Cara Memandang Kehidupan, 9 September 2018

Flp. 1:12

Vik. Leonardo Chandra, M.Th.

Dalam bagian ini menarik ketika kita lihat di ayat 12 dan selanjutnya itu masuk ke bagian selanjutnya dari Surat Filipi ini. Kalau kita perhatikan di dalam surat-surat yang umumnya ditulis oleh Paulus, maka di ayat-ayat awal itu adalah introduksi, perkenalan, dan biasanya berisi ucapan syukur dari Paulus. Maka ketika masuk di ayat 12 itu masuk kepada kesaksiannnya, apa yang dialami dalam kehidupannya. Dan istilahnya itu masuk kepada inti apa sih yang dia mau bahas. Nah di ayat 12 ini menarik, kalau kita mengingat bahwa Filipi ini bukan bicara Paulus ketika dia di dalam perenungan kira-kira di dalam kelas atau ketika siang hari kira-kira dia pikir rindu dengan jemaat lalu dia tulis surat, tapi surat ini bukan beranjak dari pengalaman Paulus yang relatif nyaman, tapi justru beranjak dari posisi dia yang sangat tidak enak yaitu dia berada dalam pemenjaraan. Dia dipenjarakan dan kita mengerti itu tidak mungkin dia ada planning kan untuk masuk ke penjara itu. Dia di dalam perencanaannya itu pasti memikirkan,“Oh seharusnya pergi pelayanan ke suatu tempat,” tapi ternyata terhambat di sana dan dia harus masuk penjara. Dan masuk penjara itu adalah tempat yang sangat tidak nyaman, sangat tidak enak. Hanya di zaman sekarang baru kita ketemu itu bahkan ada penjara yang lebih enak daripada di luar penjara. Di berita kita temukan ada penjara yang malah lebih mewah, lokasinya lebih enak daripada kehidupan di luar penjara. Tapi kalau kita mengerti pemenjaraan di Kitab Roma, orang-orang di zaman itu penjaranya sangat tidak enak, bahkan mereka itu tidak tentu mendapat makanan yang cukup. Dan kita temukan di dalam surat-surat Paulus, di dalam Filipi ini saja kita temukan makanya membutuhkan Epafroditus maupun Timotius yang dikirim ke sana untuk membantu memelihara kehidupan Paulus di sana, diberikan makanan yang cukup untuk kebutuhan dia, dan itupun nggak gampang untuk masuk ke dalam sana. Jadi itu kondisi yang sangat-sangat tidak enak.

Tapi menariknya di sini, Bapak, Ibu, Saudara sekalian, yaitu di ayat 12 dia bukan berbicara keadaan dia, Paulus malah tidak membahas apa-apa tentang keadaannya. Ya dia cuma mention bahwa apa yang dialami ini, tentu maksudnya dia dipenjarakan, itu justru menyebabkan kemajuan injil. Di sini kita menemukan bahwa orang seringkali ya, padahal kalau realitanya di dalam kehidupan kita, kalau kita mengalami suatu penderitaan sangat umum dan lumrah dan manusiawi sekali adalah orang itu akan bolak-balik membahas keadaannya yang nggak enak itu kan. Kehidupan kita itu demikian. Seperti yang saya pernah juga khotbahkan sebelumnya, kita itu ketika sakit, penderitaan itu ketika kita alami, suatu kesulitan kita alami, maka sering sekali adalah perhatian kita akan fokus kepada penderitaan itu. Kita mengalami suatu kesulitan maka bolak-balik yang akan kita ceritakan pasti peristiwa yang nggak enak itu. Kita saja misalnya Bapak-Ibu tadi perjalanan dari rumah datang ke sini, lalu misalnya mengalami suatu kejadian yang nggak enak, “Wah itu lho saya diserempet, mobil atau motor saya diserempet, wah ada yang menikung saya,” maka kita sampai sini pasti akan cerita itu, mungkin sampai kita makan siang masih juga cerita, “Wah tadi itu orang sini itu bawa kendaraan nggak enak, sembarangan,” kita akan cerita-cerita seperti itu. Itu baru cerita misalnya diserempet aja, nah bayangkan ini Paulus masuk ke dalam penjara. Tapi menariknya di sini adalah suatu pengajaran bagi setiap kita adalah bukan fokus kepada diri tapi fokuslah kepada Tuhan. Dan bahkan sampai sedemikian nya Paulus itu tidak fokus pada diri, bahkan kita tidak tahu dia itu dipenjarakan di mana. Dan makanya itu menjadi kesulitan bagi orang yang menulis commentary, ini kira-kira Paulus dipenjarakan yang di mana, pemenjaraannya kapan, pemenjaraannya oleh karena kasus apa, tuduhan oleh siapa, dia tidak bahas itu. Di situ kita lihat Paulus tetap berfokus kepada Tuhan sehingga dia memang tidak memfokuskan kepada dirinya sehingga dia tidak membahas keadaannya. Dan bahkan ketika dia mengalami situasi ini, dia menngatakan ini justru telah menyebabkan kemajuan injil, telah menyebabkan suatu advance of the gospel. Ini salah satu cara memandang yang melihat dari perspektif yang lain.

Di dalam commentary yang ditulis oleh Hansen Walter yaitu di dalam IVP New Testament Commentary, menarik dia mengatakan di dalam bahasa Yunani ada 2 kata yang mirip yaitu prokopē dengan proskopē. Mirip, tapi prokopē dan proskopē cuma beda satu huruf. Dua kata ini apa? Yaitu prokopē itu dalam bahasa Inggris artinya advance gitu ya, yaitu kemajuan; sedangkan proskopē itu adalah hinderance, suatu hambatan. Itu cuma beda satu huruf. Dan menarik makanya di dalam Hansen Walter maupun (?) mengatakan bahwa Paulus itu sebenarnya bisa saja mengatakan bahwa “apa yang terjadi pada aku ini telah menyebabkan hambatan untuk injil,” tapi sebaliknya dia bukan mengatakan proskopē tapi dia katakan prokopē yaitu kemajuan bagi injil itu sendiri. Nah di sinilah saya mengajak untuk kita melihat yang menjadi pembahasan di sini adalah cara memandang, cara menginterpretasi yang berbeda dari yang lain. Faktanya dia dipenjara, ya iya dia dipenjara, itu tidak bisa disangkali, tapi ketika dia mengalami pemenjaraan lalu itu menyebabkan apa, nah itu adalah masalah cara memandang, cara menafsirkan kehidupan ini. Dan di sini Paulus menafsirkan justru pemenjaraan yang secara umum kita lihat ya ini terhambat kok, dia itu tadinya mau pergi pelayanan ke suatu tempat tapi tidak sampai, dia macet, berhenti di tengah jalan. Itu sama seperti kalau saya naik kereta tadi, eh nggak sampai ke Jogja, ini berhenti di stasiun Klaten misalnya, terus nggak maju, ya saya kan bilangnya ini menjadi hambatan, ya jelas kan. Tapi misalnya saya bisa bilang, “Oh ini adalah kemajuan injil,” kenapa? Karena saya jadi beritakan injil pada orang Klaten. Ya mungkin pengurus sini juga bilang, “Tapi kan kamu harusnya pelayanan di sini.” Nah kira-kira kita bisa bayangkan situasi seperti itulah yang diungkapkan Paulus di sini, dia macet tapi dia malah bilang di dalam suratnya ini justru menyebabkan kemajuan injil dan bukan hambatan bagi pemberitaan injil.

Di sinilah kita mengerti bahwa ini masalah interpretasi, ini adalah masalah penafsiran. Dan di dalam kehidupan kita justru diwarnai dengan masalah kita menafsir kehidupan ini seperti apa. Ketika merenungkan bagian ini saya teringat jelas dengan apa yang dinyatakan oleh Cornelius van Till, salah seorang teolog besar di dalam teologi Reformed, dia mengatakan ada satu istilah bahwa there is no brute fact, bahwa tidak ada fakta yang kasar atau mentah karena semuanya adalah fakta yang sudah terinterpretasi. Ini menarik ya. Karena maksud dia adalah tidak ada fakta yang berdiri seolah-olah sendiri tanpa penjelasan dan terlepas dari fakta-fakta lainnya, dan apalagi terlepas dari Tuhan sehingga selalu suatu fakta itu pasti adalah fakta yang sudah terinterpretasi. Saya mungkin kasih contoh sederhana saja, misalnya ada huruf A, lalu I, lalu R. Nah ini do you read it as air, atau anda membacanya sebagai air? Lho ini A, I, R aja ini dibaca air, udara dalam bahasa Inggris, atau air, itu kan nggak lepas dari konteks bahasa di sekitarnya itu memberikan penjelasan, interpretasi, tafsiran atasnya. Nggak ada lepas mengambang sendiri A, I, R, itu kita baca tidak terlepas dari konteksnya dan bahasa kalimat di depan dan belakangnya itu menjelaskan, menafsirkan air ini apa. Dan kalau kita melihat seluruh kehidupan kita itu seperti itu. Kita akan mengalami berbagai hal dalam kehidupan ini, tapi pertanyaannya kita menafsirnya seperti apa itu menyatakan apakah kita menafsirnya secara tepat atau tidak. Sederhana saja, misalnya hari ini kita membaca koran, lalu di dalam koran itu dicatat ada suatu kejadian kebakaran di suatu pasar. Nah kejadian itu ketika misalnya kita membaca koran di Jogja, lalu ada beberapa koran lain juga akan meliput peristiwa yang sama, tapi kejadian yang sama itu dilaporkan bisa penjelasannya beda-beda kan? Lho kejadiannya sama, di pasar X, lalu jam segini, ya sama, tapi nanti headline-nya itu berbeda. Entah nanti itu dikatakan “Oh karena ada satu orang yang lalai mematikan kompornya menyebabkan kebakaran seluruh pasar” misalnya, atau mungkin ada yang menuliskanya karena sebenarnya ada yang sengaja gitu ya. Kadang konon katanya itu kalau ada kebakaran di suatu pasar yang sudah tua sekali, kuno, ada yang bilang itu memang ada konspirasi, sengaja dibakar biar bisa digusur terus dibangun lagi yang baru. Ataupun kalau misalnya ada yang bilang “Oh itu alami, mendadak muncul saja apinya,” ya bisa saja sih. Tapi kembali lagi, semua itu adalah interpretasi, semua itu adalah tafsiran, sehingga kita tidak pernah punya data mentah yang benar-benar brute facts yang seolah-olah itu murni melayang di udara, yang obyektif sekali. Kenapa sih selalu terinterpretasikan, sehingga menjadi pertanyaan diinterpretasikan secara tepat atau tidak, itu menjadi sesuatu yang bertanggung jawab atau nggak, itu yang menjadi pertanyaannya. Bahkan sebenarnya di dalam koran itu sendiri ya, ditaruh di halam depan atau tengah atau di belakang, itupun sudah interpretasi kan, itupun sudah tafsiran? Sederhana sekali, anda membaca ya kejadian yang sama kalau ditaruh di depan berarti dianggap ini peristiwa penting sekali, besar sekali, anda harus tahu. Atau kalau ditaruh tengah ya kira-kira setengah penting lah. Atau kalau ditaruh belakang, cuma kolom kecil, ya berarti ini kebakaran biasa. Itupun sudah tafsiran. Bahkan seperti saya hari ini khotbah, dan mungkin anda bertanya-tanya kenapa saya khotbah tentang tafsiran, itupun sudah tafsiran.

Jadi kehidupan kita itu penuh dengan tafsiran, tapi pertanyaannya kita menafsir dengan benar atau tidak, itu menjadi pertanyaan penting yang harus kita terus pikirkan, apakah kita telah menafsirnya dengan tepat atau tidak. Paulus dipenjara, jelas itu menjadi suatu situasi yang tidak enak tetapi apakah dia menafsirnya ini menjadi kemunduran atau kemajuan dalam pelayanannya memberitakan injil, itu adalah masalah tafsiran. Mungkin sederhana saja dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sakit saja itu kita akan menafsir. Kalau Bapak-Ibu misalnya mengalami suatu sakit lalu terbaring di rumah sakit, saat itu sambil berdiam anda akan menafsir. Menafsir kira-kira saya ini sakitnya kenapa ya, itu sudah tafsiran. Mungkin kadang-kadang orang kalau misalnya kena sakit tifus, mungkin karena makannya kurang bergizi, atau karena kecapekan, atau karena kenapa, ya itu sudah tafsiran. Dan seperti yang saya alami ketika saya bezuk pelayanan ke rumah sakit dengan ada salah seorang pendeta, lalu dia tanya kepada jemaat itu, “Menurut kamu ini teguran, ujian, atau mungkin sekedar alami?” Nah itupun tafsiran kan, karena kadang kita bisa sakit, itupun sebenarnya suatu bentuk teguran dari Allah untuk menginsyafkan kita. Saya kadang ketika ketemu orang di dalam sakit itu, ketika dia sakit baru dia ingat, “Iya ya hidup ini ternyata ada hal-hal diluar kontrol saya,” kita alami sakit baru kita bisa kayak ngeh gitu. Dan ataupun kadang orang bisa di dalam sakit parahnya, sebagaimana pernah saya kunjungi seorang yang sakit parah, dan dia langsung dari awal saya masuk, bilang, “Ini teguran dari Tuhan karena saya selama ini sudah rasa sombong, kuat sendiri, fokus kerjaan meninggalkan Tuhan, rasa hebat, sekarang akhirnya apa yang saya bangun semua habis. Dulu waktu saya pelayanan di Bintaro ada pasien yang kecelakaan itu kakinya patah sampai dia bilang setengah robot karena dipasang banyak pen. Dan dia bilang itu mobilnya habis, kalau dilihat kondisi mobilnya sebenarnya hampir bisa dibilang orangnya ini pasti sudah mati, tapi ternyata selamat juga. Dan di situ orangnya ketika saya kunjungi dia bilang ini teguran dari Tuhan karena dia bilang dia sudah mengejar karir sedemikian, uangnya sampai banyak, sampai bisa punya rumah sendiri, akhirnya ini operasi begitu besar, ratusan juta, ya satu persatu dijual. Kembali lagi, dia bilang teguran atau mungkin juga suatu ujian, karena kadang dalam kehidupan kita juga ketika Tuhan mengizinkan suatu kesulitan dalam kehidupan kita sampai hal seperti misalnya yang dialami oleh Ayub itu bukan karena dosa tapi suatu bentuk ujian untuk menguji iman kita. Nah itupun suatu tafsiran kan. Kita menafsir, “Iya saya ada salah, Tuhan ingatkan saya untuk bertobat,” ya itu tafsiran. Atau kembali saya gumulkan dan doakan dan tidak ada suatu kesalahan tersendiri, berarti ini suatu ujian yang Tuhan izinkan bagi saya. Ataupun kadang-kadang gitu ya, kalau sakitnya tidak terlalu parah, lalu kita pikir ini proses alami aja, memang lagi “nasib buruk,” kembali itupun tafsiran.

Kehidupan kita akan penuh dengan tafsiran. Dan ketika bicara tafsiran maka nggak lepas berikutnya adalah interpretasi itu selalu ada asumsi dibaliknya. Ketika kita menafsir sesuatu itu didasarkan pada suatu asumsi tertentu, dan asumsinya ini kembali bisa salah dan benar, itu akan mempengaruhi interpretasinya. Sama seperti ketika akhir-akhir ini saya ketemu ada banyak orang itu, scientist itu suka bilang, “Oh tidak ada Tuhan.” Terus selalu konotasinya “Oh orang kalau belajar ilmunya sampai tinggi-tinggi, belajar sains, maka sains itu bilang tidak ada Tuhan.” Tapi menarik seperti pernah dikatakan oleh Frank Turek bahwa sains itu tidak pernah berbicara apa-apa, tapi yang selalu berbicara itu adalah scientists. Saya ulang ya, science never speak anything but scientists do speak a lot. Jadi sains itu tidak pernah berbicara apa-apa, anda pelajari ilmu, misalnya anda pelajari E=M x C2 lalu langsung muncul suara, “Tidak ada Tuhan,” nggak mungkin toh. Nggak ada, sains itu tidak berbicara apa-apa. Anda bisa merenung lalu lihat rembulan atau lihat apa gitu memangnya lalu muncul suara, “Tidak ada Tuhan lho,” ya nggak ada. Anda pelajari semuanya itu, sains tidak berbicara apa-apa tapi actually adalah karena alam memang tidak pernah bicara tidak ada Tuhan tapi scientists, para ilmuwan itulah yang mengatakan bahwa tidak ada Tuhan. Dan itu beranjak dari asumsi mereka yang memang tidak ada Tuhan. Di dalam hati mereka itulah yang memang sedang dalam dirinya mereka, sebenarnya bukan karena mereka tidak tahu ada Tuhan tapi sebenarnya mereka menyangkali keberadaan Tuhan itu. Dan itu adalah suatu asumsi, dan ketika asumsinya tidak ada, lalu dia melihat fakta-fakta ini, dia menyusun, dia menginterpretasinya untuk menentukan asumsinya itu, apa yang sudah dia pegang terlebih dahulu. Dan apalagi kalau kita tahu di dalam teori-teori sains, teorinya itu selalu berubah-ubah. Kita jangan terlalu kagetlah dengan zaman sekarang yang ngomong ada yang pakai istilah itu neo-atheism, ateisme yang baru, dengan Richard Dawkins dan lain-lainnya itu ya, itu sebenarnya cerita yang lama hanya mungkin mereka lebih berkoar lagi aja, lebih berani lagi aja dengan pakai posting di YouTube dan semacamnya. Tapi sebenarnya argumen dasarnya sama, yaitu mereka di dalam hatinya menindas kebenaran dengan kelaliman, karena itu yang dikatakan oleh Kitab Suci. Roma 1:18, Bapak-Ibu bisa baca sendiri. Roma pasal 1 itu berbicara memang manusia itu yang menindas kebenaran dengan kelaliman, dan karena itulah dia menolak adanya Tuhan.

Kalau kita lihat saja di dalam teori-teori sains, kenyataannya di dalam kehidupan ini kita lihat teori itu selalu berubah. Kalau dulu ada yang tahu, misalnya teori dari Newton, sains dari Newton itu bicara yang klasik sekali, dia duduk di bawah poho apel terus jatuh apelnya terus dia pikir, “Kenapa apel ini kok selalu jatuh ke bawah? Oh karena ada gravitasinya itu ke bawah, nggak pernah ke samping.” Tapi kemudian teori sains itu berkembang dan akhirnya melihat justru yang membuat benda ini jatuh ke bawah adalah bukan masalah gravitasinya saja tapi ada gaya medan magnet tarik-menarik bumi. Makanya dalam gravitasi itu bukan bicara hanya masalah Oh ini pasti jatuh ke bawah tapi berarti gaya tarik magnetnya itu kuat. Karena itulah kalau diantara 2 planet atau 2 kutub yang berbeda kalau ada 2 gaya tarik magnet yang sama kuat, disitulah ada zero gravity, melayang-layang. Dan nanti belum lagi teori seperti kalau orang zaman dulu bilang itu alam dari mana? “Oh sudah dari sananya, dari dulu sudah ada,” tapi kemudian kan dari teori dari Stephen Hawking yang justru merubah teori itu bahwa alam ini ada permulaannya dari teori Bing Bang itu. Lho inipun sudah berubah teori. Nah di sini kita lihat teori-teori ini semua asumsi, dan asumsi itu bisa salah dan tentu juga bisa benar. Bahkan menarik sebenarnya penelitian terakhir dari para ilmuwan fisikawan dari CERN ini malah mengkonklusikan bahwa alam semesta ini harusnya tidak ada, ada teori penemuan seperti itu. Dan kita jadinya cuma terikut-ikut teori ini dan padahal teorinya itu bisa salah. Dan kita harus selalu mengerti bahwa semua asumsi teori-teori ini yang dipakai menafsir segala sesuatunya. Tapi seharusnya kita sebagai orang Kristen adalah kembali lagi kepada Kitab Suci bahwa kita melihat asumsi kita justru dibentuk pada kebenaran firman yang kita baca dari Kitab Suci. Dan inilah kadang-kadang dalam kehidupan kitapun kadang kita bisa keliru juga di situ ya. Kadang-kadang kalau kita lihat teolog bisa salah? Ya bisa. Kenapa? Bukan Alkitabnya yang keliru, ya teolognya yang salah. Karena itulah di dalam doktrin kita mengerti sola scriptura, yaitu hanya Kitab Suci dan bukan sola interpretationist gitu ya, bukan hanya satu interpretasi yang benar tapi Alkitab itulah kebenaran yang sejati dan justru tafsiran kita terus harus diubahkan makin sesuai firman Tuhan, barulah makin setia dengan Kitab Suci. Berapa banyak dalam kehidupan kita kita sadar semua kebenaran yang kita pelajari itu bukan hanya penambahan data tapi untuk membentuk asumsi-asumsi kita.

Sederhana saja, misalnya saya kasih contoh lain yang pernah dipakai oleh wretched(?) gitu ya, misalnya di tangan saya ini ada sebuah jam pasir, terus Bapak-Ibu datang ke kantor saya lalu lihat ada jam pasir di mejanya Vikaris Leo. Lalu anda lihat misalnya, ini jam pasir anda ukur gitu ya, Oh tiap satu detik turun 3 gram. Lalu anda timbang, ukur berapa banyak pasir di bawah, Oh 5400 gram. Kalau 5400:3 ya 1800, 1800 detik ya berarti 30 menit. Lalu anda simpulkan, “Oh berarti jam pasir ini sudah ada begini sejak setengah jam yang lalu.” Bagi saya saya bilang ya itu asumsi. Anda telah mengasumsikan beberapa hal, pertama berarti ini berada dalam kevakuman sejak setengah jam yang lalu. Lho mana tahu dia dari setengah jam yang lalu begini atau saya mungkin goyang-goyangin, lho bisa saja toh. Anda harus asumsikan itu bahwa di dalam ini setengah jam yang lalu baru juga dibalik, anda juga harus mengasumsikan pasirnya nggak ditambah. Kembali lagi, dan basic-nya itu adalah anda harus mengasumsikan ini dalam kevakuman dan tidak ada force dari luar. Mana tahu sebelum anda masuk itu sebenarnya ini lagi terbaring gini, lalu saya main-main terus saya kocok-kocok, kocok-kocok, gitu ya, terus, “Wih, datang, oh ya udah,” taruh gini. Pas aja 5.400 di dalam situ. Nah anda nangkap di sini ya?Dalam teori-teori sains itu dia harus mengasumsikan bahwa tidak adanya pribadi di luar yang berintervensi terhadap alam semesta ini sehingga semua berjalan ya begitunya aja. Semua by nature,secara alami. Dan kita tahu asumsinya itu adalah atheistic assumption. Itu adalah asumsi yang ateis. Tapi berapa banyakkah dalam kehidupan ini, setiap apa yang kita alami, kita tidak lepas melihat bahwa di balik semua ini ada Allah yang berdaulat, yang bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kehidupan kita. Itu bukan hanya suatu ayat hafalan yang anda hafalkan dalam Roma 8:28 untuk anda bagikan pada orang dalam penderitaan; tapi itu harusnya menjadi asumsi kita di dalam segala sesuatu yang kita alami dalam kehidupan ini. Itu baru kita ngerti kita menjadi orang Kristen. Kalo nggak kita cuma baca-baca Alkitab, tidak pernah praktikkan dalam kehidupan, tidak pernah mengubah apa-apa dalam kehidupan kita. Berapa banyakkah dalam kehidupan kita, kita mengerti bahwa sebenarnya di dalam pembelajaran iman kita, dalam doktrin-doktrin kita, diberikan untuk membentuk pola pikir kita, mengubahkan cara pandang kita, dan bahkan kalau kita mengerti istilah pertobatan itu, adanya perubahan pada basic assumption-nya. Perubahan pada asumsi dasarnya itulah, di mana bukan lagi asumsi dasarnya itu pada semua usaha kita, cara upaya kita ataupun dari alam semesta, tapi Alkitab itulah menjadi dasar asumsi kita.

Pertanyaannya, berapa banyakkah dalam kehidupan kita akhirnya itu sungguh jadi dasar berpikir kita? Atau bolak-balik kita baca Alkitab cuma, oh, diajar berbuat baik. Ya itu mah, Bapak Ibu, anda belajar PPKN juga sudah cukup. Kalau cuma ajari, oh iya kalian itu harus buat baik. Iya, iya. Anda belajar PPKN aja itu juga sudah cukup. Terus terang aja. Anda belajar PPKN dulu sekolah itu sudah cukup. Tapi kalau kita mau tanya lebih dalam, apa itu perbuatan baik, itu perlu Kitab Suci. Seperti apakah yang baik, menurut perspektif siapa? Tuhan atau manusia? Itu baru belajar Kitab Suci. Dan di sini kalau kita mengingat apa yang dialami oleh Adam Hawa di dalam pergumulan mereka di Taman Eden itu juga masalah tafsiran kan? Oh ini ada buah yang terlarang. Buah ini apa? Kalau dimakan mati. Tapi ular bilang, kalau makan nggak mati. Lho ini masalah tafsiran. Kembali ini masalah tafsiran, dan asumsi dasarnya adalah bilang bahwa kalau makan nggak mati, berarti Tuhan itu bisa bohong. Nah ini saya lihat ya, setan itu selalu menanamkan di dalam diri kita itu suatu kecurigaan kepada kebenaran firman, kecurigaan kepada Tuhan, oh jangan-jangan Tuhan itu tidak ingin yang baik. Tuhan itu sebenarnya tidak ingin saya hidup yang baik. Tapi harusnya asumsi kita kembali ke dasar bahwa Tuhan itu baik dan bukan saja baik berarti Dia berdaulat atas semua hidup kita; dan apa yang Dia perintahkan itu bahkan  baik bagi kita. Itu masalah asumsi. Dan seperti .. katakan dalam bukunya dikatakan, berarti dalam itu mereka rasanya menjadi berbeda, bahwa mereka akhirnya melihat buah ini sesuatu yang, dan itu tafsiran dosa itu juga beda; yaitu apa? Oh ini suatu buah tadinya merugikan, oh sekarang tidak merugikan jadi boleh saya makan. Nah itu sering kali kita juga manusia berpikirnya gitu. Kalau untung, ah nggakpapa. Misalnya ya di mall, ngomong, wah konon katanya ada cerita itu misalnya cerita seseorang gitu ya, “wah anakmu berjudi.” Wah, celaka, gitu ya. Kenapa dia berjudi, gitu. Tapi kalau, wah dia berjudi, tapi dia menang. Oh, Puji Tuhan, gitu? Toh dia menang, gitu ya?Ya kan untung gitu ya. Puji Tuhan, tapi kalau judi, oh celaka, gitu? Ya begitulah. Kenapa? Karena orang asumsinya itu yang penting untung. Kalau nggak rugi ya nggak apa-apa. Kalau saya nyolong nggak ketahuan ya sudah. Kalau saya langgar lalu lintas nggak ditilang ya sudah, saya nggak rugi. Nah berapa banyak sebenarnya berarti asumsi kita sama aja dengan Adam dan Hawa di Taman Eden, cuma lihat, kalau saya nggak rugi ya saya makan. Kalau untung, saya ambil. Padahal, definisi yang benar itu, Tuhan lihat ini dosa atau tidak. Kebenaran atau kepalsuan. Itu baru kembali pada pengertian yang benar.

Dan di situlah kita melihat, di dalam kebenaran-kebenaran firman, doktrin-doktrin dasar itu harusnya diletakkan sebagai asumsi ketika kita menginterpretasi dunia ini. Ketika kita membaca Kitab Suci kembali, karena kembali doktrin-doktrin dasar itu diambil dari intisari kebenaran firman, itu memperlengkapi kita ketika kita membaca Kitab Suci, menafsir Kitab Suci, dan termasuk ketika kita menafsirkan kehidupan kita. Sehingga di sini sebenarnya kita mengerti iman Kristen itu bukan hanya menambah data yang baru, tapi memberikan satu asumsi dasar yang baru yang mengubah cara pandang kita. Berapa banyakkah dalam kehidupan kita, bertahun-tahun jadi Kristen, tetap cara pandangnya sama; cara pandang yang lama dan tidak berubah apa-apa. Sederhana saja ya, kalau misalnya anda mau bikin paspor, lalu bikinnya susah gitu ya. Lantas, “Waduh bikin paspor ini susah, lalu lantas ada temen anda bilang, oh ini lho ada calo yang lebih bagus. Gampang dan cepat jadinya. Sudahlah, bayar ke dia aja. Siapa yang dengan nalar yang normal itu nggak pikir, oh iya nggak usah pakai ini. Kita kan umumnya langsung bilang, ya sudah saya pakai ini kan? Kenapa? Karena itu cara yang lebih baik. Nah berapa banyak kah kalau kita nggak sadar gitu ya, itu sering kali kita pun pikir Yesus seperti itu. Ya Dia calo kita untuk sampai ke sorga. Ya kan? Kita buat baik, ya, saya tahu lah Pak saya berdosa. Nggak bisa selamat rasanya, jadi saya percaya Yesus; supaya pokoknya yang antar saya ke sorga itu Anda. Tetap goal, tujuannya itu adalah saya. Saya mau ke sorga, saya tidak mau susah, saya tidak mau menderita neraka, saya maunya hidup enak, meski saya berbuat dosa. Jadi saya percaya Yesus karena konon katanya Dia bisa antar saya sampai, pasti. Berapa banyak kita justru memikirkan Kristus itu adalah Tuhan kita, literally Dia adalah Tuhan kita dan karena itulah di dalam SPIK ngomong itu, He’s the Lord of lords. Dia adalah tuan di atas segala tuan, dan Dia adalah yang menata kehidupan kita. Kalau kita belum sampai situ, kita belum mengenal Kristus. Kalau kita belum sampai situ, kita baru kenal Kristus calo, calo sampai ke sorga; belum menjadi Tuhan kita.

Dan biarlah kita justru harusnya melihat pertobatan sejati itu perubahan paradigma, ada paralel shift, itu perubahan paradigma bukan lagi berfokus pada diri tapi berfokus pada Tuhan. Bukan lagi berfokus pada apa yang saya inginkan, tapi apa yang Tuhan inginkan. Karena itulah definisi apa yang menjadi, kita menjadi hamba Tuhan dan bukan saja secara ngomong jabatan seperti kami dan Pendeta Dawis, semuanya, tapi setiap kita adalah hamba Tuhan. Dialah Tuan kita dan yang kita kerjakan seumur hidup ini adalah mencari perkenanan-Nya saja. Sama seperti pegawai kita gitu kan. Kalau dia bekerja sesuatu, mungkin orang bilang, wah kamu ini jualannya nggak bagus, misalnya ya. Mungkin ada orang bilang, wah kamu ini kok tokonya cuma jual gini. Kadang-kadang juga ada gitu kan? Kalau kita paham mungkin ya, atau mungkin kita pengalaman sebagai pegawai atau mungkin orang yang pergi belanja satu tempat, misalnya kita pergi tempat makan, jualan pizza, lalu kita bilang, oh nggak bagus. Kok jualannya cuma pizza, pasta, coba jualan ayam goreng, gitu ya, atau jualan gudeg gitu. Loh kita ngomong ke pegawainya, terus pegawainya pikir, oh iya ya, yaudah mulai sekarang saya sedia gudeg. Loh enggak. Tau nggak yang dia ikutin apa? Tuannya kan. Tuannya ngomong nggak, kita tetap jualan itu, pizza, pasta dan misalnya gitu, udah. K ita nggak jual gudeg ya udah. Itu yang dia kerjakan. Kenapa? Karena pegawai itu atau bawahan itu cuma tahu mencari apa yang diinginkan tuannya. Itu aja yang dia kerjakan, bukan memperhatikan sekitarnya. Bukan bahkan memperhatikan “client-nya”, customer-nya; mengikuti taat kepada tuannya. Dan berapa banyakkah dalam kehidupan kita ini kita sadar bahwa kehidupan kita itu harusnya itu mentaati tuan kita saja, bukan mendengarkan perkataan manusia. Kita akan selalu dikaburkan oleh manusia, oh ini yang baik, ini yang baik, ini yang baik, ini yang baik. Tanya yang mana yang benar. Dan kalau mau yang benar, kembali pada definisinya Tuhan, kembali pada apa yang Tuhan katakan. Dan itu harusnya menjadi presaposisi dasar kita, asumsi dasar kita dalam memikirkan setiap kebenaran dalam kehidupan kita dan setiap hal yang kita alami. Berapa banyak kita lihatnya dari kacamata Tuhan? Kalau saya kerjakan ini, Tuhan berkenan nggak? Jangan cuma lihat karena disaksikan oleh banyak orang. Oh ini katanya bagus. Oh ini katanya cuan. Apalagi cuan. Nggak tentu yang cuan itu menyenangkan Tuhan lho. Dan nggak tentu yang bo cuan itu juga tidak menyenangkan Tuhan. Kembali lagi, ini sesuai dengan rencana Tuhan atau nggak. Dan kalau sesuai rencana Tuhan, kita tahu maka kita berjalan dalam track-nya, berjalan dalam track-nya.

Menarik karena terakhir ini dalam suatu diskusi itu ada orang bilang katanya makannya apa-apa don’t follow your passion, gitu ya. Jangan ikuti passion-mu, keinginanmu. Itu kan padahal paling umum ya orang-orang gitu ya. Ikuti passion-mu. Kamu paling suka apa, jadilah itu. Gitu ya. Padahal passion kita itu kadang juga salah toh. Ya sederhana saja misalnya kita di sini yang masih SMA atau baru masuk kuliah, oh, kamu mau jadi apa? Suka kan ditanya gitu? Cita-citamu jadi apa? Ikuti passion-mu, ikuti kata hatimu. Tapi pertanyaannya, kata hati kita itu nggak tentu benar lho. Misalnya saja waktu saya kuliah DKV, kenapa? Karena saya suka baca komik gitu ya, suka nonton anime gitu. Oh saya suka gitu ya, passion saya di sana. Eh, gambar, kagak bisa. Garis lurus aja bengkok-bengkok. Yah, yang gini mah passion sih punya, tapi kalau kita lihat punya ability atau nggak? Punya kemampuan di situ atau nggak? Lihat. Dalam kehidupan saja gitu. Anda kejar passion anda kenyataannya belum tentu sampai toh? Anda mencintai seseorang, yang sebelah sana juga belum tentu membalas cinta anda kan. Tapi harusnya klop kan, yaitu sesuai dengan ability kita, sesuai dengan porsinya kita. Dan itu berapa banyak kita lihat karena itulah yang objektif diberikan kepada kita. Kembali kalau kita lihat di dalam Kitab Suci, Tuhan tidak pernah katakan yang seorang diberikan 5 passion gitu ya, atau 2 passion, 1 passion, gitu? Oh enggak. Lima talenta, 2 talenta, 1 talenta kan. Artinya apa? Kemampuan untuk mengerjakan itu menjadi penilaian yang objektif kita apa yang kita kerjakan. Berapa banyak kita ukur, kita lihat, kita kerjakan itu bukan mengikuti apa yang kita senangi, tapi ikuti apa yang Tuhan inginkan. Dan itu nggak lepas, sesuai dengan apa talenta yang Tuhan berikan dalam hidup kita. Kita tidak tentu harus bisa semuanya. Tapi apa yang Tuhan sudah tanamkan dalam pribadi kita, biarlah itu kita garap, temukan, dan lihat, itu yang kita kerjakan seumur hidup. Karena itu masalah kita menginterpretasi juga kehidupan ini, adakah kita berjalan track Tuhan atau nggak.Anda ikuti passion anda, ya kembali lagi, perasaan anda bisa salah. Ya kan? Seperti tadi juga saya berjalan ke sini juga, bisa: “Uh, perasaan sudah bener kok.” Eh sampai depan pintu masuk, “Lho Hotel Horisonnya beda. Lho, Hotel Horison yang lain.” Ya, salah jalan toh! Perasaan itu bisa salah. Tapi berapa banyak kita ikuti yang benar itu sebenarnya seperti apa? Dan itu adalah kebenaran itu kembali dari sudut pandang mata Tuhan. Dan itu harusnya kita melihat iman kita justru kembali melihat dari sudut pandang mata Tuhan itu.

Berapa banyakkah, ketika kita menggumulkan sesuatu dalam kehidupan kita, kita lihat, kembali bergumul di hadapan Tuhan yang Tuhan mau seperti apa? Dan ketika itu yang Tuhan mau, meski saya tidak mau, ya saya kerjakan dulu. Setelah saya kerjakan, nanti beranjak, hati saya bertahap, mencoba mengikuti, menyenangi apa yang Tuhan senangi. Itu baru kita belajar taat, itu baru kita belajar sinkron. Istilah sinkron itu yaitu, sama seperti saya pikir di zaman dulu ketika, Bapak Ibu kalau alami gitu ya, zaman dulu itu kan kalau kita mau nonton TV, itu kan pakai antena TV. Lalu kita goyangin, oh goyangin, “Oh dapat abu,” gitu ya. Geser ke sini, geser sana. “Oh dapat sini baru bener.” Nah, ketika dapat tuning itu, itu baru sinkron. Nah di situ kita lihat, kalau orang melakukan kaya gitu ya, itu kan anda yang menggeser diri, posisi antenanya, menyesuaikan dengan signal pemancar utamanya, baru sinkron. Ada nggak yang bilang, “Oh, nggak ah, ini susah. Ya sudah RCTI nya yang berubah posisilah ngikutin saya di sini.” Ya, nggak ada! Andalah yang berubah, menyesuaikan mengikuti posisi channel  yang anda tuju. Dan ketika kita mengikut Tuhan juga di situ, kitalah yang berubah mengikuti posisi channel rencana Tuhan. Dan bukan Tuhan yang dirubah mengikuti rencana kita. Berapa banyakkah asumsi-asumsi dasar ini justru kita sungguh percaya dan kita pegang dalam kehidupan kita. Kita bukan membentuk Tuhan semakin sesuai dengan maksud kita, tapi kita dibentuk semakin sesuai maksud Tuhan. Itulah artinya kita mengerti kedaulatan Tuhan. Apa artinya Dia berdaulat? Ya Dia yang berdaulat, kita ngga. Orang Reformed kan suka ngomong, “Oh Allah berdaulat, Allah berdaulat.” Tapi ketika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, “Oh kenapa begini, kaya gini.” – protes, complain. Ya itu mah berarti cuma ngakui kedaulatan itu cuma ucapan lip service gitu, cuma akui di mulut. Ketika terjadi sesuatu hal di luar rencana kita, bisakah kita lihat, “Ya ini sesuai kedaulatan Tuhan juga.” Dan di mana saya belajar lihat apa rencana Tuhan di balik semua ini. Kembali, banyak hal dalam kehidupan ini, di luar kontrol kita. Banyak hal terjadi di luar ini, di dalam kehidupan kita, di luar dari apa yang kita inginkan dan kita harapkan. Tapi bisakah kita melihat dari sudut pandang mata Tuhan itu. Baru kita kemudian tafsir yang benar atau nggak.

Di dalam, seperti Ravi Zacharias katakan: Hanya di dalam Judeo-Christianity tradition, hanya di dalam tradisi Yahudi dan Kristen, itulah kita menemukan bahwa Allah itu adalah Allah yang berdaulat, namun juga beranugrah dan belas kasihan pada umatNya. Dia berdaulat tapi Dia juga belas kasihan pada umatNya. Dan saya percaya, di dalam banyak hal, itulah yang juga membentuk dan mengubahkan Paulus dalam kehidupannya. Apa yang membedakan Saulus dan Paulus? Kalau mau dibilangnya, Saulus yang kehidupan yang lama dengan Paulus yang kehidupan yang baru. Di situ saya percaya, dalam pergumulan Paulus, itu dia salah satunya pernah dia sadar bahwa ternyata Mesias yang dinubuatkan sejak Perjanjian Lama itu adalah bicara Kristus, Kristus yang sudah datang dan mati tersalib itu, yang sudah mati menebus dosa kesalahan kita. Dan ketika Dia mati di kayu salib, itu bukan kekalahan. Kembali lagi, ke masalah interpretasi. Tetapi ini adalah kemenangan, kemenanganNya bagi kita, yaitu untuk korban penebusan keselamatan bagi setiap kita yang percaya kepadaNya. Dan di dalam perenungan Paulus itulah, dia sungguh akhirnya sadar lebih dalam lagi, bahwa ketika berkali-kali dalam kehidupan yang lama, kalau kita baca Perjanjian Lama, itu lebih banyak berkali-kali itu, Israel ketika gagal taat Tuhan, lalu Tuhan hukum. Israel tidak taat, Tuhan hukum, Israel tidak taat, Tuhan hukum. Dan mungkin kita temukan juga, dalam kisah Perjanjian Lama itu, ada tokoh seperti Pinehas ataupun Elia, yang begitu punya zealous, yang punya suatu kecemburuan ilahi yang begitu sedemikian, bahkan sampai menghukum keras umatNya, orang Israel, untuk boleh kembali bertobat pada Tuhan. Nah saya lihat itu mungkin, di dalam salah satu tafsiran katakan, “Mungkin Saulus itu, idolanya, gitu ya, idolanya dia lihat itu, ‘Oh saya seperti Pinehas, saya seperti Elia itu. Ada orang salah, saya pukul, seperti itu ya, saya penjarakan, seperti itu.’” Tapi kemudian, di dalam terang Perjanjian Baru, di dalam terang apa yang Kristus katakan, di dalam terang apa yang Kristus singkapkan dalam kehidupan dia, dalam perjalanan ke Damascus, di situlah dia menemukan ada suatu pengertian yang baru, yaitu: Allah dalam Perjanjian Baru menyatakan di dalam genap waktunya, Dia mengunjungi umatNya bukan lagi dalam bentuk Teofani, tapi Dia justru berinkarnasi, menjadi manusia, sungguh-sungguh datang dalam dunia ini. Dan Dia datang bukan untuk menghukum, melainkan untuk menerima penghukuman itu, untuk menggantikan engkau dan saya. Dan perubahan ini, itu bukan cuma suatu penambahan data, tapi itu perubahan cara berpikirnya Paulus, sehingga kembali melihat: sebenarnya kitalah yang berdosa, tapi Tuhan yang belas kasihan, yang menebus kita, bahkan yang datang, bukan lagi di dalam Perjanjian Lama seperti Teofani, teofani, dan berkali-kali menghukum, menghukum, menghakimi, tapi menerima penghakiman ini, melalui kematian di atas kayu salib.

Berapa banyakkah kita mengerti pengertian ini mengubah cara pandang kita? Ketika kita lihat suatu kerusakan apa, cara pandang kita, apa yang kita lakukan? Adakah kita melihat dari kacamata redemptive itu? Kacamata penebusan. Bahwa ketika kerusakan itu terjadi, yang kita lakukan adalah justru cemplung masuk sana untuk merubahnya. Karena itulah yang dilakukan Allah kita. Melihat kerusakan dunia ini, justru Dia datang untuk mati menebusnya. Contoh sederhana, misalnya kita di gereja gitu ya, terus misalnya ada jemaat yang, misalnya gitu ya, menyumbangkan mobil yang bekas, terus sudah pernah turun mesin. Ayo kita kalau jadi pengurus, apa yang kita lakukan? “Wah repot ya, kita mungkin pikir: lebih baik buang aja mobilnya, gitu ya. Sudah pernah turun mesin, repot urusnya.” Tapi kalau kita lihat dari kacamata redemptive, ya kita terima, perbaiki. Memang lebih repot disbanding ketika kita beli baru, dan memang ada bagiannya, makanya kita pembinaan juga dari Sekolah Minggu, Remaja, itu kita jaga dari masih bagus. Tapi ketika ada yang rusak pun datang, ya kita terima. Kalau mobil saja kita nggak mau, apalagi jemaat. Berapa banyak, kita lihat, satu per satu pun kita demikian. Kita datang dari background yang berbeda-beda dan di dalam, mungkin, pergumulan yang berbeda, dan bahkan mungkin ada sudah kecacatan di masa lampau yang telah terbentuk. Tapi kalau kita lihat dari kacamata penebusan, itu adalah bagian untuk dirombak, untuk dirubah. Kenapa? Karena Kristus lakukan demikian. Karena Kristus lakukan demikian.

Dan di situ kita belajar untuk justru, orang bilang itu, justru lebih bisa kreatif melihat apa yang akan Kristus kerjakan. Tentu kita juga senang satu sisi itu kalau semua datang sini, semua baik. Tapi kenyataannya kan, ya setiap kita datang dengan dosa kita, dengan kecacatan kita, dengan kelemahan kita. Tapi, dalam kacamata baru kita lihat, interpretasinya adalah bagaimana kita menebusnya, bagaimana kita mengubahnya. Itu panggilan kita sebagai orang Kristen. Mungkin sebagian besar dari kita sudah sering membaca Alkitab. Tetapi pertanyaannya, sudahkah hidupmu kemudian juga dibaca oleh firman Tuhan? Kita suka membaca, Oh baca Alkitab begini begini… pertanyaannya: hidup kita sendiri sudah dibaca balik belum? Itu adalah masalah interpretasi. Membaca, kita bukan cuma “Oh saya sudah tahu, kisah Daud, kisah Daud seperti itu lawan Goliat.” Ketika kita menghadapi pergumulan, menghadapi peperangan di dalam peperangan rohani, kita maju berperang nggak? Itu baru kita tahu, apa artinya yang dilakukan oleh Daud itu. Bukan berarti dengan bersandar dengan kekuatan dia, dengan taktik dia memakai ketapel itu, tapi justru maju dengan tahu bersandar kepada Tuhan, bahwa Tuhan akan berikan kemenangan melawan musuh itu.Berapa banyak kita kehidupan itu dirubahkan oleh kebenaran firman sedemikian? Kalau nggak, maka berarti kita, sebenarnya hanya sekedar tahu Kitab Suci, tapi belum pernah diketahui oleh Sang Firman itu sendiri.

Biarlah di dalam perenungan kita, di dalam kehidupan ini, ketika kita mengalami banyak fakta yang terjadi dalam kehidupan kita, biarlah kita menafsirkannya dengan tepat, sesuai dengan Kitab Suci, sesuai dengan setiap kebenaran yang sudah kita Imani. Dan di situ kita melihat, dari sudut pandang mata Tuhan, justru rencanaNya lah itu yang terus berjalan dan kita justru dipanggil hanya terus menempel, melekat, taat mengikut Dia, sampai pada kesudahan zaman ini, sampai kita bertemu dengan Tuhan kita muka dengan muka. Mari kita satu dalam doa.

Bapa kami dalam Sorga, kami bersyukur untuk kebenaran firmanMu. Kami berdoa bersyukur untuk kehidupan kami yang sudah ditebus ini. Kami yang faktanya adalah orang berdosa, yang sebenarnya tidak layak untuk diselamatkan. Tapi Engkau kasihi, melalui pengorbanan Anak-Mu, Yesus Kristus, yang sudah mati menebus dosa kami, sehingga melayakkan kami untuk datang ke hadirat-Mu. Kami berdoa bersyukur untuk kebenaran ini, kami berdoa bersyukur untuk hal-hal yang Kau izinkan kami alami dalam kehidupan. Biarlah semua itu membentuk kami untuk semakin serupa Kristus, untuk semakin hidup sesuai dengan kebenaranNya, untuk menafsirkan kehidupan ini sesuai dengan firman-Mu. Terima kasih Bapa, semua ini, hamba-Mu telah selesai berbicara, tapi biarlah Allah Roh Kudus yang terus mengingatkan kami dan menguatkan kami mengenai kebenaran firman yang telah disampaikan pada pagi hingga siang hari ini. Hanya dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa, Amin.

[Transkrip Khotbah belum diperiksa oleh Pengkhotbah]

Comments