Kekaguman Maria kepada Allah, 18 Desember 2022

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kisah ini mungkin sering sekali kita dengar dan khususnya apalagi waktu kita menjelang Natal. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya mau mengajak kita merenungkan mengapa Maria itu dipuji? Mengapa Maria itu patut untuk kita teladani? Karena dia memiliki kekaguman kepada Allah yang besar. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa melihat sedikit hal ini dari ayat 29, dan ayat 34, yang merupakan ungkapan kekaguman Maria. Ayat 29, “Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu.” Lalu, ayat 34 mengungkapkan lagi keterkejutan, keheranan Maria, dengan dia bertanya begitu polos. Bukan karena keraguan, tapi karena heran. “Kok itu bisa terjadi? Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ayat 34 itu bukan seperti Sara ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Sara waktu mendengar berita, “Engkau akan mengandung. Engkau akan melahirkan tahun depan.” Sara mungkin tanggapannya saat itu, “Hah, masa sih? Kok bisa ya?” Itu benar-benar keraguan, tanpa iman. Tapi, ungkapan ayat 34, Maria itu bukan ungkapan tanpa iman. Ungkapan keheranan. Ungkapan takjub. “Kok bisa saya ini bisa mengandung, padahal saya ini kan belum bersuami? Saya belum ada berhubungan secara seksual. Kok bisa saya akan mempunyai anak? Saya akan mengandung?” Ini ungkapan keheranan.

Nah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di ayat 29, kita bisa melihat ada istilah-istilah yang unik dipakai oleh Lukas, di mana mengungkapkan keterkejutan Maria, istilah “terkejut” itu memang lumrah. Itu biasa sebenarnya. Ya, di terjemahan Alkitab yang lain, ESV, dan Alkitab-alkitab NIV, dan yang lainnya itu sama terjemahannya, terkejut, greatly troubled. Dan di dalam istilah Yunaninya, juga itu nggak terlalu sulit untuk menerjemahkan ini. Ada keterkejutan yang spontan, yang semacam kaget, langsung teriak ketika meresponi sesuatu, lalu terkejut. Itu lumrah. Tapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ketika ada istilah di sini, “Lalu bertanya di dalam hatinya, apa arti salam itu.” “Lalu bertanya dalam hatinya.” Ini terjemahan Indonesia menurut saya cukup baik, walaupun mungkin bisa lebih tepat lagi. Di dalam istilah aslinya itu seperti berdialog, berdebat di dalam diri. Di dalam diri ada perdebatan. Kayak main pingpong, gitu ya. Ada ide-ide yang berkecamuk muncul di dalam batinnya, yang saling bertentangan, yang mencoba mencari kesimpulan. “Kok bisa? Di depan saya itu yang hadir malaikat atau bukan?” “Malaikat!” “Lho, tapi kan saya perempuan? Saya siapa? Kok malaikat bisa datang ke sini? Lho, ada apa? Berita apa ini? Salam apa ini? Maksudnya dikaruniai itu apa?” Itu berkecamuk. Maka nggak heran terjemahan Alkitab juga, beberapa Alkitab menerjemahkan itu variatif sekali untuk istilah ini. Indonesia menerjemahkan, “bertanya di dalam hatinya”. Kalau misalnya di dalam ESV, “discern”. Lalu, NAS itu, “pondering”. NIV, “wonder”. Terjemahannya begitu variatif, karena memang ini menggambarkan perasaan yang bercampur aduk, heran, kagum, bingung, berdebat di dalam diri. Yang biasanya dipakai memang ini seperti yang berdialog, berdikusi, perdebatan yang serius di dalam 1 ruangan, tapi ini perdebatan batin, perdebatan mental.

Maka, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa menyimpulkan di sini, ada 1 keheranan di dalam diri Maria. Kenapa ada ungkapan ayat 29 dan ayat 34 ini? Dia heran, mengapa ini terjadi? Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa melihatnya. Mari kita lihat, keheranan ini dasarnya apa sih? Mengapa sih, dia heran? Lukas itu menulis begitu baik sekali. Alasan keheranan Maria itu bisa sudah disusun di sebelumnya. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita lihat di ayat 26. Di ayat 26, Lukas sudah memberikan background, latar mengapa ini reaksi Maria itu begitu heran, begitu takjub sesuatunya terjadi. Di ayat 26 dikatakan, “Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret.” Kita sering ya dengar istilah Galilea dan Nazaret.  Gambarannya wilayah Galilea dan kota Nazaret gimana sih?

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya mencoba menggambarkan anggaplah DIY, Daerah Istimewa Yogyakarta itu Israel Selatan. Lalu kemudian, Kota Yogyakarta itu Kota Yerusalem. Lalu, di perbatasan Kota Yogyakarta, 10 km dari perbatasan Kota Yogyakarta yang masih daerah DIY, anggap mungkin di salah satu kota kecil di Sleman ya, itu Betlehem. Nah, itu kira-kira, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Jadi, Betlehem itu kayak desa sebenarnya. Lalu, Israel Utara itu Jawa Tengah. Jawa Tengah itu Israel Utara. Semarang itu Samaria. Lalu Galilea itu mana, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Itu mungkin Kabupaten Wonogiri. Lalu, Nazaret itu Kota Wonogiri. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, begitu kecilnya Nazaret.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di sini mungkin kita pun nggak pernah atau jarang ke Wonogiri. Mungkin waktu KPIN itu baru pertama kali seumur hidup datang ke Wonogiri. Saya belum datang. Kemarin nggak bisa karena ke Semarang. Jadi, belum pernah. Begitu kecilnya! Lalu, apa lagi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian? Berarti Nazaret, Galilea itu Israel Utara. Israel Utara itu apa sih artinya? Kalau kita pelajari di Alkitab, namanya Israel murni itu Israel Selatan. Israel Selatan selalu mengklaim dirinya paling murni, yang setia pada kerajaan Daud. Kerajaan Selatan, Yerusalem, takhta Daud di sini, Yehuda. Nazaret itu Israel Utara. Israel Utara itu darah campuran. Kafir. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau orang Israel yang sejati, maksudnya yang sangat tradisional, yang sangat kental, orang Lewi misalnya, ahli Taurat misalnya, nggak akan pernah menjejakkan kakinya di tanah Israel Utara. Mungkin Zakharia dan Elisabet nggak pernah ke Nazaret. Daerah begitu kecil, rendah, dan hina. Siapa yang bisa membayangkan, ada perempuan remaja di kota Wonogiri, lalu malaikat ketemu, “Nanti kamu lahirin Juru Selamat.” Nah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian kita heran. Kita lebih bisa terima, kalau yang lahirnya tu orang di Jakarta, New York mungkin. Di Jogja saja kita kadang, “Ah, masa orang Jogja bisa ngelahirin orang besar?” Mungkin begitu juga bertanya-tanya kita. Ya, walaupun banyak juga orang-orang besar di daerah Jawa Tengah. Tapi, itu kota yang begitu kecil bahkan najis. Ini ayat 26, Lukas memaparkan betapa rendahnya Nazaret itu. Disebut dengan jelas, sangat eksplisit, “Di daerah di wilayah Galilea, ada kota kecil, namanya Nazaret.”

Kedua, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa lihat di ayat 27. Di ayat 27, “Kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria.” Maria nggak disebut keturunannya dari mana. Dia dari keluarga yang sederhana. Ada saja sarjanawan, teolog-teolog itu yang begitu ahli, mencoba menelusuri, mencoba mencari-cari sesuatu yang bernilai di Maria ini. Dia melihat, mencoba menelusuri itu garis keturunannya. Jadi, ada catatan. Kemungkinan, pada 1 zaman tertentu, khususnya di zamannya Zerubabel, ini sudah jauh ya, jauh, kita bukan di zamannya Perjanjian Baru lagi, sebelumnya, itu keturunan Daud itu kemudian ada yang bersatu. Ada yang menikah. Keturunan Daud kan terpisah, terbagi. Lalu, kemudian dia menikah lagi. Lalu akhirnya, di dalam keturunan Daud itu, yang keluarga yang begitu jauh, lahirlah Yusuf dan Maria. Maka Maria kemungkinan juga keturunan Daud, walaupun mereka dalam saudara yang jauh. Ini kayak Abraham, Sara sepupuan jauh. Orang mencoba mencari itu. Tapi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, walaupun mungkin ini ahli yang sudah mempelajari, dan mungkin sekali kebenarannya, tapi mengapa Alkitab nggak mencatat? Alkitab hanya memberikan penekanan Yusuf dari keluarga Daud.  Maria siapa? Maria nggak ada. Akar keluarganya itu sederhana, nggak jelas. Dan saya bahkan bisa percaya kalau pun Maria ini adalah orang Israel Utara, atau bangsa lain pun, saya masih percaya itu. Mengapa? Karena Rut ketemu Boas. Boas nenek moyang Daud, Rut bukan dari Israel, Tuhan masih bisa pakai. Lukas tidak melihat itu sesuatu yang valuable, yang bernilai untuk ditekankan. Kenapa? Karena Tuhan Allah yang besar dan mahakuasa dapat memakai yang biasa untuk kemuliaan-Nya.

Beberapa hari ini, berita yang heboh itu adalah pernikahan anak presiden ya, salah satu anak presiden. Ini saya juga ikuti sedikit, walaupun nggak lihat ya secara sepenuhnya. Saya ikuti sedikit. Terus ada di dalam social media itu heboh. Siapa sih pasangannya anak presiden ini? Mencoba mencari nilai kelayakannya apa sih? Kalau hanya cantik nilainya, Banyak kok yang cantik. Apanya sih? Lalu, dalam salah 1 social media menjelaskan. Woh, ternyata orang tuanya pintar, terpandang secara akademis, secara jabatan! Lalu, anaknya juga punya prestasi! Manusia selalu berusaha begini. Mencari sesuatu yang valuable.  Ada something yang valuable lho, mengapa kemudian perempuan ini bisa nikah sama salah 1 anak presiden! Tapi, Maria itu bukan siapa-siapa. Maria, dia perempuan yang sederhana dari Nazaret, yang keluarga besarnya Yusuf itu mungkin nggak semua mau datang menginjakkan kakinya ke Nazaret.

Ketiga, kita lihat kerendahan Maria di ayat 28. “Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” Malaikat menyapa Maria. Maria kaget, bukan hanya karena itu malaikat. Kalau kita ketemu malaikat, kaget ya. Tapi, yang mengagetkan Maria adalah malaikat ini kok mau ketemu perempuan. Bapak, Ibu, Saudara sekalian bisa bandingkan rata-rata di dalam sejarah Perjanjian Lama, malaikat Tuhan, malaikat seringnya ketemunya siapa? Laki-laki. Bisa bandingkan ini lagi, Lukas sudah mencatat sebelumnya, yaitu ketika malaikat bertemu Zakharia. Lihat pasal 1 :11, Lukas membandingkan di sini 2 kelahiran. Kelahiran Yohanes Pembaptis, kelahiran Yesus. Keluarga atau orang tua Yohanes Pembaptis, keluarga atau orang tua dari Tuhan Yesus yang mau untuk berinkarnasi di dalamnya. Lukas 1:11, “Maka tampaklah kepada Zakharia seorang malaikat Tuhan berdiri di sebelah kanan mezbah pembakaran ukupan.” Malaikat bertemu laki-laki, Zakharia, imam besar. Ini sesuatu yang lumrah. Ini yang wajar. Ini yang normal. Tetapi, Lukas mencatat, sesudah dia bertemu dengan seorang laki-laki, seorang imam yang punya jabatan, pemimpin agama, yang keluarganya dicatat juga begitu baik, di kota yang besar di Yerusalem, di Bait Allah. Lalu selanjutnya, di perikop selanjutnya Lukas mencatat, dia, malaikat Tuhan itu juga bertemu dengan Maria, seorang perempuan. Kerendahan secara gender. Perempuan itu begitu direndahkan.

Di dalam kondisi sosial masyarakat Israel itu, para rabi itu nggak mau terima murid perempuan. Perempuan tidak diberikan kesempatan atau tidak dipandang layak untuk bersaksi di dalam pengadilan. Mengapa? Karena dipandang emosional, perkataannya nggak bisa dipercaya. Lalu kemudian, karena itu perempuan juga nggak bisa membela dirinya. Kita lihat kasus waktu ada perempuan yang berzinah, yang dibawa perempuannya dan dia nggak bisa membela diri. Dia cuma bisa diam, lalu mau dilempari batu, tapi Tuhan memberikan anugerah. Perempuan begitu lemah. Perempuan karirnya nggak bisa membangun karier sendiri. Bergantung pada laki-lakinya, pada suaminya, pada keluarganya. Perempuan begitu rendah dan bahkan, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada doa orang Farisi yang menurut catatan, entah ini benar atau salah ya. Mereka berdoa, “Aku bersyukur, aku itu bukan Yunani, tapi orang Yahudi. Aku bersyukur, aku bukan budak, tapi orang merdeka. Aku bersyukur, bukan perempuan, tapi seorang laki-laki.” Perempuan begitu rendah. Begitu banyak ya, kita bisa melihat di sini kerendahan Maria. Nggak ada something valuable dari Maria. Tapi dia punya Allah yang besar. Dia punya Allah yang besar. Dia kagum pada Allahnya. Begitu kagum, begitu limpah karena Allahnya itu bisa memakai orang-orang yang sederhana, yang hina, yang bukan siapa-siapa. Kita nggak melihat ekspresi kekaguman Maria ini di dalam ayat yang kita baca tadi. Tetapi ekspresi itu kemudian jelas di dalam nyanyian pujiannya. Magnificat.

Mari, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita lihat Lukas 1:46-56. Bapak, Ibu, Saudara bisa sambil baca pelan-pelan dalam hati Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Lihat betapa besarnya Maria kagum pada Allah. Dia mempunyai kekaguman kepada Allah. Kekaguman yang sejati, yang tepat, menaruhkan segala harapannya pada Allah, bukan pada manusia, bukan pada dirinya. Dikatakan di alam ayat 46, ayat 47, ayat 48, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia.” Bahagianya Maria, karena Allah yang besar. Bahagianya Maria bukan karena sesuatu yang bernilai yang ada pada dirinya, tetapi apa yang ada pada Allah, siapa Allah dan betapa besar karya-Nya dalam hidupnya. Siapa Allah yang mengagumkan ini? Darrel Bock mengatakan Allah yang Mahakuasa yang dapat melakukan pembalikkan eskatologis, pembalikkan struktur, transformasi struktur secara konkrit di dalam kehidupan sosial. Hanya Allah yang dapat membalik keadaan yang ada di dalam dunia ini.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian kita hidup, saya kalau sebelumnya di Banjarmasin, di Jakarta, itu nggak terlalu melihat ada struktur kekuasaan yang begitu kuat begitu ya. Hierarki kekuasaan itu begitu kental di Jogja. Kesultanan itu susah untuk diruntuhkan Saudara sekalian. Nggak mungkin secara manusiawi. Pemerintah Indonesia saja menyatakan Daerah Istimewa Yogyakarta, karena pemilihan kepemimpinannya bukan berdasarkan demokrasi tapi dari kesultanan. Pemerintah Indonesia saja, yang pemimpin pemerintah tertingginya itu nggak bisa merombak ini. Susah untuk merombak struktur kekuasaan yang ada di dunia ini kecuali hanya ke-Mahakuasa-an Tuhan. Tuhan yang berkuasalah yang dapat memakai yang rendah, yang lapar, cacing Yakub, yang hina, yang rendah, yang Maria nggak ada sesuatu yang bernilai untuk kemuliaan-Nya. Dia yang dapat membalik, mentransformasi keadaan dunia yang berdosa ini yang menjalankan relasi kekuasaan yang begitu rusak. Maria kagum karena Allah yang Maha kuasa begitu besar, bisa membalikkan keadaan melampaui pemahaman manusia, melampaui apa yang bisa dilakukan manusia.

Lalu yang kedua, Allah yang seperti apa yang mengagumkan? Yaitu di ayat 54 sampai 55, “Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya, seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya.” Ia mengingat. Kadang-kadang kita berpikir, “Oh Allah menolong kita, Allah menyelamatkan kita mungkin karena kita ada sesuatu yang bernilai, yang berharga.” Kalau nggak sampai itu mencoba mencari-cari, “Oh Allah menunjuk Maria karena ada sesuatu yang bernilai dari Maria. Oh mungkin dia saleh dan seterusnya.” Tapi Alkitab nggak menekankan itu, Lukas tidak menekankan itu, tidak seperti Zakharia, Elizabet yang dicatat Lukas dengan jelas orang yang taat akan Taurat (Luk. 1:6). Karena Tuhan tidak melihat manusianya, tapi Dia mengingat janji-Nya. Dia melihat siapa diri-Nya. Maria menjadi mendapat karunia Allah karena kedaulatan Allah, karena belas kasihan Tuhan.

Bukankah Bapak, Ibu, Saudara sekalian, walaupun ini sering kali lupa, kita lupa itu juga yang Tuhan kerjakan kepada kita. Mengapa sih Tuhan tebus kita? Mengapa sih Tuhan menyelamatkan kita? Bukan karena kita besar, bukan karena kita lebih pintar dari orang-orang lain, bukan karena kita lebih ganteng, lebih gagah, lebih cakep, lebih kaya, lebih saleh daripada orang lain. Karena Dia mengingat Rahmat-Nya, hanya karena anugerah-Nya. Dia berdaulat, Dia menyatakan kedaulatan-Nya, mengasihi orang yang dikasihi-Nya. Bapak, Ibu, Saudara sekalian mari kita lihat Yesaya 48:9-11, mari kita membaca ini Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Yesaya 48:9-11 “Oleh karena nama-Ku Aku menahan amarah-Ku dan oleh karena kemasyhuran-Ku Aku mengasihani engkau, sehingga Aku tidak melenyapkan engkau. Sesungguhnya, Aku telah memurnikan engkau, namun bukan seperti perak, tetapi Aku telah menguji engkau dalam dapur kesengsaraan. Aku akan melakukannya oleh karena Aku, ya oleh karena Aku sendiri, sebab masakan nama-Ku akan dinajiskan? Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain!” Mengapa Tuhan menyelamatkan manusia yang berdosa? Oleh karena nama-Nya, karena kedaulatan-Nya, karena Dia nggak mau menyerahkan kemuliaan-Nya kepada yang lain. Bukan karena something valuable dalam diri kita tapi karena Dia mengingat siapa diri-Nya.

Kita buka Mazmur 103:8-14, satu Mazmur yang begitu indah yang saya berharap Bapak, Ibu, Saudara sekalian kita bisa terus dikuatkan, diteguhkan. Mazmur 103:8-14, “Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam. Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita, tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia; sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita. Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu.” Dia ingat siapa diri-Nya dan Dia ingat siapa kita. Kita debu.

Maria bukan orang siapa-siapa secara tempat kelahiran, secara tempat tinggal bukan yang besar, keluarganya juga “nggak jelas” walaupun ada yang menyelidikinya. Tetapi apa yang penting? Dia kagum pada Allah yang besar. Kekagumannya pada Allah yang sejati. Kekagumannya pada Allah yang dapat membalikkan segala keadaan yang melampaui akal manusia.

Maka itu Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Bapak, Ibu, Saudara sekalian bisa lihat Yohanes 7:41, kata-kata apa di situ? Memang ada yang baik keluar, berasal dari Galilea? Memang ada yang baik yang datang dari Nazaret? Itu lho perkataan orang-orang lain kepada Tuhan Yesus. Lalu di atas kayu salib, “Yesus orang Nazaret”, begitu rendah. Kalau dicatatnya sebaliknya ya Bapak, Ibu, Saudara sekalian, “Yesus orang Betlehem” itu masih ada kebanggaannya, masih dipercaya. Tapi Tuhan menutup itu. Tuhan memaparkan, menyatakan kemuliaan-Nya melalui sesuatu yang dipandang manusia hina, yang nggak bernilai. Maria kagum kepada Allah yang besar ini, yang mengingat bukan dirinya, bukan manusia, bukan keluarganya siapa, bukan kepandaiannya. Mengingat diri-Nya sendiri, karena Allah mengingat siapa Dia, siapa Allah itu, janji-Nya, kasih setia-Nya. Dan Allah mengingat siapa manusia itu, manusia ini debu, cacing Yakub, rumput yang sebentar lagi layu, uap yang sebentar lagi hilang. Apa sih yang bernilai pada manusia sehingga Engkau mau menebus kami Tuhan? Why have you chosen me?

Lalu apa yang sering menjadi masalah kita? Masalah kita bukan Allah itu, bukan Allah-nya, tapi masalahnya kita kurang kagum kepada Allah kita. Masalah kekaguman pasti adalah masalah dosa. Tapi secara konkrit, dosa kita mungkin tidak membunuh secara tindakan. Kita tidak mencuri secara tindakan. Bahkan kita rajin ke gereja, pelayanan, memberi kesaksian yang baik juga mungkin di tengah-tengah tempat kerja kita, keluarga kita. Tapi kenapa seringkali kita masih ada iri hati, marah, trauma? Kita konflik satu sama lain, kita up and down dalam kerohanian kita. Kita sering ragu kepada Tuhan kita. Apa masalahnya? Bukan Tuhan-nya kurang besar! Kekaguman kita yang kurang besar kepada Allah. Masalah kita adalah masalah kekaguman. Kekaguman yang menyimpang, kekaguman kepada hal yang lain selain Allah. Kekaguman ini mungkin nggak bisa kita katakan. Kita nggak bilang waktu ditanya orang, “Oh kamu nggak kagum!” “Nggak, saya kagum kok.” Kekaguman yang menyimpang ini bukan diungkapkan dengan kata-kata. Tapi dinyatakan dalam hidup kita. Dinyatakan ketika hal-hal sulit menimpa kita. Dinyatakan kepada hal-hal yang mungkin tidak sesuai ekspektasi kita terjadi dalam hidup kita.

Kita mempunyai kekaguman menyimpang. Seiring berjalannya waktu, natal itu digantikan dengan hal-hal yang lain selain pada Kristus. Natal ada banyak diskon, ada perayaan natal yang meriah, liburan yang luar biasa, usaha yang untung waktu natal. Pertemuan keluarga yang menyenangkan. Pasangan. Maka ada lagu “All I want for Christmas is you” bukan is Christ. Bahkan mungkin kebaktian natal yang luar biasa. Atau candlelight, kita paling senang. Atau mungkin nyanyian natal, khotbah-khotbah pengkhotbah yang bagus. Karena natal begitu indah. Keindahan natal menggantikan kemuliaan Kristus. Keindahan perayaan natal, kita begitu kagum hal-hal yang lain. Ini kekaguman apa? Paul David Tripp menyatakan ini kekaguman horizontal. Penyimpangan kekaguman terjadi karena kita kagum pada hal-hal yang horizontal bukan kepada hal-hal yang vertical. Kita kagum kepada hal-hal duniawi. Bahkan sekalipun hal-hal duniawi itu baik, berkat Tuhan, anugerah umum Tuhan. Tapi kita nggak kagum lagi kepada inti Injil yang sejati, kepada Allah, hal-hal surgawi. Maka nggak heran ketika sesuatu yang terjadi pada kita nggak sesuai yang kita harapkan, kita kecewa dan sedih.

Natal momen untuk kita kembali dapat kagum kepada Allah. Mari kita merenungkan. Nggak ada! Karena masalahnya dari diri kita. Masalah diri kita nggak mungkin kita selesaikan dengan diri kita sendiri. Kita sendiri masalah. Kita sendiri penyakitnya ada pada diri kita. Nggak mungkin kita mengobati diri kita sendiri. Nggak ada solusi yang lain yang bisa membalikkan kekaguman kita kepada Allah selain daripada Kristus yang datang untuk menebus kita. Kita hanya bisa datang kepada Injil, lihat lagi Kristus, kagum lagi kepada Dia, arahkan hati kita kepada kekaguman kepada Kristus.

Kalau kita melihat ya, tadi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada perbandingan kelahiran Yohanes pembaptis, kelahiran Kristus, keluarga Yohanes pembaptis, keluarga di mana Yesus itu menaungi, berinkarnasi di dalamnya. Kita melihat Zakharia, Elizabet dicatat di dalam Lukas 1:6 itu seorang yang taat, yang baik, seorang yang sungguh-sungguh bernilai, yang mempunyai sesuatu untuk dia itu memang dipandang, bahkan dipandang Allah. Tapi Maria tidak. Terus mengapa Maria diperkenan Allah, dikarunia Allah? Karena kedaulatan Allah. Maka Maria mengembalikan kekagumannya kepada Allah. Dia kagum kepada Allah bahkan sebelum mujizat itu terjadi. Dia nggak tau bagaimana dia bisa mengandung, melahirkan anak yang luar biasa yang sebenarnya adalah inkarnasi Kristus. Dia nggak lihat itu, tapi dia percaya, dia kagum. Dan kekagumannya yang begitu besar memunculkan komitmen, yang dikatakan di ayat 36, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Jika kita memiliki kekaguman yang besar, maka kita pasti dengan rela dan datang dengan penuh syukur kepada Allah. Aku ini hamba Tuhan, jadilah padamu menurut kehendakmu.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada seorang tokoh yang mungkin kita sering juga tahu tokoh ini, yaitu John Newton. John Newton menulis lagu sangat terkenal, yaitu “Amazing Grace”,  “Sangat Besar Anugerah-Mu”. Dia dulunya adalah seorang penjual budak. Budak kalau zaman modern, itu begitu rendah, nggak setara, nggak dianggap manusia. Itu seperti binatang, manusia dengan taraf lebih rendah, ya binatang, dianggapnya seperti itu. Tapi puji Tuhan, atas anugerah Tuhan, dia bertobat pada umur 23. Lalu kemudian dia melayani Tuhan pada umur 30 dia menjadi hamba Tuhan. Dia menulis banyak lagu, salah satunya “Amazing Grace”, “Sangat Besar Anugerah-Mu”. Lalu kemudian dia membimbing orang-orang juga yang takut akan Tuhan, salah satunya William Wilberforce, salah seorang penjual budak yang bertobat. Dia dipakai Tuhan begitu luar biasa, pelayanannya begitu jadi berkat.

Menjelang akhir hidupnya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, dengan tubuh begitu lemah, mungkin umurnya sudah 70 lebih, hampir bahkan sampai 80. Dia meninggal umur 82. Menjelang dia meninggal, seorang teman bernama William Jay itu bertemu dengan dia, datang kepada dia. Lalu bercakap-cakap dengan dia. Dengan tubuh yang lemah, yang mungkin ngomong nggak bisa lancar lagi, nggak bisa bagus lagi, dengan mata yang begitu penglihatan begitu kabur, William Jay ini bersama dengan John Newton lalu ngobrol-ngobrol. Lalu John Newton ini berkata kepada William Jay, “Jay, ingatanku hampir hilang. Tapi aku ingat 2 hal. Yang pertama aku adalah pendosa yang besar. Yang kedua Kristus adalah Juruselamat yang besar.”

Di dalam batu nisannya John Newton, dituliskan ini, “John Newton pernah menjadi orang yang kafir, penjual budak di Afrika. Tapi oleh belas kasihan Tuhan, dan Juruselamat kita, Yesus Kristus, dia dipelihara, dipulihkan, diampuni, ditunjuk, dipercaya untuk mengkhotbahkan iman yang dulunya dia hancurkan, dia tinggalkan.” Masihkan kita kagum kepada Allah? Masihkah kita heran kenapa Tuhan Engkau memilih aku? Kenapa ya Tuhan saya masih bisa percaya kepada Kristus sampai saat ini? Kenapa ya Tuhan saya masih bisa beribadah saat ini? Kenapa saya masih mempunyai komunitas Kristen? Kenapa saya masih punya Alkitab? Masihkah kita kagum pada Allah, mengapa Engkau mau datang ke dalam dunia ini menebus kami? Momen natal biarlah menjadi momen kita menginjili diri kita kembali. Mengingatkan kita akan kekaguman kita pada Kristus yang sejati. Jika kekaguman kepada Allah itu melimpah dalam hidup kita, kita akan hidup dengan penuh syukur, dengan kerelaan dan komitmen yang sungguh-sungguh kepada Tuhan. Jika kekaguman Allah itu melimpah dalam hidup kita, kita akan bisa berkata sebagaimana Maria berkata, “Tuhan jadilah kehendak-Mu di dalam diriku. Jadilah seperti yang Engkau kehendaki. Karena aku punya Allah yang besar, Allah yang mengagumkan, Allah yang Mahakuasa yang mengingat aku yang rendah, aku yang lemah.” Mari kita berdoa.

Bapa kami di surga, kami bersyukur Tuhan, Engkau melayakkan kami yang hina, kami yang rendah, kami yang bukan siapa-siapa, kami nggak lebih baik dari orang lain. Ajar kami untuk terus kagum kepada Allah kami, kepada Kristus yang mau datang kepada kami yang berdosa, menebus kami yang hina, bahkan memakai kami untuk pekerjaan-Mu, untuk bersaksi di mana pun kami berada. Ajar kami Tuhan untuk mempunyai kekaguman yang sejati kepada Allah yang sejati, bukan kepada hal-hal yang lain, hal-hal duniawi. Hal-hal sementara hanya memuaskan kami sementara, hal-hal yang kekal memuaskan kami secara kekal. Tegur kami, bentuk kami Tuhan, dan ajar kami untuk berkelimpahan dalam kekaguman kami kepada Engkau. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin. (HSI)

 

Comments