalu saya istirahat, kecapekan saya istirahat di dalam tenda sebentar. Lalu sudah bangun tiba-tiba saya dapat kabar, “Itu masih ada di atas gunung, yang di atas puncaknya itu masih ada orang tertinggal. Remaja umur sekitar 14-15 tahun. Mereka sampai kedinginan.” Kalau kayak gini kita nggak bisa lagi bilang, “Salah siapa itu ninggalin?” Dan seterusnya, kita nggak ada waktu lagi untuk menyalahkan siapapun. Sekarang kita harus cari solusinya bagaimana. Itu ada orang tertinggal, kalau kedinginan itu bisa hipotermia dan bisa mematikan. Nggak mungkin buat tenda di atas yang dingin seperti itu lalu anginnya begitu besar. Selain itu ada belerang di atas. Akhirnya saya dan beberapa orang jemput mereka ke atas. Saya gimana bisa menolak karena sudah tanggung jawab sebagai salah satu pembina. Saat naik, di pikiran saya cuma, “Di atas nanti kalau kedinginan mereka mati, di atas kedinginan mereka mati.” Lalu saya dengan teman-teman yang lain, beberapa orang kami naik cepat-cepat terus, lalu kami sampai di atas. Sudah sampai lalu turun. Lalu sudah sampai, puji Tuhan semua berjalan baik, lalu ketemu teman-teman yang lain, lalu mereka cerita bilang begini, “Lukman kalian itu ya naik gunung itu sudah kayak balapan MotoGP.” Saya sampai sekarang bingung juga kok bisa saya begitu. Sampai sekarang saya heran bisa seperti itu. Mungkin kalau diulang lagi saya nggak mau dan nggak bisa seperti itu lagi. Itu balap-balapan. Karena headlamp mereka lihat, jadi lampunya itu balap-balapan. Bagaimana kita supaya bisa berjalan cepat? Kalau kita tahu akhir tujuannya. Di kepala saya cuma, “Ini orang nanti kalau remaja ini kalau kedinginan mati, itu bahaya sekali.” Teman-teman yang lain juga mikirnya seperti itu maka cepat-cepat kami lari ke atas. Sehingga yang ditempuh 1 jam menjadi hanya 30 menit.

Ketika kita mengarahkan pikiran kita, hati kita kepada tujuan akhir dari perjalanan kita, maka saya percaya kita mempunyai kekuatan yang baru lagi. Kita nggak tahu, di sini nggak ada satu pun tahu berapa lama kita akan menjadi orang Kristen atau menjalani hari-hari kita di sini yang jadi orang Kristen, tapi saya yakin berapa lama pun, entah besok hari kita ada yang tidak bertemu lagi di sini, lalu dua hari lagi atau bertahun-tahun lagi bertemu, berapa lama pun tidak masalah ketika kita fokus kepada visi Kerajaan Allah. Fokus pada visi Kerajaan Allah. Ingatlah bahwa segala ini sementara dan kita harus terus berjuang disiplin untuk menuju Sion itu. Dan apa penghiburan kita di dalam perjalanan ini? Penghiburannya, pertama, adalah kita nggak berjalan sendirian. Kita berjalan bersama-sama. Masalah kita adalah seringkali kita menganggap “Nggak ada satu orang pun yang mengerti saya.” Padahal apa yang kita alami mungkin dialami orang lain mungkin kita belum saling berbagi, belum saling sharing, belum saling mendoakan. Maka kita harus ingat kita nggak menjalani sendirian, kita menjalani bersama-sama.

Lalu kedua yang lebih daripada itu adalah perjalanan ini bukan perjalanan manusia saja, tapi juga perjalanan Allah. Ini perjalanan Ilahi. Allah bersama dengan kita. Ketika bangsa Israel keluar dari Mesir menuju padang gurun, ada tiang awan dan tiang api. Dan bagaimana dengan kita sekarang? Kita sekarang ada Kristus. Dalam catatan Injil dikatakan Dia juga masuk di padang gurun (Matius 4:1; Lukas 4:1; Markus 1:12-13) dan Dia menang. Perhatikan ayat-ayat yang Tuhan kutip itu semuanya dari Kitab Ulangan (Ulangan 8:3; Ulangan 6:13, 16). Dan lebih daripada itu Dia masuk ke tempat yang paling tersendiri dan tidak mungkin orang bisa mengerti yaitu salib, dan Dia menang. Itu penghiburan kita. Penghiburan kekuatan jaminan kita mengapa kekristenan itu bukan sesuatu yang tidak layak untuk diperjuangkan tapi sebaliknya layak diperjuangkan dan kita harus disiplin diri kita karena Kristus Allah kita, Allah yang bukan membiarkan kita berjalan sendiri. Dia Allah yang berjalan bersama dengan kita masuk ke padang gurun dan bahkan mati di kayu salib supaya setiap kita yang percaya kepada-Nya tidak lagi mengatakan, “Tuhan engkau tidak mengerti pergumulan kami.”

Dia adalah Allah yang turut merasakan pergumulan kita, dan Allah yang seperti ini tidak ada di ajaran yang lain. Hanya Alkitab yang mengajarkan Allah yang compassion, Allah yang mengerti pergumulan kita. Dia mengerti bagaimana ditinggal sendirian. Dia mengerti seperti apa tidak dimengerti orang lain bahkan yang terdekat sekalipun. Dia mengerti bagaimana orang-orang bahkan keluarganya merendahkan Dia, Dia mengerti dan mengalami itu. Murid-murid-Nya yang sudah Dia ajar setiap hari selama 3 tahun, setiap saat bersama dengan Dia masih ada yang menolak Dia, masih ada bahkan yang menjual Dia. Dia mengerti, Dia mengalami pengkhianatan, Dia mengerti susahnya menjalankan kehendak Allah sampai di Taman Getsemani Dia mengatakan, “Jika mungkin cawan ini jauh daripada-Ku,” tapi Dia mau tunduk kepada kehendak Allah Bapa. Dia mengerti dan mengalami itu semua, dan inilah pengharapan kita.

Maka setiap Alkitab mengatakan di Roma 8:37-39 setiap kita yang percaya kepada-Nya kita disebut orang-orang yang lebih dari pemenang. Perjalanan ini bukan perjalanan kita tidak tahu ujungnya. Kita tahu. Dia sudah menang maka kita yang di dalam Dia pasti menang. Perjalanan ini adalah proses yang memang sulit tapi kita pasti menang. Kita lebih dari menang. Apa sih maksudnya lebih dari pemenang? Lebih dari pemenang itu artinya kita sudah diklaim menang. Mari hiduplah sebagai orang yang sudah menang di dalam Kristus, bukan hidup seperti orang yang kalah. Hiduplah sebagai orang yang sudah ditebus oleh Kristus, Raja yang menang. Mengapa kita masih hidup seperti orang-orang yang kalah? Mengapa kita harus seringkali malas dan seringkali terus jatuh ke dalam ketidakpercayaan dan ketidaktaatan kita pada Allah, seperti orang-orang yang kalah? Hiduplah seperti orang-orang yang menang karena Kristus sudah menang. Mari kita berdoa.

Bapa kami di surga kami bersyukur Tuhan atas kesempatan yang Kau berikan kepada kami, kami kembali diingatkan akan perjalanan kami di dalam kehidupan ini Tuhan. Perjalanan yang sebagai seorang Kristen yang memang tidak mudah tapi perjalanan yang layak untuk diperjuangkan, yang penuh dengan kejutan-kejutan dari Engkau. Dan tolong kami, Tuhan, ketika hati kami mulai tidak percaya kepada Engkau, tambahkan iman kami, kuatkan iman kami, Tuhan, untuk terus bertekun, untuk berjuang di dalam Kristus. Ajar kami untuk hidup sebagai orang-orang yang lebih dari pemenang karena kami sudah menang di dalam Kristus, karena Engkau sudah menang di padang gurun, Engkau sudah menang di salib. Demikian kami juga yang percaya kepada-Mu adalah orang-orang yang menang. Kiranya Engkau yang tolong kami sekalian ketika kami letih lesu, mampukan kami datang kepada-Mu dengan keberanian untuk diperbaharui, dimurnikan, dikuduskan, dikuatkan, dan dihiburkan melalui kebenaran firman-Mu. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin. (KS)

Comments