Iman Abraham, 14 Agustus 2022

Yak. 2:21-24

Vik. Nathanael Marvin

Tema khotbah kita pada hari ini adalah “Iman Abraham”. Kita akan merenungkan apa sih yang kita bisa pelajari dari seorang tokoh bernama Abraham dan bagaimana dia disebut sebagai bapa orang beriman, ya bapa iman. Dan kita juga akan merenungkan kembali secara sederhana bagaimana iman itu bekerja dalam hidup seseorang, apa sih sebenarnya iman itu dan bagaimana kaitannya iman dengan perbuatan. Ini adalah hal yang sangat sederhana, hal yang sangat jelas yang dijelaskan oleh Yakobus di dalam suratnya, yaitu bicara soal iman. Kitab Yakobus mengingatkan kita sebagai orang Kristen agar kita memiliki hidup yang beriman, hidup yang percaya kepada Tuhan, hidup yang sungguh-sungguh bergantung kepada Pribadi Allah, dan kita mengenal siapa yang kita percaya, Pribadi Allah tersebut. Orang Kristen yang beriman pada Tuhan mereka adalah orang-orang yang diberkati Tuhan. Mereka lah yang diharapkan Tuhan dan berkenan di mata Tuhan. Orang beriman diharapkan oleh Tuhan supaya kita bisa melakukan kehendak Tuhan. Dan Tuhan itu senang ketika kita punya iman yang teguh di dalam Dia.

Kita senang kalau orang mempercayai kita, memberikan kita tugas-tugas, kepercayaan, memberikan kita tanggung jawab, itu kita bisa senang lho. Padahal kita belum tentu menjalankan tugas dan tanggung jawab itu bisa dengan baik. Tapi ketika ada orang yang mempercayakan, “Kamu ditugaskan satu hal ini”, berarti kita dipercaya oleh orang tersebut dan itu memberikan kita sukacita. Itulah kenapa Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di dalam pelayanan kepada Tuhan kita itu ada rasa sukacita. Tidak ada pelayanan kepada Tuhan, khususnya kepada Tuhan, itu tidak ada sukacita nya itu tidak ada, selalu ada sukacita nya. Tetapi ada tambahan Bapak, Ibu, Saudara sekalian, waktu pelayanan kepada Tuhan itu adalah tambahannya adalah capek, lelah, letih lesu dan berbeban berat. Nah itu kadang-kadang kita itu melayani Tuhan itu capek, karena apa? Fisiknya capek, pikirannya capek. Ada kesulitan, ada tantangan, tetapi ingat, bahwa ketika kita melayani kepada Tuhan, melakukan tugas dan tanggung jawab, itu Tuhan percaya kepada kita. Dan harusnya kita ada sukacita.

Inilah kehidupan orang beriman, kita itu diharapkan Tuhan untuk melakukan terus kesetiaan kepada Tuhan terhadap Firman-Nya. Mereka yang beriman juga Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mereka yang memutuskan untuk hidup di jalan Allah, di jalan yang benar, dan orang yang memiliki iman yang sejati itu adalah orang yang menaruh rasa percayanya, imannya itu kepada Yesus Kristus Juruselamat dunia. Kalau kita lihat Yeremia 17:7, di situ dikatakan bahwa, “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!” Ada 2 ciri orang yang diberkati oleh Tuhan yaitu apa? Mengandalkan Tuhan dan menaruh harapannya kepada Tuhan. Itu berarti apa? Itu berarti orang tersebut beriman kepada Tuhan. Orang yang beriman kepada Tuhan itu mengandalkan Tuhan di dalam setiap kondisi, “Bagaimana saya bisa menjalani kuliah saya?” Andalkan Tuhan, minta pertolongan Tuhan. Dan ketika kita bisa berhasil melalui perkuliahan, pekerjaan, pelayanan, kita kembalikan kemuliaan itu kepada Tuhan. Karena apa? Karena kita mengandalkan Tuhan. Dan orang yang mengandalkan Tuhan adalah disebut sebagai orang yang beriman. Yang kedua, kita lihat orang yang menaruh harapannya kepada Tuhan. Segala keinginan kita, kita serahkan kepada Tuhan, ini seperti doa Bapa Kami yang kita barusan naikkan, “Jadilah kehendak Tuhan di hidupku. Jadilah kehendak Tuhan di bumi ini seperti di Surga.” Itu berarti menaruh pengharapan semua diserahkan kepada Tuhan. Bukan berarti kita tidak boleh mengungkapkan kehendak kita, kita ungkapkan seluruh kehendak kita nggak apa-apa, tapi balik lagi, kita taruh semuanya itu kepada Tuhan. Inilah ciri-ciri orang yang beriman, mengandalkan Tuhan dan juga menaruh harapannya kepada Tuhan.

Lalu Yeremia menggambarkan orang yang beriman seperti apa, yaitu adalah orang yang seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang akarnya itu merambat ke tepi batang air, dan juga tidak mengalami datangnya panas terik, daunnya tetap hijau dan tidak kuatir dalam tahun kering, yang tidak berhenti menghasilkan buah. Itulah gambaran dari orang yang beriman. Orang yang beriman ini digambarkan seperti pohon yang bertumbuh, yang segar, daunnya nggak pernah kering, akarnya merambat terus mencari air, terus ke sumber air merambat, dan juga berbuah lebat. Bukan hanya itu di dalam Mazmur 1:1 dikatakan, “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.” Ada 5 ciri yang diberikan pemazmur tentang orang beriman, yaitu 5 hal itu. orang beriman tidak ikut nasihat orang fasik, orang beriman tidak berdiri di jalan orang berdosa, orang beriman tidak duduk di dalam kumpulan pencemooh, orang yang beriman itu kesukaannya Taurat Tuhan, orang yang beriman adalah orang yang merenungkan Firman Tuhan itu siang dan malam. Kemudian, pemazmur juga menggambarkan orang yang beriman ini seperti juga di dalam Kitab Yeremia, yaitu apa? Ia seperti pohon yang di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, daunnya tidak layu, apa saja yang diperbuatnya itu berhasil.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, gambaran orang beriman di dalam Alkitab itu adalah gambaran yang sangat-sangat menarik, sangat-sangat diinginkan, sangat-sangat menjadi harapan atau mimpi setiap orang, yaitu hidupnya bermanfaat, hidupnya menghasilkan buah, ketika ada panas, terik, pencobaan, penderitaan, dia bisa tetap kuat melewatinya, dia ada keberanian untuk menghadapi setiap kesulitan, dan bukan saja itu, ada penyertaan Tuhan, “Diberkatilah, diberkatilah orang yang beriman kepada Tuhan.” Ini adalah gambaran orang yang beriman, hidupnya itu menarik, hidupnya itu bukan hidup yang hancur, berdosa, bahkan menghancurkan hidup orang lain, bahkan membuat orang lain pun berdosa seperti dia, bukan! Kehidupan orang beriman itu membawa orang kepada pertumbuhan iman, membawa orang kepada Yesus Kristus. Ada sukacita dan kegairahan dari Tuhan sendiri ketika kita belajar sebagai orang yang beriman. Ini ada sukacita yang besar. Memang dalam kehidupan itu pasti ada kesulitan, tetapi orang beriman itu mengingat bahwa ada juga pertolongan Tuhan. Di dalam kehidupan yang berdosa ini pasti ada penderitaan, kesedihan, kematian, juga kelelahan, tetapi orang yang beriman itu fokus kepada Kristus, fokus kepada kelegaannya. Ketika Firman Tuhan mengatakan, “Marilah kepada-Ku yang letih lesu dan beban berat.” Yesus akan memberikan kelegaan, poinnya adalah di dalam kelegaannya. Karena semua orang pasti letih lesu dan berbeban berat kok. Tapi ada orang yang menemukan kelegaan di dalam Kristus, ada yang tidak menemukannya. Justru menemukan kelegaan yang semu, kelegaan yang sementara yaitu di dalam dosa lagi, dosa lagi. Padahal mereka sudah letih lesu itu karena dosa, mereka coba cari kelegaan di dalam dosa, itu adalah kehidupan orang yang berdosa, yang tersesat. Tetapi kehidupan orang yang beriman jelas ya, dia tau ke mana mencari jawaban, dia tau ke mana dia datang ketika letih lesu dan berbeban berat. Inilah yang seharusnya menjadi cita-cita setiap orang Kristen, yaitu hidup kita itu punya iman, hidup kita itu beriman, penuh iman kepada Tuhan dan juga bertumbuh di dalam Yesus Kristus.

Itulah kenapa Tuhan di dalam sejarah Alkitab, sejarah ke-Kristen-an, Tuhan mengijinkan ada seorang yang bernama Abraham yang disebut sebagai Bapa Iman, bapa orang-orang beriman. Dia punya iman yang teguh di dalam Tuhan, meskipun kehidupannya pun sulit, banyak pencobaan. Nah dari ayat-ayat yang barusan kita baca, di dalam Yakobus 2:21-24, di sini kita setidaknya dapat menerima beberapa poin kebenaran tentang iman. Ada 4 poin kebenaran tentang iman, yang pertama iman itu mengandung aspek intelektual. Apa itu intelektual? Secara sederhana intelektual berarti kita bisa berpikiran jernih, berdasarkan ilmu pengetahuan. Itu adalah orang yang intelektual. Memang menjadi ada satu dasar yaitu ilmu pengetahuan ya, kebenaran dari ilmu pengetahuan. Intelektual berarti bersifat pikiran, logika. Dan kita hidup di kota yang intelektual. Kota Jogjakarta adalah kota yang intelektual, kenapa? Karena ada mahasiswa kurang lebih 300,000 mahasiswa di kota Jogjakarta. Semuanya pikirannya apa? Kuliah, jurusan, tugas, skripsi, penelitian, KKN, dan lainlain. Semua mikir. Orangnya semuanya mikir, dan mikirin apa? Ilmu pengetahuan. Itulah orang intelektual. Orang yang berpikir, orang yang punya banyak pengetahuan, dan bukan saja itu, orang itu dituntut untuk bijaksana dalam menggunakan ilmu pengetahuan. Itulah intelektual.

Baru-baru ini, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ke-Kristen-an di Indonesia khususnya, di Indonesia kita mengalami kesedihan karena ada seorang pendeta yang fokus kepada kaum intelektual barusan meninggal karena serangan jantung, yaitu Pendeta Mangapul Sagala. Beliau adalah hamba Tuhan yang melayani kaum-kaum intelektual, pengaruhnya itu sangat besar dan dia mendirikan PERKANTAS, yaitu apa? Persekutuan Kristen Antar Universitas. Ya, Persekutuan Kristen Antar Universitas, dia bisa mendorong kampus-kampus, orang-orang Kristen yang di kampus untuk punya persekutuan, bukan saja di gereja. Nah ini salah satu karya atau gerakan yang dia munculkan di Indonesia. Persekutuan Kristen Antar Universitas, sehingga para kaum intelektual itu mikir juga soal ke-Kristen-an. Pengurusnya siapa? Mahasiswa. Jemaatnya siapa? Mahasiswa. Semuanya yang “tukang mikir”. Tukang mikir semua ni, suruh belajar ke-Kristen-an, mikir keKristen-an.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, di dalam tahun-tahun ini memang banyak orang-orang penting di dalam sejarah gereja di Indonesia yang meninggal. Ini juga digambarkan oleh Pendeta Stephen Tong ya, dia sebutkan bahwa ada Pendeta Yakub Nahuway, Pak Caleb Tong, Pak Yesaya Pariadji. Itu meninggal dalam waktu-waktu ini, sekitar 1-2 tahun. Pemimpin besar di ke-Kristen-an di Indonesia itu banyak yang meninggal. Mereka yang bisa menarik orang datang ke gereja, ini sebatas penglihatan kita ya, fenomena manusia. Mereka bisa tarik lho, orang itu meskipun mereka itu teologinya salah, doktrinnya salah, melenceng, atau tidak tepat seperti teologi Reformed. Teologi Reformed ini kita percaya paling mendekati kebenaran tapi karisma mereka bisa menarik puluhan ribu orang, mempengaruhi banyak orang, dan itu satu-satu sudah tiada. Nanti ke-Kristen-an di Indonesia akan berganti lagi.

Kita khawatir juga ya sebagai orang Reformed, secara manusia, nanti Pendeta Stephen Tong meninggal bagaimana GRII? Tetapi untuk mengatasi kekhawatiran kita sebagai orang Kristen yang memperhatikan sejarah ke-Kristen-an, kunci supaya kita bisa terus maju melewati dunia yang penuh dengan dosa ini bagaimana? Kita punya iman, kita punya iman kepada Yesus Kristus. Kalau kita punya iman kepada Yesus Kristus itu pengaruhnya besar seharusnya. Dan Tuhan tidak akan meninggalkan gereja-Nya, ada janji dari atas, ada iman dari bawah. Janji dari Tuhan, iman dari manusia. Iman yang dari Tuhan juga tentunya. Jadi kita nggak perlu khawatir kalau kita memikirkan gereja Tuhan bagaimana, masa depan ke-Kristen-an di Indonesia bagaimana, nggak perlu takut. Karena apa? Kita punya iman di dalam Yesus Kristus. Kita punya Tuhan, Tuhan pasti menyertai dan bisa saja membangkitkan pemimpin-pemimpin Kristen yang besar, yang mempengaruhi banyak orang di jamannya.

Inilah aspek iman yang sangat penting di dalam kehidupan orang Kristen, ataupun kehidupan orang pada umumnya, yaitu apa? Iman itu mengandung intelektual, iman itu ada pengetahuannya. Itulah kenapa di dalam aspek iman, kita percaya ada noticia. Ini bahasa Latin ya, noticia, artinya apa? Untuk bisa beriman itu harus ada pengetahuannya, untuk bisa percaya kepada Yesus harus ada yang kasih tau siapa Yesus. Sudah ada pengetahuan di dalam otak kita, di dalam hati kita sudah ada nama Yesus Kristus itu siapa, Tuhan dan Juruselamat, belum tentu kita percaya. Itu hanya sebatas knowing, tau, hanya tau saja, intelek saja. Orang yang belajar agama-agama itu tau semua agama percayanya apa kok. Tetapi belum tentu sungguh-sungguh beriman. Ini aspek iman itu adalah pengetahuan, perlu ya kita tau sesuatu. Kita bisa katakan bahwa orang yang beriman berarti orang yang berpengetahuan. Sering kali kita tabrakkan atau kontradiksikan antara iman dan pengetahuan. Padahal tidak! Iman itu memiliki aspek pengetahuan, orang yang beriman dia harus punya pengetahuan terlebih dahulu. Pengetahuan dan iman bukan hal yang bertentangan tapi justru saling melengkapi. Maka Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau banyak scientist menjadi ateis, itu bukan hal yang konsekuensi ya, bukan hal yang sebab akitab. Scientist harusnya justru paling mudah beriman. Beriman kepada siapa? Sang Pencipta pengetahuan. Kalau ada banyak scientist akhirnya ateis, atau memberhalakan pengetahuan itu memang kecelakaan dan keberdosaan mereka sendiri. Tapi pada umumnya semua scientist harusnya ketika belajar pengetahuan mereka bisa melihat siapa yang menciptakan pengetahuan, lebih dari itu. Karena apa? Iman ini mengandung pengetahuan kok. Kita bisa beriman karena apa? Kita tau sesuatu. Tapi sayangnya orang-orang yang ateis akhirnya apa? Memberhalakan pengetahuan saja, memberhalakan pikiran mereka. Padahal harusnya mereka menyembah kepada Tuhan.

Justru orang yang belajar ilmu pengetahuan harusnya jauh lebih besar mudah untuk beriman kepada Tuhan dibandingkan orang yang malas belajar pengetahuan. Pengetahuan kalau nggak dipelajari ya bagaimana mau dia beriman ya. Poin pentingnya adalah kita itu pengetahuan yang mana dulu? Kalau kita belajar pengetahuan, kita mau cari tau yang mana dulu, ya ini yang membedakan fokus dari hidup orang yang akhirnya ateis dan kehidupan orang yang teis, yang ber-Tuhan adalah orang-orang yang mencari hal-hal spiritual, hal-hal rohani, kebenaran iman, dia fokuskan kepada pengetahuan akan Allah dan pengetahuan akan manusia. Tetapi orang-orang yang ateis yang kemudian memberhalakan pengetahuan, mereka hanya fokus kepada apa? Bukan pengetahuan tentang Allah, dan juga bukan pengetahuan tentang manusia, mereka fokus kepada pengetahuan yang lain. Orang yang teis fokus kepada pengetahuan tentang Allah dan manusia. Orang yang ateis, dia nggak fokus kepada pengetahuan tentang Allah maupun manusia, nggak fokus. Nah ini ya yang membedakan orang akhirnya.

Setelah kita punya pengetahuan yang baik dan benar, pengetahuan itu digunakan untuk apa? Ini adalah pertanyaan yang sangat penting sekali. Di sini banyak orang berintelektual. Mahasiswa, siswa yang belajar di sekolah, yang bagus-bagus, setelah punya pengetahuan tersebut, then what? So what? Untuk apa selanjutnya? Ini adalah penting sekali! Kita mengarahkan pengetahuan, kita beri tujuan kepada pengetahuan tersebut. Saya punya pengetahuan untuk apa? Nah waktu Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya mengambil keputusan untuk menjadi hamba Tuhan, saya kan dari S1 manajemen, ekonomi. Ada rasa, saya rasa, di dalam kehidupan saya waktu saya lanjut lagi ke sekolah teologi Alkitab, rasanya membuang kemampuan, pengetahuan yang sudah saya pelajari selama 4 tahun, yang menghabiskan puluhan juta di kampus. Kayanya langsung buang, belajar hal baru lagi, teologi. Belajar Alkitab lagi, 4 tahun lagi belajar lagi. Seolah-olah hidup saya itu belajar terus ya, dari umur kecil sampai umur 26 berarti ya. 26 tahun itu belajar terus di sekolah sampai S2 beres.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya berpikir juga, “Wah, kaya buang ya.” Orang pun pikir, “Kok kaya buang pengetahuan itu, buang sarjana ekonomi mu, buang pengetahuan tentang manajemen, akuntansi, dan lain-lain itu dibuang!” Tetapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian, tidak! Tidak seperti itu, itu bisa saya gunakan untuk me-manage gereja, misalkan seperti itu. Kita gunakan aja, kita nggak rasa sayang, nggak rasa sia-sia. Untuk Tuhan kok. Untuk Tuhan itu nggak ada yang sia-sia. Lagipula 4 tahun di masa-masa saya kuliah manajemen itu ada pembentukan Tuhan. Saya ketemu orang-orang yang di sana, di kampus tersebut. Saya belajar tentang Tuhan di dalam keterbatasan saya sebagai mahasiswa ekonomi dan lain-lain, nggak ada yang perlu disesali mengenai masa lalu kalau kita pikir bahwa di dalam rangka pembentukan supaya kita bisa mengenal Tuhan, supaya kita bisa menggunakan pengetahuan itu untuk memuliakan nama Tuhan. Justru Bapak, Ibu, Saudara sekalian, orang yang sudah S3, kalau ada S4 ya, itu kalau menggunakan pengetahuannya untuk menjadi orang yang licik, yang korupsi, yang melukai orang, merugikan banyak orang, nah itu justru harus dipandang sia-sia. Tapi kalau semuanya demi Tuhan, demi Tuhan saya lakukan segala sesuatu, harusnya bukanlah hal yang sia-sia.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ada tulisan yang mengatakan bahwa seperti ini, ini tulisan yang bagus sekali ya, “Ada banyak orang yang mencari pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, itu adalah keingintahuan. Ada orang yang lainnya yang mencari pengetahuan dengan tujuan agar mereka bisa dikenal, itu namanya keangkuhan. Ada orang lainnya lagi mencari pengetahuan dengan tujuan menjualnya, dapat untung, dapat uang, dapat kenyamanan diri, itu tidak terhormat. Tetapi ada lagi yang mencari pengetahuan agar apa? Agar bisa meneguhkan orang lain, itulah kasih.” Pengetahuan yang kita miliki meneguhkan orang lain, menguatkan orang lain, membangun orang lain untuk mengenal Tuhan, itu adalah kasih. Orang Kristen harusnya orang yang berpengetahuan limpah, karena apa? Kita belajar pengetahuan akan Allah dan pengetahuan akan manusia. Pengetahuan akan Allah dan pengetahuan akan manusia ini membawa kita juga tertarik kepada pengetahuan yang lainnya, pengetahuan umum. Khususnya di dalam Firman Tuhan dan Tuhan Yesus Kristus kita belajar terus, kita rindu terus. Makanya kita banyak sekali kelas-kelas ya. Sebenarnya itu bukan sekedar mengisi pengetahuan ya, tetapi supaya kita punya pengetahuan terus kita gunakan untuk meneguhkan orang lain, mengasihi orang lain.

Orang Kristen yang belajar ilmu pengetahuan untuk apa, bukan untuk memuaskan rasa ingin tau. Kita kan punya rasa ingin tau ya. Kadang-kadang Bapak, Ibu, Saudara sekalian, waktu kita ngobrol sama orang pun, orang pengen tanya-tanya kita itu untuk apa ya? Kita jengkel juga kadang-kadang, tanya terus, tanya terus. Oh, kita baru tau, bukan mau memperhatikan kita, bukan mau mengasihi kita, tetapi memuaskan rasa ingin tahu nya. Kadang-kadang kita harus cuek aja, diem lah, karena dia hanya ingin egois kok, bukan ingin memperhatikan kita, dan lain-lain ya. Kita bertanya kepada orang dan mendapat pengetahuan dari orang tersebut, untuk apa? Paling mudah, waktu kita PI rumah sakit, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita kan tanya-tanya ya. Kadang-kadang saya sampai ditegur juga, “Kelamaan!” Sama suster di rumah sakitnya ya, kelamaan, kebanyakan ngobrol, to the point aja! Mau doa apa, doain. Beres. Nggak usah lama-lama. Tapi kan namanya kita mau kenal, memperhatikan, dapat informasi-informasi, dia berkeluarga, tinggal di mana, punya anak atau nggak. Tujuannya untuk apa sih? Nanti juga kita lupa ya, ini juga saya sudah lupa 2 minggu lalu kunjungi siapa ya. Tujuannya adalah untuk doakan, supaya dia teguh imannya, supaya dia bisa melihat anugerah Tuhan yang Tuhan berikan kepadanya. Itu ketika kita bertanya, ingin tahu sesuatu, kita harus kasih tujuan di dalam pertanyaan kita atau pengetahuan yang kita miliki itu. Bukan untuk memuaskan rasa ingin tahu, bukan untuk keangkuhan, bukan untuk perbuatan tidak terhormat, tetapi orang Kristen yang belajar pengetahuan untuk menyatakan kasih kepada Tuhan. Inilah ciri orang-orang Kristen yang berintelektual. Dia pakai pengetahuannya untuk mengasihi Tuhan maupun mengasihi sesama. Orang tersebut tidak anti pengetahuan tetapi suka belajar pengetahuan dan menggunakan pengetahuan untuk menyatakan kasih kepada Tuhan dan sesama. Ini adalah intelektual Kristen. John Calvin mengatakan bahwa iman orang Kristen yang berintelektual adalah orang yang memiliki iman yang bersandar pada pengetahuan akan Allah dan kehendak-Nya. Inilah yang menjadi hal yang utama yang ingin dicari orang Kristen yang berintelektual, yaitu cari Tuhan, cari kehendak-Nya, cari Tuhan, cari kehendak-Nya.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita tahu bapak orang beriman adalah Abraham. Di sini Yakobus mengambil contoh Abraham untuk menjelaskan tentang kebenaran-kebenaran tentang iman. Abraham adalah orang yang beriman kepada Tuhan, ini berarti Abraham seharusnya punya pengetahuan, dia itu berintelektual terhadap apa? Pengetahuan akan Tuhan, knowledge of God. Dia punya pengetahuan yang banyak tentang Tuhan, dan dia menggunakan pengetahuannya itu untuk mengasihi Tuhan kembali dan mengasihi sesama manusia. Di ayat 21 di situ dikatakan bahwa, “Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah?” Yakobus memberikan pertanyaan retorik yang tidak perlu jawaban dan sudah pasti Yakobus memberikan jawabannya, yaitu Abraham itu dibenarkan karena perbuatannya. Dibenarkan karena perbuatannya. Wah ini ajaran sesat atau ajaran dari mana? Ini kaya ajaran agama-agama lain. Orang lain itu, agama-agama lain itu percaya bahwa, “Saya bisa dibenarkan, saya bisa diselamatkan karena saya tekun berdoa. Saya dibenarkan karena perbuatan saya. Saya diselamatkan karena saya berbuat baik. Karena saya percaya pada Tuhan. Karena saya melakukan kebaikan, menolong orang, mengasihi sesama. Karena saya, karena saya, karena saya, saya bisa masuk ke Surga, saya bisa dibenarkan, saya bisa diselamatkan!” Itu agama lain. Loh orang Kristen juga sama ternyata. Ini Yakobus mengatakan bahwa Abraham ini dibenarkan karena perbuatannya. Maksudnya apa? Di sini Yakobus menjelaskan kepada pembacanya bahwa Abraham itu dibenarkan karena apa? Perbuatannya, fokus ke perbuatannya. Tapi ingat, di belakang perbuatannya, Abraham itu punya iman. Iman intelektual, iman pengetahuan akan Allah-nya begitu besar. Abraham bukan dibenarkan karena pengakuan iman saja, hanya sebatas pengetahuan atau kata-kata saja.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau sebatas kata-kata saja, saya bisa katakan, “Saya ini ateis.” Bapak, Ibu, Saudara sekalian percaya saya ateis? Nggak kan ya. Atau percaya? “Saya ateis, saya orang jahat, saya tidak beribadah ke gereja.” Itu cuma kata-kata, itu bohong aja bisa kok. Nah itu yang dimaksudkan oleh Yakobus. Orang itu kalau dibenarkan karena cuma ngomong tok, cuma ngomong, ngomong aja, cuma kata-kata saja yang tidak ada arti, tidak ada kesungguhan, itu nggak mungkin dibenarkan. Ini Yakobus tegur demikian. Yakobus fokus pada perbuatan, ada perbuatannya dong kalau kamu memang sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan. Iman yang sejati pasti menghasilkan perbuatan yang sejati juga. Nah di sini kita bisa melihat bahwa iman Abraham sendiri diuji ketika dia akhirnya diminta Tuhan sendiri untuk mempersembahkan Ishak anaknya di atas mezbah. Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ini adalah ujian yang sangat berat, dan ini pun juga ujian yang sudah sampai mendekati akhir dari kehidupan Abraham nantinya ya, sudah akhir-akhir lah, ujian iman yang diterima Abraham oleh Tuhan ya. Yaitu apa? Firman Tuhan sampai kepada Abraham dalam Kejadian 22:2, mari kita sama-sama membacanya, Kejadian 22:2, ini adalah Firman yang membingungkan bagi Abraham dan orang-orang sejamannya ya. Mari kita baca bersama-sama dengan keras ya, Kejadian 2:22, “Firman-Nya: ”Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”” Ini adalah perintah Tuhan dengan jelas, Abraham mendengarkannya, dan dengan jelas Abraham itu mengerti. “Ambil anakmu Ishak.” Nah Ishak ini kemungkinan berumur sekitar 12 tahun, sudah hampir akil balik, atau sudah akil balik kita nggak tau. Tapi sudah besar lah, sudah bisa angkat kayu, sudah bisa komunikasi, bisa jalan ke gunung sendiri. Ishak itu sudah remaja, dan Firman Tuhan mengatakan, “Ambil anakmu yang satu itu. Ya yang satu, yang engkau kasihi.” Tuhan tahu Abraham ya, “Pergi ke gunung Moria, bunuh dia sebagai korban bakaran di salah satu gunung yang Ku katakan kepadamu.”

Bapak, Ibu, Saudara sekalian kalau Abraham tidak punya intelektual tentang Allah, pengetahuan tentang Allah, pasti Abraham menolak perintah ini. Dan dia katakan, “Ini bukan Firman Tuhan. Saya tahu Allah itu adalah Allah yang mengasihi, tidak membunuh. Lagipula janji Tuhan itu adalah janji keturunanku sendiri akan beranak cucu, bertambah banyak seperti pasir di laut, bintang di langit. Nggak mungkin lah saya bunuh Ishak ini.” Dia akan mengeraskan hati, dia akan tidak taat, dia akan memberontak kepada Allah kalau Abraham tidak punya pengetahuan yang limpah akan Allah. Pasti tolak. Hati nurani aja mengatakan, “Ngapain saya bunuh anak saya, saya sudah tunggu-tunggu puluhan tahun. 25 tahun saya tunggu. Sekarang saya bunuh dia, sudah beranjak dewasa, remaja. Ngapain saya bunuh. Ini pasti bukan Firman Tuhan.” Tapi Abraham itu sungguh-sungguh taat ya, apapun Firman Tuhan itu saya lakukan kalau memang betul-betul dari Tuhan. Nah itu orang beriman ya. Orang beriman sering kali melakukan hal-hal yang kelihatannya paradoks. Masa membunuh itu adalah perbuatan taat kepada Tuhan? Kan nggak ya. Pembunuhan adalah dosa kok. Tapi ini disuruh membunuh manusia, anaknya sendiri, persembahkan kepada Allah. Di sini Abraham melihat sesuatu pengetahuan tentang Allah, dia fokus kepada apa? Korban bakarannya, bukan fokus kepada Ishak nya. Kalau Abraham fokus kepada Ishaknya, dia nggak mau mempersembahkan Ishak, nggak mau bunuh Ishak. Tapi dia fokus korban bakaran, persembahan kepada Tuhan, “Saya ini sudah diberkati Tuhan, saya sudah dipelihara Tuhan sepanjang hidup saya. Tuhan pengen sesuatu yang mungkin kelihatannya bertentangan dengan hati nurani saya, ini korban bakaran, ini berarti untuk siapa? Untuk Tuhan.” Dia berat di Tuhan-nya, bukan berat di manusianya, bukan di Ishaknya. Karena apa? Pengetahuan tentang Allah.

Abraham kemudian mendirikan mezbah disusun kayu, diikatnya Ishak yang diam saja, mungkin Ishak bisa melawan, tapi Ishak juga diam saja. Ishak diletakkan di atas mezbah, di atas kayu api, lalu Abraham mengulurkan tangannya mengambil pisau untuk menyembelih anaknya dengan sungguhsungguh. Tafsiran mengatakan bahwa Abraham punya keberanian membunuh Ishak karena punya konsep tentang kebangkitan orang mati, Tuhan bisa membangkitkan Ishak atau Tuhan bisa dengan cara-Nya lah, menyelesaikan janji-Nya itu. Di sini adalah iman dari Abraham. Kemudian di situ dikatakan bahwa malaikat Tuhan mencegah. Ya malaikat Tuhan mencegah dan ber-Firman, “Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu” Jadi pengetahuan yang dimiliki Abraham itu adalah untuk apa? Supaya dia bisa takut akan Allah. Ya supaya dia bisa takut akan Allah dia belajar pengetahuan tentang Allah begitu limpah. Abraham punya intelektual yang tinggi tentang Tuhan, dia itu sudah percaya Allah itu memanggil dia dari tanah Mesopotamia, Ur Kasdim, pergi dan memimpin kehidupannya. Sudah bertahun-tahun, dia percaya, dia melihat Allah itu berkuasa, dia melihat Allah itu kudus, adil, harus dihormati, dan mampu melakukan hal yang mustahil, dan dia gunakan pengetahuan itu supaya bisa taat kepada Allah. Dengan pengetahuan ini Abraham beriman dan taat kepada Allah. Itu yang pertama, aspek intelektual, iman itu mengandung intelektual.

Yang kedua, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, iman itu tidak selalu kuat. Kita harus sadari, iman itu tidak selalu kuat. Rasa percaya kita itu bisa naik turun. Sebagai orang Kristen, rasa percaya kita itu kepada Kristus kekal karena Roh Kudus yang memberikan, Roh Kudus yang memelihara. Tapi, rasa percaya itu bisa naik turun dalam kehidupan kita. Waktu sakit, waktu menderita, waktu hal-hal yang kita tidak inginkan terjadi dalam hidup kita, bisa saja iman kita turun. Iman itu memang nggak selalu harus kuat kok. Kita tidak diminta oleh Tuhan sebagai orang yang perfeksionis, orang yang perfeksionisme. Tidak ya. Kita diminta Tuhan sebagai orang yang jujur. Kalau lemah, ya lemah. Justru karena menyadari kelemahannya, dia akan bergantung kepada Tuhan. Tapi kalau dia rasa kuat, kuat, kuat terus, kuat terus, ngapain bergantung kepada Tuhan? Dia bergantung kepada dirinya sendiri.

Iman kita seringkali ataupun kadang-kadang bisa lemah juga. Ini namanya manusiawi. Kita kan hidup sebagai manusia yang berdosa, tetapi bukan berarti kita anggap enteng kelemahan kita. Justru, supaya kita bisa terima realita yang ada bahwa kita itu manusia berdosa dan tidak sempurna, kita sadari kelemahan-kelemahan kita itu dan kita coba terima. Terima diri kita yang berdosa. Terima diri kita yang lemah. Jangan ngawang-ngawang kita superhero ya. Kita belajar terima diri kita memang ada kelemahan, ada kekuatan. Ada weakness, ada strength. Tapi, kita ubah kelemahan itu menjadi untuk kemuliaan nama Tuhan. Disitulah Paulus katakan, “Di dalam kelemahan-kelemahankulah kuasa Tuhan menjadi nyata.” Paulus tidak katakan, “Di dalam kekuatan-kekuatankulah Tuhan itu kuasa -Nya nyata.” Tidak. Dalam kelemahan di situ aku kuat karena Tuhan yang menguatkan kita. Kita tetap harus doing the best. Kita harus lakukan yang terbaik, tapi ingat kita tidak bisa jadi the best terus. Kita ada kelemahannya. Ada kalanya kita lemah. Kita perlu besar hati menerima kelemahan kita.

Bisa saja orang beriman itu mengalami kebimbangan dan keraguan, tetapi kita harus ingat bahwa orang yang beriman itu, dia akan mengalami kelemahan itu ada waktunya. Kalau di awal-awal kita beriman kepada Kristus itu, kita seperti bayi rohani. Namanya bayi pasti lemah, namanya anak-anak pasti lemah, remaja mungkin agak kuat, sudah dewasa kuat. Itu adalah urutan atau pertumbuhan dari kerohanian kita. Tetapi ketika sudah dewasa, apakah bukan berarti kita nggak bisa sedih ya? Nggak, kita bisa sedih, kita bisa lemah, kita bisa depresi, kita bisa kena penyakit bipolar, kita bisa bunuh diri. Baru-baru ini saya dengar ada kasus di Jakarta itu orang bunuh diri, umur 58 tahun, bapak-bapak, loncat dari gedung lantai 20, mati. Karena apa? Karena depresi. Orang dewasa bisa lemah, apalagi tidak di dalam Tuhan ya, bisa lemah. Manusia itu sangat mungkin lemah meskipun badannya sudah dewasa. Maka dari itu, kita perlu waspada ya. Tetapi ingat bahwa iman di dalam Yesus Kristus itu ketika kita awal-awal mungkin kita lemah, tapi iman ini seiring berjalannya waktu, seiring kita mengisi hidup kita dengan Firman, dengan doa, dengan sakramen, kita akan semakin kokoh. Iman yang sejati itu tidak statis. Dia akan bertumbuh, bergerak, dan akan terus semakin dewasa. Ada progresif, semakin bergantung kepada Tuhan meskipun ada kalanya kita lemah ya, ada kalanya kita naik. Tapi nanti kan terus, ini namanya progressive sanctification.

Nah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, J. C. Ryle mengatakan bahwa bayi yang baru lahir itu melakukan tindakan pertamanya apa? Mereka itu melakukan tindakan pertama yaitu bernafas, kemudian belajar mengenal orang tuanya yang dia bisa rasakan, raba, yang dia bisa dengar. Nah, itu bayi yang lahir. Dan bayi yang lahir itu baru punya iman yang sejati dan tindakan pertamanya itu adalah berdoa dan mengenal Allah di dalam FirmanNya. Nah itu ya, itu bayi jasmani, demikian. Demikian juga bayi rohani, kita pun belajar untuk berdoa, mengenal Allah dan Firman-Nya, bernafas. Bernafas itu adalah di dalam rohani kita adalah doa kepada Tuhan. Nah, terus kita lakukan terus di dalam kehidupan kita sampai dewasa kita butuh bernafas. Sampai dewasa juga kita butuh mengenal sesama manusia, mengenal Tuhan. Kita yang dilahirbarukan oleh Kristus, kita awalnya memang lemah seperti bayi rohani, seperti bayi ya, betul-betul bayi, anak-anak. Tetapi seiring berjalannya waktu, kita semakin dewasa dan semakin kuat. Nah, itu seharusnya demikian.

Sekarang kita bisa melihat perjalanan iman Abraham, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Abraham pun memiliki beberapa kelemahan iman. Mundur dulu, kalau yang ujian mempersembahkan Ishak anaknya yang tunggal itu adalah ujian yang akhirakhir. Tetapi waktu Abraham itu awal-awal mengikuti Tuhan, dia kan taat. “Oke, pergi dari Ur -Kasdim, aku akan pergi!” Tetapi ketika berjalan, seiring berjalannya waktu, dia ketemu Firaun, dia bohong kepada Firaun bahwa Sara ini adalah saudaraku, bukan istrinya. Abraham itu ada kelemahan. Dia sempat takut mati. Dia sempat tidak percaya Tuhan yang memimpin kehidupannya tersebut. Ketemu Firaun, ketemu pemimpin, penguasa, langsung gentar, jadi bohong. Ini jatuh bangunnya Abraham. Dia juga pernah tidak sabar terhadap janji Tuhan bahwa Tuhan akan memberikan keturunan dari Sara, istrinya yang sudah mandul tersebut. Abraham ikut saran dari Sara, yaitu apa? Sudah, tidur dengan hamba perempuan Sara yaitu Hagar. Abraham tidur dengan Hagar. Hagar hamil dan melahirkan Ismail. Dia sempat juga tidak memiliki kepemimpinan yang kuat terhadap keluarganya. Dia ikut saran istrinya yang buruk ya. Itu jelas-jelas buruk. Kalau saran istrinya bagus, ya mungkin Sara kalau bagus itu kasih tahu, “Sudahlah ya, sabar, tetap percaya pada janji Tuhan.” Tapi, malah akhirnya Abraham itu lemah sehingga rumah tangganya sempat mengalami kesulitan. Nah, ini ya. Abraham juga pernah juga lemah iman. Dia mengalami kesulitan iman. Bukan saja itu, tokoh-tokoh Kristen, Rasul Petrus paling mudah ya kita lihat, itu sering kali naik turun mengikut Yesus, menyangkal Yesus, percaya, terus kemudian akhirnya semangat kembali. Nah, itu seharusnya kehidupan kita sebagai orang Kristen ya. Pada awal mula kita mengenal Kristus itu banyak kelemahan. Jatuh bangun, jatuh bangun, jatuh bangun. Tetapi semakin dewasa, iman kita semakin kokoh, semakin kuat, semakin setia. Itu yang kedua. Iman itu memang tidak selalu mesti kuat.

Yang ketiga, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, iman adalah pernyataan diri dalam perbuatan. Di ayat ke-22 di dalam Yakobus 2, di situ dikatakan bahwa dikatakan, “Kamu lihat bahwa iman bekerja sama”- faith was active ya, iman bekerja sama ini maksudnya iman yang aktif – “dengan perbuatan -perbuatan” – pekerjaan dari iman – “dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.” Nah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian,kita sudah belajar tentang iman bahwa Tuhan itu menciptakan manusia itu dengan kemampuan beriman. Tanpa iman, manusia itu tidak bisa melakukan apa-apa. Perbuatan yang sehari-hari kita lakukan, itulah hasil dari iman kita. Kenapa kita duduk? Kenapa kita berdiri? Kenapa kita memakai kendaraan? Kenapa kita memakai baju? Itu semua karena kita ada percayanya, ada unsur percayanya. Kita perlu bedakan antara iman yang sehari-hari, iman yang umum yang diberikan Tuhan kepada seluruh umat manusia dengan perbedaan iman dari Yesus Kristus, yaitu adalah iman yang menyelamatkan. Iman yang menyelamatkan adalah pemberian Allah, bukan sebuah perbuatan yang mengandung jasa manusia. Yaitu iman yang dari Yesus Kristus, kita bisa percaya kepada Yesus Kristus. Seorang teolog mengatakan bahwa, “Iman yang menyelamatkan itu sendiri bukanlah melakukan sesuatu, tetapi menerima sesuatu.” Nah, ini adalah iman yang menyelamatkan. Anugerah iman untuk percaya kepada Yesus Kristus itu bukan kita melakukan sesuatu, tetapi kita menerima sesuatu dari Allah yang mencari kita dan memberikan anugerah-Nya. Nah, waktu kita melakukan tindakan, “Saya mau mengundang Yesus masuk ke dalam hati saya.”

Itu bukan kita punya kemampuan percaya atau bertindak seperti itu, melainkan efek dari iman yang menyelamatkan. Suatu perbuatan yang berdasarkan iman yang menyelamatkan. Kita diselamatkan hanya oleh iman. Justification by faith alone. Ini adalah doktrin reformasi. Doktrin reformed yang sangat jelas sekali, kita itu diselamatkan hanya karena iman, bukan karena perbuatan-perbuatan kita. Perbuatan-perbuatan kita, yang dinasehatkan oleh Yakobus, “Kamu tuh harus berbuat sesuatu, melakukan sesuatu.” Itu adalah bentuk dari iman yang sejati. Suatu hasil, suatu output, suatu efek dari iman yang menyelamatkan itu yang sudah Tuhan sudah berikan kepada kita. Jadi, iman yang menyelamatkan bukanlah iman yang pasif, melainkan aktif untuk mengenal, mengasihi, dan percaya kepada Tuhan. Dan iman yang menyelamatkan ini pasti selalu ada perbuatannya. Tidak mungkin iman yang menyelamatkan ini tidak menghasilkan perbuatan. Pasti ada perbuatannya. Ini artinya iman tidak bisa dilepaskan dari perbuatan. Bila beriman kepada Yesus Kristus, pada Allah yang sejati, pasti otomatis tercermin pada tindakan yang sehari-hari. Inilah yang dimaksudkan dengan tindakan orang yang beriman. Inilah yang dimaksudkan Yakobus bahwa “Kamu dibenarkan oleh perbuatanmu.” Yaitu apa? Perbuatan yang dihasilkan dari iman yang menyelamatkan. Perbuatan itu dilihat dari luar. Secara forensik. Forensik itu artinya adalah dari luar. Kita meneliti yang dari luar untuk mengetahui yang di dalam. Itu forensik. Sama, iman yang sejati itu dari luar kelihatannya, terus kemudian kita nilai, ini tuh iman yang sejati dari Yesus atau iman yang palsu? Nah, Yakobus tidak ingin kita melakukan tindakan yang palsu dan punya iman yang palsu. Jangan! Justru kamu harus lihat dulu yang dari dalam, percaya dulu iman yang sejati yang menyelamatkan dari Tuhan Yesus, baru munculkan, usahakan terlihat, terwujud dari tindakan sehari-hari. Ini maksudnya adalah iman merupakan pernyataan diri dalam perbuatan. Waktu kita melakukan sesuatu, kita nyatakan siapakah diri kita. Siapakah diri kita? Itu perwujudan iman.

Yang keempat, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kita bisa belajar bahwa iman itu relasional. Yang pertama, kita sudah pelajari bahwa iman itu intelektual. Yang kedua, iman itu tidak selalu kuat. Yang ketiga itu iman adalah pernyataan diri dalam perbuatan. Dan yang terakhir yang kita bisa pelajari adalah iman itu relasional. Ayat 23 Yakobus 2 mengatakan bahwa, “Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: “Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Karena itu Abraham disebut: “Sahabat Allah.” “Friend of God”. Karena apa? Karena Abraham beriman, dia disebut sahabat Allah. Berarti, iman itu relasional. Iman itu bukan iman yang tidak ada relasi, komunikasi. Iman tidak bicara soal melulu pengetahuan, ajaran, doktrin, pengetahuan, ajaran, doktrin. Iman tidak selalu bicara itu. Iman itu bicara soal “Aku temannya Tuhan. Aku sahabatnya Tuhan.” Itu iman. “Aku hambanya Tuhan. Aku anaknya Tuhan.” Ini bicara soal iman, relasi. Iman itu bukan soal-soal di intelektual saja, di pikiran, tetapi di relasi kita. Kita ngerti status kita apa di hadapan Tuhan. Contoh khusus yaitu Abraham. Kalau Abraham tidak memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan, maka Abraham itu betul-betul tidak bisa menyelesaikan tugas dari Tuhan. Abraham itu akan berpikir bahwa, “Tuhan itu kasih saya hal yang buruk terus. Udah disuruh pergi dari rumah tempat tinggal saya, melewati berbagai masalah, ketemu Firaun, takut dibunuh, sudah berelasi dengan Sara, menunggu janji Tuhan nggak dikasih-kasih anak, udah 20 tahun, 25 tahun terus mengalami penderitaan.” Kalau dia nggak berelasi sama Tuhan, nggak kuat. Dia nggak kenal siapa dia. Dia pikir dia itu adalah robotnya Tuhan, bukan sahabatnya Tuhan. Dia pikir dia adalah alatnya Tuhan yang betul-betul dimanfaatin oleh Tuhan, bukan diberkati oleh Tuhan. Ya, ini Abraham bisa down seperti ini kalau dia tidak mengenal relasinya dengan Tuhan dengan baik. Abraham bisa tidak taat. Abraham akan tolak. Abraham akan membenci Tuhan.

Demikian, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, kalau kita relasinya hanya sekedar, misalkan ya, kita orang tua dan anak, sekedar perintah, perintah, perintah. Anak, nurut, nurut, nurut, tapi nggak pernah ngobrol sebagai teman. Teman itu kan gini ya, kalau teman itu kita sejajar, atau paling mudah itu seumuran, seangkatan, kita menjadi teman yang se-level. Tetapi, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, namanya ngobrol itu enaknya memang se-level. Tapi, kehidupan kita kan tidak se-level semua. Ada orang tua, ada anak. Nah, orang tua punya otoritas lebih tinggi dari anak, harus dihormati anak. Anak pun harus dikasihi dan dididik oleh orang tua. Kapan ngobrolnya? Orang tua cuma kasih uang, kasih tempat tinggal, biayain sekolah, kasih motor, kasih mobil, kasih pakaian, udah, mengasihi. Anak berdosa, ditegur, didisiplin, potong uang jajan, nggak boleh pulang ke rumah, dihukum. Lalu anak ikut, nurut terus, nurut terus. Apa itu? Relasi apa ini? Itu relasi yang kaku. Tetapi ada saatnya orang tua ngobrol, betul-betul ngobrol aja. Ya, tidak usah otoritas gimana lah ya. Ngobrol itu Tuhan dengan Abraham. Tuhan turun dan mengatakan bahwa, ”Engkau adalah sahabat-Ku.” ngobrol. Se-level, ngobrol. Bukan berarti kita harus se-level terus, nggak ya. Tapi ada saatnya itu, berelasi itu ngobrol aja. Kita nggak usah pandang orang lebih tinggi dari kita. Nggak usah pandang orang lebih rendah dari kita, tapi se-level. Ini sahabat, ini relasi. Maksudnya se-level apa? Sama-sama manusia berdosa, sama-sama orang Kristen, sama-sama serupa dan segambar dengan Allah, sama-sama orang yang punya kehendak bebas, sama-sama orang yang bisa berpendapat, beremosi, berpikiran. Tapi setelah itu ngobrol baik, relasi berubah lagi. OK orang tua menjalankan otoritas, anak harus taat supaya benar di hadapan Allah. Tapi, apakah ngobrol itu salah? Enggak. Abraham itu sahabat dengan Allah. Berarti se-level, lho. Sahabat Allah.

Bahkan sahabat yang terbaik, Yesus sendiri mengatakan bahwa, “Sahabat yang baik itu rela memberikan nyawanya kepada kita.” Waktu Yesus memberikan nyawanya kepada kita, Dia bertindak sebagai sahabat kita, bukan sebagai guru, bukan sebagai pengajar, bukan sebagai hamba Tuhan, bukan. Yesus memberikan nyawa-Nya itu sebagai sahabat, teman, se-level yaitu sama-sama manusia. Ya, memangnya anak kecil yang umurnya baru 5 tahun bukan manusia? Manusia! Orang tua yang sudah lansia bukan manusia, hanya sebatas orang yang sudah tidak bermanfaat, tidak berguna, akan mati? Bukan! Mereka manusia juga. Kita sama lah. Ini ngobrol ya, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Ini relasional. Kita akan mudah mengerti orang kalau kita sama, sederajat dulu. “Kenapa kamu”- misalkan- “tidak bisa ikut ibadah?“, “Itu tadi habis booster kok yah. Masa suruh ibadah. Udah mau mati nih, gara-gara booster ya, suruh ibadah. Gimana ibadah hari Minggu, lagi panas-panas, nanti orang semua bawa ke rumah sakit ambulans ya pas pingsan!” Misalkan, gitu ya. Kalau kita kaku gitu, kita nggak bisa kenal orang. Kita harus mengerti. Ini namanya empati. Oh, ada kalanya orang itu nggak bisa hadir, ya karena Tuhan izinkan dia nggak hadir. Tuhan yang hukum dia mungkin, nggak hadir ibadah. Ya, dengan sakit, mungkin hukuman Tuhan, mungkin seizin Tuhan, kita nggak tahu ya. Ada maksud Tuhan yang tersembunyi bagi orang tersebut. Ini relasi ya. Relasi itu unik sekali, paradoks. Kadang-kadang kita tidak ada peraturan yang baku seperti itu ya. Kita tapi mau mengasihi Tuhan.

Nah, sekarang contoh lain, kalau kita tahu doktrin Allah yang Mahatahu, doktrin Allah Yang Mahakasih, Mahaadil, Mahahadir, Mahakuasa, pengaruhnya itu apa waktu kita berelasi dengan Tuhan? Ini harus ada. Kalau cuma sebatas doktrin, doktrin, doktrin, nggak ada relasi, itu cuma pengetahuan. Orang non-Kristen pun banyak pengetahuan. Buktinya banyak orang-orang yang mendebat Kristologi, apologet-apologet dari agama lain, mereka bisa berdebat. Mereka bisa tahu siapa Yesus. Ayatnya lebih hafal dari kita. Tapi itu sebatas pengetahuan. Nggak ada relasi dengan Tuhan Yesus. Tidak ada. Kita punya relasi dengan Tuhan Yesus Kristus. Nah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mungkin kita seringkali berpikir ya, kita kalau ibadah, terus kita lihat Youtube begitu banyak, begitu limpah doktrin-doktrin dari teologi Reformed. Apalagi sejak pandemi ini, GRII kan semuanya nge-online ya. Menyerbu dunia maya. Sekarang kita mau dengar dokrin apapun ada. Ya, doktrin Reformed apapun tinggal searching Youtube, bisa dengarkan. Tapi, kalau kita hanya dengarkan, dengarkan terus, apakah itu bisa menjadi sebuah relasi? Belum tentu. Itu hanya sebatas pengetahuan. Apakah doktrin yang kita tekun belajar, belajar, belajar itu bisa menguatkan iman kita? Belum tentu. Itu hanya sebatas menambah pengetahuan saja.

Nah, bagaimana supaya doktrin yang kita miliki itu tertanam dengan kuat, kemudian kita bisa berelasi dengan Tuhan? Caranya adalah seperti Yakobus nasehati. Praktekkan, lakukan. Itu adalah pelajaran terdalam dalam doktrin Kristen. Lakukan. Jangan pikir kita mau lebih dalam lagi belajar Firman, belajar Firman, terus belajar, belajar. Cuma pengetahuan! Tapi, belajar yang lain tentang Firman adalah sudah mengerti Firman hari ini, saya lakukan. Itu adalah pembelajaran yang paling dalam. Sudah belajar tentang Injil, praktekkan Injil. Wah, itu tidak mudah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Itu sangat tidak mudah ya. Ada ketakutan. Baru-baru ini, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya coba ya ke kos-an di sekitar gereja seorang diri. Seorang diri saya lakukan, coba ketuk kos-an ya. Wah, nggak ada orang. Puji Tuhan ya, bisa pulang ya. Saya pikir, “Wah nggak ada orang muncul.” Saya ketuk 3 pintu, nggak ada yang bukain ya. Terus akhirnya saya tunggu-tunggu, pikir, apa langsung pulang, apa ke kos-an yang lain. Terus ada 1 pemuda keluar, habis mandi. Nah, di situ kita ngobrol. Wah, ada ketakutan. Mengabarkan Injil itu ada ketakutannya. Kita ketemu orang yang tidak kita kenal, terus mau ngomong apa? Mau ngomong apa? Ini pelajaran, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Kita nggak bisa, itu kalau sebatas pengetahuan nggak bisa kita alami. Ini relasi dengan Tuhan. Ada penyertaan Tuhan. Dan akhirnya bisa mengabarkan Injil. Terus saya tanya, “Menurut Saudara bagaimana kisah Injil ini?” “Yah, cukup menolong.” Menolong saja ya. Saya kurang berani untuk tanya, “Mau percaya kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat?” Saya masih kurang berani. Mungkin nanti, pertemuan selanjutnya saya akan ngomong ke dia. Tantang, tantang bertanya. Kalau sebatas perbedaan saja ya, semua orang mungkin bisa tahu ya. Perbedaan iman Kristen dan iman non-Kristen itu bisa tahu. Tapi kalau bicara soal mau percaya, mau berelasi, wah, ini nggak mudah. Banyak orang menolak.

Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Martin Luther mengatakan bahwa, “Iman adalah sebuah relasi bersama Allah.” Unik ya. Martin Luther yang mengajarkan “justification by faith alone”, tapi dia mengatakan juga, ”Faith itu relational with God. Relationship with God.“ Relasi itu berarti berhubungan, pengalaman, komunikasi, komitmen, itu ada semua di dalam relasi. Ada suatu kedekatan. Ada suatu pergaulan dengan Allah. Henokh bergaul dengan Allah. Dicatat oleh Alkitab, “dan Henokh tidak ada lagi di Bumi tapi sudah diangkat Tuhan ke Surga.” Henokh bergaul dengan Allah, dia berelasi dengan Allah. Unik ya. Tetapi kemudian, penulis Ibrani mengatakan, dijelaskan di dalam Perjanjian Baru. Di Perjanjian Lama, Henokh itu bergaul dengan Allah. Di Perjanjian Baru, penulis Ibrani mengatakan karena iman. Karena iman maka Henokh diangkat ke Surga dan sudah tidak ada lagi di Bumi, dan hidupnya berkenan di hadapan Allah. Nah, ini, iman dan relasi. Pergaulan kan relasi. Henokh bergaul erat dengan Tuhan. Hanya 2 orang di dalam Alkitab yang dikatakan bergaul erat dengan Tuhan, yaitu Henokh dan Nuh. Bergaul, relasinya dekat dengan Tuhan. Dan dikatakan di dalam penulis Ibrani itu karena apa? Karena iman. Iman itu relasional. Iman itu sungguh-sungguh baik relasional. Maka Abraham juga dikatakan sebagai “friend of God.” Sahabat. Sahabat yang begitu saling curhat, bisa saling memberikan informasi tentang dirinya.

Ayat terakhir, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, ke-24 dikatakan, ”Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya” – justified by works – “ dan bukan hanya karena iman.” Nah, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, Martin Luther pernah mengatakan suatu statement yang sangat besar sekali bahwa, “Berdiri atau hancurnya gereja ditentukan oleh doktrin justification by faith alone.” Kenapa? Karena doktrin inilah yang membedakan jalan keselamatan orang Kristen dengan jalan keselamatan dari agama-agama lain. Kalau gereja sudah menganut pola yang sama dengan agama-agama lain, yaitu apa? Justified by works, itu bukan gereja. Itu gereja akan hancur, kata Martin Luther demikian. Tetapi gereja yang kokoh, gereja yang sejati, gereja yang benar adalah percaya bahwa justification itu hanya oleh faith alone. Oleh iman yang diberikan Tuhan Yesus sendiri. Lalu kenapa Yakobus menjelaskan bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya? Ini adalah Paulus menekankan bahwa iman yang kamu sudah terima itu jangan dibiarkan saja. Kamu itu punya kapasitas untuk melakukan perbuatan-perbuatan iman yang menyelamatkan tersebut. Ayo, coba lakukan! Coba lakukan. Yakobus mendorong pembacanya untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan iman yang menyelamatkan. Itulah kenapa Yakobus mengatakan orang itu dibenarkan karena perbuatannya. Perbuatannya itu didasarkan dari iman yang menyelamatkan.

Keselamatan atau pembenaran orang Kristen itu berasal bukan dari manusia tetapi dari diri Allah. Seperti tadi ilustrasinya adalah forensik. Forensik itu dari luar. Demikian juga pembenaran atau keselamatan itu dari luar kita. Kita nggak punya kemampuan untuk menyelamatkan diri kita masuk Surga. Nggak punya, tapi itu datangnya dari Yesus Kristus, pemberian Allah. Tetapi, agama -agama, seluruh agama mengajarkan bahwa keselamatan itu dari dalam, bukan dari luar. Dari dalam diri manusia sendiri. Manusia itu bukan mati rohani, tapi sakit atau pingsan, atau lemah sehingga punya kemampuan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Makanya, antara tulisan Paulus di kitab Roma dan Yakobus di kitab Yakobus ini seringkali terjadi perdebatan. Jadi mana yang benar? Dibenarkan karena iman atau dibenarkan karena perbuatan? Diselamatkan karena iman dari Tuhan atau diselamatkan karena perbuatan dari manusia? Tapi jawabannya ini jelas ya, sudah kita bahas. Diselamatkan karena iman semata, dan iman ini aktif akan melakukan perbuatan-perbuatan yang benar juga. Salah satu yang menolong bagi kita untuk memahami justification by faith alone adalah perkataan Martin Luther. Dia mengatakan bahwa, “We are saved by faith alone, but the faith that saves is never alone.” Kita diselamatkan hanya karena iman semata, tapi iman yang menyelamatkan ini tidak pernah sendirian, harus ada perbuatan. Ya ini perbuatan-perbuatan akan muncul.

Terjemahan yang lebih tepat untuk ayat 24 dari Yakobus 2 ini adalah, “Manusia betul dibenarkan karena perbuatan-perbuatan, tapi kita harus tahu bahwa perbuatan itu timbul dari iman yang menyelamatkan yang berasal dari Tuhan. Dan manusia dibenarkan bukan hanya karena iman, yaitu iman yang palsu ya. Yang sifatnya hanya kata-kata saja, tanpa kesungguhan.” Ini kita kalau mau jelasin ayat ini lebih jelas itu demikian. Manusia dibenarkan karena perbuatan yang berdasarkan iman yang menyelamatkan dan juga bukan karena iman, yaitu hanya sebatas kata-kata saja. Ya, ini adalah hal yang sangat indah. Kita baca Roma 4:5, di sini kita bisa memahami bahwa pembenaran itu hanya karena iman semata ya. Mari kita baca bersama-sama dengan buka suara, “Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran.” Tidak bekerja, bayangkan ya. Tidak bekerja, kalau punya iman itu menyelamatkan. Ini berarti kita diselamatkan hanya karena iman, bukan karena pekerjaan apa-apa. Orang yang dibenarkan tidak melakukan pekerjaan apa-apa. Itu datangnya dari luar. Orang yang dibenarkan akhirnya memiliki iman dari Tuhan. Orang yang dibenarkan, percaya bukan pada dirinya sendiri, tapi dari Tuhan. Orang yang dibenarkan mengakui bahwa dirinya itu orang berdosa, orang fasik. Orang yang dibenarkan dulunya tidak punya iman yang sejati. Orang yang dibenarkan melihat imannya itu sebagai dikreditkan kepadanya, diberikan kepadanya. Orang yang dibenarkan melihat imannya dianggap sebagai kebenaran yang berasal dari Yesus Kristus. Itu adalah orang yang dibenarkan. Kiranya kita boleh sungguh-sungguh menyadari iman yang sudah Tuhan berikan kepada kita, seperti Efesus 2 :8-9 mengatakan, ”Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.”

Kiranya kita boleh memiliki kehidupan yang beriman, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Sadar akan anugerah Tuhan yang begitu besar, yaitu iman yang menyelamatkan ini. Iman yang sejati dalam Yesus Kristus. Kita bisa katakan terus-menerus sambil mengucap syukur, “Why have you chosen me out of millions people? Kenapa aku yang dapat iman yang menyelamatkan?” Itu hanya karena anugerah Tuhan saja. Kiranya iman yang sejati ini kita bisa terus lakukan, pertumbuhkan, sehingga muncul perbuatan-perbuatan iman, perbuatan baik, dan juga perbuatan yang berkenan di hadapan Tuhan. Kiranya kita boleh memiliki kehidupan yang beriman. Mari kita sama-sama berdoa.

Kami bersyukur Tuhan, untuk iman yang menyelamatkan yang sudah Tuhan berikan di dalam Yesus Kristus. Tanpa pemberian Tuhan sendiri, kami semua binasa. Kami tidak memiliki iman yang sejati. Kami tidak memiliki iman yang sungguh-sungguh menyelamatkan kami dari segala hukuman dosa kami. Kami bersyukur Tuhan, untuk iman yang sudah Tuhan berikan kepada kami, dan kiranya kami pun bisa melakukan halhal yang menjadi buah-buah dari iman. Buah yang bisa dilihat orang, yang bisa dirasakan orang. Buah yang bisa dinikmati oleh orang-orang di sekitar kami. Ampuni kami Tuhan, jikalau kami seringkali tidak melakukan Firman Tuhan yang sudah Tuhan berikan kepada hidup kami. Tolonglah hidup kami, Tuhan supaya kami sungguh-sungguh punya iman yang besar kepada Tuhan sehingga kami mampu melalui setiap pencobaan, setiap kesakitan, kesedihan, dukacita dan juga masalah-masalah di dalam kehidupan kami, sebab kami bergantung kepada Tuhan, bergantung kepada Firman Tuhan. Tolonglah kami yang kurang iman ini, Tuhan, dan juga penuh dengan kelemahan. Kiranya kami boleh sungguh-sungguh hidup memuliakan nama Tuhan saja. Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamat kami yang hidup, kami sudah berdoa. Amin. (HSI)

 

Transkrip Khotbah ini belum diperiksa oleh Pengkhotbah.

Comments