Melepas Berhala, Meninggikan Kristus, 15 November 2020

Lukas 18:18-27

Vik. Lukman Sabtiyadi

Hari ini kita akan merenungkan sebagaimana yang ditanyakan oleh pemuda ini, yaitu apa yang diperlukan untuk menjadi murid Tuhan Yesus Kristus dan untuk mewarisi kehidupan kekal, apa yang diperlukan untuk kita dapat berbagian di dalam Kerajaan Allah? Kisah ini bukan hanya dicatat di dalam Lukas tapi ternyata ada juga di dalam bagian-bagian lain: Matius 19:16-26 dan Markus 10:17-27. Dengan tiga bagian ini kita dapat melihat gambaran siapakah orang yang bertanya ini. Misalnya di dalam Matius, Markus, maupun Lukas, kita dapat membayangkan bahwa orang ini adalah orang yang muda. Di dalam Markus 10:17 dikatakan dia berlari datang kepada Tuhan Yesus. Tidak banyak dicatat ada orang berlari datang kepada Tuhan Yesus, dan asumsi kita orang berlari tentulah dia bukan orang yang mempunyai sakit dalam kakinya. Jadi dia adalah seorang yang fit, muda, penuh energi, dapat berlari datang kepada Tuhan Yesus.

Selain itu, dia adalah pemimpin seperti digambarkan oleh Lukas. Dia bukan hanya seorang muda tapi juga dia adalah seorang pemimpin. Dalam Lukas secara umum, kategori pemimpin itu masuk dalam konotasi negatif. Lukas cenderung memberikan perhatian khusus dan lebih peduli kepada orang-orang pinggiran atau orang-orang miskin, orang-orang yang berdosa. Jadi pemimpin memang konotasinya negatif. Ada beberapa pemimpin yang dicatat di dalam Lukas misalnya Herodes, Filipus, dan Lisanias dalam Lukas 3 dan 9 yang bernuansa negatif. Walaupun demikian bukan berarti semua pemimpin negatif di dalam masyarakat waktu itu.

Ada yang juga menyatakan pemimpin ini, berdasarkan istilah aslinya, sebagai kepala rumah ibadat. Misalnya di dalam Lukas 8:41, “Maka datanglah seorang yang bernama Yairus. Ia adalah kepala rumah ibadat,” ini juga istilah yang sinonim dengan yang digunakan oleh Lukas. Pemimpin bisa disejajarkan dengan kepala rumah ibadat. Juga bisa merupakan bagian dari pemerintahan, orang yang terlibat di dalam pemerintahan saat itu baik pemerintahan Romawi secara langsung atau mungkin perwakilan dari kekaisaran Romawi. Atau, yang pasti tidak tertinggal, yaitu bisa juga adalah pemimpin dari kalangan orang-orang Farisi. Jadi kita bisa membayangkan dia adalah seorang muda dan pemimpin. Dia bukan hanya sekedar muda saja tetapi mempunyai satu jabatan, kehormatan yang dipandang orang, dia bisa mempengaruhi orang banyak, didengar oleh orang banyak.

Dan bukan hanya itu, dikatakan dia juga adalah orang yang sangat kaya, bukan hanya orang kaya, tapi sangat kaya. Jadi secara ekonomi, dia juga dalam keadaan yang lebih dari cukup. Kalau membayangkan ini adalah seorang entrepreneur yang sukses. Mungkin bisa kita bayangkan – walaupun terlalu beda konteks – bahwa kemungkinan dia adalah seorang yang pemimpin dalam keagamaan atau seperti pemimpin-pemimpin yang besar yang kita kenal, Mark Zuckerberg. Kita dapat membayangkan mungkin dari kecil dia bukan dari keluarga yang kaya, dari kecil dia berusaha, kemudian dia sampai pada satu titik di mana sangat diinginkan oleh orang, dia muda, kaya, pemimpin. Ini yang merupakan satu hal yang begitu sangat kita inginkan. Ada banyak orang muda tapi belum jadi pemimpin. Ada orang muda yang kaya belum jadi pemimpin. Ada pemimpin tapi tidak muda lagi dan mungkin tidak kaya. Tapi dia muda, pemimpin, dan dia sangat kaya.

Tapi kemudian di dalam perjalanan hidupnya, ada satu pertanyaan yang dia itu tidak bisa jawab. Apa yang dia lakukan dalam hidupnya adalah usaha untuk menjawab segala persoalannya, menyelesaikan segala masalahnya dalam hidupnya. Kita bisa membayangkan anggap saja mungkin dia adalah dari keluarga yang sederhana lalu kemudian dia melihat orang tuanya yang susah, lalu dia coba mencari solusi mengapa orang tua saya susah? “Oh ya, orang tua saya mungkin kurang bekerja giat, kurang bekerja keras, atau mungkin orang tua saya sudah kerja keras, tapi kerjanya kurang cerdas. Yang perlu itu kerja keras dan kerja cerdas”. Lalu dia memulai itu karirnya, menyelesaikan segala persoalan hidupnya. Lalu dia melihat orang-orang kaya mengapa orang kaya itu ada juga yang sakit, ada yang jabatannya pendek, singkat saja, karena mungkin usianya tua. Maka dia mulai berpikir, “Saya harus menjadi seorang yang muda, yang kaya.”

Lalu kemudian dia lihat juga ketika ternyata di dalam lingkungan masyarakatnya tidak semua orang kaya itu mudah untuk menjalankan usahanya. Karena kita tahu, ini anggap saja ini adalah suatu usaha, di dalam struktur masyarakat saat itu yang paling tinggi itu bukan pengusaha. Yang paling tinggi itu pemimpin agama, guru, pengajar, filsuf – kalau di dalam lingkungan Romawi-Yunani – itu yang paling tinggi. Lalu yang di tengah itu prajurit, bisa juga Kaisar bisa di tengah atau di atas. Yang di bawah itu adalah pedagang, pengusaha, itu kalangan yang rendah, yang kerjanya hanya cari uang, hal-hal material. Lalu yang paling rendah adalah orang-orang berdosa. Maka dia pikir, “Kalau saya cukup kaya itu tidak cukup. Di dalam struktur masyarakat, saya masih dalam golongan yang paling rendah, maka saya harus naik lebih tinggi lagi yaitu menjadi seorang pemimpin.” Dan pemimpin seperti apa? Kemungkinan sekali dia adalah memang seorang pemimpin yang juga diakui secara agama, paling tidak secara moralitas dia terpandang. Dia bukan hanya pemimpin pengusaha atasan, bos dari usahanya, bukan, tapi memang pemimpin yang sangat menaati perintah Tuhan, yang secara moral dipandang baik, dia adalah pemimpin yang dihormati. Dia mencapai itu semua, dia orang muda kaya, dan seorang pemimpin.

Ketika dia bisa mencapai semuanya yang orang inginkan, yang kita semua inginkan sampai dengan saat ini, orang muda, kaya dan seorang pemimpin, ada satu pertanyaan yang tidak bisa dia jawab yaitu, “Bagaimana supaya saya masuk ke dalam hidup yang kekal? Apa yang aku perbuat, yang aku harus usahakan untuk masuk ke dalam hidup yang kekal?” Ini pertanyaan yang tidak bisa dia jawab. Mungkin sekali dia bertanya ini kepada banyak orang tetapi tidak ada jawaban yang mungkin memuaskan dan meyakinkannya.

Sampai suatu kali dia bertemu dengan Tuhan Yesus. Di dalam Markus digambarkan begitu dramatis dan ekspresif, dia berlari dan berlutut. Dia bertanya kepada Tuhan Yesus, “Apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Maka kita bisa membayangkan ini dari ekspresi yang digambarkan oleh Markus, ini merupakan satu pertanyaan yang jujur, bukan pertanyaan yang mencobai Tuhan Yesus, “Tuhan, aku sudah mendapatkan semua yang aku inginkan, aku sudah menyelesaikan semua persoalan, masalah, pertanyaan dalam hidupku, tapi ada satu hal yang tidak bisa aku selesaikan: apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? Aku sudah mempunyai banyak kekayaan sehingga hidupku lebih terjamin dari orang lain, aku sudah mempunyai jabatan sehingga aku lebih dihormati daripada orang lain, dan aku adalah seorang yang muda yang mempunyai kesehatan yang baik, yang pasti waktu hidupku masih lebih panjang secara manusia, secara jasmani daripada pemimpin yang lain yang sudah cukup tua yang sudah berumur dan orang-orang kaya lain yang sudah berumur. Aku sudah mencapai semuanya ini. Sekarang ada satu hal yang belum bisa aku jawab dan aku masih mengganjal, tidak pernah aku puas dan tidak pernah aku yakin: apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Pertanyaan yang jujur dari seorang yang sukses, seorang pemimpin yang dihormati. Jadi saya kira ini tidak perlu kita lihat secara negatif, tidak perlu kita lihat bahwa dia mencobai atau mungkin mau mendapat pengakuan dari Tuhan Yesus, tapi digambarkan dia bahkan berlutut – di Markus, walaupun Lukas tidak mencatatnya demikian – dia berlutut kepada Tuhan Yesus dan dia bertanya dengan jujur kepada Tuhan Yesus.

Pertanyaan yang memang sampai sekarang pun diusahakan untuk dijawab oleh manusia. Pertanyaan ini bukan pertanyaan sekali ini muncul di dalam Injil Lukas. Dalam Lukas 10:25, “Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Tuhan Yesus, mencobai Yesus, katanya: ”Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? Jawab Yesus kepadanya: ”Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Jawab orang itu: ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata Yesus kepadanya: ”Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” Pertanyaan yang bukan satu kali, bukan di sini satu-satunya, tapi ada bagian lain tapi dengan motivasi, dengan dasar yang berbeda. Sebelumnya di dalam Lukas 10 dengan motivasi mencobai Tuhan Yesus dan di dalam Lukas 18 ini dengan jujur datang kepada Tuhan Yesus. Dan saya percaya pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan terbesar yang ditanyakan oleh manusia di sepanjang sejarah, dan usaha manusia terus menerus menjawab pertanyaan dalam hidupnya dan salah satu usaha yang manusia ingin jawab, yaitu pertanyaan ini: Apa yang harus aku perbuat, apa yang aku harus usahakan untuk dapat memperoleh hidup yang kekal?

Ada begitu banyak jawaban-jawaban yang tersedia yang bisa kita temukan di dalam agama-agama, di dalam science, di dalam tradisi-tradisi, di dalam kebudayaan-kebudayaan di sepanjang sejarah. Ada misalnya kekaisaran China untuk memperoleh hidup yang kekal atau misalnya kekaisaran yang lain juga harus melakukan sesuatu, mencari obat-obat yang sungguh untuk dapat memperpanjang usianya sehingga usianya lebih panjang dari yang seharusnya. Ada mungkin secara scientific, terus diusahakan untuk menemukan teknologi-teknologi untuk memperpanjang umur manusia atau paling tidak misalnya membuat cloning yang kesadaran saya itu bisa ditanam kepada, entah robot itu atau entah makhluk itu yang dibuat oleh manusia, ada usaha-usaha yang demikian. Ada science fiction yang muncul seperti demikian. Ada juga kepercayaan-kepercayaan lain menyajikan bagaiamana memperoleh hidup yang kekal.

Tapi Alkitab menjawab ini yang sangat pasti, sangat berbeda dengan yang lain. Sebelum Tuhan Yesus menjawab pertanyaan orang ini, Tuhan Yesus bertanya terlebih dahulu, “Mengapa kau katakan Aku baik? Tak seorang pun yang baik selain daripada Allah saja.” Tidak seorang pun yang baik selain dari Allah saja. James Barr mengatakan paling tidak ada 4 hal yang bisa kita pelajari dari pertanyaan dan pernyataan Tuhan Yesus ini. Pertama, Tuhan Yesus ingin mengorek lagi bahwa tidak mudah mengatakan apa itu baik. Apa artinya baik? Apa itu kebaikan yang sejati? Di dalam istilah Yunaninya agathos. Di dalam sepanjang sejarah filsafat ini dibahas etika tentang kebaikan itu apa. Sampai sekarang masih dipersoalkan apa itu baik, karena memang apa itu baik tidak mudah untuk kita definisikan. Ketika kita sulit untuk mendefinisikan maka kita sulit juga sebenarnya menyatakan sesuatu itu baik, seseorang itu baik, apa itu baik dan apa itu jahat? “Mengapa engkau mengatakan Aku baik?” Berarti engkau mempunyai satu standar tersendiri, definisi tersendiri, konsep tersendiri apa itu baik. Aku mempertanyakan apa maksudnya, apa yang kau maksudkan Aku itu baik? Apa artinya kebaikan yang sejati itu?

Kedua, yaitu mengapa engkau menilai Yesus itu baik? Apa itu baik dan kemudian mengapa Yesus disebut baik? Mengapa kita bisa mengatakan si A itu baik? Ada alasan kita yaitu orang itu melakukan semua hukum moral yang berlaku di dalam masyarakat kita atau di dalam keagamaan kita, di dalam kehidupan kekristenan kita, maka mengatakan orang itu baik. Jemaat ini adalah jemaat yang baik, ada standar, “Oh karena jemaat ini adalah jemaat yang taat akan perintah Tuhan.” Hamba Tuhan ini adalah hamba Tuhan yang baik karena hamba Tuhan ini adalah hamba yang taat perintah Tuhan. Ada satu kategori tertentu. Mengapa Yesus dibilang baik? Maka orang itu mempunyai asumsi bahwa Yesus dilihat sebagai orang melakukan semua yang tidak berlawanan dengan perintah Tuhan.

Ketiga, Tuhan Yesus mengatakan, “Bukankah hanya Allah yang baik?” Di sini Tuhan Yesus mengulang kembali sebenarnya apa yang diajarkan oleh Perjanjian Lama yaitu yang pertama bahwa Allah itu Esa. Ini kepercayaan orang Yahudi. Ini yang ditekankan oleh Perjanjian Lama, Allah itu Esa. Ungkapan ini sering diulang-ulang dalam Perjanjian Lama, “Sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Sebab Ia baik. Allah yang Esa itu adalah Allah yang baik, maka yang baik yang sejati itu adalah Allah, dan Allah itu satu. Nah sekarang Saya bertanya kepada engkau, mengapa engkau mengatakan Aku baik padahal yang baik itu hanya Allah, dan Allah itu satu? Apakah engkau berarti mengatakan bahwa Aku itu adalah Allah juga? Aku adalah Allah yang satu itu?

Keempat, James Barr mengatakan, konsekuensi dari pernyataan dari Tuhan Yesus ini bisa kita pahami bahwa ini jadi satu tantangan dari Tuhan Yesus. Bagaimana dengan pemuda ini, siapa yang berhak menilai seorang itu baik? Apakah saya yang menilai jemaat ini adalah jemaat yang baik atau jemaat ini yang menilai saya, hamba Tuhan ini, adalah hamba Tuhan yang baik? Siapa yang bisa menilai seseorang itu, sesuatu itu, baik atau jahat? Mungkin nggak kalau orang yang menilai seseorang itu baik tapi kemudian dirinya yang menilai itu tidak baik? Bisakah saya yang tidak baik menilai bahwa seseorang itu baik dan seseorang itu jahat? Bagaimana dengan saya? Siapa yang bisa menilai?

Seringkali ketika kita membaca Alkitab khususnya dalam Perjanjian Lama, maka kita seringkali melihat kepada apa yang Tuhan lakukan. Lalu kita lihat apa yang Tuhan lakukan itu baik dan ada yang Tuhan lakukan itu tidak baik, kita mulai menyimpulkan Allah Perjanjian Lama itu Allah yang kejam, Allah yang menghukum manusia yang berdosa tanpa belas kasihan. Lalu Perjanjian Baru bagaimana? Perjanjian Baru adalah Allah yang kasih, Tuhan Yesus itu datang karena kasih Allah, dan menyatakan pengampunan kepada manusia berdosa. Maka kita menilai Perjanjian Lama itu Allah yang kejam. Sekarang sebelum kita menjawab pertanyaan itu apakah Allah di Perjanjian Lama kejam lalu Allah Perjanjian Baru itu kasih apakah demikian, kita harus bertanya dulu, siapa yang berhak menilai? Engkau yang berhak menilai Allah? Atau Allah yang seharusnya memberi penilaian? Ini yang kemudian bisa kita renungkan di sini yang diajak Tuhan Yesus untuk pemuda ini renungkan, siapakah engkau? Engkaukah orang yang baik yang berhak menilai Saya adalah Guru yang baik? Kalau engkau menilai Aku yang baik, bagaimana dengan dirimu? Siapa engkau berhak menilai Saya adalah orang yang baik, Guru yang baik?

Ayat selanjutnya dikatakan, “Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah,” ini prinsipnya mirip dengan yang di dalam Lukas 10, “segala perintah Allah itu: Jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayah ibumu, lakukanlah semuanya itu.” Ini merupakan prinsip yang dasar yaitu untuk memperoleh hidup yang kekal, lakukanlah semua perintah Allah. Tuhan Yesus menegaskan kembali apa yang sudah diajarkan oleh Perjanjian Lama, prinsip yang juga diakui oleh orang Yahudi dan diakui juga oleh pemuda ini pastinya, yang tidak berlawanan sama sekali. Kalau engkau mau memperoleh kehidupan kekal, lakukanlah Taurat. Kalau saya dan Bapak, Ibu, Saudara sekalian mau memperoleh hidup yang kekal, lakukanlah Taurat.

Tetapi menarik sekali mengapa Tuhan Yesus menyatakan perintah yang ini – yaitu tentang jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta – mengapa Tuhan Yesus tidak menyatakan perintah-perintah yang lain di dalam Taurat? Tuhan Yesus mengutip bagian yang memang hukum tentang relasi dengan sesama. Mengasihi sesama ini hukum yang ke-2. Kalau engkau mengasihi sesama, maka kau seharusnya tidak berzinah, tidak membunuh, tidak mencuri, tidak mengungkapkan saksi dusta, menghormati ayah dan ibumu, ini adalah hukum antar pribadi dan Tuhan Yesus mengutip ini. Mengapa? Karena ketika pemuda ini bertanya di awal, pemuda ini bertanya tentang keselamatan dirinya, maka Tuhan Yesus mengalihkan keselamatan diri kepada perhatian atas orang lain.

Berapa banyak dari kita melakukan kebaikan itu bukan untuk memang untuk orang itu, atau bahkan bukan untuk Allah, tetapi kita melakukan itu untuk jalan kita memperoleh keselamatan, jalan kita masuk surga. Apa yang membedakan agama-agama lain dengan agama Kristen atau kepercayaan yaitu agama-agama lain merupakan usaha manusia untuk keselamatan dirinya melalui perbuatan baik, memakai orang lain yang lagi susah, lalu kemudian berbuat baik kepada orang itu supaya aku, dirinya itu masuk surga. Apakah ini adalah jalan keselamatan yang sejati? Alkitab mengatakan bukan. Apakah ini yang disebut baik? Bukan.

Di dalam ayat 21 orang ini mengatakan, “Semuanya telah kuturuti sejak masa muda.” Semuanya telah aku turuti. Dan apa yang orang ini katakan pastilah jujur. Saya percaya ini adalah ungkapan yang jujur dan kita tidak perlu kritis secara negatif melihat ini, dia jujur mengatakan ini. “Aku tidak ada persoalan dengan yang lain. Semuanya kuturuti sejak aku kecil, sejak aku muda.” Dan kita tahu memang di dalam tradisi orang Yahudi, orang-orang itu dari kecil diajarkan Taurat dan diajarkan melakukannya. Mereka diajarkan untuk menaatinya dan menaati ini adalah suatu ketaatan yang benar-benar ditaati, bukan pura-pura. Dan tidak pernah dicatat di Alkitab ada seorang yang, misalnya pemimpin ini saja, dia melakukan kebaikan di depan banyak orang lalu kemudian secara diam-diam di belakang dia melakukan sesuatu yang sebaliknya yang tidak baik, yang buruk, yang jahat. Tidak demikian. Dan Tuhan Yesus pun tidak menyangkal hal ini. Tuhan Yesus tidak mengatakan, “Aku melihatmu, Aku tahu isi hatimu, engkau tidak melakukan itu,” bukan. Tuhan Yesus tidak sama sekali keberatan dengan hal ini.

Tuhan Yesus mengatakan, “Oke kalau engkau memang sudah melakukan semuanya itu, sekarang ada satu hal lagi yang kurang, satu hal lagi yang engkau harus lakukan yaitu juallah semua hartamu itu lalu bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, uangnya itu engkau bagikan atau hartamu itu engkau berikan kepada orang miskin. Juallah segala kekayaanmu, segala yang kau miliki dan kemudian ikutlah Aku.” Dan ini satu perintah yang dikatakan oleh Tuhan Yesus yang juga sebenarnya bukan bertentangan dengan Perjanjian Lama. Bukan sama sekali bertentangan dengan hukum Taurat. Pertama, Tuhan Yesus menafsirkan ulang secara radikal apa artinya menaati perintah Allah. Yaitu ketaatan yang radikal di mana dia harus menjual harta itu kemudian memberikannya kepada orang-orang yang miskin, lalu mengikut Tuhan Yesus. Tuhan Yesus menafsirkan ulang bahwa menaati hukum Taurat bukan hanya sekedar jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan bersaksi dusta, saya tidak punya masalah dengan orang lain. Bukan hanya sekedar itu. Bukan hanya sekedar saya baik-baik sama orang tua saya, tetapi ketika saya menaati Taurat, ketaatan itu diekspresikan, dinyatakan secara radikal, bahkan saya rela membuang, melepaskan segala hal yang saya punya untuk yang lain. Ketaatan yang aktif secara radikal.

Kedua, Tuhan Yesus menyatakan bahwa inilah yang menjadi ciri khas dari umat Tuhan. Inilah yang menjadi ciri khas dari komunitas yang percaya. Komunitas percaya adalah komunitas yang siap melakukan apapun untuk Tuhan, yang menjalankan ketaatan secara radikal untuk Tuhan. Inilah artinya menjadi murid Tuhan Yesus. Apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? Kamu harus taat secara radikal. Kamu harus menjadi murid-murid Kristus yang radikal. Radikal bukan radikalisme tapi ketaatan yang berakar pada Firman Tuhan. Saya mau melakukan apapun untuk Allah dan saya mau memberikan apapun untuk sesama saya karena saya mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Dan menarik sekali Lukas agak berbeda sedikit dengan Matius, dengan Markus. Di Matius, Markus, mengatakan, “Sell what you possess,” jual apa yang kau miliki, tapi Lukas lebih radikal lagi dan lebih blak-blakan mengatakan, “Juallah segala yang kau miliki.” Ini bukan pertama kalinya dinyatakan Tuhan Yesus. Dalam Lukas 14:33, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.” Orang-orang yang tidak siap, tidak dapat melepaskan segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku. Tidak berhak mengatakan dia murid-Ku. Ketaatan yang begitu radikal yang Tuhan Yesus katakan. Siapkah kita untuk melepas semuanya demi Kristus? Melepas semuanya yang kita miliki demi Kristus? Siapa kita selama ini mengatakan kita adalah milik Kristus tapi kita belum siap melepaskan segalanya untuk Kristus? Apakah ini hanya untuk hamba Tuhan? Bukan. Ini adalah untuk setiap orang yang mau menjadi murid Kristus. Orang yang tidak siap, tidak mau meninggalkan segalanya untuk Kristus, tidak siap menjadi murid Kristus.

Mendengar perkataan ini, orang itu menjadi sedih. Dia amat sedih. Digambarkan kesedihannya itu di dalam istilah aslinya setara dengan kesedihan Yesus ketika berada di taman Getsemani. Kesedihan yang begitu mendalam setara dengan kesedihan Herodes ketika mendengar permintaan dari anak perempuan Herodias untuk memenggal kepala Yohanes Pembaptis. Satu ratapan kepedihan, begitu sakit, begitu kecewa. Mengapa dia sedih? Saya tidak tahu ya bagaimana dengan kita ketika mendengar pernyataan Tuhan Yesus. Kita sedih atau nggak? Siapapun yang tidak meninggalkan segalanya untuk-Ku, tidak dapat menjadi murid-Ku. Tidak dapat mengatakan dirinya seorang Kristen. Siapapun yang tidak siap meninggalkan hartanya, status jabatannya, keluarganya, dan segala hal yang dimilikinya, bahkan harga dirinya demi Kristus tidak siap menjadi murid Kristus.

Orang ini begitu sedih. Dan kesedihannya begitu tulus dan saya percaya ini sungguh-sungguh kesedihan yang nantinya mengantar kepada pertobatan walaupun bukan sekarang. Apa yang membuat dia sedih? Karena Tuhan Yesus membongkar isi hatinya dan dia menyadari dia tidak mengasihi Allah dan tidak mengasihi sesama. Dia tidak mengasihi Allah dengan segenap hatinya, segenap jiwanya, dan dia tidak mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. Dia lebih mencintai harta kekayaannya, apa yang dia miliki, daripada yang lain. Dia mengatakan, “Aku sudah melakukan semuanya itu Tuhan. Aku sudah menaati perintah hukum yang ke-2 yaitu aku tidak membunuh, aku tidak berzinah, aku tidak mencuri, aku menghormati orang tua, aku melakukan semuanya itu.” Tetapi Tuhan Yesus katakan, tidak. Engkau tidak melakukan semuanya itu, karena engkau tidak mencintai Tuhan dan sesamamu. Engkau lebih mencintai hartamu. Engkau lebih mencintai apa yang kau miliki. Dalam 1 Yohanes 4:20, “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” Jika engkau berkata engkau mengasihi Allah tapi kemudian engkau tidak menjual, tidak mau, tidak rela menjual segala milikmu untuk memberikannya kepada sesama untuk menyatakan kasih kepada sesama, maka engkau tidak mengasihi Allah. Jika engkau mengatakan aku mengasihi Allah tetapi aku tidak rela untuk kehilangan segala harga diriku, tidak rela untuk melepas keluargaku, tidak rela untuk melepas segala jabatanku dan segala hal yang aku cintai itu, engkau tidak mencintai Allah.

Ada begitu banyak orang-orang datang kepada saya bilang, “Ya saya ingin supaya rajin pelayanan, saya ingin ikut Tuhan.” Tapi kemudian saya bilang, “Oke ya sudah ayo ke gereja, ayo baca Alkitab.” Kemudian saya tanya sudah baca Alkitab, sudah bergereja? “Oh nggak. Tapi aku ingin Tuhan, tapi aku nggak ingin ke gereja, nggak siap.” Nggak siap. Ketika kita jadi orang Kristen, bertobat datang kepada Tuhan, waktu KKR, angkat tangan bertobat lalu kemudian kita masuk ke komunitas orang percaya lalu komunitas gereja Tuhan, lalu suatu kali kita diajak pelayanan, yuk pelayanan, “Wah aku sibuk, nggak sempet lagi nih waktunya susah ngatur waktu untuk pelayanan.” Yuk ikut KKR, yuk ikut terlibat dalam pelayanan, “Wah masih banyak harus aku lakukan.” Kita tidak siap mengikut Kristus.

Apa yang menjadikan pemuda ini berat untuk mengikut Kristus? Karena dia begitu mencintai hal yang lain selain Kristus. Dan saya kira ini bukan soal uang saja. Kita kadang kalau merenungkan ini, hanya menyimpulkan, “Oh ya sudah itu orang yang kaya sulit, saya nggak terlalu kaya saya nggak terlalu sulit. Puji Tuhan, apalagi yang mahasiswa, puji Tuhan belum kaya. Saya muda tapi belum jadi pemimpin dan belum kaya. Wah ini khotbahnya bukan untuk saya. Itu orang-orang tua tuh lihat tuh. Rasain tuh sudah sukses lalu yang kaya atau rasain tuh orang kaya.” Bukan, saudara-saudara sekalian. Bukan mengajarkan kita untuk anti kekayaan, bukan. Ini adalah tentang meninggikan Kristus di dalam setiap aspek hidup kita, hanya Kristus dan bukan yang lain. Mencintai Kristus dengan segenap hati kita dan bukan yang lain. Orang muda ini, pemimpin muda yang sangat kaya ini lebih mencintai apa yang dia miliki, yang lain daripada Kristus. Dia mencintai yang lain daripada Tuhan Allahnya daripada sesamanya. Dia mempunyai berhala. Apa yang membuat pemuda ini kecewa, sedih? Dia mempunyai berhala yang sulit untuk dia tinggalkan.

Ada seorang bernama Andrew Carnegie yaitu salah satu orang yang paling kaya yang paling legendaris di dunia, dinyatakan bahwa dia adalah anak dari penenun, pengusaha yang memang berkecukupan namun suatu ketika mereka jatuh miskin lalu dia hidup susah dengan ibunya. Kemudian dia menjadi orang yang sukses, menjadi kaya. Suatu ketika ketika ia kecil, sebelum sukses, ia berkata kepada ibunya, “Suatu kali nanti saya akan menjadi kaya, Ibu. Dan suatu kali nanti kita akan naik kereta kuda yang indah.” Benar, dia jadi kaya, dia berusaha dari pekerja yang kecil sampai pengusaha yang besar dia menjadi sangat kaya, dan dia menjadi seorang muda yang kaya. Bukan kayanya waktu tua tapi kayanya waktu muda. Pada umur 33 tahun dia menuliskan: manusia harus memiliki berhala dan tidak ada berhala yang lebih merendahkan harga diri selain daripada berhala uang. Dia mengakui manusia nggak bisa lepas dari berhala karena dia tahu berhala hatinya tapi dia tidak tahu bagaimana harus mencabutnya karena dia tidak bisa hidup tanpa berhala, dan dia juga mengakui bahwa berhala yang paling mungkin merendahkan manusia adalah berhala uang karena itu adalah materi, itu benda mati, dan aku bekerja aku menyembah benda mati itu. Carnegie tahu berhala hatinya tapi tidak bisa lepas dari berhala itu. Dia begitu bergantung kepada berhala itu.

Ada begitu banyak di dalam Alkitab juga mengatakan begitu beragam berhala manusia. Misalnya di dalam kisah Yakub, Rahel, dan Lea. Ini cerita yang begitu indah sekali yang biasanya sangat menginspirasi para kaum muda, Yakub yang teguh mengejar Rahel yang bukan hanya 7 tahun tapi tambah 7 tahun lagi. Tapi sisi yang lainnya kisah Yakub, Rahel, Lea itu justru adalah perjuangan orang yang ingin mendapatkan berhalanya. Yakub memberhalakan cintanya kepada Rahel, Rahel memberhalakan dirinya yang harusnya berhak mendapatkan segala sesuatu dan Lea memberhalakan penerimaan dari Yakub. Kisah tiga orang yang mempunyai berhala masing-masing.

Mengapa berhala sulit untuk dilepaskan? Karena berhala itu sesuatu yang bernilai dan berharga. Apa yang kita jadikan berhala adalah biasanya sesuatu yang baik, sesuatu yang indah, sesuatu yang layak untuk diperjuangkan. Berhala itu uang misalnya, siapa yang tidak perlu uang? Berhala itu misalnya harga diri kita, siapa yang mau harga dirinya diinjak-injak? Berhala itu kehormatan saya, nama baik saya. Berhala itu kekayaan saya. Berhala itu keluarga saya, orang yang saya kasihi. Yang dijadikan berhala adalah sesuatu yang baik. Berhala itu justru harta, kehormatan, harga diri, kebudayaan, tradisi, bahkan agama dan gereja.

Apa masalah dari penyembah berhala? Masalahnya orang yang lumpuh ingin dilepaskan dari lumpuhnya, orang yang buta ingin dilepaskan dari butanya, orang yang tuli ingin dilepaskan dari tulinya, orang yang berdosa ingin dilepaskan dari dosanya, penyembah berhala tidak ingin dilepaskan dari berhalanya. Itu masalahnya. Maka itu penyembah berhala itu begitu subtle, begitu halus. Dosa yang begitu halus yang sulit sekali kita deteksi dari diri kita sendiri harus ada yang lain di luar kita yang mengatakan itu, yaitu Tuhan Yesus mengatakan, “Jika engkau memang mengasihi Tuhan, maka juallah segala yang engkau miliki.” Tuhan Yesus yang harus membongkar berhala kita. Roh Kudus yang harus menyadarkan kita siapa yang sebenarnya kita sembah, Tuhankah atau berhala? Satu-satunya untuk bisa menghilangkan berhala dan sungguh mengikut Kristus yaitu dengan melepaskan dan kehilangan. Waktu Abraham menantikan keturunan yang dijanjikan Tuhan dan meninggalkan semua kenyamanan yang dia dapatkan. Suatu kali Tuhan memberikannya keturunan yaitu Ishak. Dia senang sekali apalagi Ishak adalah anak yang lahir di masa tuanya. Dia sangat mencintai Ishak. Bagaimana caranya supaya Tuhan mengetahui siapa yang dicintai Abraham, Ishak atau Tuhan? Tuhan katakan, “Persembahkanlah dia.” Ini caranya. Ini yang sama yang dikatakan oleh Tuhan Yesus di sini. Bagaimana caranya? “Lepaskanlah.” Puji Tuhan kita bersyukur Bapa Orang Beriman kita memang adalah Bapa Orang Beriman yang sejati. Dia naik ke gunung itu dan dia persembahkan Ishak. Apakah dia sedih? Saya percaya ia sangat sedih. “Saya sudah meninggalkan semuanya untuk keturunan ini, dan Engkau memintanya dariku.” Ini adalah langkah iman yang sulit dilakukan oleh siapapun. Bayangkan, saudara-saudara sekalian kalau di sini kita mempunyai anak lalu persembahkan kepada Tuhan, Tuhan bilang, “Persembahkanlah kepada-Ku.” Wah kita akan mengatakan, “Wah ini apa?” Malah mungkin menurut saya kita bertanyanya – ya kita percaya itu tidak lagi ada suara Tuhan ya selain dari Alkitab, tapi anggap saja kita saat itu – kita mungkin bahkan muncul pikiran adalah, “Ini benar nggak Tuhan yang saya sembah ini? Ini benar Allah yang sejati atau ini iblis?” Siapa yang rela? Siapa yang berani yang tega memerintahkan, “Bunuh anakmu. Persembahkan anakmu untuk Aku.” Allah yang seperti apa ini? Dan saya percaya Abraham saat itu sungguh-sungguh gentar dan takut. Bukan yang ah ini pasti ujian Tuhan. Nggak. Saya percaya dia gentar sekali, dia sungguh-sungguh bergumul, dan dia sudah mengambil pisau itu dan siap untuk mengorbankan Ishak. Tetapi kita tahu kemudian Tuhan menghentikannya, malaikat Tuhan menghentikannya dan memberikan pengganti dari Ishak.

Bagaimana caranya supaya lepas dari berhala? Tuhan Yesus katakan, “Lepaskan.” Bagaimana supaya kita tahu apa berhala kita? Coba kita lepaskan apa yang paling kita genggam. Berani tidak dari harta kita 100% atau berikan 50%? Berani tidak kita berikan paling tidak 10%? Dari waktu hidup kita, misalnya satu hari 24 jam, berapa berani kita berikan waktu untuk Tuhan? Berapa banyak? Berani tidak kita memberikan semuanya atau misalnya 12 jam untuk Tuhan? Berapa persen kita berikan untuk Tuhan? Berapa banyak kita berikan? Bagi saya dan Bapak, Ibu, Saudara sekalian, melepaskan berhala yang kita cintai, yang kita genggam, yang kita perjuangkan selama ini begitu sulit dan pasti menyakitkan pasti mengecewakan menyedihkan. Tetapi Corrie ten Boom mengatakan, “Engkau tidak akan pernah bisa melihat bahwa Yesus adalah segalanya yang engkau perlukan, sebelum engkau menyadari bahwa hanya Kristus yang engkau punya.” Ada orang baik mengikut Kristus, percaya kepada Tuhan tetapi tangan yang lain masih menggenggam yang lain selain Kristus.

Ayat 24-25 Tuhan Yesus juga mengatakan memang ini sukar, “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Memang sukar. Di dalam bagian yang lain ya, di dalam Markus misalnya, kita melihat ada ekspresi emosi dari Tuhan Yesus yaitu bahwa Tuhan Yesus mengasihi pemuda ini dan istilah yang digunakan kasih itu agape. Jadi saya percaya Tuhan Yesus waktu menegur pemuda ini, membongkar isi hati pemuda ini dengan maksud tulus dengan sungguh-sungguh ingin pemuda ini kembali kepada Dia. Pemuda ini sungguh-sungguh mengasihi Kristus dengan kasih agape, bukan sinis. Maka itu saya percaya ini ketika Alkitab menggunakan istilah agape yaitu kasih Allahkekal dan tak berkesudahan yang sampai suatu kali pasti akan digenapi di orang itu.

Waktu Tuhan Yesus mengatakan lebih mudah seekor unta itu masuk lubang jarum itu bukan berarti ada gate, gerbang kecil yang dinamai lubang jarum lalu unta itu bisa masuk ke dalamnya, bukan demikian. Beberapa penafsir dan para arkeolog mempelajari ini, tidak ada gerbang yang disebut dengan lubang jarum itu. Tuhan Yesus menyatakan bahwa seekor unta masuk lubang jarum itu sudah susah, tapi masih lebih mudah daripada seorang orang kaya. Jadi yang lebih sulit saja jauh lebih mudah daripada orang yang menyembah berhala. Jadi ini sangat mustahil, apa yang Tuhan Yesus katakan ini sangat mustahil. Ini suatu peribahasa yang memang umum di dalam sastra Babilonia juga menggunakan peribahasa yang demikian. Saya kira mungkin ini dapat juga dibandingkan dengan peribahasa Indonesia ‘seperti mencari jarum dalam jerami.’ Tapi nggak bisa lagi ya konteks sekarang karena ada metal detektor. Tapi apa yang Tuhan Yesus katakan itu mengungkapkan suatu kemustahilan, nggak mungkin. Nggak mungkin dengan usaha kita, kita bisa lepas dari berhala kita, lalu kemudian mengikut Tuhan, nggak mungkin. Ini bukan yang mungkin dilakukan oleh manusia, maka itu di dalam ayat 26 orang mengatakan, “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?” Ya memang tidak mungkin dengan usaha manusia. Dan ayat 27 Tuhan Yesus mengatakan, “Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah.” Mustahil manusia itu menghilangkan berhalanya dengan usahanya sendiri. Mustahil. Saya dan Bapak, Ibu, Saudara sekalian pasti memiliki berhala dan kita sulit untuk melepaskannya dengan usaha kita sendiri. Kehilangan berhala seperti kehilangan arti hidup kita.

Di dalam kisah yang ditulis oleh J.R.R. Tolkien, Lord of the Rings, satu kisah yang bagus, ada satu gambaran ya tentang manusia berdosa yang spesifik, yaitu Gollum. Ia menyebut cincin yang ditemukannya sebagai “My Precious, my precious.” Hartaku, sesuatu yang bernilai di dalam hidupku, dan ketika temannya mau melihat saja dia tidak mau, dia menyimpannya. Ketika temannya mau merebutnya, dia bunuh temannya. Dia  menyimpannya dengan segenap hatinya, segenap tenaganya, my precious. Ini sesuatu yang indah. Cincin itu indah tidak? Indah. Cincin itu memberi kekuatan, kemampuan untuk menghilang, untuk tidak terlihat. Ada kemampuan tersendiri yang diberikan oleh cincin itu. Jadi bukan cincin yang tidak ada kekuatan, tidak ada kebaikan, tidak ada power, dayanya sama sekali, bukan. Di dalam kisah itu kita bisa melihat bagaimana Gollum itu rela untuk dipukul, rela untuk dihina, rela untuk direndahkan, rela untuk mendapat kesusahan, bahkan rela mendapat kutuk, rela untuk mukanya, tubuhnya sakit, lemah, rela untuk hidup rendah, rela untuk hidup hina, untuk my precious.

Mustahil bagi manusia yang berdosa untuk lepas dari berhala ini. Ini bukan usaha manusia, tapi bagi Allah itu mungkin. Ini menggemakan apa yang dinyatakan dalam Lukas 1:37. Ketika itu malaikat Tuhan bertemu dengan Maria, seorang perempuan dara, perempuan yang perawan, dan kemudian Maria dikatakan engkau akan mengandung lalu kemudian Maria itu mengatakan bagaimana mungkin sedangkan aku belum bersuami? Lukas 1:37 mengatakan, malaikat itu mengatakan, “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.” Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil. Sayang sekali istilah ini sering hanya disempitkan dalam hal kesembuhan. Padahal yang paling mustahil adalah mencabut berhalanya, bersih dari dosanya. Tapi bagi Tuhan tidak ada yang mustahil.

Bagaimana saya memperoleh hidup yang kekal? Kita harus kehilangan berhala kita. Siap tidak kita melepaskan kekayaan kita, keluarga kita, harga diri kita, kehormatan kita, dan mencintai Kristus satu-satunya dengan segenap hati kita, segenap jiwa kita, segenap tenaga kita, segenap pikiran kita, dan mengasihi sesama kita? Berapa banyak kita tidak siap karena memang mustahil bagi kita untuk melepaskan semuanya itu. Mustahil. Hanya Kristus, hanya Roh Kudus, hanya karya Allah Tritunggal yang bisa mencabut berhala yang sudah mengakar di dalam hidup kita. Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Bagaimana berhala yang mengakar itu dapat dicabut? Dengan Dia lebih dulu melepaskan segala kemuliaan-Nya. Manusia tidak mau melepaskan harga dirinya, kita semua tidak mau melepaskan apa yang bernilai, kita semua tidak mau melepaskan apa yang kita pandang mulia bagi kita, tetapi Allah karena kasih-Nya Dia mau melepaskan kemuliaan-Nya. Di dalam Filipi 2:5-8 mengatakan, “Dia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”

Di dalam 2 Korintus 8:9, “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya  oleh karena kemiskinan-Nya.” Ia yang harusnya kaya, sekalipun Ia kaya, Ia menjadi miskin demi kamu, demi saya dan Bapak, Ibu, Saudara sekalian supaya kita yang miskin, yang nggak pernah sadar kita miskin, yang nggak pernah sadar kita penyembah berhala bukan Tuhan, supaya kita itu mendapatkan kelimpahan, kekayaan kasih karunia yang di dalam Dia. Ia yang tidak menyayangkan anak-Nya untuk kita, bagaimana mungkin Ia tidak mengaruniakan segala hal kepada kita saat kita bersama-sama dengan Dia. Puji Tuhan, inilah penghiburan kita.

Maukah kita sungguh-sungguh mengikut Kristus? Perjalanan menjadi murid Kristus adalah perjalanan radikal. Satu perjalanan radikal melepaskan berhala yang sudah mengakar dalam hidup kita. Bukan hanya sekedar, “Oh Tuhan mengikut Kristus saya percaya sekali lho,” lalu kemudian Roh Kudus itu menggerakkan saya masuk dapat ikut ke gereja, lalu kemudian baca Alkitab, rajin, mengerti Alkitab, pelayanan, bekerja, studi rajin, semuanya untuk Tuhan. Sampai di suatu ketika kita malas, malas untuk studi dengan baik, malas untuk bekerja, waktu ditanya kenapa kamu malas? “Seperti belum ada gerakan.”  Ujung-ujungnya menyalahkan Tuhan juga. “Tuhan itu kayak kurang menggerakkan, Roh Kudus kurang menggerakkan, maka perlunya hamba Tuhan doakan untuk berikan Roh Kudus lagi.” Sampai berapa kali kita minta Roh Kudus datang? Sampai berapa kali Tuhan harus disalib supaya kita sungguh-sungguh tergerak untuk mengikut Tuhan dengan radikal? Harus Tuhan Yesus disalib setiap hari untuk kita? Berdoalah.

Masalahnya bukan Tuhan belum mengaruniakan Roh Kudus, masalahnya bukan Tuhan belum mati disalib. Semuanya sudah selesai dan Tuhan Yesus katakan sudah genap, sudah selesai semuanya, Roh Kudus sudah turun. Masalahnya kita tidak mau mencabut berhala itu. Masalahnya adalah perjuangan ini hanya kita serahkan semuanya kepada Tuhan, kemudian kita dengan duduk santai bilang Tuhan berikan Roh Kudus lagi, penuhi saya supaya saya tergerak lagi untuk mengikut Tuhan. Dalam proses mengikut Tuhan, harus ada latihan-latihan rohani yang radikal yang kita jalankan, dan itu adalah tanggung jawab manusia. Apa yang sudah Tuhan lakukan itu Dia sudah selesaikan. Bagian Dia sudah Dia selesaikan, dan Dia sudah menjaminnya sampai akhir. Sekarang bagaimana dengan kita? Relakah kita melepaskan berhala kita? Mari kita berdoa.

Bapa Kami di surga, kami bersyukur Tuhan, Engkau terus mengingatkan kami, menegur kami, membongkar siapa kami di hadapan Tuhan. Ampuni kami Tuhan, masih begitu banyak berhala di hati kami. Ampuni kami Tuhan, di mulut kami mengaku percaya Kristus, kami dengan bangga mengatakan kami orang Kristen yang jaminan keselamatan sudah pasti tetapi hari-hari kami, kami hidup seperti Kristus itu tidak mati bagi kami, kami hidup seperti Kristus sudah tidak memberikan segalanya, kemuliaan untuk menebus manusia berdosa. Kami hidup seperti kami belum menerima segala karunia itu Tuhan. Jika kami memang belum menerima karunia itu, kuduskan kami, lahir barukan kami Tapi jika kami sebenarnya sudah menerima dan kami sudah diberikan kesempatan anugerah yang Tuhan berikan untuk kami berbagian di dalamnya, ampuni kami Tuhan ketika kami masih terikat dengan berhala kami. Dan mampukan kami untuk melepaskan berhala yang sudah mengakar dalam hidup kami yang menyakitkan untuk dicabut, yang sulit untuk dilepaskan, yang lebih kami cintai daripada Tuhan. Mampukan kami untuk melepaskannya, mampukan kami untuk mengasihi engkau lebih dari apapun, mengasihi engkau dengan segenap tenaga, segenap jiwa kami, dan mengasihi sesama kami seperti diri kami sendiri. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin. (KS)

Comments