Berdoa menurut Mazmur 4, 6 Agustus 2023

Berdoa menurut Mazmur 4

Vik. Lukman S.

 

Salah satu hal penting dalam kehidupan Kristen adalah doa. Tapi mungkin karena kita terlalu biasa, dan mungkin karena kita terlalu sering berdoa sehingga baik sadar maupun tanpa sadar kita itu sering menganggap remeh doa. Maka itu nggak heran Alkitab pun memberikan teguran dan peringatan bahwa orang percaya kepada Kristus sekalipun, bisa saja untuk salah berdoa (Yakobus 4:3).

Mazmur 4, salah satu Mazmur doa. Dan banyak bagian Mazmur itu adalah doa. Menurut catatan, istilah doa sendiri itu 32x di dalam Mazmur. Dan munculnya bisa di dalam judul maupun di dalam kata-kata pemazmur. Pada dasarnya, secara pengertian istilah, doa itu menyatakan satu ungkapan si pendoa untuk memanggil Allah untuk mendengar dia, memperhatikan si pendoa di tengah-tengah pergumulannya. Tapi unik, Mazmur 4 diawali “Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi”. Jadi doa, sekaligus juga nyanyian. Di dalam Mazmur, itu doa dan nyanyian itu sangat erat hubungannya. Doa pribadi, kemudian dibawakan ke dalam bentuk satu nyanyian. Maka jelas di sini ada iringan kecapi. Lalu ada istilah “sela” kalau dalam nyanyian, itu seperti interlude. Jadi kalau nyanyian 1 bait, lalu musik saja mengiringi, yang menyanyi berdiam. Kalau kemudian dibawakan dalam doa, sela itu adalah diam, pause. Jadi seharusnya baca Mazmur ini kalau ada sela itu diam sejenak, lalu baca lagi. Jadi nggak bisa langsung, itu nggak dapat pemaknaannya.

Lalu kita bisa melihat juga di sini Mazmur 4 itu juga tidak lepas dengan Mazmur 3. Mazmur 3 itu diberikan judul “Nyanyian pagi dalam menghadapi musuh”. Mazmur 3 itu juga sebenarnya adalah bentuk doa. Tapi di sini LAI memberikan judul nyanyian juga karena memang tadi doa dan nyanyian begitu erat. Ada yang menafsirkan bahwa Mazmur 3 itu dalam ibadah pagi sedangkan Mazmur 4 itu dalam ibadah rutin malam. Jadi pemazmur di dalam pimpinan Roh Kudus, dia berdoa pergumulan pribadinya. Lalu dibawakan itu di dalam jemaat menjadi satu nyanyian dalam ibadah malam. Kalau itu mungkin kira-kira jam 6 petang. Itu sudah malam hari.

Apa yang kita bisa renungkan melalui Mazmur 4 ini tentang prinsip doa? Pertama, doa adalah percakapan kepada Sang Engkau. Saudara-saudara kalau kita merenungkan tentang doa, doa itu memang adalah satu praktek keagamaan yang wajar, yang umum sekali dilakukan. Bahkan mungkin yang mengatakan dia ateis, nggak beragama pun mungkin mempunyai satu harapan yang dinyatakan dalam satu bentuk doa. Walaupun dia nggak tahu itu kepada siapa. Doa adalah seruan yang sangat manusiawi kepada sesuatu yang di luar dirinya. Satu komunikasi yang manusiawi, yang sepertinya memang diinisiatifkan oleh manusia. Maka kalau kita bicara doa sebagai percakapan, itu rasanya seperti lumrah, wajar sekali.

Beberapa waktu lalu Saudara-saudara, mungkin mendengar satu berita yang sangat menyedihkan terjadi di Jawa Tengah. Ada beberapa penambang itu kemudian terkubur di dalam tambang pada tanggal 25 Juli. Ada 8 orang penambang asal Bogor terkubur di pertambangan yang ada di Banyumas. Terkuburnya begitu dalam itu kira-kira 60 meter. Lalu ada tim SAR mencoba mencari kurang lebih 7 hari. Maka keluarga pun dan tim SAR itu akhirnya berusaha merelakan, walaupun pasti sedih sekali. Lalu mereka mengadakan sholat ghaib. Kepala desa itu mengatakan, “Ya, melalui sholat ghaib ini kita mendoakan para almarhum yang terjebak air di lubang Banyumas ini, mendoakan supaya beliau-beliau amal ibadahnya dapat diterima di sisi Allah.” Ini satu ungkapan doa. Bercakap-cakap kepada sesuatu yang di luar dia. Karena sampai satu titik di dalam kehidupan kita sudah nggak sanggup menghadapi sesuatu itu, maka kita mengharapkan kepada sesuatu yang lebih besar daripada kita, yang disebut sebagai Allah. Ini adalah praktek komunikasi yang umum dalam keagamaan, ketika kita berseru kepada sesuatu yang di luar diri kita, yang lebih besar dari kita, itulah percakapan doa.

Tapi bagaimana dengan Mazmur 4? Apa bedanya doa-doa yang diajarkan Alkitab, doa orang Kristen yang percaya kepada Tuhan di Mazmur 4? Doa yang dinyatakan di dalam Mazmur 4 itu bukan sekedar komunikasi kepada sesuatu yang lebih besar dari dirinya, lebih besar daripada manusia, bukan satu desakan kebutuhan yang kemudian memaksa sesuatu yang lebih besar itu untuk menolong, memperhatikan kita. Tapi doa di dalam Mazmur 4 itu adalah tentang membangun relasi kepada Sang Engkau melalui percakapan. Percakapan antar pribadi, di mana pendoa itu berharap Tuhan menjawab.

Saudara-saudara bisa melihat di ayat 2, 7, sampai dengan 9. Kita lihat pertama di ayat 2. Di sini dinyatakan ada seruan dari manusia yang berdosa kepada Tuhan. Percakapan itu dinyatakan melalui ungkapan-ungkapan seperti, “jawablah aku ya Tuhan”, “kasihanilah aku”, “dengarkanlah doaku”. Ini ungkapan-ungkapan yang di mana dia sudah nggak bisa lagi melakukan apapun, lalu dia menyatakan kerinduannya kepada Tuhan supaya memperhatikannya. Lalu bukan hanya itu, dia juga menyatakan bukan hanya sekedar “jawablah aku”, “dengarkanlah seruanku”, “kasihanilah aku”, tapi juga menyatakan mengingat lagi siapa Allah di dalam hidupnya. Di dalam ayat 2, “Allah, yang membenarkan aku.”, “Engkau yang memberi kelegaan kepadaku.” Dia mengingat bahwa Allah yang kepada-Nya dia berdoa, itu adalah Allah yang intervensi, yang terlibat di dalam hidupnya selama ini. Bukan Allah yang tidak dikenal, yang tak jelas saya tahu, nggak yakin saya Dia terlibat atau nggak, yang nggak tahu Dia itu peduli sama saya atau nggak.

Saudara-saudara, kadang-kadang ada di mana di zaman sekarang ada ungkapan-ungkapan yang seringkali seperti doa agnostik. Doa yang kepada siapa pun yang saya nggak tahu, yang mungkin engkau maha kuasa, tolonglah aku. Kepada mungkin semesta, universe, kiranya engkau yang tolong, sertai aku. Ini doa-doa yang nggak jelas, ini impersonal. Engkau nya siapa nggak tahu. Atau bahkan ada gerakan-gerakan spiritual, dia belajar Islam, hindu, kristen. Lalu dia doa, kepada Yesus, kepada Buddha, kepada Brahma, kepada siapa pun yang agama-agama sebut itu. Itu nggak jelas. Pemazmur di sini menyatakan doanya kepada Allah yang dia kenal, Allah yang intervensi di dalam hidupnya.

Lalu apalagi Saudara-saudara yang bisa kita pelajari? Percakapan kepada Sang Engkau. Siapa sih Engkau? Maka Saudara-saudara, kalau kita melihat di sini, kalau kita membandingkan yang sejauh kita pelajari Saudara bisa melihat agama-agama lain bagaimana menyebut nama Allahnya, sering kali itu ada jarak dalam penyebutan nama. Misalnya Islam biasanya kalau dalam sholatnya, “Allahu akbar, Allahu akbar”, allah yang maha besar. Jarang sekali disebut engkau. Ada juga disebut engkau, tapi agak jarang. Gentar menyebut itu. Misalnya, sebut lagi dewa-dewa, semua menyebut nama. Karena sebutan engkau itu memang kepada sesuatu yang lebih besar, yang lebih hormat, itu sepertinya nggak menghormati. Kenapa sih pemazmur ini berani menyebut Allahnya Engkau?

Mazmur 4, sebutan Allah itu hanya 1x. Kebanyakan apa? “Engkau”, lalu “TUHAN”. Apa artinya Saudara-saudara? Allah itu Elohim. Tuhan itu Yahweh, Lord di dalam bahasa Inggrisnya. Engkau itu you. Elohim itu dewa-dewa umum. Tetapi mengapa pemazmur bisa dari Allah, Elohim, kepada Yahweh? Karena pemazmur mempunyai ikatan covenant, perjanjian dengan Allah. Ingat perintah Tuhan, di dalam salah satu 10 hukum Tauratnya, “Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan.” Artinya Tuhan nggak mau orang sembarangan menyebut nama Dia. Maka itu Saudara-saudara, di dalam tradisi penyebutan nama Israel atau Yahudi, ketika ada istilah Yahweh, mereka nggak menyebutnya Yahweh. Mereka menyebutnya Adonai, Elohim. Mereka nggak berani mengucapkan dengan sembarangan. Tuhan hanya ingin disebut Dia, siapa diri-Nya, dipanggil dengan nama yang begitu dekat ketika orang itu adalah orang yang mengikat perjanjian covenant dengan Dia. Sebaliknya, kalau orang yang tidak mengikat perjanjian dengan Dia, ketika menyebut Dia “Engkau”, Dia marah.

Percakapan pemazmur kepada Sang Engkau itu didasari karena Tuhan terlebih dahulu mau mengikatkan perjanjian-Nya kepada kita yang berdosa. Kita yang berdosa nggak layak menyebut Tuhan dan nggak bisa sok kenal sok dekat. Karena dosa, kita terpisah begitu jauh kepada Tuhan. Allah menjadi Allah yang jauh, bukan Allah yang dekat. Dia Allah yang jauh, yang kita itu nggak kenal lagi. Maka kita berusaha mencari hal-hal yang lain menjadi Allah kita, mengangkat hal-hal lain menjadi Allah kita. Tetapi karena Allah begitu mengasihi kita, bermurah hati, Dia mengikat perjanjian-Nya kepada kita. Maka kita bisa memanggil Dia sebagai “Engkau”. Allah yang jauh mau disebut sebagai Allah yang dekat karena Allah yang rela mengikatkan perjanjian-Nya kepada kita, covenant. Itu hal yang indah, hal yang luar biasa sehingga kita bisa menyebut Dia sebagai “Engkau ya Tuhan”, “Yahweh, Tuhan kami dengarlah doaku”.

Doa di bagian pertama ini, sangat berlawanan. Paling tidak ada 3 hal di sini yang berlawanan. Yang pertama, doa sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, ungkapan-ungkapan bahwa sebagai percakapan kepada Sang Engkau itu berlawanan sekali dengan doa meditasi keagamaan yang lain yang nggak jelas kepada siapa. Yesaya 29:13, “Dan Tuhan telah berfirman: ”Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan”” Ibadah yang tidak berdasarkan covenant pada Allah adalah perintah manusia saja. Saudara-saudara perhatikan perintah Tuhan dalam Yesaya ini diberikan kepada siapa? Kepada umat Tuhan sendiri. Jangan kira kita pikir karena umat Tuhan, maka kita take it for granted, kita anggap remeh. “Ah, pasti Tuhan anggap saya.” Nggak tentu! Kalau ibadah kita perintah manusia saja, di hati kita tidak mempunyai iman yang sungguh-sungguh kepada Allah yang mengikat perjanjian kepada kita, maka Tuhan itu muak dengan ibadah itu. Tuhan nggak berkenan dengan ibadah itu. Dengan bibirnya saja manusia itu memuliakan Aku, tapi hatinya jauh.

Kis. 17:23, “Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.” “Yang tidak dikenal”! Agama-agama lain menyembah allah yang tidak dikenal. Memang itu adalah statement dari orang di Athena sendiri. Tapi bukankah tahu kok namanya Zeus, tahu kok nama-nama dewa-dewa itu, kok disebut allah yang tidak dikenal? Kok juga ditekankan oleh Paulus “allah yang tidak dikenal”? Karena memang tidak ada yang bisa mengenal Allah. Kita tidak mungkin bisa sampai kepada pengenalan sejati selain kepada ketika Allah itu menyatakan diri-Nya kepada kita. Dan khususnya melalui Tuhan Yesus Kristus.

Roma 1:21-25, “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar. Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka. Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin.” Manusia yang berdosa tidak mengenal Allah. Disebut memang di sini, di awal, memang mereka mengenal Allah. Artinya apa? Mereka memang mempunyai kecenderungan untuk beribadah. Kita semua yang berdosa punya kecenderungan untuk beribadah. Tapi kita tidak sampai kepada Allah yang sejati. Kita menjadikan yang lain sebagai allah kita, ciptaan yang lain. Mungkin waktu dulu, itu dewa-dewa, patung-patung, sekarang uang kita, gengsi kita, wajah kita, bahkan mungkin gereja kita, bahkan mungkin agama kita sendiri. Kita ada kecenderungan untuk meng-allah-kan yang lain selain Allah yang sejati. Kenapa? Karena kita berdosa. Manusia berdosa mempunyai spekulasi-spekulasi saja kepada siapa dia berdoa.

Yang kedua, doa, percakapan kepada Sang Engkau, itu bukan lah doa yang bertele-tele. Saudara-saudara, kalau kita lihat Mazmur 4, kita lihat betapa Mazmur itu langsung lugas saja menyatakan, “aku berseru kepada Engkau. Jawablah aku, yang memberikan kelegaan. Kasihanilah aku, dengarlah doaku!” Begitu langsung, nggak ada kata-kata, embel-embel yang lain. Nggak bertele-tele. Doa yang begitu langsung ditunjukkan kepada Engkau, ya Tuhan. Doa yang nggak lagi mencoba merayu-rayu Tuhan.

Lalu yang ketiga, percakapan kepada Engkau ini berlawanan dengan ego kita. Saudara-saudara, seringkali ketika kita di dalam pergumulan kita, kita itu sering melihat diri itu lebih besar daripada bahkan Allah pencipta kita. Ini adalah egocentric kita, berpusat pada diri kita. Waktu dulu, Saudara-saudara, saya punya teman, dia bukan orang Kristen, waktu SD. Dia pernah sharing dengan saya, dia yang mikir ini ya, saya nggak tahu kalau kita pernahkah berpikiran seperti ini. Dia bilang seperti ini, “Lukman, pernah kamu berpikir, kayanya kalau kita hidup itu ya, kita berelasi dengan orang-orang, sepertinya kita aja yang hidup. Orang itu seperti terprogram saja karena sudut pandang melihat kita yang ada.” Pikiran seperti ini sebenarnya sering terjadi secara praktis dalam hidup kita. Kita sulit kan memahami orang lain? Sampai kapan pun kita nggak akan bisa ngerti orang lain. Maka kata-kata, misalkan, “Kalian nggak ngerti saya” atau “saya nggak ngerti kamu” itu wajar. Karena memang manusia nggak bisa mengerti satu sama lain. Kita selalu melihat segala sesuatu dari sudut pandang kita, nggak pernah dari orang lain. Saudara-saudara nggak masuk ke dalam pikiran orang lain kan untuk bisa melihat cara berpikir orang itu? Nggak mungkin! Kita melihat segala sesuatu dari diri kita. Maka ke-aku-an itu begitu kuat.

Nggak masalah dari perspektif aku, tapi yang masalah, ketika dosa itu masuk, aku itu menjadi ekstrim, menjadi pusatnya, menjadi segala sesuatu. Semesta ini bahkan pusatnya itu aku. Maka Saudara-saudara nggak heran kalau kita lagi bergumul, lalu saudara lagi susah hati, keuangan susah, relasi susah, yang muda-mudi mungkin susah dapat pasangan, lagi mau putus dengan pacarnya misalnya, nggak ada orang yang ngerti dia misalnya, tiba-tiba kita lihat ke jendela, hujan. Semesta mengerti aku. Sepertinya hujannya itu tentang aku saja. Semua peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita, jadinya pusatnya ke aku. Selalu maknanya ke aku. Apapun yang terjadi.

Saudara-saudara di dalam perkembangan filsafat modernisme, awalnya itu seorang tokoh filsuf namanya Descartes. Descartes ini mengungkapkan satu ungkapan yang kita kenal, yaitu “cogito ergo sum”, “aku berpikir, maka aku ada”. Sejak itulah filsafat ke-aku-an itu muncul. Semuanya yang diteliti adalah tentang aku. Kesadaranku, pikiranku. Semuanya. Makanya ada yang mengkritik sejarah filsafat modern bisa disimpulkan dalam satu pemikiran, yaitu filsafat ke-aku-an. Karena semuanya serba aku. Ego. Transcendental ego. Tapi yang jarang sekali diperhatikan adalah cara Descartes itu memperoleh cara filsafatnya ini. Descartes waktu itu menghadapi skeptisime, yang serba ragu dalam segala sesuatu. Descartes adalah seorang Katolik, seorang yang percaya kepada Tuhan. Dia memakai cara skeptisisme. Caranya adalah meragukan segala sesuatu. Maka Descartes bilang, “OK, skeptisisme kamu bilang nggak ada fondasi kebenaran, sekarang saya akan pakai cara kamu meragukan segala sesuatu, dan aku akan menyatakan pasti ada kebenaran mutlak yang nggak bisa diragukan lagi.” Lalu dia meragukan segala sesuatu. OK kamu palsu, jemaat yang ada di sini nggak ada, kata-kata saya ini palsu, semua ini adalah boneka, robot, program saja. Semuanya saya ragukan. Ketika semua diragukan, termasuk diri saya yang ragu. Saya meragukan diri saya. Saya mungkin nggak ada. Tapi nggak bisa! Waktu saya meragukan diri saya, saya nggak bisa. Saya itu tetap ada, dan saya tetap sadar. Maka Descartes menyimpulkan, ketika saya meragukan segala sesuatu, ada satu syarat yang harusnya nggak bisa saya ragukan, bahwa ada saya yang sedang meragukan segala sesuatu, saya yang sedang berpikir saya ada. Sejak itu, apa yang sudah lama dalam Kejadian 3, sebenarnya sudah dinyatakan tentang aku, bangkit lagi begitu besar. Maka setiap hal yang terjadi, baik melalui televisi kita, buku-buku, semuanya, carilah kebahagiaanmu, kejarlah mimpimu, semuanya tentang aku, aku, aku. Nggak usah peduli yang lain. Kita ke gereja pun gereja itu memuaskan aku nggak, menyenangkan aku nggak? Aku dapat berkat nggak? Tuhan itu dengar aku nggak? Aku semuanya, aku, aku.

Saudara-saudara, ketika kita melihat aku sebagai centre, maka itu iman kita mulai rusak, mulai digerogoti. Maka terapi yang baik, waktu itu terjadi adalah dengan kita bercakap kepada Tuhan, menyebut Tuhan, Engkau. Engkau itu artinya membuat kita melepas diri kita dari ke-aku-an kita. Engkau berarti menjadi sumberku, keberadaanku. Bukan aku. Ketika kita bercakap dengan sang Engkau, kita menyatakan pengharapan kepada Engkau, kita berseru kepada-Nya karena pertolongan kita hanya kepada-Nya. “Bukan kemampuanku, aku menjaga hidupku, tapi Engkau yang membenarkanku, Tuhan. Engkau saja yang melegakanku. Engkau saja yang bisa memberikan sukacita, damai sejati.” Ketika kita bercakap kepada Engkau, kita keluar dari keakuan kita untuk bersandar kepada sang Engkau. Dialah Allah yang adalah Allah perjanjian kita. Allah perjanjian di dalam Tuhan Yesus Kristus. John Knox mengatakan Doa itu perbincangan yang tulus dan akrab kepada Allah. John Calvin mengatakan, percakapan intim. Mengapa bisa seperti ini, Saudara-saudara? Kita bisa menyebut Allah dengan intim, “Engkau, ya Tuhan!” karena Dia sudah menyatakan covenant-nya kepada kita di dalam Tuhan Yesus Kristus. Mari kita buka Efesus 2:18, “karena melalui Dia-” yaitu Kristus, “-kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa”.

Kedua, Doa adalah perjumpaan dengan Allah melalui firman-Nya. Saudara-saudara, mungkin kita nggak terlalu perhatikan di sini, tapi ada ayat Alkitab sebenarnya yang dikutip oleh pemazmur. Kita lihat Mazmur 4:7, “Banyak orang berkata: “Siapa yang akan memperlihatkan yang baik kepada kita?” Biarlah cahaya wajah-Mu menyinari kami, ya TUHAN!” Ini mengutip dari Bilangan 6:24-26, “TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau  dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya  kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.

Satu kali, ada pemudi itu datang ke hamba Tuhan di gerejanya, lalu pemudi itu bilang, “Bapak pendeta, tolong datang ke rumah kami, lalu berdoa bersama-sama dengan ayah saya yang sedang sakit, yang lesu.” Lalu pendeta itu pun datang ke rumah pemudi ini. Rumah ini begitu sederhana, kecil sehingga ruang tamu dengan kamar itu nggak ada batas, sekat saja. Lalu dia masuk. Dia lihat bapak ini sedang terbaring. Di kasurnya ada bantal, lalu di sebelah kasur itu ada kursi kosong. Pendeta ini bilang ke bapak ini. “Halo, Bapak! Saya pendeta yang diminta anak bapak untuk datang berdoa bersama-sama dengan bapak. Bapak, sepertinya kursi ini memang sudah menunggu saya ya?” Kata bapak ini, “Nggak! Saya nggak menunggu kok!” Pendeta heran, “Lho kenapa ada kursi kosong ini?” Bapak yang sakit ini menjelaskan. Dia bilang, “Waktu itu saya belum bisa berdoa. Saya belum orang Kristen. Lalu, saya bertobat jadi orang Kristen, lalu saya mau berdoa kepada Tuhan. Lalu, saya tanya kepada teman saya. “Eh, gimana ya caranya berdoa kepada Tuhan? Saya nggak ngerti nih! Kalau doa itu kan seperti ini ya, kayak doa bicara sendiri atau apa, gimana?”” Lalu, temannya ini bilang, “Oh gini, kamu kalau mau doa, kamu taruh 2 kursi. Jadi 1 kursi ini, kamu duduk di situ, berdoa. Lalu, depan kamu ada kursi. Kursi kosong.” Lalu dijawab, “Lho, kursi kosong itu untuk apa?” “Kursi kosong itu, bayangkan Kristus duduk di situ. Lalu, kamu berbicara, bercakap dengan Tuhan Yesus. Seperti bercakap karena doa itu kan percakapan.”

Nah, ini contoh salah, Saudara-saudara. Saudara, kadang-kadang iman kita itu sepertinya lebih mudah kalau kita berdoa itu kaya ada visualisasinya ya. Ada sesuatu yang kita lihat. Kalau perlu, kita sangat rindu kalau doa itu Tuhan itu tiba-tiba ada cahaya terang, lalu langsung datang ke gereja, kesaksian. Kalau saya doa malam sebelum tidur, lalu saya mimpi Tuhan berbicara kepada saya, itulah saya berjumpa dengan Tuhan. Nggak seperti itu, Saudara! Perjumpaan dengan Tuhan di dalam doa kita bukan dengan visualisasi, penampakan-penampakan seperti itu.

Lalu bagaimana? Pemazmur bergumul. Ada orang-orang yang tidak suka sama dia, berusaha menghancurkannya. Bergumul begitu berat dan pergumulannya itu begitu riil, begitu nyata, begitu kelihatan, sedangkan Allah itu seperti nggak kelihatan. Bagaimana menjumpai Tuhan di dalam doa? Yaitu menjumpai Dia melalui firman-Nya. Firman Allah yang kita ingat waktu kita berdoa itu adalah cara Allah berkata-kata kepada kita, cara Allah berfirman kepada kita. Waktu Allah berfirman dengan mengingatkan firman-Nya kepada kita waktu kita bergumul di dalam doa itu artinya Dia adalah Allah yang pribadi, yang bercakap dengan kita. Tim Keller mengatakan, “Doa Kristen adalah sebuah persekutuan dengan Allah pribadi yang bersahabat dengan kita melalui firman-Nya.” Melalui firman-Nya! Mungkin, kaya gini masih kurang jelas ya. J. I. Packer menjelaskan lebih baik di dalam Growing in Christ. Satu buku yang bagus sekali. Dia menjelaskan begini, “Kita mungkin tidak akan mendengar suara-suara atau merasakan kesan kuat yang tiba-tiba dari sebuah pesan yang datang kepada kita waktu kita berdoa. Tetapi saat kita menganalisis dan mengungkapkan masalah kita di hadapan takhta Allah dan mengatakan kepada-Nya, apa yang kita inginkan dan mengapa kita menginginkannya, lalu kemudian kita memikirkan jalan firman Tuhan, prinsip firman Tuhan tentang masalah kita, kita akan menemukan banyak kekuatan, kepastian bahwa inilah kehendak-Nya.” Dia hadir, dia berjumpa dengan kita melalui firman-Nya.

Di dalam Alkitab, ketika Allah berfirman, itu Allah artinya bertindak. Dan ketika Dia adalah Allah yang berfirman dan bertindak, Dia adalah Allah yang hidup, Allah yang berpribadi, Allah yang sungguh hadir. Di dalam Alkitab, ketika berbicara Allah berfirman, itu menyatakan kehadiran aktif Allah. Kita bisa lihat Kejadian 1. Kej 1:3-5, “Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Maka terang pun jadi. Allah melihat bahwa terang itu baik, dan Ia memisahkan terang itu dari gelap. Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Lalu, jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.” Di sini, lihat Allah berfirman, maka jadilah. Itu bedanya dengan perkataan manusia. Kalau saya misalnya mengatakan, “Kiranya kursi-kursi yang kosong ini menjadi ada orang yang duduk!” Bisa jadi nggak? Enggak! Harus ada usaha. Harus ada tindakan yang mengikuti. Harus ada kita sekalian Humas, ajak orang-orang. Harus ada kita terus bergumul, doakan orang-orang supaya datang. Ada tindakan. Manusia berkata itu nggak cukup. Harus ada follow up-nya. Tapi beda dengan Allah, Allah berfirman, maka jadilah. Waktu Allah berfirman, itu artinya Dia bertindak. Dan itu artinya menyatakan kehadirannya secara aktif. Dia intervensi. Dia terlibat di dalam ciptaan.

Firman Allah bukan hanya sekedar kata-kata. Firman Allah itu kuat dan hidup. Itu kata-kata Alkitab sendiri. Mari kita buka Ibrani 4:12. “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang  bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati  kita.”  Firman Allah itu hidup Saudara-saudara, maka nggak heran, di dalam Yohanes 1, “Firman itu adalah Allah.” Mengapa diidentikkan seperti itu? Karena memang Allah, firman, tindakan-Nya itu dalam satu kesatuan. Allah yang sejati seturut dengan firman-Nya. Dia menyatakan firman-Nya, melakukan apa yang sudah Dia firmankan dan tindakan-Nya itu nyata, bukan hanya sekedar angan-angan, slogan-slogan, kata-kata kosong. Kalau kita, kata-kata bisa kata-kata kosong, tapi Allah nggak seperti itu. Allah berfirman itu artinya Allah bertindak dan ketika Allah bertindak itu artinya Dia hadir, Dia terlibat.

Pemazmur ingat akan Bilangan 6:24-26. Ini apa sih, Saudara-saudara? Yaitu ayat yang sering diucapkan sebagai berkat di dalam ibadah. Pemazmur mengingat lagi kata-kata yang ada disampaikan di dalam ibadah yang sudah ratusan kali mungkin dia dengar. Mungkin ribuan ya, saya nggak tahu karena ibadah Yahudi itu begitu sering, bukan seminggu sekali. Apa artinya ayat ini, Saudara-saudara? Pemazmur mengungkapkan apa yang dinyatakan kebenaran firman Tuhan untuk mencari wajah Tuhan. Kiranya wajah Tuhan itu menyinari. Maka dia memohonkan, “Tuhan, kiranya wajah-Mu itu menyinari kami. Kiranya cahaya wajah-Mu itu menyinari kami, ya Tuhan!” Permohonan akan wajah Allah itu berarti apa? Dalam istilah aslinya, wajah itu berarti kehadiran, penyertaan, di hadapan Allah, itu artinya. Maka ketika pemazmur menghadapi pergumulannya, yang dia mohonkan adalah wajah Tuhan menghadap kepadanya. Hadirat Tuhan nyata. Maka ketika hadirat Tuhan nyata itu, ada efek-efek dari hadirat Tuhan itu. Ada kemurahan hati dinyatakan, kepedulian-Nya dinyatakan. Saudara-saudara, ketika kita berdoa, berdoalah dengan firman Tuhan. Dan ketika kita berdoa, kita ingat firman Tuhan, itu artinya kita berjumpa dengan Allah. Jangan naif. Jangan harapkan penglihatan-penglihatan. Jangan harapkan penampakan-penampakan yang seringkali itu kepalsuan. Mungkin saja proyeksi diri kita. Bukan Allah, sesuatu yang lain. Tapi firman Allah ketika berbicara kepada kita, itu artinya kita berada di hadapan Tuhan.

Saudara-saudara, saya baru tahu ini dari tahun 2020. Waktu itu, saya baru pertama kali diutus pelayanan ke GRII Yogyakarta, Solo, Semarang. Waktu kesempatan itu, saya hadir di Semarang. Waktu itu, Semarang ibadah sorenya, ada Pdt. Antonius Un dan Vik. Marvin. Sesudah ibadah biasanya kami makan, lalu ngobrol-ngobrol lama. Sudah ngobrol-ngobrol, habis itu malamnya sebelum berpisah untuk tidur, dikasih tahu, ”Besok Senin pagi, kita doa bersama ya.” Saya bangun pagi, lalu doa. Saya kaget waktu doa itu. Doanya ayat firman Tuhan. Doa yang dasarnya dengan firman Tuhan ini dasarnya apa? Lalu saya pelajari, John Calvin doa seperti itu. Martin Luther doa seperti itu. Thomas Cranmer doa seperti itu, dari Mazmur. Dan ternyata, pemazmur pun doa seperti itu.

Waktu doa, renungkan ayat firman Tuhan. Itu artinya kita berjumpa dengan Tuhan. Jangan anggap remeh firman Tuhan. Saudara-saudara, pemazmur ingat ini ayat yang dari mana? Ingat ayat di dalam ibadah, yang diucapkan ibadah. Ini bukan spesial banget lho di dalam renungan dia pribadi. Bukan! Tapi di dalam ibadah dia. Di dalam ibadah ini kan biasa. Kita bisa nggak baca Alkitab hari-hari kan, tapi dalam ibadah pasti baca Alkitab. Seringkali kita menganggap remeh ibadah kita. Waktu kita menyanyi pujian, berapa kita merenungkan kata-kata itu yang didasarkan firman Tuhan? Kita sering menganggap remeh. Lewat saja. Maka nggak heran, Saudara-saudara, kita nggak pernah jumpa Tuhan. Kita nggak pernah jumpa Tuhan, termasuk dalam ibadah kita. Lalu kita pikir jumpa Tuhan itu penampakan-penampakan yang luar biasa itu. Salah! Perjumpaan dengan Tuhan melalui firman-Nya. Kadang-kadang ada orang ibadah itu ikutnya cuma sampai waktu khotbah baru datang. Telat nggak papa lah yang penting nggak ketinggalan khotbahnya. Nggak ketinggalan berkat Tuhan. Itu menganggap remeh pembacaan Alkitab sebelumnya. Menganggap remeh nyanyian pujian sebelumnya. Ada orang sudah dengar firman Tuhan, khotbah sudah baik. Wah, terberkati, tapi sesudah memberikan persembahan, pulang. Menganggap remeh berkat. Minggu depan nanti dapat berkat kok! Berkat ini berulang-ulang terus. Saudara-saudara, jangan anggap remeh firman Tuhan. Kalau kita anggap remeh firman Tuhan, kita nggak akan pernah berjumpa Tuhan.

Ketika kita rindu berjumpa Tuhan, jumpailah Tuhan dengan melalui firman-Nya. Dia sudah menyatakan itu. Kita orang-orang biasa bisa berjumpa dengan Tuhan di tengah rutinitas keseharian kita melalui apa? Melalui firman-Nya. Waktu kita doa, renungkan firman Tuhan. Belajar. Kita doa, renungkan. Mungkin hanya 1 kalimat. Mungkin nggak bisa persis. Tapi pakailah prinsip-prinsip firman Tuhan itu di dalam doa kita supaya firman itu terus menguatkan, meneguhkan kita lagi. Yang sering kali kita doakan itu apa, Saudara-saudara? “Tuhan, berkati makanan ini.” Cukup. Begitu kan? Itu doakan, ”Tuhan, terima kasih. Engkau sudah memberikan kami makanan kami sehari-hari secukupnya.” Itu bagian dari firman Tuhan. Itu doa dari firman Tuhan. Jangan sekedar doa, “Besok saya ujian. Tolong saya ujian.” Semua orang doa seperti itu. Itu doa yang nggak berjumpa dengan Tuhan. Saudara-saudara, saya pun masih terus belajar seperti ini. Mari kita sama-sama belajar seperti ini. Berjumpa Tuhan melalui firman-Nya.

Ketiga, ketika wajah Tuhan menghadapkan wajah-Nya, maka pemazmur di ayat 8-9 menerima berkat dari Tuhan, penyertaan Tuhan itu dalam wujud apa? Sukacita dan damai sejahtera. Saudara-saudara, kita seringkali berpikir buah doa itu adalah masalah selesai, solusinya muncul. Saudara-saudara, kalau kita doa, kita pikir, “Tuhan, saya lagi susah keuangan.” Dalam pikiran kita bukan ayat firman Tuhan, tapi pikirnya, “Siapa yang bisa saya pinjemin ya?” Doa, besok saya harus bayar sesuatu. Anak saya misalnya sakit, jadi harus bayar dokter untuk sakit anak saya. Kita doa, “Gimana saya dapat uangnya ya?” Pikiran kita itu. Itu salah. Pikiran kita firman Tuhan. Apa? Wajah Tuhan! Dan waktu wajah Tuhan itu dinyatakan kepada kita, pemazmur nyatakan di ayat 8-9 apa? Kita memperoleh damai dan sukacita di dalam Kristus.

Saudara-saudara, kalau baca ayat ini semuanya, nggak ada penjelasan pemazmur ini sudah dikalahkan nggak musuhnya? Nggak. Lalu apa yang dialami pemazmur? Perubahan lahiriah nggak nyata, tapi yang nyata adalah perubahan batiniah. Doa itu melalui penyertaan Tuhan, perjumpaan dengan Tuhan. Tuhan mengerjakan perubahan batiniah, memberikan kita sukacita dan damai sejahtera. Di dalam TB1, Mazmur 4:8. “Engkau telah memberikan sukacita kepadaku, lebih banyak dari pada mereka ketika mereka kelimpahan gandum dan anggur.” Di dalam terjemahan Indonesia yang TB1 itu ”sukacita kepadaku.” Saya bacakan TB2. “Tetapi Engkau telah memberi sukacita dalam hatiku, melebihi sukacita ketika mereka kelimpahan gandum dan anggur.” Engkau memberikan sukacita batiniah melebihi perubahan lahiriah. Ini, Saudara-saudara. Gandum dan anggur itu hal-hal di luar. Itu berkat luar. Merekanya siapa? Musuhnya. Engkau memberikan aku sukacita di dalam hatiku lebih besar daripada berkat di luar yang musuhku terima, yaitu hasil panen yang melimpah-limpah. Wah, ini luar biasa, Saudara-saudara! Sukacita di hati. Sukacita batin.

Saudara-saudara, waktu Alkitab mengatakan hati, itu bukan soal perasaan. Jangan menyempitkan istilah hati kepada perasaan. Bukan! Itu batin. Itu hal di dalam. Kalau di dalam istilah Alkitab, hati itu artinya pusat hidup kita. Pusat keberadaan kita. Hati itu artinya ada pikiran, perasaan, kehendak kita. Ada sukacita yang melimpahi hati kita, hidup kita, nggak tergantung pada hal-hal di luar. Ini yang diberikan oleh Tuhan. Ketika Tuhan menyatakan wajahnya kepada kita, Tuhan terlebih dahulu mengubah batin kita. Tuhan lebih rindu, lebih utama mengubah diri kita, bahkan melebihi perubahan luar. Dan itulah perubahan yang sejati.

Lalu ada damai sejahtera, shalom. Damai di dalam istilah aslinya itu completeness dan contentment. Lengkap dan cukup. Artinya, “saya sudah cukup, ya Tuhan! Saya sudah lengkap karena saya punya Engkau. Nggak peduli musuh masih ada. Nggak peduli musuh bahkan bisa bersukaria, menghasilkan panen, menikmati panen yang begitu limpah, tapi saya sudah cukup di dalam Engkau.” Itu shalom. Damai sejahtera Tuhan berikan kepada kita ketika kita berdoa dengan benar, mengharapkan wajah Tuhan, ada perubahan batiniah yang dikerjakan Tuhan lebih besar daripada perubahan lahiriah. Dan itu yang lebih utama.

Saudara-saudara, ada 1 tokoh di dalam Alkitab. Tokoh yang sangat indah sekali ketika kita merenungkan, yang mencakup semua kisah kehidupan kita, yaitu Yakub. Yakub ini kisah lahirnya diceritakan. Bergumul di dalam keluarga diceritakan persoalan keluarganya. Yakub ini mencari pasangan juga diceritakan. Bekerja diceritakan juga. Semuanya, sampai dia matinya. Kalau kita merenungkan hidup Yakub, maka kita bisa mengidentifikasikan diri kita dengan mudah. Kita bisa lihat perjalanan Yakub ini adalah juga perjalanan pergumulan iman kita, orang Kristen yang percaya kepada Tuhan. Kita tahu kisah Yakub, bahwa Yakub itu mengambil hak kesulungan dari saudaranya, Esau. Kita tahu kisah Yakub, bahwa Yakub itu kemudian dia lari, Saudara-saudara.

Mari kita lihat Kejadian 28. Yakub itu dikisahkan lari. Yakub itu takut dengan kemarahan Esau, dia lari. Lalu dia juga satu sisi rindu untuk mencari istri karena Esau sudah punya istri. Dicatat Alkitab, mungkin umurnya sekitar 40-an. Karena mereka kembar, Yakub juga mungkin umurnya juga 40-an waktu itu. Tapi dia belum menikah, belum punya istri. Dia lari, rasa bersalah. Dia lari karena rasa takut. Dia lari ke 1 kota, namanya Lus. Lalu di kota itu yang menurut perhitungan kira-kira 97 km.

Saudara-saudara, yang menarik, yang bisa kita perhatikan di sini, Yakub meninggalkan semuanya, lalu kemudian dia nggak punya apa-apa dan dia ada di 1 kota yang dia nggak kenal. Nggak ada kenalan keluarga atau teman. Di tempat yang sepi itu, dia tidur. Saudara-saudara, waktu dia tidur, batu itu dia pakai menjadi bantalnya. Artinya, Saudara-saudara, kemungkinan dia nggak bawa tas. Kalau dia bawa tas kan bisa dijadikan bantal ya. Ini nggak. Dia nggak bawa apa-apa. Yang dia punya apa, hak kesulungan, penyertaan Tuhan. Itu yang dia pegang. Itu yang dia kejar. Salah satu keteladanan Yakub di segala kebobrokan yang ada, dia terus menginginkan Tuhan, penyertaan Tuhan. Itu kerinduan Yakub.

Dan di dalam tidurnya, Saudara-saudara, ada firman Tuhan muncul. “Aku menyertai engkau dan Aku melindungi engkau ke manapun engkau pergi. Dan Aku akan membawa engkau keluar dari negeri ini sebab Aku tidak meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Ku janjikan kepadamu.” Firman Tuhan diberikan. Besok bangun pagi ada rumah? Nggak ada. Dapat pekerjaan? Nggak ada. Dapat istri? Nggak. Bertahun-tahun, lalu dalam perjalanan, dia bertemu dengan Laban. Itu paman-nya. Lalu kemudian di situ pun dia bergumul untuk bekerja, dimanfaatkan oleh Laban. Berapa tahun? Tujuh tambah tujuh tahun. 14 tahun. Itu yang dicatat. Mungkin lebih. Lalu baru dapat istri. Lalu kemudian, dia terus lari. Dia terus dalam pelarian waktu firman Tuhan diberikan. Lalu kita bilang, “Dia nggak dapat rumah! Tuhan nggak menyertai engkau, Yakub!” Enggak. Mengapa Yakub tetap kuat berpegang kepada Tuhan? Karena ada firman Tuhan. Firman Tuhan menyatakan kehadiran penyertaan-Nya. Kita baca bagian terakhir Kejadian 47 dari kehidupan Yakub. Kej 47:9 (TB2). “Jawab Yakub kepada Firaun: “Masa pengembaraanku sebagai pendatang adalah seratus tiga puluh tahun.  Masa hidupku itu singkat dan penuh kesusahan, belum mencapai umur nenek moyangku sewaktu mereka mengembara sebagai pendatang.” Pengembara sejak kapan, Saudara-saudara? Sejak dia keluar dari rumah orang tuanya dan saudaranya. Berapa tadi? Ratusan tahun. Dia bergumul. Dia nggak punya rumah tetap sampai bahkan di Kejadian dia bergumul. Apa yang bisa membuat dia menyatakan Tuhan itu hadir menguatkan dia? Firman Tuhan. Firman Tuhan. Dia hanya memiliki Tuhan dan itu cukup. Perubahan di luar mungkin belum terjadi, tapi perubahan di dalam pasti terjadi ketika kita berdoa sungguh-sungguh di dalam Tuhan. Perubahan di dalam, hidup sukacita di dalam, shalom.

Mari, Saudara-saudara, kita sungguh-sungguh belajar lagi untuk berdoa dengan baik dan benar. Sukacita dan shalom yang diberikan Tuhan itu bukan hanya slogan. Bukan hanya kata-kata. Saudara-saudara lihat di dalam Perjanjian Baru, dalam Yohanes 14:27, Matius 11:28-30, Efesus 2:14, Kristuslah damai sejahtera kita. Shalom itu bukan hanya sekedar kata-kata. Bukan hanya slogan-slogan. Shalom itu adalah sang Engkau yang berinkarnasi. Yesus Kristus pribadi. Dia hadir, Dia intervensi, Dia terlibat di dalam hidup kita. Yesus Kristus, Dia-lah damai sejahtera kita. Mari kita berdoa.

Bapa di surga, kami bersyukur, Tuhan atas firman-Mu yang terus menguatkan kami, meneguhkan kami, mengingatkan kami bagaimana kami seharusnya berdoa. Ampuni kami Tuhan, kami seringkali menganggap remeh Tuhan dan firman-Mu. Engkau sudah berkali-kali menyatakan kehadiran-Mu melalui firman-Mu, tapi kami menganggap remeh. Ampuni kami ya Tuhan. Ajar kami berdoa sebagaimana Engkau sudah mengajarkan para rasul berdoa. Ajar kami berdoa sebagaimana Engkau sudah mengilhamkan pemazmur untuk berdoa. Dalam nama Tuhan Yesus, kami berdoa. Amin. (HSI)