Sabukilah Pikiran Kita, 28 April 2024

Sabukilah Pikiran Kita

Pdt. Tumpal H. Hutahean

 

Di dalam konteks dari pada 1 Petrus 1, di situ kita bisa melihat bagaimana Petrus mengajarkan kepada kita pentingnya membangun nilai relasi. Tetapi menjadi pertanyaan, relasi yang bagaimana yang berkaitan dengan pikiran kita? Nah, di dalam bagian ini Petrus mengatakan, “Persiapkanlah pikiranmu.” Bahasa Yunaninya itu menekankan, “sabukilah pikiranmu.” Jadi bagaimana kita mengikat pikiran dan apa kaitannya dengan nilai relasi pada waktu kita hidup bagi Tuhan? Dan apa artinya pikiran, dalam bagian ini memakai kata dianoia bukan nous tapi dianoia? Dan mungkinkah anak Tuhan pada waktu dia sudah bertobat ternyata pikirannya tidak bertumbuh, tidak berbuah bagi Tuhan? Jawabannya mungkin. Dan mungkinkah ada juga anak Tuhan, jadi mengaku Kristen, mengaku orang yang beragama Kristen, tapi punya cara berpikir terlalu kekanak-kanakan dan berpikir selalu negatif, mudah menggampangkan sesuatu dan berpikirnya selalu berkaitan dengan keduniaan? Jawabannya mungkin. Maka kenapa itu semua terjadi? Dan mungkinkah Tuhan memprogram, ketika kita menjadi anak Tuhan, maka pikiran kita tidak bertumbuh ke arah Tuhan? Pasti jawabannya tidak. Dan pertanyaan kita yang terakhir, mengapa dalam bagian ini Petrus menekankan pentingnya menyabuki pikiran, diikuti dengan kata waspada, berkaitan dengan pengharapan kita yang sungguh-sungguh punya nilai kekal yang tidak cemar dan sudah pasti di dalam Tuhan?

Nah, kita masuk dalam pembahasan kita. Nah, di dalam bagian ini, Saudara, kita harus bisa mendalami bahwa setiap kita, setelah mengalami transformasi iman pasti kita harus mengalami transformasi cara pandang dan mempengaruhi transformasi cara kita melihat daripada pengharapan dan kebanggaan yang bernilai kekal. Nah, di dalam konteks 1 Petrus ini, jikalau kita melihat dari pasal-pasal 1, Petrus konsentrasi berkaitan dengan nilai pengharapan. Di situ berarti mengajarkan kepada kita jikalau kita sungguh-sungguh sudah menjadi anak Tuhan, iman akan mendorong kita bagaimana mendewasakan cara berpikir kita di dalam Kristus. Jadi jikalau orang mengaku sudah mengalami transformasi iman tapi tidak mempengaruhi transformasi cara pandang, di situ menunjukkan iman dia belum memiliki kesejatian.

Maka James Sire di dalam bukunya, bagaimana berpikir dalam semesta Tuhan, kita diajak untuk memikirkan nilai Kristus; bagaimana mencerahkan seluruh konsep nilai aksiologi dari pada dunia sehingga kita akhirnya bisa memiliki suatu semesta berpikir Kristus yang indah pada waktu kita ada di dunia. Sehingga pikiran-pikiran yang kedagingan, pikiran-pikiran yang sementara, pikiran-pikiran yang berpusat kepada diri, pikiran-pikiran yang tidak berkaitan dengan kemuliaan Tuhan, pikiran-pikiran yang tidak berkaitan dengan perluasan kerajaan Allah, semuanya akan sirna jikalau semesta pikiran Kristus memenuhi pikiran kita. Maka di dalam buku dari pada James Sire, di situ kita diingatkan indahnya semesta berpikir di dalam cara Tuhan melihat segala sesuatu dikaitkan dengan seluruh nilai kemuliaan-Nya. Dan James Sire mengatakan, “Jikalau pikiran kita tidak bertumbuh, jikalau pikiran kita tidak sinkron dengan Tuhan, jikalau pikiran kita tidak berbuah pikiran Tuhan dalam seluruh kehidupan kita maka kita perlu dipertanyakan akan kualitas iman kita.

Nah, di dalam bagian ini Richard Pratt mengatakan di dalam hidup orang Kristen yang sejati, iman akan mencerdaskan rasio. Dan kita orang Reformed tidak pernah anti dengan rasio. Tapi bagaimana rasio dibawa di dalam ketundukan daripada Kristus dan bagaimana rasio dibentuk dalam karakter daripada pikiran Tuhan? Maka Richard Pratt mengatakan dengan jelas, “Ketika kita menundukkan pikiran kita di bawah pikiran Kristus, itu namanya ketaatan.” Dan ibadah dalam poin daripada bagian ini, Richard Pratt mengatakan ibadah yang mana dengan iman kita mengakui Tuhan berkuasa atas hidup kita, Tuhan melampaui daripada pikiran kita; sehingga Amsal mengatakan janganlah kita berpikir begitu rupa, seolah-olah kita yang begitu hebat mengambil keputusan. Maka tundukkanlah seluruh akal budimu di bawah seluruh pikiran Tuhan, maka kita akan menemukan mengambil keputusan yang tepat itu bagaimana.

Nah, di dalam bagian ini, maka ketika Petrus mengaitkan pentingnya mempersiapkan akal budi, mengikat seluruh pikiran kita, dianoia, di bawah pikiran Kristus. Kenapa ini penting? Ini berkaitan bagaimana kita melihat konteks dalam Perjanjian Lama. Jikalau disabuki nilai daripada pinggang kita, artinya kita mengikat seluruh keberadaan kita dalam satu action, itu tandanya untuk bergerak dengan cepat sehingga pakaian yang dipakai itu tidak mengganggu pergerakan dengan lincah. Demikian itu arti dari dianoia. Pikiran kita diikat untuk kita bisa bergerak cepat untuk pekerjaan Tuhan. Bukan bergerak cepat untuk diri. Kita paling mudah pada waktu kita belum bertobat, pikiran kita langsung bisa bergerak cepat menyangkut kesenangan kita, kepuasan kita. Tapi di dalam pekerjaan Tuhan, kita harus menyinkronkan pikiran kita dengan gerakan pikiran Tuhan. Maka, di sinilah Petrus mengingatkan kepada kita pentingnya menyabuki pikiran supaya pikiran kita adalah pikiran yang punya gerak cepat di dalam membangun relasi komunitas yang kudus. Dan kenapa ini penting? Karena di dalam konteks itu, jemaat sedang menghadapi penganiayaan sehingga di dalam kesulitan, dalam penderitaan, mungkin mereka mengalami kerenggangan relasi. Di dalam penderitaan, dalam pergumulan, mereka tidak fokus lagi untuk pekerjaan Tuhan sehingga mereka berfokus kepada penderitaan, mereka berfokus kepada kesulitan, mereka berfokus kepada pergumulan, tidak bergerak cepat untuk memikirkan apa yang Tuhan mau di dalam kesulitan ini.

Maka kita melihat wacana konseling di dalam satu nilai relasi, konteks daripada Ayub dengan Bildad, dengan Zofar, dengan temannya, dengan Elihu. Nah, di dalam bagian ini menarik. Paulissen mengatakan, relasi yang paling indah adalah membawa orang untuk bisa memikirkan Tuhan, melihat masalah itu dalam solusi-Nya. Sehingga di dalam perdebatan antara Ayub dengan Elihu, dengan Zofar, dengan Bildad itu ada perdebatan teologi yang sangat tinggi. Dan di dalam dunia filsafat, ini namanya diskursus, tidak ada solusi, hanya perdebatan secara sistematis dan di dalamnya seolah-olah menyalahkan daripada Ayub. Tetapi apa yang diperbuat Elihu? Elihu diam sebagai anak muda, mengamati perdebatan itu, melihat segala sesuatu dalam perspektif Tuhan. “Apa yang terjadi untuk Ayub? Kenapa temanku, sahabatku yang saleh boleh mengalami penderitaan yang begitu kuat?” Maka, ketika perdebatan itu tidak ada solusi, diskursus dan Elihu langsung berkata tentang Tuhan. Di dalam seluruh pekerjaan-Nya, Allah pasti bisa bekerja secara sembunyi untuk menyatakan karya-Nya untuk setiap anak-anak-Nya. “Ayub, kenapa engkau mengatakan Allah itu mati? Ayub, kenapa engkau mengatakan Allah itu tidak hidup? Ayub, kenapa engkau merasa dirimu paling benar, seolah-olah engkau tidak layak mendapatkan ini semua? Tuhan itu hidup, Ayub! Tuhan itu juga bisa bekerja secara sembunyi untuk menyatakan kuasa-Nya, untuk menyatakan akan karya-Nya, untuk menyatakan pimpinan-Nya untuk engkau di depan.” Maka, seluruh daripada pola daripada diskusi yang diberikan Elihu menemukan satu titik pencerahan untuk Ayub melihat Tuhan. Maka, Ayub berani berkata, akhirnya. Dia menarik seluruh perkataannya. Mulai dari pasal 33 sampai 42, puncaknya, kita melihat perubahan Ayub melihat diri, melihat Tuhan, melihat masalah. Dan dia berkata, “Dari orang lain saja dulu saya kenal Tuhan, sekarang melalui peristiwa ini saya langsung kenal Tuhan.” Knowing about God, sekarang knowing of God atau knowing God. “Dulu aku kenal Tuhan dari kata orang lain saja. Sekarang berdasarkan pengalaman ini aku mengenal Tuhan secara langsung, knowing God.”

Maka J. I. Packer mengatakan, “Seluruh pengalaman yang sulit, seluruh kadang-kadang penderitaan pergumulan yang sulit, itu pemerasan dari Tuhan yang sungguh sangat indah dan manis.” Justru kalau kita diberikan kekayaan kelimpahan, tidak pernah ada masalah, justru itu jebakan untuk kita menjauhkan diri dari Tuhan dan kita menganggap kita lebih penting dari segala sesuatu. Maka J. I. Packer dalam bukunya “The Knowing of God”, dia mengatakan kepada kita, Tuhan bisa memakai hal apapun untuk kita lebih dekat kepada Dia. Ayub disingkirkan kekayaannya, Ayub disingkirkan kedekatannya kepada anak, Ayub disingkirkan kedekatannya dalam komunitas supaya dia ada waktu untuk retreat. Dan setelah dia mendapatkan satu konfrontasi daripada Elihu, di situ dia menemukan titik pembaharuan cara pandang yang baru melihat Tuhan, melihat dirinya dan melihat masalah itu. Maka di dalam bagian ini Paulissen mengatakan relasi yang paling indah, ketika anak Tuhan bertemu dan situ mereka mengalami pertumbuhan cara pandang, dan di situ iman mengalami seperti cahaya, cipritan-cipritan yang akhirnya terus bersinar bagi Tuhan.

Maka relasi kita jikalau tanpa Tuhan, berarti iman tidak bertumbuh. Relasi kita dalam komunitas jikalau orang tidak melihat Tuhan melalui diri kita, berarti relasi kita tidak punya misi bagi Tuhan. Maka kunci di dalam daripada pandangan Paulissen di dalam bukunya, seluruh konseling yang paling efektif, jikalau orang yang kita layani, akhirnya melalui pergumulan mereka, melalui masalah mereka, akhirnya mereka punya cara padang yang baru melihat Tuhan, melihat diri, dan melihat masalah itu di dalam solusi kehendak Tuhan. Nah di dalam bagian inilah Saudara, kita baru bisa mengerti, kadang-kadang pikiran kita mandek, kadang-kadang pikiran kita tidak lincah untuk Tuhan karena terikat dengan konsep pandang ism-ism dunia, terikat dengan kebiasaan-kebiasaan yang tidak dikaitkan dengan pikiran Tuhan. Maka ada satu buku yang mengatakan, kebiasaan akal budi. Kebiasaan akal budi langsung  menyadarkan kepada kita kadang-kadang kita bisa mengukur tubuh kita elastis, tubuh kita bisa bergerak sana-sini dengan disiplin olahraga tetapi siapa yang bisa mengukur seseorang sering melatih cara berpikirnya dengan tepat? Maka buku kebiasaan akal budi itu menarik Saudara, untuk orang-orang yang suka berpikir terus duniawi, berpusat kepada diri. Maka tidak salah jikalau John Owen di dalam buku yang terkenal bagaimana berpikir rohani. Dan lebih tepatnya, buku itu judulnya adalah “Cara Berpikir Rohani”. Maka kenapa buku itu timbul? Karena di dalam pergumulan John Owen tahu sekali, setelah kita bertobat di dalam Tuhan masih ada indwelling sin, masih ada pengaruh dosa di dalam kedagingan kita. Maka cara berpikir perlu dilatih sehingga kita berpola pikir rohani kata John Owen, itulah anak Tuhan yang sejati.

Yang kedua, kenapa perlu diikat, disabuki pikiran ini? Supaya di dalam aktivitas kita berpikir sedemikian rupa, itu memiliki suatu kelincahan, keluasan dan kedinamisan. Tidak kaku. Maka Paulus dalam Roma 12 yang tadi kita baca, bagaimana kita harus mengalami pembaharuan akal budi. Dan akal budi memakai kata nous, yang tadi di dalam Surat Petrus memakai kata dianos. Di sini Saudara dikatakan kita mengalami pembaruan akal budi. Maka ayat yang ketiga yang paling penting, setelah engkau mengalami pembaruan cara kamu berpikir, silahkan kamu berpikir begitu rupa”, kata Paulus, “tentang banyak hal. Silahkan.” Memang harus pikiran kita berkembang. Dan pikiran kita harus tajam untuk memikirkan segala sesuatu. Tetapi menariknya, semua atas dasar iman. Jadi iman yang menundukkan pikiran di bawah pikiran Kristus, iman yang mencerahkan cara kita berpikir sehingga tidak kelewatan, tidak kebablasan. Maka pada waktu orang main social media, orang bisa berselancar liar dengan bebas, lari sana, lari sini. Akhirnya bisa terjebak pornografi, bisa terjebak dengan hal yang tidak punya kemuliaan Tuhan maka di situlah iman mengontrol, iman membatasi, iman mengingatkan.

Jadi di dalam bagian ini, Saudara, kenapa pikiran kita perlu diikat? Kenapa kita harus mempersiapkan pikiran kita? Setelah kita mengalami transformasi iman, pasti engkau akan mengalami transformasi cara pandang. Nah di sini kita baru mengerti, Saudara, bagaimana kelincahan kita berpikir, ternyata dikaitkan dengan penggenapan kehendak Tuhan melalui hidup kita sehingga pilihan-pilihan praktis itu adalah pilihan akal budi yang di mana Tuhan sudah mencerdaskan cara kita berpikir. Tapi ada pilihan menyangkut masa depan kita, menyangkut keluarga kita, bisnis kita, kerja kita, mau dibawa ke mana seluruh daripada masa depan kita, di situlah Tuhan akan mempengaruhi kita. Bagaimana cara berpikir yang lincah, dinamis, tapi dikaitkan dengan kekekalan, tapi berkaitan dengan kemuliaan Tuhan.

Paulus di dalam Filipi 3, ayat 1-3 berbicara transformasi iman, ayat 4-8 berbicara transformasi cara pandang, ayat 9-14 berbicara tentang transformasi nilai pengharapan dan kebanggaan yang berkaitan dengan Tuhan. Maka Paulus berani berkata, “Dahulu yang kuanggap kebanggaan, aku orang Ibrani asli, aku suku Benyamin, jikalau dari aspek keagamaanku sebagai orang yang pelaku Taurat, aku sempurna, aku masuk kelompok Sanhedrin, aku boleh bangga itu semua. Tapi sekarang semua yang kubanggakan sekarang kuanggap sampah karena Kristus.” Kenapa? ”Karena lebih baik aku memperoleh pengenalan akan Dia daripada mengenal daripada seluruh kebanggaan dunia tapi aku terbuang daripada Tuhan.” Maka di dalam ayat 9-14, di situlah Paulus mengatakan, ”Aku melupakan apa yang ada di belakangku” – epilanthanomai – “dan mengarahkan pikiran kepada apa yang di depan sehingga aku menjadi orang pelari rohani untuk menggenapkan panggilan surgawi.” Jadi bagi Paulus, dia memperoleh pengenalan akan Kristus, di dalam penderitaan-Nya, di dalam kebangkitan-Nya, itu adalah gairah iman dia, Saudara.

Maka ayat 15 dan 16, ”Pikirkanlah semuanya itu,” jemaat di Filipi. Ini berarti memberitahu kepada kita, Saudara, kadang-kadang kita kesempitan berpikir karena salah satunya berfokus kepada ego diri kita. Kita mengalami kebekuan berpikir, tidak lincah, tidak luas, karena tidak berpikir hal-hal kerajaan surga. Dan waktu kita berpikir akhirnya terlalu terkotak, tidak bisa keluar, karena kita terikat dengan ketakutan, kekhawatiran tanpa iman. Maka Yesus menegur, ”Kenapa kamu khawatir soal makan dan minum?” Tuhan Yesus katakan, ”Cari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua akan ditambahkan kepadamu.” Jadi khawatir itu boleh, takut itu boleh, tetapi kita harus percaya ada Allah yang memelihara. Khawatir itu boleh, takut itu boleh, tetapi jangan sampai iman kita tersingkir, akhirnya kita tidak percaya the providence of God atas diri kita.

Jadi di dalam bagian ini, Saudara, maka di sinilah kita perlu mengerti, Saudara, desire kita yang paling indah, gerakan keinginan kita yang paling indah, jikalau pikiran kita sinkron dengan pikiran Tuhan. Amin? Maka dosa pikiran itu kadang-kadang bisa menerobos tempat. Mungkinkah kita di kebaktian ini mulai berdosa? ”Aduh, tadi jemuran sudah diangkat tadi? Cuci baju kira-kira pencet apa ya? Udah dijemur belum, ya? Aduh itu anjing udah dikasih makan atau belum ya?” Kadang-kadang kita bisa ada di sini Saudara, pikiran kita apa? Merajalela. Maka dalam bagian ini Saudara, pentingnya pikiran dipersiapkan, pentingnya pikiran untuk diikat. Itu poin yang kedua.

Poin yang ketiga, kenapa pikiran perlu diikat dan dipersiapkan? Supaya kita fokus, kerja dan beraktivitas semuanya dikaitkan dengan kemuliaan Tuhan. Jadi pada waktu engkau menjadi seorang pengusaha, bekerjalah baik-baik, mendapatkan untung di dalam satu yang jujur, tidak menekan orang, tidak membuat orang miskin. Tetapi pada waktu engkau mendapatkan untung, tetap diikatkan dengan Tuhan. Jangan seperti cerita dalam Yakobus dan di Injil, ada orang sombong dengan pengalamannya, “Aku akan pergi ke sana. Setahun, dua tahun aku pasti mendapatkan untung.” Yakobus mengatakan, “Siapa pemilik hidupmu? Siapa yang men-design hidupmu? Kenapa engkau begitu bangga dengan pengalamanmu, dengan rasiomu, dengan segala sesuatu kajian daripada pengalaman mendapatkan untung? Bukankah Tuhan yang memiliki hari dan waktu? Bukan dirimu!” Jadi di dalam bagian inilah Saudara, ketika kita bekerja keras, ketika kita beraktivitas, jangan lupa fokus pikiran kita berkaitan itu semua dikaitkan dengan kerajaan Tuhan dalam kemuliaan-Nya sehingga kita terhindar daripada keliaran cara berpikir, kita terhindar daripada kepuasan yang tidak suci, kita terhindar dari situasi yang jangan sampai akhirnya membanggakan diri ketika semuanya berhasil.

Bapak, Ibu, Saudara terkasih dalam nama Tuhan, di sinilah baru kita mengerti apa itu arti pikiran yang harus dipersiapkan atau disabuki; adalah pikiran yang selalu siap untuk bekerja bagi Tuhan, pikiran yang selalu bertindak produktif bagi Allah dalam situasi apa pun juga. Jadi surat Petrus ini mengingatkan kepada kita, engkau mengalami penderitaan, engkau melihat rekan-rekan jemaatmu dianiaya, engkau melihat rekan-rekanmu mendapatkan bisnis yang begitu dipersulit oleh pemerintah dengan orang-orang yang tidak suka kita sebagai orang Kristen, tapi jangan kalah oleh situasi! Iman kita adalah iman yang aktif, iman kita adalah iman yang punya satu dinamis, iman yang akan mencerdaskan cara berpikir dalam penyertaan Tuhan. Jadi di dalam bagian itulah, waspadalah! Jagalah seluruh pengharapanmu. Saudara berkaitan dengan pengharapan dalam Tuhan yang kekal dan yang suci. Jadi di dalam bagian inilah Saudara, kita akhirnya bisa mengerti betapa pentingnya definisi ini. Boleh kita dalami, boleh kita hidupi. Dan mengapa kita harus menjadi orang Kristen selalu siap berpikir yang dikaitkan dengan kerja untuk Tuhan? Dan kenapa pikiran kita harus dikaitkan dengan bertindak produktif untuk kemuliaan Tuhan? Ini sangat penting sekali.

Saya memberi tugas kepada remaja, pemuda di Gempol. Sekarang adalah buku ketiga. Sudah hampir habis. Buku yang ketiga ini, tugas baca mereka, tugas ketaatan, adalah buku Richard Pratt, Design for Dignity. Bagaimana Tuhan merancang dignity kita berkaitan dengan hidup bermakna dalam Tuhan. Maka Richard Pratt, dia karena dia ahli PL, dia banyak mengambil naratif teologi dari Perjanjian Lama tapi ditarik dalam satu pengertian Perjanjian Baru bahwa Allah tidak akan meninggalkan kita, Allah akan men-design kita untuk kita memiliki satu martabat yang indah, yang punya nilai makna dalam Tuhan. Dan di dalam bagian itu, setiap hari satu remaja, pemuda, harus presentasi yang dibagikan tugasnya. Dan ini buku yang ketiga setelah saya 2 tahun di sana. Setelah itu nanti mau habis, kita baca lagi pola ketaatan baca buku, buku yang keempat.

Jadi di dalam bagian itulah Saudara, kembali buku ini, kenapa buku ini penting? Mengingatkan kepada kita jangan men-design martabat dirimu berdasarkan apa cara pandangmu tentang yang disebut martabat itu. Karena pikiran kita yang disebut kita bermakna bisa salah, pikiran kita disebut kita adalah orang yang berguna bisa salah, pikiran kita dianggap kita adalah orang perlu dihargai bisa salah jika pikiran itu tidak diterangi oleh pikiran Tuhan. Maka ketika kita mau men-design mau dibawa ke mana seluruh hidup kita berarti bagi Tuhan, ingat, sinkronkan semua dengan pekerjaan Tuhan, dengan hal-hal yang produktif berkaitan dengan waktu Tuhan.

Maka kalau tertarik baca lagi bukunya R. C. Sproul. Bagaimana di dalam buku R. C. Sproul itu ditekankan bagaimana kita harus punya satu program, bagaimana kita punya kemaknaan dignity di dalam Tuhan. Maka buku itu akhirnya menyadarkan kepada kita, “Tuhan aku minta ampun, aku merasa bermakna kalau aku punya uang. Aku bermakna kalau aku punya harta, aku bermakna kalau aku seolah-olah bisa dengan yang aku miliki menunjukkan aku lebih dari orang lain. Aku bermakna ketika aku pintar, aku lebih tampan, aku lebih cantik atau lebih apa lebih apa.” Ternyata Saudara, pada waktu kita jadi Kristen ternyata makna diri kita masih makna dunia.

Dan kita tahu Saudara bagaimana anak muda sekarang bunuh diri itu banyak sekali Saudara penyebabnya. Maka ketika hari Kamis lalu saya mengajarkan teori bunuh diri. Ini bukan karena mengajarkan mahasiswa STT supaya bunuh diri, bukan! Ternyata Saudara dari abad ke 16 ya, 20, 21 itu mulai dipikirkan kenapa orang bunuh diri. Keluarlah teori yang disebut teori Historis, sampai saya mengajari teori yang bersifat modern di dalam kekinian. Ternyata Saudara, ada orang bunuh diri itu karena sombong. Ada orang bunuh diri karena merasa direndahkan inferiority. Kenapa saya katakan sekarang ini ada teori orang bunuh diri karena sombong? Karena dia tidak mau kalau dia dikalahkan, dia tidak mau kalau dipermalukan, “lebih baik aku mati.” Maka pahlawan itu kadang-kadang punya unsur bunuh diri itu, sombong. “Lebih baik aku mati di tangan pedangku sendiri daripada mati di penjara.” Karena apa? Aspek proud, kesombongan.

Tapi zaman sekarang Saudara, ada orang bunuh diri kenapa Saudara? Karena tidak dianggap oleh orang lain. Aku kirim foto di facebook, di instagram nggak ada yang respons, nggak ada yang nge-like, nggak ada yang apa. Aku sudah pakai baju yang begitu bagus, sudah cukur rambut begitu rapi kok suamiku tidak menoleh, tidak mengatakan, “mama makin cantik”, didiamkan. Frustrasi dia, karena apa? Miskin pujian. Maka pada waktu dia tidak mendapatkan pujian dia rasa hidup tidak berarti, maka dia bunuh diri. Maka keluarlah teori kemiskinan mental. Maka di dalam bagian itulah Saudara kita baru sadar Saudara beberapa tokoh-tokoh di Alkitab-pun pernah mau bunuh diri. Tetapi mereka tidak bisa karena ada Allah yang memelihara mereka, ada iman yang mengontrol mereka. Maka kembali lagi kepada kebenaran firman, bagaimana pikiran kita untuk selalu siap bekerja dan produktif bagi Tuhan? Maka kita harus mengikat pikiran kita di dalam satu pikiran yang memikirkan kenikmatan  yang Tuhan bisa juga nikmati.

Maka kita jangan berpikir Saudara, pikiran yang hanya berpikir kenikmatan saya. Maka engkau tidak akan bekerja dengan produktif, kau tidak akan bekerja dengan lincah. Tapi kau memikirkan apa yang kau kerjakan juga ini biarlah menjadi sesuatu bau yang harum yang Tuhan bisa nikmati. Nah di dalam bagian itulah Saudara gairah kita adalah gairah untuk kerja bagi Tuhan. Walaupun engkau bekerja dalam bagian ekonomi, arsitek, keuangan, lawyer, usaha apa pun juga, tetapi yang menggairahkanmu adalah semua dikaitkan biarlah Tuhan menikmati seluruh hasil kerjanya itu.

Yang kedua, bagaimana pikiran kita itu harus ada dalam satu pikiran yang sungguh-sungguh adalah iman memimpin pikiran kita, sehingga kita mengerti kehendak Allah mana yang baik, mana yang mulia dan di situlah Saudara kita mau menggenapkan seluruh buah pikiran kita. Kita selama ini berpikir, saya akan berbuah karakter. OK, akan dilihat behaviors mu. Tapi pernahkah kita berpikir, kita berbuah pikiran untuk orang lain, sehingga waktu orang lain bertemu kita, dia dicerahkan cara pandangnya, melihat daripada pergumulannya, melihat daripada hidupnya? Dan saya menarik Saudara, di dalam buku daripada Hoffecker mengatakan, Building Christian Worldview,  “Jikalau orang Kristen tidak  berbuah pikiran, maka itu menunjukkan dia belum dewasa dalam berpikir”. Berarti semua syllogism daripada Hoffecker mengingatkan pada kita, orang yang dewasa dalam Tuhan, maka dewasa secara iman, dewasa secara karakter, dewasa dalam bersikap, dewasa dalam mengambil keputusan, dia pasti berbuah pikiran untuk orang lain melihat Tuhan melalui hidup kita.

Itulah yang saya ingatkan untuk kita semua, itu yang saya ingatkan kepada anak saya yang bekerja. Pada waktu kamu bekerja, jangan berpikir pekerjaannya untuk uang, celaka kamu. Jangan pikir kerja untuk aktualisasi diri, jangan berpikir kerja untuk pujian orang lain. Coba berpikir melalui kerjamu, orang lain melihat siapa Tuhan melalui dirimu. Artinya, saksikanlah Tuhan melalui kualitas kerja kita. Jadi kalau perusahaan bilang jam 8 masuk kerja, jam 7.50 pun kamu sudah siap kerja. Perusahaan bilang “Silakan jam 5 pulang”, kalau kamu lihat jam 5 belum selesai pekerjaanmu, kerjakan lagi yang bisa. Kalau ditargetkan oleh perusahaan 10, kamu targetkan diri 14. Kenapa? Karena tanggung jawab kita bukan kepada pimpinan perusahaan, tapi kepada Tuhan. Untuk apa? Menyaksikan Tuhan melalui kualitas kerja kita, di situlah kita punya buah pikiran, nyata untuk orang lain. Amin?

Kinerja kita kadang-kadang Saudara, bisa kalah dengan konsep meritokrasi daripada Inggris yang mempengaruhi Singapur. Pola SDM dan pola sistem sampai suprasistem daripada meritokrasi yang dikembangkan di Singapur, itu memunculkan orang-orang siap berkompetensi di dalam hal yang positif. Dan ketika mereka berkompetensi, menunjukkan keunggulan diri, di situlah mereka mendorong diri untuk mencapai suatu kompetensi yang punya nilai kualitas. Maka meritokrasi adalah satu pendekatan merasakan kacamata iman orang Kristen, di mana orang bekerja, tanggung jawabnya kepada Tuhan. Bekerja melampaui daripada target perusahaan, untuk apa? Hal yang bersikap suprasistem. Maka kalau meritokrasi diperlakukan di Indonesia, kira-kira PNS habis nggak diseleksi? Habis diseleksi, abis diseleksi. Kenapa? Karena mungkin banyak PNS nepotism. Satu suku, satu agama, satu pesantren, satu sekolah, satu universitas, satu kampung, akhirnya semuanya bisa masuk.

Saya ada di wilayah Jawa Timur, khususnya di Pasuruan. Dan kita tahu Pasuruan disebut kota Madinah. Jombang disebut kota? Kota santri. Di sana bisa ada razia di bulan puasa, bagaimana perempuan dikasih pake mukena, yang laki-laki naik motor diberhentikan dikasih sarung. Saya juga mau kalo kalau dapat sarung kayak gitu, ya kan? Tetapi Saudara, menjadi pertanyaan, kenapa menjadi kota Madinah? Kenapa pemimpin-pemimpinnya itu kan bersifat nasionalis, kenapa masih berpikir agamais? Kenapa mereka bangga membangun payung Madinah? Sekarang datang lagi, akan dibangun lagi satu berbau-berbau ke-Arab-an. Lama-lama semua kambing di sana jadi unta. Dan tidak salah Saudara, banyak pohon diganti kurma, baik Sidoarjo, Pasuruan. Dan mereka bangga dengan perkebunan kurmanya. Kenapa tidak bangga dengan komoditas asli ke-Indonesia-an di dalam pohonnya dan yang lain-lain?

Maka pegawai negeri di sana Saudara, bukan saya mengkritik, ini kalau dipakai program meritokrasi, mungkin sisa 10%. Dan nggak bisa pendatang bisa bekerja di sana, nggak bisa pendatang bisa menjadi orang penting di sana kalau engkau tidak punya alumni dari ini, alumni dari ini, dari ini, dari ini. Maka kita malu sekali, tetangga saya Sidoarjo – gereja Gempol nyeberang kali sudah Sidoarjo – 3 periode, Bupati semuanya tersangka korupsi. Semuanya punya belakangnya Gus, Gus. Artinya apa? Anak Kiai.

Jadi di dalam bagian itulah Saudara, kita bersyukur sekali di dalam Tuhan kita digarap imannya. Di dalam Tuhan kita digarap pikirannya, memiliki cara pandang, sehingga kita memiliki kualitas hidup bagi Tuhan. Amin? Jadi jangan setelah ini kita pulang, kalau kerja disuruh jam 8, datangnya 8.15. Terus usahakan, nggak bisa, datang 8.30. Selalu punya alasan. Nah di situlah kita gagal meresponi firman Tuhan. Jadi Mat. 6:33-34, Yesus berkata, “Carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hasi besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” Nah di dalam bagian itulah Saudara, kita mengerti teriakan dari Kol. 3. Kenapa dikatakan orang dalam Kristus pasti akan punya pikiran berkaitan dengan kerajaan Tuhan? Cari dahulu hal-hal yang bersifat kerajaan Tuhan, karena itu pikirkanlah semuanya itu. Kenapa kamu pikirkan hal yang bersifat dunia? Nah di dalam bagian inilah Saudara, ketika kita direfleksikan di dalam Kol. 3 dengan Fil. 4:7-8, bagaimana kita diajak boleh berpikir begitu rupa tapi pikirkanlah yang benar, yang adil, yang mulia, yang disebut yang manis, yang patut dipuji, yang disebut kebijakan. Pikirkanlah semuanya itu.

Berarti kita di sini kita diajarkan Saudara, bagaimana kita pada waktu pikiran kita bisa bekerja dan produktif, maka tinggalkanlah pikiran yang bersifat self-centered. Pikirkanlah segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal pikiran Tuhan sehingga aspek desire self-centered ini Saudara berubah menjadi God-centered. Maka berpikir untuk kenikmatan diri, berpikir untuk kepuasan diri, berpikir untuk kesombongan diri, berpikir untuk aktualisasi diri, berpikir untuk harga diri, berpikir untuk kelemahan diri, berpikir untuk memanjakan diri, semua daripada variabel ini, ini menunjukkan pikiran kita masih self-centered, masih berpusat pada diri. Maka tinggalkanlah semuanya ini. Sabukilah pikiranmu! Terus minta pembaruan daripada Tuhan sehingga kita merindukan, kita bukan hanya sekedar berbuah pikiran, tapi kita menunjukkan, melalui karakter kita di dalam Tuhan, sekarang kita ternyata punya orientasi yang baru. Yaitu apa? Christ-centered dalam seluruh cara berpikir kita sehingga bukan kenikmatan diri yang paling diunggulkan tapi kenikmatan Tuhan yang paling diunggulkan. Karena itulah baca nanti, dalami di rumah, Kolose 3:1-3. Dan Efesus 4:17-20 mengingatkan kepada kita: kita bukan lagi orang di luar Kristus sehingga pikiran kita menjadi sia-sia. Kita bukan orang di luar Kristus sehingga cara berpikir kita pikirannya gelap. Kita bukan orang di luar Kristus sehingga pikiran kita selalu tumpul. Tetapi kita punya pikiran yang paling peka untuk diri. Akhirnya kita mengejar nafsu dan keserakahan. Kita tidak boleh seperti itu lagi kata Efesus. Jadi di sini, Saudara, kita diingatkan betapa pentingnya kita mempersiapkan pikiran kita. Penting untuk kita menyabuki pikiran kita.

Nah, di dalam bagian inilah Saudara, saya akan membaca ulang bagian ini. “Sebab itu siapkanlah akal budimu”. Terjemahan yang lain, “Sebab itu sabukilah pikiranmu, waspadalah dan letaklah pengharapanmu sepenuhnya atas kasih karunia dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus.” Kiranya Tuhan boleh memberkati kita dan kita orang Reformed tidak pernah anti dengan rasio, tapi bagaimana kita menajamkan rasio, bagaimana kita membawa rasio bagi Tuhan. Dan istri saya tanya bukunya Michael Horton: “Apakah itu boleh menjadi buku wajib baca untuk beberapa orang di ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, remaja ikut program baca buku di Gempol?” Boleh saja! tetapi harus kuat dulu dasar sistematiknya. Kenapa? Karena buku Michael Horton membahas Kekristenan tanpa Kristus di Amerika. Ngeri sekali kalau kita baca buku itu. Kenapa Saudara? Karena begitu banyak ngaku orang Kristen tapi nggak pernah kemudian Kristus itu nyata. Maka dalam buku itu langsung memberitahu kepada kita: mungkinkah kita juga jadi orang Kristen tapi tanpa Kristus? Karena baju kita Kristen: baju budaya, baju keturunan, baju lingkungan? Mungkin. Nah, di dalam bagian itulah, Saudara, kita baru sadar pentingnya Kristus bertakhta dalam kehidupan kita. Itulah yang ditekankan di dalam Kolose. Intinya bagaimana Ketuhanan Kristus itu bertakhta dalam seluruh nilai hati kita. Ketuhanan Kristus itu mempengaruhi seluruh dimensi hidup kita sehingga saya memakai pakai bahasanya James Sawyer, “Seluruh semesta hidup kita adalah semesta hidup dalam memuliakan Tuhan. Dan semesta berpikir kita adalah semesta yang terus menyatakan Kristus di dalam seluruh daripada keindahan-Nya.

Jadi, pikiran kita bukan saja disucikan. Ternyata pikiran kita bukan saja dibentuk. Pikiran kita bukan saja disinkronkan dengan pikiran Tuhan. Pikiran kita bukan saja hanya difokuskan dengan pikiran Tuhan. Ternyata seluruh pikiran kita harus dikembalikan menjadi persembahan yang hidup, yang mulia, yang indah. Biarlah kita yang mengalami transformasi iman, kita rindu mengalami transformasi cara pandang. Amin? Dan kita sudah mengalami transformasi cara pandang, kita rindu mengalami transformasi pengharapan yang kekal dan kebanggaan yang kekal dalam Tuhan. Mari kita berdoa.

Tuhan terima kasih Tuhan, Engkau sudah memberikan pak Tumpal kepada kami hari ini Tuhan, sehingga kami boleh melihat cara kami berpikir, bagaimana kami merespons cara hidup kami kepada Engkau Tuhan. Pergunakan pikiran kami untuk mempengaruhi sekeliling kami Tuhan, karena kami adalah anak-anak Engkau. Terima kasih untuk firman-Mu pada hari ini, biarlah kami boleh terus melihat Tuhan sebagai Tuhan kami supaya kami boleh mengerti Engkau sebagai Tuhan kami. Terima kasih Bapa, di dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin. (HS)

Comments